“Kau sudah mengetahui semuanya, bukan?” Laki-laki itu mendekati Karleen sambil mengawasinya dengan tajam. “A-aku.” Karleen tidak tahu harus bagaimana. Mengetahui rahasia besar yang selama ini sengaja ditutup-tutupi membuat dirinya ingin menyerah. “Ada dua pilihan yang akan kuberikan kepadamu, diam atau keluar? Harga dirimu sebagai prajurit dipertaruhkan di sini!” Karleen memajamkan matanya. Amarah dalam dirinya menggebu-gebu. Seketika ruangan temaram itu menjadi terang dan panas. Api berkobar cepat tetapi sumbernya tidak diketahui. Hal yang diingatnya setelah itu adalah suara orang yang sangat familier memanggil namanya. Sebelum dia merasakan sesak dan tidak sadarkan diri.
View MoreGadis kecil itu berlari mendekati dua sahabatnya yang sibuk menghitung batu kerikil yang dipungut mereka dari pinggir sungai. Dia berteriak memanggil kedua sahabatnya sambil melompat ringan.
“Lisette! Edwyn! Ayo kita main pacu lari!”
Kedua bocah itu lantas mengabaikan batu kerikil yang berwarna-warni. Mereka berdiri dan menepuk celana mereka dari debu halus yang menempel. Bocah laki-laki bernama Edwyn itu mendekati gadis kecil itu sambil memberikan tatapan tidak mau kalah.
“Ayo kita mulai Karleen, akan kupastikan kau kalah hari ini!”
Lisette tertawa mendengar perkataan Edwyn. Pasalnya dari awal mereka bermain apapun pasti pemenangnya adalah Karleen. Entah itu lari-larian, mengumpulkan kayu, bermain petak umpet, dan permainan lain yang melibatkan fisik.
“Bagaimana jika pemenang hari ini akan mendapatkan roti cokelat gratis dari toko ibuku!”
“Setuju! Sebagai tambahan yang lain, pemenangnya boleh meminta roti varian yang lain, hehehe,” pinta Edwyn.
“Baiklah, jika itu maumu. Apapun yang diminta sang Pemenang di toko ibuku, akan kuberikan. Syaratnya dia harus menjadi yang tercepat sampai ke bukit dan menyentuh pohon oak,” jelas Karleen sambil tersenyum bangga. Dia sangat yakin dia bisa menjadi pemenang.
Lisette sedari tadi hanya menyaksikan kedua sahabatnya berbicara. Dia tidak mau berusaha berlebihan menguras tenaganya untuk pacu lari. Dia yakin mau seribu tahun pun bermain pacu lari dengan Karleen, pemenangnya hanya selalu dia. Tidak ada orang lain yang Lisette kenal bisa berlari selaju Karleen.
Edwyn meneriakkan aba-aba. Mereka bertiga sudah pada posisi siap. “Bersedia! Siap! Ya!”
Hitungan ketiga Karleen sudah berlari. Tidak perlu semenit dihabiskan Karleen mencapai puncak bukit dan menyentuh pohon oak. Napasnya terengah-rengah seraya meneriakkan kemenangannya.
“Yeeee, aku menang!”
Karleen menunggu kedatangan Edwyn dan Lisette mencapai puncak bukit yang tidak terlalu tinggi. Memang sulit untuk berlari mendaki bukit, tetapi tidak untuk Karleen.
“K-kauh sehlahluh cehpat!” ucap Edwyn yang mendahului Lisette. Dia membungkuk dan mengambil napas dengan teratur.
“Mungkin kau saja yang terlalu lamban!” balas Karleen kepada Edwyn. Edwyn bangkit dan menatap Karleen serius.
“Mana mungkin begitu! Di mana-mana laki-laki itu harus lebih jago dibanding perempuan sepertimu!” Edwyn tidak mau kalah mendengar balasan Karleen.
“Hah? Yang benar saja? Jelas-jelas dari segi manapun aku yang lebih jago daripadamu! Memangnya hanya laki-laki saja yang boleh jago dalam aspek fisik? Perempuan juga bisa tahu!” Karleen menyilangkan kedua lengannya di depan dadanya. Dia berbicara dengan lantang.
“Sudah-sudah. Jangan bertengkar!” pungkas Lisette yang sudah sampai daritadi.
“Yang dibilang Edwyn itu hanya stereotip saja! Harus kuakui bahwa Karleen itu pelari tercepat yang pernah kukenal, jadi Edwyn mau tidak mau kau harus mengakuinya, ya?” Lisette mendekati Karleen dan merangkul dari samping. Karleen membalas dengan senyuman dan memeluk Lisette.
“Lisette, kau memang terbaik!”
Mereka bertiga bergandengan turun dari puncak bukit dan kembali ke tempat awal mereka berlari. Edwyn dan Lisette melanjutkan kegiatan mereka tadi. Meninggalkan Karleen yang termenung sambil bersandar di pohon tua yang mereka tidak tahu nama pohon itu apa.
“Meski begitu Edwyn, kau sangat pandai dalam biologi dan astronomi. Kau mengetahui hal itu di luar kepala. Jenius, huh!”
“Lisette, kau juga sangat pandai menggambar. Tidak hanya menggambar biasa, kau bahkan bisa mendesain gaun pesta untuk ibumu. Sangat keren!”
Edwyn dan Lisette saling melempar pandang. Mereka mendekati Karleen yang bersandar di pohon. “Aku bahkan tidak tahu pandai apa. Hanya membuat roti, bertengkar, dan berlari saja.”
Mereka berdua tertegun mendengar pernyataan Karleen. “Jangan terlalu dipikirkan Karleen. Kita ini masih sepuluh tahun, se-pu-luh. Masih ada delapan tahun lagi kesempatan kita untuk memulai karir!” Perkataan Edwyn membuat Karleen terfokus kembali. Dia menatap kedua sahabatnya bergantian.
“Aku hanya ingin mencari tahu keberadaan orangtuaku. Aku tidak yakin mereka meninggal begitu saja,” ucap Karleen sedih.
Lisette merangkul Karleen dengan erat. “Akan kupastikan kita mengetahui kebenaran itu Leen. Aku dan Lisette akan berjanji membantumu.”
Edwyn mendekatkan jari kelingkingnya kepada Karleen. Karleen yang sadar menautkan jarinya kepada Edwyn. Lisette juga ikut-ikutan menautkan jari kelingkingnya. Mereka pun tertawa dan berjalan pulang untuk makan siang. Masa-masa indah Karleen, Edwyn, dan Lisette yang tidak mereka ketahui akan berubah dalam beberapa tahun lagi.
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments