Selesai berdoa, Dyandta termenung di gereja. Siang ini, Dyandta menolak tawaran makan siang bersama dengan Airin. Ia hanya ingin menenangkan pikirannya dari berbagai masalah yang sedang ia hadapi saat ini. Dyandta sempat menganggap remeh semua masalahnya. Menganggap bahwa orang tuanya akan setuju dengan keputusannya. Tapi kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi. Orang tuanya justru menjodohkannya dengan pria lain.Dyandta menghela napas kasar sambil bersandar di kursi gereja. Ia masih belum menetapkan pilihan sampai detik ini. Nasehat Airin selalu menggema di telinganya. Memintanya untuk berhenti mengharapkan Damien yang sedang terbaring sekarat di rumah sakit.Memang benar apa yang dikatakan Airin. Entah sampai kapan Damien akan tetap seperti itu. Hanya kuasa Tuhan yang mampu menyadarkan Damien dari komanya. Dyandta hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk pria itu."Dyandta?"Mendengar namanya dipanggil, Dyandta langsung tersentak kaget. Ia menoleh ke samping kanan. Dyandta menegakk
Dyandta menggebrak meja kerjanya karena kesal dengan perilaku kedua orang tuanya. Sudah dua kali ia mendapatkan tamparan dari mereka. Ia sampai tidak bisa berpikir jernih saat ini. Bahkan semua pasien yang sudah menunggunya terpaksa pulang dengan kekecewaan karena Dyandta tidak fokus untuk bekerja.Wanita itu duduk di kursi kerjanya sambil bersandar dengan helaan napas yang kasar. Ia memijat pelipisnya karena terlalu sakit. "Apa yang harus kulakukan?" gumamnya pelan.Pikiran Dyandta melayang jauh entah kemana. Ia benar-benar bingung menghadapi situasi seperti ini. Kedua orang tuanya sudah sangat kelewatan menilai Damien. Memang Dyandta akui, Damien sempat menyakiti perasaannya. Tapi hal itu segera Dyandta lupakan, mengingat kondisi Damien saat ini cukup parah.Sampai akhirnya lamunan itu buyar ketika dirinya mendengar suara ketukan pintu ruangan yang terbuka. Dyandta melihat ke arah pintu dan melihat Airin tengah berjalan menghampirinya. Ia langsung menegakkan tubuhnya dan mempersilak
Keesokan paginya, dokter sudah bersiap memeriksa kondisi Damien lebih lanjut. Untuk sementara, Dyandta, Airin dan Bailey menunggu di luar. Mereka berharap tidak ada hal serius lainnya yang bisa mengguncang pikiran Damien nantinya. Dyandta terus mendoakan Damien di dalam hati.Airin menyentuh pundak Dyandta. "Nak, tenanglah. Semua akan baik-baik saja. Aku yakin, Damien pasti bisa pulih dengan cepat berkat dukunganmu, Nak.""Iya, Bu. Aku akan melakukan apapun untuknya."Bailey menatap Dyandta. Hatinya masih mengganjal perihal hubungan Dyandta dengan orang tua kandungnya. Bailey melihat langsung penolakan keras dari kedua orang tua menantunya itu. Dyandta diusir dari rumah dan diberikan sumpah serapah oleh Hilaire karena tidak menuruti kemauan mereka untuk menikah dengan Mike."Nak," panggil Bailey.Dyandta pun menoleh. "Ya, Ayah?""Apa kau sudah menghubungi orang tuamu?" tanya Bailey.Dyandta menggeleng pelan. Mendadak tubuhnya lemas saat Bailey membahas tentang orang tuanya. Inilah res
Dyandta masuk ke dalam ruang rawat suaminya dengan wajah murung. Ia masih kesal perihal kehadiran Cacha di rumah sakit. Apalagi wanita itu berbicara buruk padanya. Dyandta duduk di sofa dan tetap dalam posisi diam tanpa kata. Airin yang melihat perubahan ekspresi Dyandta pun bergegas mendekati menantunya itu. Airin duduk tepat di samping kanan Dyandta.Dipegangnya pundak Dyandta dengan pelan sambil berkata, "Ada apa, Nak? Kenapa wajahmu murung begitu? Ada masalah?""Bu," Dyandta menatap Airin, "apakah tadi Cacha masuk ke ruangan ini?"Airin langsung mengernyit. "Cacha? Tidak. Dia tidak ada masuk ke ruangan ini. Kenapa kau membicarakan Cacha?""Hhh! Syukurlah," ucap Dyandta lega. "Aku tadi bertemu dengannya sebelum masuk ke ruangan ini, Bu.""Wanita sialan itu? Apa tujuannya datang ke rumah sakit?" tanya Airin penasaran.Dyandta menggeleng. "Aku juga tidak tahu, Bu. Tapi aku mempunyai firasat buruk.""Apa yang kau rasakan, Dyandta? Apa kau takut Cacha akan merebut Damien kembali?""Iya
