Damien menatap selembar kertas dari pengadilan yang ada di hadapannya. Rasa sesak di dadanya tak kunjung reda saat Cacha terus memaksanya untuk menandatangani surat itu. Berkas perusahaan yang ia inginkan juga sudah Cacha kembalikan. Apa tidak ada hal lain yang bisa menahan istrinya untuk tetap tinggal bersamanya? Tentu tidak. Keputusan Cacha tak bisa diganggu-gugat lagi.
Cacha yang kini berhadapan dengan Damien pun merasa jengah karena menunggu terlalu lama. Sejak tadi, ia hanya memerhatikan Damien yang menatap surat itu tanpa melakukan apapun. Ini benar-benar membosankan baginya. Padahal dirinya sudah susah payah mengambil berkas perusahaan itu agar Damien segera menandatanganinya. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Pria itu tak kunjung melakukan tugasnya.
Cacha berdecak kesal. "Cepat tandatangani suratnya. Jangan terlalu banyak drama."
"Apa rumah tangga kita tidak bisa dipertahankan saja seperti sebelumnya? Apa ini harus berakhir?" tanya Damien sambil menatap sendu kearah Cacha.
Cacha memutar bola matanya sambil bersandar di sofa. "Tidak ada yang perlu dipertahankan. Selama enam bulan pertama, aku berusaha untuk menerimamu dalam kehidupanku. Tapi semuanya sia-sia, karena aku memang tidak bisa mencintaimu. Jadi, aku tidak bisa lagi bertahan."
Damien menghela napas berat. Ia tak mampu menahan rasa kesal dan sedihnya lagi. Airmatanya juga sudah mengalir saat ini. Dan dengan berat hati, ia pun menandatangani surat itu. Tangannya pun terlihat gemetar.
Setelah selesai menandatangani, Damien meletakkan penanya lalu memberikan surat itu pada Cacha. "Sudah aku tandatangani," ujarnya.
"Baiklah," kata Cacha sambil menerima surat tersebut. "Aku ucapkan terima kasih. Aku harap, kau tidak menggangguku lagi, karena minggu depan aku akan menikah dengan Albert."
Setelah mengatakan itu, Cacha beranjak pergi dari rumah Damien dengan senyum kemenangannya. Cacha sama sekali tidak memikirkan bagaimana kacaunya Damien setelah ini. Menurutnya itu tidaklah penting.
Damien terlihat murung dengan isak tangisnya yang begitu kentara. "Sudah berakhir," gumamnya.
Damien pun berjalan memasuki kamar lalu menguncinya. Saat ini, ia tidak ingin diganggu oleh siapapun. Bahkan dia enggan untuk menghubungi orang tuanya. Entah apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini. Mungkin dia akan kehilangan semangat untuk melanjutkan hidup.
Sementara itu, Cacha dengan segala kegembiraannya pun langsung menemui kedua orang tuanya. Ia ingin menunjukkan surat cerai itu kepada mereka agar mereka merestui hubungannya dengan Albert. Namun, ekspektasi Cacha tidak sesuai dengan kenyataannya.
"Apa yang sudah kau lakukan, hah?!" teriak Darrel Egmont, ayahnya Cacha. "Kau membuang Damien hanya untuk menikah dengan pria pecundang itu?! Dasar anak tidak tahu diri!"
Plak!
Darrel menampar pipi kiri Cacha hingga membuat wanita itu meringis kesakitan. Darrel benar-benar tidak mengerti dengan pemikiran Cacha. Jelas sekali di ingatannya, bagaimana Albert meninggalkan putrinya begitu saja tanpa kabar dan setelah dicari tahu, ternyata Albert sudah menikah dengan wanita lain. Bagaimana bisa Cacha menerima pria itu kembali dan melepaskan pria yang terbaik?
"Ayah, aku tidak mencintainya!"
"Jika kau tidak mencintainya, kenapa kau menerima lamarannya, hah?! Kau sudah menyakitinya!" bentak Darrel kesal.
"Aku terpaksa menerimanya! Aku hanya ingin membuat Albert cemburu!" balas Cacha.
Saat hendak menampar Cacha lagi, tiba-tiba tangan Darrel dicegah oleh istrinya, Fanette Estrella. Darrel menatap Fanette dengan kesal. "Kenapa kau menghalangiku?"
"Karena tidak ada gunanya, Suamiku. Percuma saja kau menamparnya berulangkali. Dia itu sangat keras kepala dan tidak tahu malu. Untuk apa kau membuang tenaga untuk menasehati anak seperti dia?" ujar Fanette dengan sarkas.
Cacha pun terkejut mendengar ucapan ibunya. Ia berharap, ibunya itu mendukungnya. Tapi nyatanya tidak sama sekali. Justru ibunya ikut mendukung ayahnya. Dia harus bagaimana sekarang.
Fanette menatap Cacha. "Lebih baik kau pergi dari sini. Aku tidak sudi menampung anak yang tak tahu diri sepertimu di sini. Pergi saja sana dengan pria pecundang itu."
"Ibu...."
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu," sela Fanette. "Mulai detik ini dan seterusnya, kau bukanlah anakku. Jadi, silahkan pergi dari sini sekarang."
"Ada apa dengan kalian, hah?! Kenapa kalian lebih membela Damien daripada aku?!" Cacha menunjukkan kekesalannya.
Darrel melotot tajam. "Apa kau lupa, bagaimana pengorbanan Damien pada keluarga kita? Bagaimana dia membebaskanku dari semua tuntutan hutang-piutang? Apa kau tidak ingat, hah?!"
"Tentu saja dia tidak mengingatnya, Suamiku. Karena yang ada dalam pikirannya hanya Albert seorang. Dia tidak berpikir bagaimana kondisi orang tuanya saat itu tanpa bantuan Damien," sahut Fanette sambil menatap sinis kearah Cacha.
Cacha mengepalkan kedua tangannya. Dia kesal saat orang tuanya begitu menyanjung kebaikan Damien. Padahal Albert juga bisa melakukan hal itu. Bahkan bisa lebih baik dari Damien.
"Oh lihat, Suamiku. Dia kesal karena kita memuji kebaikan Damien," ujar Fanette sambil menunjuk kepalan tangan Cacha yang ada di samping tubuhnya.
Darrel berdecih. "Kenapa kau kesal, hah? Apa yang aku katakan tentang Damien memang benar. Dia sudah menyelamatkan keluarga ini dengan sangat baik."
"Albert juga bisa melakukan itu!" teriak Cacha.
Fanette pura-pura terkejut lalu mendekati Cacha secara tiba-tiba. "Apa? Coba katakan sekali lagi," ujarnya.
"Aku bilang, Albert juga bisa melakukan hal yang sama! Bahkan bisa lebih baik dari Damien!" Cacha sudah sangat geram saat ini.
Pernyataan Cacha justru mengundang tawa dari Darrel dan Fanette. Mereka bahkan tertawa sangat keras sehingga membuat Cacha semakin kesal pada mereka. Padahal yang dikatakan Cacha benar. Albert bisa melakukan segalanya lebih daripada Damien.
"Aku berkata benar!"
Fanette mencoba berhenti untuk tertawa. "Lihatlah dia, Suamiku. Dia begitu memuja Albert sampai lupa apa yang sudah dilakukan Albert pada keluarga kita."
"Ya, dia tidak ingat bagaimana Albert menyusahkan keluarga kita saat itu, Istriku. Karena kelakuannya, kita hampir saja masuk penjara," ujar Darrel.
"Itu hanya salahpaham! Kalian tidak tahu cerita yang sebenarnya!" bantah Cacha.
"Terserah apa katamu. Lebih baik kau pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali. Silahkan pergi bersama kekasihmu itu," ucap Fanette.
"Apa yang kalian lakukan? Aku ini anak kalian," kata Cacha.
"Kau bukan anak kami lagi. Jika kau ingin menikah dengan Albert, silahkan. Kami tidak akan melarang karena kita sudah tidak ada ikatan apapun," ujar Darrel tegas.
"Dan ingat satu hal, jangan berharap kami akan datang ke pernikahanmu," sambung Fanette.
"Kalian keterlaluan!"
Cacha berlari keluar dari rumah orang tuanya dengan rasa kesal dan sedih. Sebanding dengan perasaan Damien saat ini. Karma itu datang begitu cepat untuk Cacha. Ia mengira, dengan menceraikan Damien, semuanya akan baik-baik saja dan berjalan sempurna. Tapi pada kenyataannya, justru ia juga dicampakkan oleh orang tuanya.
Tuhan memang selalu adil untuk setiap umatnya.
TBC~
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh