Home / Pendekar / Anak Jendral dan Desa Penyamun / Perjalanan mencari jati diri

Share

Perjalanan mencari jati diri

Author: Betzy viona
last update Last Updated: 2024-01-14 20:59:05

Tok...tok!

“Siapa?” Bara berseru, suaranya berat, tercekat amarah yang belum reda. Matanya masih memerah, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik terlalu kuat.

“Ini Bunda, Nak... boleh Bunda masuk?” suara lembut itu datang seperti bisikan angin yang menyentuh luka di dada Bara.

Hening sejenak. Bara menghela napas. Nada lembut itu meruntuhkan dinding amarahnya perlahan.

“Iya, Bunda,” jawabnya, lebih pelan, walau suaranya tetap terdengar berat.

Pintu dibuka perlahan. Sosok wanita paruh baya melangkah masuk dengan anggun. Sartika, istri sang Jenderal, dan satu-satunya pelabuhan kasih Bara di rumah besar itu. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kecantikan masa muda yang belum pudar. Tatapan matanya teduh, senyumnya menenangkan, namun kini tampak terguncang oleh kekhawatiran yang dalam.

Ia duduk di tepi ranjang, mengamati kamar anak tunggalnya yang kini dipenuhi koper dan kardus. Hatinya terasa seperti terhempas, melihat kamar yang tadinya penuh kehidupan kini menjadi medan persiapan perpisahan.

“Kalau kamu tidak ingin mengambil jabatan itu… kamu mau jadi apa, Nak?” Suaranya lembut, namun mengandung beban yang berat. “Kamu bilang ingin merantau. Mau ke mana? Untuk apa?”

Bara diam. Tangannya mencengkeram lututnya, menahan gejolak dalam dada yang ingin meledak, tapi tak ingin menyakiti wanita satu-satunya yang selalu memeluknya dengan sabar.

“Di sini… kamu punya semuanya. Fasilitas, rumah, keamanan, bahkan koneksi ayahmu yang luas. Satu perintah beliau, semua jalan terbuka untukmu.”

Bara menunduk. Ia tahu, Bunda tidak salah. Tapi ia juga tahu, hidup ini bukan sekadar fasilitas.

“Apa yang kamu cari, Bara?” Suara Sartika terdengar nyaris seperti bisikan. Bukan karena pelan, tapi karena hatinya ikut bicara.

Bara mengangkat wajah. Matanya tampak lelah, tapi di baliknya ada api yang belum padam.

“Aku… hanya ingin hidup sebagai diriku sendiri, Bun. Bukan sebagai anak Jenderal. Bukan sebagai pewaris jabatan. Aku ingin tahu, siapa aku kalau aku bukan ‘Bara Putra Bapak’.”

Sartika terdiam. Kalimat itu menancap di jantungnya. Ia ingin melawan, ingin menjelaskan bahwa hidup ini keras dan tak semua bisa dicapai hanya dengan idealisme. Tapi ia tahu, ia tak bisa memadamkan nyala yang sudah terbakar di dada anaknya.

“Pikirkan baik-baik, Nak. Setiap keputusanmu hari ini, akan menentukan masa depanmu. Jalan yang kamu pilih bisa membawa pada kemuliaan, atau kehancuran.”

Ia bangkit perlahan, mengelus kepala Bara, lalu keluar kamar dengan mata berkaca-kaca.

---

2 Juni 2019. Rumah keluarga Bara terasa asing pagi itu. Udara yang biasanya hangat dan penuh canda kini digantikan sunyi yang menyesakkan. Bara turun membawa dua koper dan sebuah tas ransel besar. Ia mengenakan jaket hitam lusuh dan celana jeans yang terlihat kontras dengan interior rumahnya yang serba mewah.

Di ruang tamu, ayah dan ibunya duduk berdampingan. Sang ayah, Jenderal (Purn.) Hardi Wiratma, mantan pemimpin komando teritorial yang keras dan dikenal tak pernah mentolerir pembangkangan, memandang Bara dengan sorot dingin seperti memandang tentara muda yang membangkang perintah.

“Jadi mantap kamu pergi dari rumah ini?” Hardi bertanya, suaranya datar tapi mengandung bara yang siap menyala.

Sartika hanya menoleh ke arah Bara dengan mata yang memohon.

