Tatapan kosong seorang remaja 18 tahun pun terlihat jelas sekali. Saat ini ia tengah duduk di sofa yang berada di dalam ruangan seorang dokter psikologis. Remaja itu mengalami depresi berat akibat ditinggal pergi orang tuanya karena sebuah kecelakaan. Trauma mendalam dirasakan remaja tersebut hingga membuat kondisinya memburuk seperti ini.
Seorang dokter tampak menghampiri remaja itu dengan senyum manisnya. Dia duduk di samping sang remaja sambil memegang sebuah buku catatan dan pena.
"Jangan takut," ucapnya saat melihat remaja itu ketakutan. "Aku orang baik. Kita bisa menjadi teman."
Remaja itu menjauhi sang dokter sambil berteriak histeris. Dia berpindah ke sofa lain lalu mengangkat kedua kakinya di atas sofa dan meringkuk ketakutan di sana.
"Pergi! Jangan dekati aku! Pergi!" teriak remaja itu.
Beberapa perawat tampak berusaha untuk menangani remaja itu, namun sang dokter melarang mereka. "Biar aku saja yang mengurusnya. Kalian bisa keluar sekarang," ucapnya tenang.
Para perawat itu mengangguk sambil berlalu dari ruangan. Dokter muda nan cantik itu kembali mendekati pasiennya. Ia tersenyum manis lalu menyodorkan sebuah permen untuk si remaja.
"Kau mau permen?" tanyanya dengan suara lembut. "Aku memberikan ini untukmu. Terimalah."
Remaja itu menatap permen yang ada di tangan sang dokter lalu mengambilnya dengan cepat. Ia membukanya dan memakannya sambil tertawa senang.
"Kalau boleh aku tahu, siapa namamu?" tanya dokter tersebut.
Remaja itu menggeleng tanpa melihat lawan bicaranya. "Baiklah. Aku akan memanggilmu Rey. Bagaimana?"
Sang pasien mengangguk cepat dan bertepuk tangan layaknya seorang anak kecil berusia 5 tahun.
"Rey, apa kau tidak ingin berbagi sesuatu denganku? Jika ada beban di hatimu, katakan padaku. Aku siap mendengarkannya," ujar sang dokter.
Remaja yang disapa Rey itupun terdiam. Airmatanya tiba-tiba saja menggenang di kedua sudut matanya. Dia membuang permen itu ke sembarang tempat lalu menangis.
"Hei, tidak apa-apa. Kau tidak perlu mengatakannya sekarang. Aku akan menunggumu sampai kau benar-benar siap untuk bercerita."
Dokter tersebut kemudian menghampiri seseorang yang merupakan penjaga Rey selama 2 tahun ini. Dia tak lain adalah bibi Rey.
"Kau bisa membawanya pulang dan kembali lagi besok. Untuk saat ini, kondisinya masih belum stabil. Trauma yang dialaminya cukup berat dan butuh waktu lama untuk menyembuhkannya."
Bibi Rey mengangguk lalu membawa Rey pulang. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih pada dokter tersebut karena telah bersedia menerima Rey sebagai pasiennya, meskipun tanpa bayaran.
Dyandta Geoffroi. Gadis cantik berusia 26 tahun itulah yang menjadi dokter psikologis Rey. Dyandta juga sebenarnya bukan terlahir dari keluarga yang berada. Dulu, hidupnya serba kekurangan. Ayahnya, Frederic Geoffroi hanyalah seorang buruh pabrik yang penghasilannya tidak seberapa. Sementara ibunya, Hilaire Ghaitsah hanya seorang ibu rumah tangga.
Untuk mencapai cita-citanya sebagai dokter psikologis, Dyandta harus bekerja keras. Belajar sambil bekerja. Itulah yang dilakukan Dyandta demi meringankan beban ekonomi orang tuanya. Itu sebabnya, kenapa dia selalu membantu orang-orang kesusahan, terutama pasien yang kurang mampu.
Dari hasil kerja kerasnya itu, sekarang Dyandta sudah punya tempat praktek sendiri. Pagi hingga sore, ia akan bekerja di rumah sakit umum terbesar di Perancis. Sedangkan sore hingga malam hari, ia akan bekerja di tempat prakteknya.
Sudah banyak pasien yang ia sembuhkan dan banyak pula dari mereka yang mengucapkan terima kasih sampai memberi bingkisan. Kedua orang tuanya bangga dengan kebaikan dan prestasinya.
"Dok, pasien anda sudah habis. Anda bisa istirahat sekarang," ujar salah satu perawat.
Dyandta mengangguk. "Baiklah. Terima kasih."
