Share

Bab 7

Tatapan kosong seorang remaja 18 tahun pun terlihat jelas sekali. Saat ini ia tengah duduk di sofa yang berada di dalam ruangan seorang dokter psikologis. Remaja itu mengalami depresi berat akibat ditinggal pergi orang tuanya karena sebuah kecelakaan. Trauma mendalam dirasakan remaja tersebut hingga membuat kondisinya memburuk seperti ini.

Seorang dokter tampak menghampiri remaja itu dengan senyum manisnya. Dia duduk di samping sang remaja sambil memegang sebuah buku catatan dan pena.

"Jangan takut," ucapnya saat melihat remaja itu ketakutan. "Aku orang baik. Kita bisa menjadi teman."

Remaja itu menjauhi sang dokter sambil berteriak histeris. Dia berpindah ke sofa lain lalu mengangkat kedua kakinya di atas sofa dan meringkuk ketakutan di sana.

"Pergi! Jangan dekati aku! Pergi!" teriak remaja itu.

Beberapa perawat tampak berusaha untuk menangani remaja itu, namun sang dokter melarang mereka. "Biar aku saja yang mengurusnya. Kalian bisa keluar sekarang," ucapnya tenang.

Para perawat itu mengangguk sambil berlalu dari ruangan. Dokter muda nan cantik itu kembali mendekati pasiennya. Ia tersenyum manis lalu menyodorkan sebuah permen untuk si remaja.

"Kau mau permen?" tanyanya dengan suara lembut. "Aku memberikan ini untukmu. Terimalah."

Remaja itu menatap permen yang ada di tangan sang dokter lalu mengambilnya dengan cepat. Ia membukanya dan memakannya sambil tertawa senang.

"Kalau boleh aku tahu, siapa namamu?" tanya dokter tersebut.

Remaja itu menggeleng tanpa melihat lawan bicaranya. "Baiklah. Aku akan memanggilmu Rey. Bagaimana?"

Sang pasien mengangguk cepat dan bertepuk tangan layaknya seorang anak kecil berusia 5 tahun.

"Rey, apa kau tidak ingin berbagi sesuatu denganku? Jika ada beban di hatimu, katakan padaku. Aku siap mendengarkannya," ujar sang dokter.

Remaja yang disapa Rey itupun terdiam. Airmatanya tiba-tiba saja menggenang di kedua sudut matanya. Dia membuang permen itu ke sembarang tempat lalu menangis.

"Hei, tidak apa-apa. Kau tidak perlu mengatakannya sekarang. Aku akan menunggumu sampai kau benar-benar siap untuk bercerita."

Dokter tersebut kemudian menghampiri seseorang yang merupakan penjaga Rey selama 2 tahun ini. Dia tak lain adalah bibi Rey.

"Kau bisa membawanya pulang dan kembali lagi besok. Untuk saat ini, kondisinya masih belum stabil. Trauma yang dialaminya cukup berat dan butuh waktu lama untuk menyembuhkannya."

Bibi Rey mengangguk lalu membawa Rey pulang. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih pada dokter tersebut karena telah bersedia menerima Rey sebagai pasiennya, meskipun tanpa bayaran.

Dyandta Geoffroi. Gadis cantik berusia 26 tahun itulah yang menjadi dokter psikologis Rey. Dyandta juga sebenarnya bukan terlahir dari keluarga yang berada. Dulu, hidupnya serba kekurangan. Ayahnya, Frederic Geoffroi hanyalah seorang buruh pabrik yang penghasilannya tidak seberapa. Sementara ibunya, Hilaire Ghaitsah hanya seorang ibu rumah tangga.

Untuk mencapai cita-citanya sebagai dokter psikologis, Dyandta harus bekerja keras. Belajar sambil bekerja. Itulah yang dilakukan Dyandta demi meringankan beban ekonomi orang tuanya. Itu sebabnya, kenapa dia selalu membantu orang-orang kesusahan, terutama pasien yang kurang mampu.

Dari hasil kerja kerasnya itu, sekarang Dyandta sudah punya tempat praktek sendiri. Pagi hingga sore, ia akan bekerja di rumah sakit umum terbesar di Perancis. Sedangkan sore hingga malam hari, ia akan bekerja di tempat prakteknya.

Sudah banyak pasien yang ia sembuhkan dan banyak pula dari mereka yang mengucapkan terima kasih sampai memberi bingkisan. Kedua orang tuanya bangga dengan kebaikan dan prestasinya.

"Dok, pasien anda sudah habis. Anda bisa istirahat sekarang," ujar salah satu perawat.

Dyandta mengangguk. "Baiklah. Terima kasih."

Perawat tersebut keluar sementara Dyandta membereskan beberapa berkas yang ada di meja kerjanya. Setelahnya, ia mengeluarkan kotak makan siang yang selalu dibawakan oleh Hilaire. Ia pun menikmati hidangan lezat yang dibuat ibunya sambil sesekali melihat ponselnya.