Bara meneguk ludah. Ia maju beberapa langkah, lalu berlutut di depan ibunya. “Bunda… aku mohon restu. Aku harus pergi. Aku ingin tahu, bisa tidak aku berdiri sendiri… tanpa bayang-bayang nama besar Ayah.”

Sartika menggenggam tangan anaknya, mencium keningnya lembut. “Jangan pernah buat keputusan saat kamu marah, Nak. Dunia di luar sana tidak seperti rumah ini. Di sana, kau tidak akan diistimewakan.”

Bara menatap matanya. “Justru itu yang aku cari, Bun. Aku ingin diadili sebagai Bara—bukan sebagai anak siapa.”

Tangis mulai merayap di wajah Sartika. Ia mencium kepala anaknya, memeluknya erat, seakan pelukan itu bisa menghentikan waktu.

Tapi waktu tak pernah menunggu.

Hardi berdiri, menatap anaknya dengan sorot menghujam. “Kalau kau keluar hari ini, jangan pernah kembali. Aku tidak punya anak yang membangkang.”

Sartika menoleh cepat ke arah suaminya. “Mas, jangan begitu… dia masih anak kita…”

“Anak? Dia memilih keluar dari garis perintah! Dia lebih memilih hidup seperti gelandangan daripada melanjutkan nama baik keluarga kita!”

Bara berdiri, wajahnya pucat tapi matanya terang. “Aku lebih memilih jadi gelandangan bermartabat daripada boneka yang kehilangan jiwa.”

Puk! Kata-kata itu seperti tamparan. Sartika menutup mulut, menahan tangis. Hardi terdiam, tapi hanya sebentar.

“PERGI!” teriaknya. “Dan jangan pernah kembali!”

Tangis Sartika pecah, menggema di ruang tamu yang mewah tapi dingin.

Bara mencium tangan ibunya dengan lembut, lalu berbalik dan melangkah pergi. Setiap langkahnya berat, tapi pasti. Di ambang pintu, ia menoleh. “Terima kasih sudah percaya padaku, Bun.”

Pintu rumah itu tertutup. Tapi hati Bara terbuka pada babak hidup yang baru.

---

Mesin motor dinyalakan. Bara menarik napas panjang, hendak melaju ketika…

“Den! Den Bara!”

Suara itu terdengar dari arah belakang. Seorang wanita paruh baya berlari, membawa sesuatu di tangan.

“Ningsih?” Bara mematikan motornya, bergegas menghampiri wanita yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri.

“Ini, Den… ini dari saya…” Nafasnya terengah, tangan gemetaran menyerahkan sebuah gelang tenun dari benang merah dan hitam.

Bara mengambilnya perlahan. “Apa ini, Bi?”

“Ini jimat warisan keluarga saya. Gelang perlindungan. Biasanya diberikan untuk orang yang pergi jauh, agar selalu dilindungi… dan tahu jalan pulang.”

Bara terdiam. Simbolisme itu menembus jantungnya. Jalan pulang. Rumah.

Ia mengenakan gelang itu di pergelangan tangan. Gelang sederhana itu terasa berat, seolah membawa seluruh doa, kasih sayang, dan keberanian yang disematkan di dalamnya.

“Terima kasih, Bi…” Bara memeluk Ningsih singkat. “Saya tidak akan lupa.”

“Semoga Tuhan melindungi langkah Den Bara…” bisik Ningsih, matanya berkaca-kaca.

---

Motor melaju meninggalkan aspal halaman rumah. Angin menyapu wajah Bara, membawa serta haru yang belum tuntas. Suara ibunya, teriakan ayahnya, bahkan napas tergesa Ningsih masih mengendap dalam pikirannya.

Tapi yang paling nyaring di kepalanya adalah suara ayahnya.

“Pergi! Dan jangan pernah kembali!”

Kata-kata itu menggema seperti palu godam. Tapi alih-alih melemahkan, itu justru menjadi bara di dadanya. Ia akan buktikan—bahwa dirinya bukan sekadar anak jenderal. Ia bisa berdiri di dunia ini dengan caranya sendiri.

Langit di atas Jakarta mendung, seolah ikut mengiringi kepergian anak muda itu. Di jalan raya yang padat, Bara memacu motornya ke arah yang belum pasti. Tapi satu hal yang pasti—ia meninggalkan masa lalunya dan memasuki labirin perjalanan yang akan membentuknya jadi seseorang yang utuh.

