Share

Anak Jendral dan Desa Penyamun
Anak Jendral dan Desa Penyamun
Author: Betzy viona

Bara, si Anak Jendral

Bara Hadiwijaya, seorang pemuda tampan dengan tubuh atletis, duduk di balkon rumahnya sambil menatap sekeliling. Sambil menatap sekeliling dengan pandangan tajamnya, dia merasa gelisah dan terombang-ambing dalam gelombang kebosanan rutinitas sehari-hari yang begitu monoton dan membosankan.

Setiap harinya, dia terjebak dalam siklus yang sama, tanpa ada perubahan yang signifikan yang bisa menggoyahkan hidupnya yang terasa terikat. Ia melihat buku-buku bacaannya yang tergeletak rapi di meja, pikirannya melayang jauh mencari makna sejati dari hidup yang penuh tanda tanya.

Tiba-tiba, Ningsih, seorang wanita paruh baya yang telah lama mengabdi pada keluarga itu, datang membawa secangkir teh hangat.

"Permisi, Den. Ini tehnya. Tadi ada pesan dari Tuan, bahwa setelah selesai membaca buku, temuilah Tuan di bawah," ucap Ningsih dengan lembut, membuyarkan pikiran Bara yang kalut

Bara menoleh dan menghela napas. Kemudian, tanpa banyak bicara, ia pun beranjak dari balkon rumahnya

“Masih tertarik dengan dunia kriminal?” Bara mencibir tajam ke arah ayahnya.

Bara menuruni tangga dengan langkah berat sambil memandangi ayahnya yang sedang sibuk membaca koran kriminal. Ekspresinya penuh ketegangan terpancar dari matanya.

Ayahnya, Darma Hadiwijaya, purnawirawan Jenderal Polisi, mengangkat kepalanya dari koran dan menatap tajam ke arah Bara. Ada keheningan yang mencekam di udara, seolah petir siap menyambar kapan saja.

Bara memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya sejak awal, kecintaan ayahnya terhadap profesi membuat ia tak punya banyak waktu untuk mengenal kepribadian putranya sendiri.

"Masih banyak kasus yang sulit diselesaikan oleh polisi, berbeda dengan saat Ayah masih aktif," ucap Darma dengan nada serius, suaranya menusuk hati Bara.

Bara menghela nafas panjang, berusaha menahan emosi yang melonjak dalam dirinya. Jantungnya berdebar kencang, keinginannya untuk menyuarakan ketidaksetujuannya semakin kuat.

"Cukup Ayah. Sebaiknya Ayah sekarang menikmati masa pensiun dengan pikiran tenang. Dari pada terus membahas masalah kriminal," ucap Bara dengan suara gemetar, berusaha menahan amarah yang meluap-luap dalam dirinya.

Namun ayahnya menurunkan kacamata yang dikenakannya, matanya terlihat serius. "Bagaimana dengan tawaran posisi yang diajukan Pak Amir padamu? Apakah kamu sudah memutuskannya?" tanya sang ayah dengan nada tajam, seolah menantang Bara untuk memberikan jawaban yang memuaskan.

"Iya, Ayah. Aku sudah memutuskan untuk tidak menerima tawaran itu," jawab Bara tegas, suaranya mulai terdengar lebih lantang dan penuh haru.

"Aku ingin merantau, hidup mandiri. Di rumah ini, semua yang aku lakukan dan keputusan yang aku ambil harus diatur oleh Ayah. Ini hidupku, dan aku punya hak untuk mengontrol semua yang aku lakukan!" ucap Bara dengan suara meninggi, emosinya sulit dibendung lagi.

Tiba-tiba, suara nyaring bergema di ruangan itu. Koran yang dipegang ayahnya terlempar dengan kasar ke atas meja hingga menimbulkan bunyi gedebuk yang mengguncang suasana.

"Aku adalah Ayahmu! Aku lebih tahu apa yang baik dan apa yang buruk. Jangan bodoh seperti kamu yang mengira kamu hidup lebih lama dariku!" bentak Ayahnya dengan nada melengking, wajahnya dipenuhi amarah yang membara.

"Ayah, aku tidak bisa terus-terusan diperlakukan seperti ini! Aku bukan boneka yang bisa Ayah kendalikan sesuka hati. Aku punya hak untuk mengekspresikan diriku dan mengejar impianku sendiri! Bara berdiri tegak, menantang Ayah dengan tatapan yang penuh keberanian, tangannya terkepal erat sebagai simbol ketegasan dan keberanian yang mengalir dalam dirinya.

Namun, belum sempat Bara meluapkan kemarahannya dengan tindakan yang mungkin akan menyakiti hati orang-orang disekitarnya, tiba-tiba ibunya datang dengan langkah cepat, memasuki ruangan dengan tatapan penuh kekhawatiran.

"Nak, hentikan! Jangan biarkan amarah menguasai dirimu," seru Ibunya dengan suara lembut, berusaha menghentikan Bara sebelum terlambat.

Bara menatap ayahnya dengan tatapan penuh keberanian. Wajahnya dipenuhi tekad yang kuat, meski jantungnya berdebar kencang. Ayahnya dengan raut wajah yang keras dan tegas kembali menatap Bara dengan tatapan tidak setuju.

“Bara, kamu tidak mengerti betapa berharganya profesi yang aku perjuangkan selama ini,” ucap sang ayah dengan suara penuh kekecewaan. “Aku telah melihat banyak kejahatan dan penderitaan, dan Aku tidak ingin kamu terjebak di dunia gelap itu.”

Bara menghela nafas panjang, berusaha menenangkan diri.

"Ayah, aku menghargai perjuanganmu sebagai polisi. Tapi aku juga harus mengejar impianku dan menemukan identitasku sendiri. Aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayangmu sepanjang hidupku. Semua yang ku lakukan selalu melekat dengan identitasmu, aku bosan berdiri dibalik nama besarmu"

Ayahnya menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Jangan naif! Kamu terlalu muda, bodoh, dan belum berpengalaman. Kamu tidak tahu apa yang kamu hadapi di luar sana. Aku hanya ingin melindungimu."

Bara merasakan api gairah membara dalam dirinya. Dia telah mempersiapkan diri untuk momen ini.

Dengan suara mantap, ia berkata, "Ayah, aku menghargai mu sebagai ayahku, tapi aku juga harus menghargai diriku sendiri. Aku harus menemukan jalan hidupku sendiri, meskipun itu berarti meninggalkan rumah ini."

Ayahnya menatapnya dengan tatapan yang melukiskan kekecewaan yang mendalam dan kemarahan yang membara. Mata Ayah yang biasanya penuh cinta dan kehangatan, kini terlihat terbakar oleh api amarah yang tak terbendung.

"Jika itu yang kau inginkan, maka pergilah! Pergi dan jangan pernah kembali!" suaranya terdengar terengah-engah, penuh dengan keputusasaan dan kekecewaan yang tak terucapkan sebelumnya.

Ibu Bara, yang selama ini diam memperhatikan percakapan mereka dengan hati yang hancur, mencoba menghentikan situasi yang semakin memanas.

"Darma, tenanglah. Mari kita bicarakan dengan kepala dingin. Kita bisa mencari solusi yang baik untuk semua," ucapnya dengan suara yang lembut namun penuh dengan kekuatan dan ketegasan.

Namun, kata-kata ibunya yang penuh kebaikan dan kebijaksanaan tidak mampu menahan amarah yang membara dalam diri Ayah Bara. Dengan suara yang penuh dengan keputusasaan dan kemarahan yang tak terbendung, Ayah Bara mengeluarkan kalimat yang menusuk langsung ke hati.

"Pergilah, Bara! Aku tidak ingin melihatmu lagi!" suaranya bergema di ruangan, menciptakan keheningan yang mencekam.

Bara merasakan hatinya hancur oleh kata-kata yang terlontar dengan kejam dari mulut ayahnya. Air mata mulai mengalir di pipinya, tetapi dia menahan diri dengan gigih agar tidak menunjukkan kelemahannya.

Dalam keheningan yang terasa begitu berat, dengan tekad yang kuat yang mengalir dalam setiap serat tubuhnya, dia menatap ayahnya dengan tatapan yang mencerminkan keberanian dan kegigihan.

Dalam suara yang penuh dengan ketegasan dan keberanian, dia berkata, "Baiklah, Ayah. Jika itu yang kau inginkan, aku akan pergi. Aku akan mencari hidupku sendiri dan membuktikan bahwa aku bisa sukses dengan caraku sendiri."

Kata-kata itu terdengar seperti seruan kebebasan yang terlontar dari hati yang terluka, mencerminkan tekad yang tak tergoyahkan untuk mengejar impian dan membuktikan nilai dirinya.

Dengan hati yang berat, Bara meninggalkan ruangan itu dan naik ke kamarnya.

Langkahnya terdengar berat dan terhenti sesaat saat dia memandang kembali ke arah ayahnya yang masih dipenuhi oleh emosi yang meledak-ledak, serta ibunya yang berusaha keras menenangkan hati sang ayah.

Dalam keheningan kamarnya, Bara merasakan kekosongan yang mendalam, namun dia teguh dengan keputusannya untuk pergi dan mengejar impiannya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status