Share

Bab 5

Author: Wii
last update Last Updated: 2021-05-06 09:19:15

Cacha tampak gelisah memikirkan ucapan suaminya yang sama sekali tidak menyerah untuk mempertahankannya. Ia harus apa sekarang? Keinginan untuk menguasai perusahaan Damien bukanlah hal yang utama baginya. Albert adalah alasan dia tetap bersikeras untuk berpisah dengan Damien. Hanya saja yang terlihat begitu ambisi untuk menguasai perusahaan Damien adalah Albert.

Bagaimana tidak? Perusahaan Damien adalah perusahaan terbesar di Perancis dan sudah memiliki banyak cabang di beberapa negara besar. Perusahaan yang dibangun oleh hasil kerja keras Damien itu merupakan perusahaan yang sangat maju, dibanding perusahaan lain. Tak heran jika banyak investor asing yang berani menanam saham di perusahaan Damien. Selain perusahaan, para investor juga menilai dari segi kinerja Damien. Menurut mereka, Damien sangat cekatan dan tidak pernah membuang waktu untuk hal yang tak penting. Itu sebabnya Albert begitu berambisi ingin memilikinya, dengan cara merebut Cacha dan memintanya untuk mengambil berkas kepemilikan perusahaan itu.

Cacha duduk di sofa hotel sambil menunggu Albert. Ia harus mengambil kembali berkas itu agar dirinya segera terbebas dari Damien. Cacha sudah muak dengan suaminya itu. Memang sejak awal ia tidak pernah mencintai Damien. Baginya, pria itu hanyalah pelampiasan amarahnya kepada Albert.

"Albert," panggil Cacha saat melihat kekasih gelapnya itu memasuki kamar hotel.

Albert menatap Cacha. "Kau sudah datang?"

"Iya. Aku datang untuk mengambil berkas milik Damien. Aku rasa, berkas itu hanya akan menghambat pernikahan kita," ujar Cacha to the point.

"Apa?!" Albert terkejut, kemudian menatap tajam kearah Cacha, "Kau gila ya?! Aku sudah lama menginginkan berkas itu, dan sekarang kau ingin mengambilnya kembali, hah?!"

"Aku tidak ingin melakukan itu, tapi Damien yang memaksaku. Jika tidak, aku akan dilaporkan ke polisi karena dia punya buktinya," kata Cacha gusar.

Albert mengernyit. "Jadi dia sudah tahu?"

"Iya. Batas waktunya hari ini. Dia benar-benar membuatku dalam masalah," ujar Cacha kesal. "Ada saja taktiknya untuk tidak menceraikanku."

Albert menghela napas berat. Ia sedikit memijat pelipisnya sambil melonggarkan dasinya. Albert berjalan mendekati sofa dan duduk bersandar di sana.

"Ini semua salah kau," ujar Albert.

Cacha menatap Albert sambil mengernyit heran. "Apa maksudmu?"

"Kau harusnya tidak gegabah saat Damien melamarmu. Sudah kukatakan padamu untuk menungguku sebentar saja, sampai aku bisa merebut harta mantan istriku itu. Hanya menunggu enam bulan saja kau sudah tidak sanggup," ucap Albert sarkas.

"Kau pikir enam bulan itu waktu yang singkat, hah?" Cacha mulai kesal pada Albert, karena terus menyudutkannya setiap kali mereka membahas Damien. "Kau tahu, selama enam bulan aku harus berpura-pura baik pada pria sialan itu. Dan kau mengatakan aku gegabah? Cih! Harusnya aku yang menyebutmu seperti itu," lanjutnya.

Albert menggeram kesal. "Apa yang ingin kau katakan, hah? Kenapa kau sebut aku gegabah?"

"Karena kau hanya mementingkan harta daripada aku! Harta dari mantan istrimu itu yang membuatmu meninggalkanku! Apa kau tidak sadar itu, hah?! Memalukan! Dimana harga dirimu?!" teriak Cacha yang sudah tersulut emosi.