Langkahnya hari ini bukan pelarian. Ini adalah kelahiran. Dan setiap kelahiran selalu menyakitkan, penuh darah, dan tangis.

Tapi dari situ pula, hidup dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
acbcdefghijkala
semangat torr
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Anak Jendral dan Desa Penyamun   Konfrontasi Di Ladang

    Bara berdiri di tengah ladang jagung yang luas, dengan hanya suara angin yang menggerakkan dedaunan dan suara langkah kaki yang terdengar jauh di kejauhan. Pagi itu, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya, seakan alam pun menahan napas menanti sesuatu yang tak terduga. Bara menatap ke sekeliling, merasa seperti ada yang mengintai dari balik bayangan pohon-pohon jagung yang tinggi.Sejak kejadian malam itu, pikirannya penuh dengan kebingungannya sendiri. Pria yang mencoba meruda paksa wanita itu telah melarikan diri, namun rasa curiga Bara belum hilang. Mengapa pria itu begitu takut padanya? Apa yang sebenarnya terjadi di balik segala hal yang ada di desa ini? Dan yang paling mengganggu, kenapa ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan Alex? Ada rasa cemas yang kian menggelayuti hatinya setiap kali ia berpikir tentang pria itu.Bara masih memegang parang yang digunakan untuk menakuti pria tadi, meraba-raba bilahnya yang sudah agak tumpul, sementara perasaan cemasnya semakin bertambah. "

  • Anak Jendral dan Desa Penyamun   Mulai dipercaya

    Beberapa hari berlalu, Bara yang dalam masa pemulihan kini sudah bisa berjalan walau dengan langkah agak pincang, dia berjalan ke arah depan teras rumah itu dan duduk disana.Aisyah terlihat lari ke luar menuju arah depan, matanya menatap ke kiri dan kanan seperti mencari seseorang, "Syah? cari siapa?" seru Bara dari depan terasAisyah menoleh, seketika kekhawatiran yang terlihat di wajahnya berubah jadi cemberut"Ah, kalau keluar bilang dong. Aku pikir kamu di culik anak buah Sapto" bentak Aisyah"Aduh jangan marah marah, saya di dalam tadi pegel banget tiduran terus jadi saya keluar dan duduk disini" jelas Bara Aisyah hanya menggeleng kepala dan masuk ke dalam, membiarkan Bara menikmati ketenangan di depan teras ituSaat sedang asyik merenung Bara di kejutkan dengan selongsong peluru yang menembus kursi karena meleset se inci dari pundaknya"Bangsat!" teriak Bara, nafasnya berderu kencang, jantungnya mungkin berhenti berdetak sebentar saat mendengar dentuman peluru ituDalam waktu

  • Anak Jendral dan Desa Penyamun    Dikeroyok

    Bara turun ke area lobby penginapan. Waktu menunjukkan pukul 6.12 pagi. Wajahnya terlihat begitu kesal, alisnya mengkerut saat dia berjalan menuju meja resepsionis."Mbak, saya tahu ini penginapan, tapi semalam saya tidak bisa tidur. Saya terus-menerus terganggu oleh suara dari kamar-kamar di sebelah saya," keluh Bara pada resepsionis yang cantik itu."Mas, begini ya. Di penginapan desa ini, semua kamar digunakan untuk aktivitas yang kurang pantas. Mungkin hanya Mas saja yang datang ke sini untuk menginap. Saya juga tidak bisa berbuat apa-apa," jelas resepsionis itu dengan wajah yang penuh penyesalan.Dengan emosi, Bara memukul meja di depannya. "Halah, tidak jelas."Bara menghela nafas. Nampak sekali emosinya tak bisa tertahan saat dia bergegas pergi keluar mencari makan. Dengan mata yang berat, dia melangkah keluar dengan perasaan kesal. Perutnya lapar, dan dia merasa seperti orang bodoh saat ini."Pak, tolong satu porsi nasi ikan goreng dan air mineral," pinta Bara sambil langsung

  • Anak Jendral dan Desa Penyamun   Penginapan ecek ecek

    Bara bangun dengan keadaan kepala yang pusing dan sedikit berkunang-kunang. Dia menatap ke arah jam tangannya yang menunjukkan pukul 03.18. