Karleen bangkit dari sandarannya. Dia melepas genggaman Edwyn. Edwyn terperanjat karena mendapat perlakuan tiba-tiba dari Karleen.
“Aku rasa kau salah paham Edwyn,”balas Karleen.
“Aku ingin menjadi prajurit bukan hanya karena alasan yang kusebutkan kepada kalian tadi. Ada hal besar yang menjadi tujuanku, dengan menjadi prajurit aku akan mendapat akses dan relasi untuk mengetahui misteri tentang orang tua kandungku.”
Bola mata Edwyn dan Lisette membasar. Mereka tidak menyangka Karleen tetap gigih untuk mencari tahu kebenaran atas kedua orangtua kandungnya.
“Karleen.”Badan Lisette berhambur ke dalam dekapan Karleen. Lisette menangis. Dia tidak tahu bahwa sahabatnya ini selalu menyimpan kegigihan untuk mencari kedua orangtuanya. Lisette mengira berjalannya waktu, Karleen akan menyerah dan memutuskan untuk tidak ingin meneruskan semangat masa kecilnya untuk mencari tahu kebenaran mengenai orangtuanya.
“Maafkan aku, Karleen. A-aku tidak menjadi sahabat yang baik untukmu. Seharusnya aku tidak menghakimimu tadi. Seharusnya aku-”
“Shhh! Lisette, jangan berkata begitu. Kau sahabatku yang terbaik. Aku hanya tidak ingin membebani kalian karena aku tetap bersikeras menjadi prajurit demi orangtuaku. Ini bukan berarti aku tidak membutuhkan kalian, bukan begitu. Kalian tahu pasti bahwa mencari informasi tentang orangtuaku sangat sulit jika aku berprofesi sebagai orang biasa. Jika aku menjadi prajurit, aku bisa menggunakan berbagai alasan untuk menyelidiki berbagai tempat.”
Edwyn dan Lisette mendengar penjelasan Karleen dengan seksama. Mereka telah paham dan merasa bersalah karena tidak memahami perasaan sahabat mereka. “Mungkin kami memang tidak bisa merasakan apa yang kau rasakan Karleen. Jika aku berada di posisimu, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Maafkan aku karena tidak memahami perasaanmu. Seharusnya aku dari awal mendukung tindakanmu. Setelah aku pikir-pikir, aku akan ikut bersamamu Karleen. Tidak mungkin kau berjuang sendiri di militer. Salah satu dari kami harus berjuang bersamamu dan itu aku.”
Edwyn memberikan senyum terbaiknya kepada Karleen dengan tujuan untuk meyakinkan Karleen. “Aku juga ikut. Aku akan menjadi prajurit bersama kalian juga. Meskipun aku lemah, setidaknya dalam waktu enam bulan ini aku akan belajar dan berusaha untuk meningkatkan kekuatanku,” ujar Lisette semangat.
“K-kalian?! Bagaimana mungkin kalian juga ingin ikut menjadi prajurit? Jika kalian menjadi prajurit hanya karena aku. Aku tidak akan mengizinkan kalian. Aku sangat tahu cita-cita kalian sejak kecil. Kalian tidak boleh mengubur cita-cita kalian demi membantuku,” jelas Karleen. Penjelasannya terdengar seperti memohon.
“Karleen, semua masalah akan menjadi lebih mudah jika dilakukan bersama. Aku yakin itu, tolong jangan menyuruh kami untuk mundur. Lagi pula cita-cita kami bisa kami kejar jika kau sudah mendapatkan kebenaran dari misteri orangtuamu.” Ucapan Lisette ada benarnya. Karleen menarik dan menghembuskan napasnya.
“Jika itu benar-benar yang kalian mau. Tanpa ada keterpaksaan, aku setuju. Tapi dengan satu syarat.” Karleen dengan semangat mengacungkan jari telunjuknya ke udara.
“Kalian berdua jangan mengeluh ketika Latihan ataupun ketika sudah menjadi prajurit. Janji?”Karleen mengganti jari telunjuknya dengan jari kelingking, mengarahkan secara bergantian ke Edwyn dan Lisette.
“Janji!” Sorak Edwyn dan Lisette. Mereka bertiga tertawa.
“Baiklah, kalau begitu ayo kita kembali ke toko dan mendiskusikan mengenai Latihan intens yang akan dimulai pada besok hari!”ucap Karleen lantang.
Lisette sudah dapat merasakan otot jarinya berkedut. Memikirkan bagaimana lelahnya latian untuk besok hari, apalagi dipimpin oleh si Perempuan Terkuat, Karleen.
***
Peluh membanjiri kulit Edwyn dan Lisette. Mereka tidak menyangka hari pertama akan secapai ini. Mereka mengira di awal Latihan, Karleen hanya akan memberi dasar-dasar mengenai latian fisik. Rupanya salah besar. Karleen langsung ingin mengetahui seberapa kuat mereka untuk berlari mengitari lapangan bola.
Edwyn dan Lisette berbaring di atas rerumputan. Karleen masih kuat untuk melanjutkan sesi latihannya. Dia tampak bersemangat meskipun sudah berjam-jam bergerak. Karleen bergerak dengan luwes. Dia mempelajari beladiri dengan otodidak.
"Karleen semakin keren saja. Pantas saja banyak yang menyukainya sewaktu sekolah dulu." Lisette membuka pembicaraan.
"Hhmm," gumam Edywn.
"Anak sekelas kita dulu juga banyak yang menyukai Karleen. Mereka sering bertanya mengenai Karleen kepadaku. Mereka bilang Karleen adalah perempuan tangguh yang sangat bisa diandalkan. Selain itu, Karleen juga berjiwa sosial tinggi dan pastinya juga cantik."
"Oh, begitu ya," respon Edwyn tidak semangat.
"Kau terdengar tidak semangat merespon perkataanku, Edwyn. Apa kau tidak suka aku membahas kepopuleran Karleen? Atau kau cemburu, ya?" Lisette bertanya sambil terkekeh.
"Bukan begitu, hanya saja dia. Aah, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.”
"Ayo kita makan siang!" Teriak Karleen mengagetkan Edwyn dan Lisette.
Bermenit-menit mereka habiskan untuk sampai menuju kediaman Karleen. Karleen memanggil Edwyn dan Lisette untuk makan siang bersama. Saat mereka sampai di ruang makan, wajah Edwyn dan Lisette terlihat gembira.
“Ya ampun! Karleen! Bagaimana mungkin kau membuat masakan kesukaan kami. Sudah lama sekali kami tidak makan kartoffelpuffer. Kau malah membuatkannya untuk kami tanpa bertanya sekalipunh. Kau memang yang terbaik!” Lisette berkata sambil sedikit melompat. Setelah itu dia meraih kedua tangan Karleen dan menggenggamnya.
Edwyn hanya tersenyum lebar, dia menempatkan dirinya di seberang Karleen duduk. Mereka berdoa sebelum makan dan menyantap makan siang tanpa suara. Giliran Lisette yang bekerja membersihkan peralatan makanan. Edwyn membantu mengiringkan peralatan makan. Setelah selesai, mereka bertiga duduk lesehan di ruang tengah mendiskusikan Latihan selanjutnya. Karleen pamit sebentar untuk masuk ke kamarnya dan kembali dengan membawa tumpukan buku.
Edwyn membantu mengambil buku yang dibawa Karleen dan menumpuknya di atas meja. Lisette yang pertama kali mengambil beberapa buku dan membaca judulnya. “Kiat kuat beladiri, cara bertarung yang baik, bertahan hidup di tengah hutan, membaca gerak-gerik lawan, langkah memiliki tubuh yang atletis. Sedikit membosankan,”tukas Lisette. Karleen tertawa mendengarnya. Edwyn sedang membaca buku yang bersampul kecokelatan. Dia tampak serius membaca dari halaman pertama.
“Setidaknya mereka berguna untuk menambah pengetahuan kita dalam beladiri. Aku tidak akan memaksa kalian membaca semua buku ini. Bacalah yang ingin kalian baca, jangan merasa terbebani.”Senyuman tipis mengakhiri perkataan Karleen.
“Baiklah, akan aku baca dan pelajari buku-buku ini Karleen.”Lisette mulai memilah-milah buku.
“Kalian boleh membawanya pulang dan beristirahatlah. Maafkan aku terlalu memaksa kalian Latihan berat hari ini. Kalian sudah bekerja keras hari ini!”Karleen mengucapkannya dengan nada semangat.
“Kenapa minta maaf Kar, justeru kami yang minta maaf karena tidak bersungguh-sungguh. Dan kau Karleen, adalah guru yang paling hebat!” puji Lisette dengan memberikan kedua jempolnya kepada Karleen. Karleen tertawa geli.
“Terima kasih, Lisette. Ucapanmu selalu membuatku senang!”
“Edwyn, kau ingin langsung pulang atau bagaimana?” Edwyn mengalihkan pandangannya dari buku menuju Lisette.
“Sepertinya kau duluan saja Lissie. Aku akan membaca beberapa halaman dulu baru kembali.” Edwyn melanjutkan bacaannya.
“Kalau begitu, aku pulang duluan ya? Terima kasih untuk pelajaran dan makan siang yang nostalgik.”Lisette berlari memeluk Karleen. Mereka berpelukan sebentar. Edwyn menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua sahabat perempuannya.
“Baiklah, Karleen! Aku pulang, ya!” Karleen mengantar Lisette sampai ke pinggir jalan. Dari dalam rumah, Edwyn terdengar berteriak mengatakan hati-hati kepada Lisette.
Karleen kembali ke ruang tengah dan mendapati Edwyn yang sedang membaca buku. sambil berbaring “Edwyn, duduk! Kau bisa merusak matamu jika membaca seperti itu!” Edwyn tidak mendengarkan perkataan Karleen. Dia tidak bergerak. Karleen mendekati Edwyn dan berniat merampas buku yang dipegang dengan kedua tangan. Buku yang dipegang Edwyn terlalu kuat sehingga Karleen samasekali tidak bisa mengambil alih darinya. Mereka berdua sama-sama menahan buku dengan cukup lama.
“Dasar gadis keras kepala!” Edwyn menyerah dan melempar buku itu dengan tiba-tiba. Karleen terkejut saat pegangannya pada buku itu terlepas dan badannya terhempas ke atas badan Edwyn. Untung saja Karleen memiliki reflek yang cepat sehingga dia bisa menahan badannya dengan kedua tangannya di lantai. Rambut panjang Karleen jatuh menutupi sebagian wajahnya. Badan mereka berdua menyisakan jarak beberapa senti saja. Edwyn yang terbawa suasana meraih pipi kiri Karleen dan mengusapnya pelan.
“Karleen!” Suara Nyonya Becker menggema dari ruang sebelah. Mereka berdua kaget, Karleen bangkit dan Edwyn duduk. “Iya, Bu!” Karleen menghampiri ibunya ke ruang sebelah. Bisa mereka tebak Nyonya Becker membutuhkan bantuan Karleen di toko roti mereka. Meninggalkan Edwyn sendirian di ruang tengah yang menyadari perbuatan yang baru saja dia lakukan kepada sahabatnya. Meskipun hanya menyentuh pipi Karleen, Edwyn merasa bersalah. Tidak sepantasnya dia melakukan hal seperti itu. Di sisi lain, Edwyn sulit menahan perasaan yang dimilikinya selama ini. Akan tetapi, dia takut jika Karleen mengetahui perasaan Edwyn yang sebenarnya, Karleen akan menjauh dan tidak akan menganggap Edwyn sebagai sahabatnya.
Edwyn mengacak rambut cokelat tuanya. Dia memutuskan untuk melanjutkan bacaannya dengan posisi duduk. Setelah beberapa bab Edwyn membaca buku, Nyonya Becker yang membawa nampan bersama Karleen yang membawa keranjang, mereka masuk ke ruang tengah.
“Edwyn! Ayo diminum dulu!”Nyonya Becker menyodorkan secangkir teh gandum dan beberapa potong kue kepada Edwyn.
“Ibu kembali ke toko ya!”
“Kar-”
“Ed-”
Mereka berdua saling memandang dan tertawa kecil. “Kau saja duluan,”kata Karleen.
“Ah, baiklah. Terima kasih, tapi sepertinya kau saja duluan.” Edwyn malah melakukan hal sebaliknya yang dilakukan Karleen.
“Aku? Kalau begitu, aku duluan yang berbicara. Kapan kau akan pulang?”Karleen bertanya. “Hei...”Edwyn menandai dan menutup buku itu.
“Kau tidak senang aku berlama-lama di rumahmu?” Edwyn menatap Karleen penuh serius. Dia merasa Karleen tidak nyaman akibat peristiwa tadi.
“Bukan begitu, huh. Ini sudah sore dan kau bisa lihat bahwa langitnya sedang mendung. Lebih baik kau pulang sekarang daripada nanti kehujanan.” Karleen menjawab tanpa memandang Edwyn.
“Baiklah, bu guru. Saya ingin meminjam beberapa buku ini untuk dibaca dan dipelajari, ya Bu!”Edwyn menjawab dengan penuh canda.
“Tidak lucu, Edwyn.”
“Oh, maaf. Aku tahu kau merasa kurang nyaman atas kejadian tadi. Aku tidak bermaksud mengusap pipimu. Aku minta maaf, Karleen.”Edwyn menatap Karleen dengan sendu.
“Huh? Kenapa minta maaf, aku pikir seharusnya aku yang minta maaf. Terkadang tingkahku selalu seenaknya memerintah orang lain. Maafkan aku Edwyn!” Karleen tidak sanggup membalas tatapan Edwyn. Dia membuang pandangannya ke samping.
“Tapi kau melakukannya demi kebaikan kami. Aku tidak keberatan kau menyuruh kami ini dan itu. Asal kau hanya melakukannya kepada kami saja,”jawab Edwyn.
“Benarkah? Kalau begitu, jangan menyesali perkataanmu hari ini Edwyn. Hari ini tanggal 16 Juni 1850, pukul 15 lewat 20 Edwyn Keller telah menyatakan ketersediannya untuk selalu menerima suruhan dari Karleen Becker,” ucap Karleen yang diakhiri dengan tawa.
“Hahaha, dasar Karleen! Aku tidak berjanji, lho?”
“Terserah, tapi aku akan mengingat hal ini sampai kapanpun,” balas Karleen dengan nada mengejek.
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y