Perawat tersebut keluar sementara Dyandta membereskan beberapa berkas yang ada di meja kerjanya. Setelahnya, ia mengeluarkan kotak makan siang yang selalu dibawakan oleh Hilaire. Ia pun menikmati hidangan lezat yang dibuat ibunya sambil sesekali melihat ponselnya.
***
Setelah selesai makan siang, Dyandta memutuskan untuk keluar sejenak menghirup udara segar. Beberapa dokter dan perawat di sana tersenyum dan menyapanya dengan sangat baik. Mereka semua sepertinya memang menyukai dokter cantik itu.
Saat menikmati jam istirahatnya, Dyandta dikejutkan oleh kehadiran seorang pria yang menghampirinya.
"Nak, tolong bantu saya," ucap si pria.
Dyandta sendiri mencoba untuk menenangkan pria tersebut. "Iya, Tuan. Kita duduk dan bicara dulu ya. Anda tenang dulu," ucapnya.
Pria tersebut duduk di salah satu kursi tunggu yang ada di lobi dan Dyandta duduk di sebelahnya.
"Sekarang, anda bisa cerita pada saya. Ada masalah apa?" tanya Dyandta.
"Anak saya mengalami depresi. Saya diberitahu pada salah satu perawat di sini. Mereka menunjuk anda sebagai dokter psikologis di rumah sakit ini dan sudah banyak pasien yang anda sembuhkan," jawab si pria.
"Ah, begitu. Baiklah, saya akan membantu anda. Tapi sebelum itu, kita ke ruangan saya saja ya."
Pria itu mengangguk dan mengikuti langkah Dyandta untuk masuk ke ruangannya.
"Coba jelaskan, apa yang terjadi pada anak anda sampai dia bisa mengalami depresi?" tanya Dyandta saat mereka sudah berada di dalam ruang kerjanya.
"Anak saya baru saja ditinggal oleh istrinya. Dia tidak terima dengan hal itu hingga mengalami gangguan depresi yang cukup berat. Saya tidak tega melihatnya terus berteriak, menangis, dan tertawa sendirian di kamar hingga larut malam."
Dyandta mengangguk paham. Ia mengerti posisi anak dari pria tersebut. Ditinggalkan orang yang paling disayang itu memang menyakitkan. Butuh waktu lama untuk menyembuhkan rasa sakitnya. Karena ia juga pernah mengalami hal serupa. Bedanya, Dyandta masih mampu mengendalikan dirinya dengan mengerjakan hal-hal positif untuk melupakan luka itu.
"Sebelumnya, perkenalkan nama saya Bailey Curtis. Putra saya bernama Damien Curtis. Usianya 30 tahun," ujar pria yang ternyata adalah ayah dari Damien.
Dyandta mencatat nama pasiennya di dalam buku catatan. "Perkenalkan, saya Dyandta Geoffroi. Usia saya 26 tahun," ujarnya. "Ehm, apakah hanya itu penyebab Damien depresi, Tuan Bailey?"
"Iya, Dok. Hanya itu penyebabnya, karena Damien sangat mencintai mantan istrinya itu," jawab Bailey.
"Baiklah. Mulai besok, anda bisa membawa Damien ke sini. Ini kartu nama saya dan alamat praktek saya. Sebagai jaga-jaga, barangkali saya tidak berada di rumah sakit saat anda datang," ujar Dyandta sambil memberikan kartu namanya pada Bailey.
Bailey pun menerimanya. "Terima kasih, Dok. Saya akan datang besok bersama Damien dan istri saya. Saya permisi."
Dyandta hanya mengangguk sambil mengantarkan Bailey sampai ke depan pintu ruangannya.
***
Dyandta terlihat sudah mengemasi barang-barangnya karena waktu sudah menunjukkan pukul lima sore waktu setempat. Dia harus kembali ke rumah untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan tugasnya sebagai dokter di tempat prakteknya.
Saat hendak keluar dari ruangan, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh teman sesama dokter bernama George. Pria berusia 28 tahun itu tersenyum penuh arti ke arah Dyandta.
"Ada apa? Apa kau ingin mengatakan sesuatu yang tidak penting lagi?" tanya Dyandta sedikit cuek.
"Tidak. Aku hanya ingin mengajakmu pulang," jawab George santai.
Dyandta mengerutkan keningnya. "Apa kau sedang tidak waras hari ini?"
"Memangnya kenapa? Ada yang salah?" George malah balik bertanya.
"Tentu saja ada yang salah. Karena tidak biasanya kau mau mengantarku pulang," ujar Dyandta sambil tertawa kecil.
George mendengus kesal. "Aku sudah baik menawarkan tumpangan, tapi responmu sungguh keterlaluan."
Dyandta hanya tertawa ringan sambil berjalan mendahului George. Pria itupun mengikuti langkah Dyandta sambil terus menawarkan tumpangan. Gadis itupun tidak bisa menolak jika sudah begitu. Ya, setidaknya Dyandta tidak perlu menunggu jemputan taksi onlinenya hari ini.
TBC~
Halo semua. Silahkan dibaca karya kedua ku ini ya. Jangan lupa tinggalkan komentar kalian di sini. Terima kasih 😊
Prang! Sebuah gelas kaca jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Membuat penghuni rumah langsung berlari menuju sumber suara. Airin tampak terkejut melihat Damien melemparkan semua barang yang ada di hadapannya sambil berteriak histeris. Ibu Damien itu berusaha mendekati putranya, namun tidak bisa. Kondisi kejiwaan Damien benar-benar sangat buruk. Bahkan pria itu tak mengenali ayah dan ibunya sendiri. Setelah perceraian itu, Damien memang belum ikhlas menerima semuanya. Kepergian Cacha dari hidupnya, membuatnya kehilangan akal sehat. Perusahaan yang ia bangun juga terbengkalai, sehingga memaksa Bailey untuk mengurusnya. Damien benar-benar sudah dibutakan oleh cinta. Sampai ia tidak ingat akan hal lain selain Cacha. Hampir setiap hari, Damien terus menyebutkan nama Cacha dan setelah itu berteriak histeris. Menghancurkan semua barang hingga kamarnya berantakan layaknya kapal pecah. Airin dan Bailey begitu kewalahan menghadapi kegilaan Damien.
Dyandta berjalan menyusuri lorong rumah sakit dan mendadak berhenti saat mendengar percakapan seseorang di ujung lorong. Wajah mereka tidak terlihat jelas, namun Dyandta menangkap sebuah nama didalam percakapan orang tersebut. Damien. Ya, salah satu dari mereka menyebut nama Damien. Rasa penasaran pun menyelimuti benak Dyandta hingga membuatnya sedikit berjalan mendekat agar lebih jelas mendengar percakapan dua orang tersebut. Ia bersembunyi dibalik tembok sekat di dekat lorong. "Kau ingin tahu kabar terakhir yang kudapat tentang Damien?" "Apa?" "Kudengar, dia mengalami depresi berat setelah kau tinggalkan." Dyandta mengernyit. Suara pria itu seakan tak asing di telinganya. Tapi, siapa dia? Sial! Lorong ini tidak terlalu terang saat malam, karena sebagian lampu sudah dimatikan. Jadi, Dyandta tidak bisa melihat dengan jelas, siapa pria yang berbicara tadi. "Apa mungkin wanita itu mantan istri Damien?" gumam Dyandta. "Kau tahu darimana?"
Setelah melakukan beberapa pengecekan dan terapi pada Damien, Dyandta tampak mencatat hal penting di buku catatannya. Masih sedikit kemajuan yang terlihat. Damien akan terlihat senang saat orang-orang di sekitarnya tidak menyebut nama Cacha. Seolah ia terlihat baik-baik saja, meskipun tingkahnya abnormal. Tapi jika sedikit saja Dyandta menyinggung soal Cacha, perubahan pun terlihat jelas dari sikap Damien. Damien akan menangis dan bisa berteriak histeris. Jika terus seperti ini, Dyandta khawatir akan bahaya yang mengancam nyawa Damien sendiri. Tidak menutup kemungkinan, pria itu akan melakukan percobaan bunuh diri atau semacamnya. Dan hal itu dibenarkan oleh Bailey, sebab ia sering melihat Damien mencoba untuk menyayat nadinya dengan pisau setiap kali depresinya kambuh. Itulah alasan Bailey selalu mengikat tangan dan kaki Damien dan menjauhkannya dari benda-benda tajam seperti pisau. Dyandta juga baru saja mendapat kabar bahwa ibu Damien masuk rumah sakit karena terl
"Sedang apa kau di sini?" tanya Dyandta heran. George pun tampak panik dan bingung harus mengatakan apa. "Aku sedang... ehm...." Dyandta masih memperhatikan gelagat George. Dia seorang psikolog dan pasti mengetahui makna dari sikap gugup George ini. Dyandta menaruh curiga pada rekan sesama dokternya ini, karena biasanya George tidak pernah memperhatikan ruang kerjanya. "Ke-napa kau melihatku seperti itu?" tanya George gugup. "Karena kau aneh," jawab Dyandta jujur. "Kau sudah lupa kalau aku seorang psikolog? Aku bisa membaca gerak-gerikmu, George." George sendiri semakin tersudutkan dan membuatnya tak tahu lagi harus berbuat apa. Jika Dyandta sampai tahu bahwa dirinya sedang memata-matai Damien, maka tamatlah riwayatnya. "Kau sedang menyembunyikan sesuatu, dan ini pasti ada kaitannya dengan pasienku, Damien. Benarkan?" tanya Dyandta memastikan apakah opininya benar atau salah. George langsung menggeleng cepat. "Tidak! Kenapa kau
George tampak begitu bersemangat menyiapkan beberapa bahan untuk menjebak Dyandta. Gadis itu sudah merusak penghasilannya. Membungkam seseorang seperti Dyandta memang harus dengan cara yang kasar. Kalau tidak, George akan mendapat masalah besar dan kemungkinan yang akan terjadi adalah dirinya akan dipecat dari rumah sakit. Izinnya sebagai dokter bedah juga akan terancam nantinya. George tidak ingin hal itu sampai terjadi padanya. Itu sebabnya, dia harus mengikuti saran dari Cacha untuk memberi pelajaran pada Dyandta.Pria berdarah German - Inggris itu pun berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruangan Dyandta. Kebetulan sekali, George melihat tidak ada siapapun yang melewati lorong ini. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan ini waktu yang tepat untuk menjalankan aksinya. Ia juga sudah mematikan kamera cctv yang berada di sekitar lorong yang mengarah ke ruangan Dyandta. George benar-benar merasa puas dikala dirinya bisa mengelabui petugas yang mengawasi setiap sudut ru
Pagi ini, Cacha tampak mendatangi George. Ia hanya ingin memastikan keadaan George dan sedikit penasaran dengan kejadian semalam. Namun kedatangannya justru mengundang perhatian Dyandta. Gadis itu tak sengaja melihat Cacha masuk ke rumah sakit tempatnya bekerja, karena saat ini George memang sedang dirawat di sana dan tetap dalam pengawasan pihak kepolisian Perancis. Dyandta pun mengikuti langkah Cacha dan berhentilah ia di salah satu ruang rawat tempat George terbaring lemas akibat pukulan benda tumpul di kepalanya. George sempat koma semalam, namun pagi ini dia sudah sadarkan diri. Kondisinya masih sangat buruk.Cacha dengan santai masuk ke dalam kamar tersebut, namun Dyandta hanya bisa melihatnya dari luar. Ingin mendekat ke pintu, namun di luar ada dua polisi yang sedang berjaga. Jadi dia tidak mungkin mendekat. Sementara di dalam kamar George, Cacha tampak menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengumpati George."Kenapa kau ceroboh sekali, hah?" tanya Cacha dengan nada kesal
Seminggu kemudian, Damien tampak sudah bisa berinteraksi dengan normal setelah melakukan terapi psikis. Ia sudah bisa mengingat kembali tentang perusahaannya, bahkan orang tuanya. Pikirannya yang semula hanya terfokus pada Cacha, kini sudah terpecah sedikit demi sedikit. Perlahan Damien sudah bisa menerima beberapa orang karyawan yang mengunjunginya di kediaman Bailey dan Airin. Namun memang Damien masih sangat sensitif jika seseorang menyinggung tentang Cacha. Nama itu belum sepenuhnya hilang dan masih harus tetap dikontrol.Kemarin malam, Dyandta mengatakan pada Bailey bahwa untuk tiga hari kedepan, dirinya tidak dapat melakukan terapi psikis pada Damien. Dyandta harus pergi ke luar kota untuk beberapa urusan keluarga dan Bailey pun memahaminya. Dokter muda itu sempat berpesan pada Bailey untuk tetap mengontrol emosi Damien, karena depresi itu belum hilang sepenuhnya. Jadi peranan Bailey dan Airin di sini sangatlah penting. Mereka wajib mengingatkan beberapa kerabat dan karyawa
Damien terlihat begitu sibuk hari ini, karena harus mengurus beberapa berkas yang sempat terbengkalai. Memang sudah ada sebagian berkas yang diselesaikan oleh Bailey, namun tumpukan berkas itu seakan tidak berkurang sedikitpun dari hadapannya. Bahkan Damien sampai melewatkan jam makan siangnya selama 30 menit. Untung saja sekretarisnya mengingatkan dan saat ini dirinya tengah berada di kantin perusahaan sambil membawa bekal makan siang dari Airin. Ia juga ditemani oleh Fransisco, karena kebetulan rekannya itu juga mengalami nasib yang sama seperti Damien hari ini.Mereka berdua makan bersamaan dan sesekali membahas tentang beberapa gagasan untuk proyek terbaru. Bagaimanapun juga, Fransisco harus membantu Damien untuk kembali bangkit lagi seperti dulu dan ini juga termasuk permintaan dari Bailey. Fransisco tidak merasa keberatan dengan hal itu. Menurutnya, jika Damien terus disibukkan dengan hal pekerjaan, mungkin ingatan tentang Cacha akan sirna dengan cepat. Jadi, dia memutuskan