Cacha terlihat mondar-mandir di ruang tamu sambil memegangi ponselnya. Ini sudah masuk hari kedua setelah George menghubunginya kemarin. Memaksanya untuk membebaskan George dari penjara. Besok adalah waktu yang ditunggu oleh George. Baru saja Cacha mendapat panggilan telepon lagi dari George. Itu sebabnya dia panik saat ini.Kegelisahannya itu semakin bertambah saat George kembali mengancamnya tadi. George akan menyebut namanya dan akan membuatnya merasakan dinginnya lantai penjara. Cacha tidak bisa membayangkan hidupnya akan berada di dalam penjara. Sudah pasti, Albert tidak akan membantunya."Astaga! Bagaimana ini? Ayo berpikir, Cacha. Berpikir," gerutunya.Cacha ingin menghubungi kedua orang tuanya. Tapi nomornya sudah diblokir. Orang tua Cacha juga sudah pindah rumah dan sengaja tidak memberitahukan hal ini pada Cacha. Sampai detik ini, Cacha tidak pernah lagi bertemu dengan kedua orang tuanya."Sial!"Wanita itu duduk di sofa sambil memukul ujung sofa dengan kesal. "Kenapa harus
Setelah menunggu beberapa saat, Cacha kembali melihat Bailey masuk ke dalam ruang rawat Damien. Bailey membawa selembar kertas dan pena lalu menyerahkan benda tersebut pada Cacha. Cacha yang menerimanya merasa bingung sambil menatap Bailey."Apa ini?" tanya Cacha sambil menunjuk lembaran kertas itu.Bailey bersidekap lalu menjawab dengan santai, "Surat perjanjian.""Surat perjanjian?""Ya," jawab Bailey. "Jika kau menginginkan uang itu, maka kau harus menandatangani surat ini. Disitu tertulis, kau harus menjauhi keluargaku, terutama Damien dan Dyandta. Jika tidak, kau akan berurusan dengan polisi. Bagaimana?"Cacha mendecak kesal. Ia tidak menduga hal ini sebelumnya. Ternyata Bailey jauh lebih pintar daripada dirinya. Tapi Cacha harus menerima perjanjian itu. Ia tidak punya pilihan lain."Jika kau setuju, tandatangani sekarang dan aku akan memberikan uangnya," lanjut Bailey.Cacha masih menatap surat perjanjian itu. Ia ragu untuk menandatanganinya. Jika surat itu ia tandatangani, otom
Airin membuka pintu ruang rawat Damien dengan tergesa-gesa. Ia terlambat datang karena terjebak macet di jalan. Setelah melihat Damien bersama Dyandta, barulah Airin bisa bernapas lega."Syukurlah," ucap Airin sambil mengelus dada dan menghampiri menantunya. "Ibu kira Damien sendirian di sini. Tadi Ibu terjebak macet di jalan. Maafkan Ibu ya."Dyandta tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu.""Iya, Bu. Tidak perlu meminta maaf," sambung Damien.Airin dipersilahkan duduk oleh Dyandta. Sementara Dyandta mengambil kursi yang lain untuknya. "Ibu, Cacha datang ke sini saat aku sedang mengurus pasien. Damien yang mengatakannya padaku," ucap Dyandta."Benarkah?" Airin terkejut dan menatap Damien. "Apa yang dia lakukan di sini? Dia menyakitimu, Nak?" tanyanya.Damien menggeleng. "Tidak, Bu. Dia datang ke sini untuk meminta uang.""Untuk apa dia meminta uang padamu? Harusnya dia minta pada suami barunya itu. Berani sekali dia mengganggu putraku," gerutu Airin."Aku juga tidak tahu tujuannya apa meminta
"Apa? Dari mantan suamimu?"George tampak terkejut mendengar ucapan Cacha. Ia tidak percaya Damien memberikan uang sebanyak itu dengan mudah. "Bagaimana bisa? Apa dia masih mencintaimu?" tanyanya lagi."Dia masih mencintaiku, tapi tidak mau mengakuinya. Dia bahkan sengaja menikahi Dyandta untuk membuatku cemburu. Jika dia mau mengakui, aku bersedia kembali padanya," ucap Cacha dengan santai.George mendecih. "Kau sudah mencampakkannya, tapi masih berharap kembali padanya? Kau sudah tidak waras, Cacha. Aku tidak yakin, Damien masih mencintaimu. Yang aku tahu, dia sangat tergila-gila pada Dyandta. Wajar saja dia menikahi Dyandta.""Dan untuk kembali padanya, itu mustahil. Damien tidak akan mungkin menerimamu kembali. Jadi, jangan terlalu bermimpi. Fokuskan saja hidupmu pada Albert. Dia juga kaya dan punya banyak aset. Bahkan uang seratus milyar bisa kau dapatkan darinya. Kenapa harus meminta pada Damien?" lanjut George.Cacha mendecak kesal. "Apa kau mau aku dipukuli lagi oleh Albert? Al