***

Setelah selesai makan siang, Dyandta memutuskan untuk keluar sejenak menghirup udara segar. Beberapa dokter dan perawat di sana tersenyum dan menyapanya dengan sangat baik. Mereka semua sepertinya memang menyukai dokter cantik itu.

Saat menikmati jam istirahatnya, Dyandta dikejutkan oleh kehadiran seorang pria yang menghampirinya.

"Nak, tolong bantu saya," ucap si pria.

Dyandta sendiri mencoba untuk menenangkan pria tersebut. "Iya, Tuan. Kita duduk dan bicara dulu ya. Anda tenang dulu," ucapnya.

Pria tersebut duduk di salah satu kursi tunggu yang ada di lobi dan Dyandta duduk di sebelahnya.

"Sekarang, anda bisa cerita pada saya. Ada masalah apa?" tanya Dyandta.

"Anak saya mengalami depresi. Saya diberitahu pada salah satu perawat di sini. Mereka menunjuk anda sebagai dokter psikologis di rumah sakit ini dan sudah banyak pasien yang anda sembuhkan," jawab si pria.

"Ah, begitu. Baiklah, saya akan membantu anda. Tapi sebelum itu, kita ke ruangan saya saja ya."

Pria itu mengangguk dan mengikuti langkah Dyandta untuk masuk ke ruangannya.

"Coba jelaskan, apa yang terjadi pada anak anda sampai dia bisa mengalami depresi?" tanya Dyandta saat mereka sudah berada di dalam ruang kerjanya.

"Anak saya baru saja ditinggal oleh istrinya. Dia tidak terima dengan hal itu hingga mengalami gangguan depresi yang cukup berat. Saya tidak tega melihatnya terus berteriak, menangis, dan tertawa sendirian di kamar hingga larut malam."

Dyandta mengangguk paham. Ia mengerti posisi anak dari pria tersebut. Ditinggalkan orang yang paling disayang itu memang menyakitkan. Butuh waktu lama untuk menyembuhkan rasa sakitnya. Karena ia juga pernah mengalami hal serupa. Bedanya, Dyandta masih mampu mengendalikan dirinya dengan mengerjakan hal-hal positif untuk melupakan luka itu.

"Sebelumnya, perkenalkan nama saya Bailey Curtis. Putra saya bernama Damien Curtis. Usianya 30 tahun," ujar pria yang ternyata adalah ayah dari Damien.

Dyandta mencatat nama pasiennya di dalam buku catatan. "Perkenalkan, saya Dyandta Geoffroi. Usia saya 26 tahun," ujarnya. "Ehm, apakah hanya itu penyebab Damien depresi, Tuan Bailey?"

"Iya, Dok. Hanya itu penyebabnya, karena Damien sangat mencintai mantan istrinya itu," jawab Bailey.

"Baiklah. Mulai besok, anda bisa membawa Damien ke sini. Ini kartu nama saya dan alamat praktek saya. Sebagai jaga-jaga, barangkali saya tidak berada di rumah sakit saat anda datang," ujar Dyandta sambil memberikan kartu namanya pada Bailey.

Bailey pun menerimanya. "Terima kasih, Dok. Saya akan datang besok bersama Damien dan istri saya. Saya permisi."

Dyandta hanya mengangguk sambil mengantarkan Bailey sampai ke depan pintu ruangannya.

***

Dyandta terlihat sudah mengemasi barang-barangnya karena waktu sudah menunjukkan pukul lima sore waktu setempat. Dia harus kembali ke rumah untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan tugasnya sebagai dokter di tempat prakteknya.

Saat hendak keluar dari ruangan, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh teman sesama dokter bernama George. Pria berusia 28 tahun itu tersenyum penuh arti ke arah Dyandta.

"Ada apa? Apa kau ingin mengatakan sesuatu yang tidak penting lagi?" tanya Dyandta sedikit cuek.

"Tidak. Aku hanya ingin mengajakmu pulang," jawab George santai.

Dyandta mengerutkan keningnya. "Apa kau sedang tidak waras hari ini?"

"Memangnya kenapa? Ada yang salah?" George malah balik bertanya.

"Tentu saja ada yang salah. Karena tidak biasanya kau mau mengantarku pulang," ujar Dyandta sambil tertawa kecil.

George mendengus kesal. "Aku sudah baik menawarkan tumpangan, tapi responmu sungguh keterlaluan."

Dyandta hanya tertawa ringan sambil berjalan mendahului George. Pria itupun mengikuti langkah Dyandta sambil terus menawarkan tumpangan. Gadis itupun tidak bisa menolak jika sudah begitu. Ya, setidaknya Dyandta tidak perlu menunggu jemputan taksi onlinenya hari ini.

TBC~

Wii

Halo semua. Silahkan dibaca karya kedua ku ini ya. Jangan lupa tinggalkan komentar kalian di sini. Terima kasih 😊

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status