Albert berdiri lalu menekan kedua pipi Cacha dengan tangannya. Tatapan tajamnya benar-benar menusuk ke retina Cacha. Pria berusia 28 tahun itu tampak kesal atas ucapan dan teriakan Cacha. Itu adalah hal yang paling tidak ia sukai.

"Lepaskan! Sakit!" keluh Cacha sambil menangis.

"Kau pikir, kau siapa, hah?! Berani sekali kau mengatakan hal buruk tentangku dan berteriak di depanku!" bentak Albert.

"Aku mengatakan hal yang benar! Memang seperti itulah sifat burukmu!" balas Cacha diiringi ringisan karena menahan sakit di pipinya.

Albert menjauhkan tangannya dari pipi Cacha, dan tanpa diduga ia mendorong tubuh Cacha hingga tersungkur di lantai kamar. Emosinya benar-benar tidak bisa dikontrol lagi olehnya.

Cacha semakin meringis saat merasakan pinggulnya terbentur lantai. Ia menangis sesenggukan karena tidak menyangka jika Albert bisa sekasar itu padanya. Damien saja tidak pernah memperlakukannya seperti itu selama setahun ini.

"Dengar, Ca. Kau itu sudah menyulut amarahku. Jadi, jangan harap kau bisa mengambil berkas itu dariku," ujar Albert sambil menunjuk Cacha.

"Tapi, bagaimana dengan hubungan kita? Damien tidak akan menceraikanku jika berkas itu belum kukembalikan," ucap Cacha.

Albert mendecih. "Aku tidak peduli. Itu urusanmu dengan Damien. Yang penting urusanku dengan mantan istriku sudah selesai dan aku mendapatkan apa yang aku mau."

"Kenapa kau egois?! Aku juga sudah menuruti kemauanmu!" teriak Cacha.

"Ah, sudahlah. Lebih baik kau pulang ke rumah suamimu itu dan memohon padanya untuk diceraikan. Tugasku hanya menunggu saja," ujar Albert sambil memasuki kamar mandi.

Cacha berdiri dari lantai sambil memegangi pinggulnya yang sakit. Dia berjalan perlahan menuju sofa dan merebahkan dirinya di sana. Cacha tidak tahu lagi harus berbuat apa. Albert itu memang sangat keras kepala.

***

Damien tampak merenung di salah satu sudut kamar yang menghadap ke jendela. Ia menatap kearah luar dengan begitu banyak pemikiran yang melintas di kepalanya. Apa yang akan dilakukannya sekarang? Apakah dirinya harus merelakan Cacha dan perusahaannya? Karena sampai siang ini, Cacha juga belum kembali dan menyerahkan berkas itu.

Damien menghela napas lelah. Nasibnya sungguh menyedihkan. Pernikahan sedang di ujung tanduk. Dan sekarang, perusahaannya juga berada dalam ancaman besar. Sementara dirinya, hanya duduk diam sambil menunggu ketidakpastian.

"Aargghh!" Damien menggeram kesal sambil mengacak rambutnya. "Kenapa harus seperti ini? Apa salahku sampai dia tega berbuat seperti ini padaku?" gumamnya.

Saat dirinya tengah dilanda kegelisahan, tiba-tiba saja ponselnya berdering dan membuatnya terkejut. Damien mengambil ponselnya dan segera menerima panggilan dari ayahnya.

"Halo, Ayah," sapa Damien.

"Halo, Nak. Bagaimana? Apa kau sudah memeriksa berkasmu?" tanya Bailey.

Damien mengulum bibirnya karena bingung harus mengatakan apa. Jika ayahnya tahu soal berkas itu, sudah pasti ayahnya akan bertindak dan melaporkan Cacha ke polisi tanpa bisa dicegah.

"Damien? Kau masih mendengar ayah, kan?"

"Ah, iya, Ayah. Semuanya aman. Ayah jangan khawatir," jawab Damien bohong.

"Kau yakin?"

Damien menelan salivanya sesaat sebelum ia menjawab pertanyaan ayahnya. "Yakin, Ayah."

"Tapi jawabanmu seperti tidak meyakinkan. Jangan bohong, Damien," ujar Bailey.

"Shit!" batin Damien.

Pria itu benar-benar tidak bisa bersandiwara. Ia terlalu jujur dalam segala. Jika Damien berbohong, rasanya sangat berat untuknya.

"Jika terjadi sesuatu, katakan dengan jujur. Kau itu anakku. Aku tahu, kau tidak bisa berbohong," kata Bailey.

"Ayah, aku tidak berbohong," ujar Damien berusaha tenang untuk menutupi kebohongannya. "Aku berkata jujur. Semua baik-baik saja. Ayah tidak perlu risau."

"Ya, baiklah. Ayah percaya padamu. Kalau begitu, ayah tutup teleponnya ya. Ayah harus menghadiri rapat dewan."

"Baik, Ayah. Semoga berhasil."

Damien langsung mematikan sambungan teleponnya dan sedikit bernapas lega. Untuk sesaat ia harus berpura-pura demi menjaga perasaan ayahnya. Ia tidak ingin orang tuanya terlibat terlalu dalam dengan masalah rumah tangganya.

Damien berjalan keluar kamar untuk mengambil segelas air. Tenggorokannya terasa kering. Namun disaat yang bersamaan, Damien dikejutkan oleh Cacha yang bersimpuh di kakinya sambil menangis.

"Ca, ada ap...."

"Tolong ceraikan aku," sela Cacha diiringi isak tangisnya. "Aku ingin bahagia bersama Albert. Aku tidak bahagia bersamamu."

Damien berusaha mengajak Cacha untuk berdiri, namun wanita itu sangat keras kepala.

"Ca, berhenti melakukan ini. Cepat berdiri," ujar Damien.

Cacha menggeleng cepat. "Tidak. Aku tidak akan berdiri sampai kau menandatangani surat cerai itu."

Damien terpaku. Bulir airmata pun menetes begitu saja dari sudut matanya. "Apa itu bisa membuatmu bahagia? Tidak bisakah kau memberi kesempatan padaku untuk membuatmu mencintaiku?" tanyanya lirih.

"Tidak. Kebahagiaanku adalah bersama Albert. Aku sudah mengatakannya tadi. Jadi tolong, jangan cari alasan apapun untuk menahanku di sini," jawab Cacha.

Damien hanya diam. Mungkin inilah akhir dari pernikahannya dengan Cacha. Andai saja waktu bisa diulang. Andai saja Albert tidak datang kembali. Andai saja Cacha mencintainya. Ya, Damien hanya bisa berandai-andai saat ini. Semua harapannya sudah pupus.

"Berkas itu akan kukembalikan padamu setelah kau menandatangani surat cerai itu. Aku sedang berusaha membujuk Albert untuk mengembalikannya," kata Cacha lagi.

Damien pun masih tetap diam. Lidahnya terasa keluh untuk berbicara pada Cacha.

"Setelah semua selesai, aku harap kau tidak menggangguku. Aku akan menjauh darimu untuk selamanya. Jadi, berhenti berharap untuk kembali padaku. Karena itu tidak akan pernah terjadi," lanjut Cacha.

Karena tidak mendapatkan respon apapun, Cacha langsung mengambil surat cerainya dan memaksa tangan kanan Damien untuk menandatanganinya. Sementara Damien masih diam seribu bahasa.

Setelah mendapatkan apa yang ia mau, Cacha pun bergegas pergi dari rumah Damien. Membiarkan Damien mematung begitu saja tanpa adanya rasa iba.

"Sudah berakhir," batin Damien lirih.

TBC~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • An Empty Heart (INDONESIA)   Bab 117

    Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m

  • An Empty Heart (INDONESIA)   Bab 116

    Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,

  • An Empty Heart (INDONESIA)   Bab 115

    "....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada

  • An Empty Heart (INDONESIA)   Bab 114

    "Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me

  • An Empty Heart (INDONESIA)   Bab 113

    Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang

  • An Empty Heart (INDONESIA)   Bab 112

    "Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status