Share

VI

Wa nunazzilu minal qur-aani maa huwa syifaa-uw warahmatul-lil mu’miniin."

 

Ustaz Fikri menunjuk ke arah Imas sambil membaca surah Al-Israa 17:82 yang artinya: Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

 

Imas seketika merasakan mual. Ustaz Fikri memberi isyarat kepada sang istri, Ustazah Azizah, untuk segera menyiapkan keresek karena Imas akan muntah. Dan benar saja, saat keresek itu disimpan di bawah dagu Imas, dia langsung mengeluarkan isi perutnya, yang hanya lendir bercampur darah. Tak lama kemudian, Imas tak sadarkan diri. Setelah hampir 10 menit hilang kesadaran, akhirnya Imas siuman.

 

"Alhamdulillah!" seru Ustaz dan Galih bersamaan.

 

"Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" tanya Ustaz.

 

"Sudah agak enakan, Ustaz," jawab Imas.

 

"Bu ... Ibu banyak-banyak istigfar, ya. Jangan banyak melamun dan merasakan sedih yang berlarut-larut, karena akan membuka celah bagi jin untuk masuk ke dalam tubuh Ibu."

 

Imas manggut-manggut mendengarkan wejangan dari ustaz sedangkan Galih hanya mengusap-usap lembut punggung istrinya agar tenang.

 

"A, ayo, pulang," ajak Imas. Galih mengangguk.

Setelah berpamitan kepada ustaz dan membayar biaya ruqyah dengan tarif seikhlasnya, Galih dan Imas pun segera meninggalkan Bilik Ruqyah.

 

Di perjalanan pulang, mereka kembali melewati tempat jualan Kang Asep. Di sana sudah sepi karena Kang Asep sudah pulang.

"Duh, A, kenapa lewat sini, sih?" gerutu Imas sambil menunduk. Tak berani melihat ke arah jalan.

 

"Ya, kalau tidak lewat sini, mau lewat mana lagi, Neng? Kan, rumah kita memang lewat sini."

 

"Perasaan Neng tidak nyaman, A, kalau lewat sini. Masa, Kang Asepnya sudah pulang, tapi jin dan monyetnya tidur di tempat jualan."

 

"Ya, sudah, sudah. Kita sudah melewati tempat jualannya Kang Asep," ujar Galih. Imas mengangkat kepalanya. "Seharusnya Neng juga tidak perlu takut seperti itu. Kalau manusia takut sama jin, nanti jinnya yang senang. Lagi pula, kok, aa baru ngeh, ya, kalau kamu bisa lihat yang aneh-aneh?"

 

Imas menggeleng pelan. "Imas juga tidak tahu, A, kenapa Imas tiba-tiba bisa melihat penampakan."

 

"Sejak kapan, sih?" tanya Galih.

 

"Sejak kita menikah, A."

 

"Haa? Sudah lama atuh. Kenapa tidak cerita?"

 

Sudut bibir Imas naik. Ia tersenyum kecut. "Iya, A. Tapi neng sekedar melihat saja, tidak sampai kesurupan seperti sekarang, makanya neng tidak cerita, karena neng rasa tidak penting."

 

"Tapi sebaiknya kita harus cerita ke Ustaz Fikri. Penglihatanmu itu sepertinya gangguan juga," balas Galih, lalu menghentikan mobil di pekarangan rumah.

 

◎◎◎

 

Langit semakin menggelarkan jingganya. Burung-burung gagak mulai beterbangan mengelilingi area pemakaman seorang anak lelaki yang baru saja meninggal karena tenggelam di sungai.

 

Dasimah memperhatikan dari kejauhan. Lelah ia mencari mangsa 'daging muda' seharian, dan sekarang keberuntungan berpihak kepadanya.

 

"Akhirnya ... dapat juga," desis Dasimah. "Aku akan kembali nanti malam." Ia pun melangkah pulang dengan semringah.

 

Ketika melewati rumah pria yang selama ini menjadi idamannya, netra perawan tua itu menatap sendu Galih yang tengah seorang diri menyesap kopi di teras. Tak sadar bibirnya komat-kamit. 

 

"Asihan aing si burung pundung. Maung pundung datang amum. Oray laki datang numpi. Malik welas malik asih ka awaking. Galih Ramdhan, Galih Ramdhan, Galih Ramdhan."

 

Dasimah benar-benar tak sadar bahwa ia telah merapalkan mantra asihan. Air matanya menetes, ada rasa sedih bercampur perih yang dalam di hatinya. Dasimah lalu melanjutkan langkahnya dengan tangan mengepal erat.

 

Sementara itu, Galih tiba-tiba tersedak air kopi. Dadanya berdebar hebat. Wajah Dasimah tiba-tiba muncul di benaknya. Ia menggeleng kuat lalu mengusap wajah. "Astagfirullahaladziim ...."

 

◎◎◎

 

"Neng, aa ke luar dulu, ya, beli makan." 

Imas mengangguk sambil melipat mukena. "Aa mau beli apa?"

"Neng maunya apa?"

 

Imas tampak berpikir sejenak. "Apa saja, deh, A. Asal bukan makanannya Kang Asep!"

 

Galih terkekeh. "Iya, iya." Galih pun ke luar rumah dan berjalan menuju jalan besar. Kalau malam hari, biasanya di pinggir jalan besar lebih banyak penjaja makanan daripada siang.

 

Tengok kiri kanan mencari santapan yang pas untuk makan malam. Perhatian Galih rupanya teralihkan pada sebuah kios pecel ayam yang ramai pengunjung. Antre sampai ke luar kios. Galih merasa sangat penasaran, lalu mendekati kios itu.

 

Galih semakin tertarik melihat hidangan yang begitu menggoda. Ia pun langsung memesan makanan. "Kang, pecel ayam dua, ya! Satu makan sini, satu lagi dibungkus."

 

Penjual pecel ayam itu manggut-manggut, lalu dengan sigap menyiapkan pesanan Galih. Sementara itu, Galih masih sibuk lirik sana-sini mencari tempat duduk yang kosong. Ketika ada salah satu pembeli yang sudah selesai makan dan beranjak dari bangkunya, secepat kilat Galih menduduki bangku itu.

 

Hidangan telah tersaji di hadapan Galih. Pecel ayam komplit dengan nasi putih hangat, sambal terasi, dan teh tawar panas. Galih menyantap makanannya dengan lahap. Selesai makan, Galih langsung bayar dan membawa pulang sebungkus pecel ayam untuk Imas.

 

"Wah ... Aa beli apa?" tanya Imas saat Galih menyerahkan sekeresek makanan yang ia beli.

 

"Pecel ayam, Neng. Cepat kamu makan, mumpung masih hangat. Rasanya enak."

 

"Kok, Aa cuma beli satu? Untuk Aa mana?"

 

"Maaf, Neng. Aa sudah makan tadi di sana."

 

Imas mengerucutkan bibirnya, membuat Galih gemas, lalu mengelus pucuk kepala istrinya.

"Ya, sudah. Neng makan dulu, ya, A." Galih mengangguk.

 

Namun, ketika Imas baru sekali menyuap makanannya, dia merasa mual. Imas pun segera berlari ke kamar mandi. Galih yang terkejut langsung mengekor Imas.

 

"Neng, kamu tidak apa-apa?" tanya Galih khawatir.

 

"Eneg, A. Makanannya tidak enak."

 

Kening Galih mengerut. "Masa, sih? Kan, aa juga makan. Rasanya enak, kok!"

 

"Sok Aa coba kalau tidak percaya."

 

Galih pun mengambil sedikit potongan ayam, dan memakannya. Galih tersentak, saat bau anyir, busuk, basi, bercampur jadi satu di mulut. Seketika itu juga Galih memuntahkan makanannya. "Kok, bisa begini, ya? Padahal tadi rasanya enak, lho!"

 

Imas mengangkat bahu. "Pasti ada yang tidak beres, A."

 

"Ya, iyalah, Neng. Kalau beres, kan, tidak mungkin rasa ayamnya berubah drastis.”

 

"Bukan soal rasa, A, tapi ada yang lain."

 

"Maksudnya?"

 

Dengan cepat Imas menggeleng. "Ah, tidak. Neng tidak mau suudzon dulu."

 

"Kita harus komplain, Neng. Yuk, ikut aa ke tempat penjual pecel ayamnya." Imas menurut saja saat Galih menggandeng tangannya.

 

Sesampainya di jalan besar, Galih menunjukkan tempat pecel ayam kepada Imas. "Tuh, Neng, lihat ... ramai, 'kan?"

 

Langkah Imas terhenti seketika. Matanya membulat meliat kios pecel ayam tersebut. "Ayo, A, kita pulang saja."

 

"Loh ... kenapa? Kan, kita belum protes," sahut Galih."

 

"Tidak usah, A, percuma."

 

"Kenapa memangnya?"

 

Imas menoleh lagi ke arah kios. "Di atas kios itu ada sesuatu menyerupai payung. Penjualnya sama seperti Kang Asep."

 

"Maksudnya? Duh, aa tidak paham."

 

"Dia juga memakai penglaris, A."

 

Catatan Author:

 

Mantra 'asihan' merupakan salah satu mantra Sunda. Biasanya memiliki tujuan agar seseorang yang diucapkan olehnya memiliki rasa yang sama dengan dirinya. Dalam bahasa Sunda diartikan sebagai ‘pikeun mapatkeun asih ka nu ngucapkeunana'.

 

Mantra asihan yang diucapkan Nyai Dasimah adalah jenis mantra asihan pelet Sunda. Tidak akan berpengaruh jika dibaca oleh orang awam atau yang tidak memiliki ilmu. Namun, untuk kenyamanan pembaca, author menghapus acak kalimat mantra.

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status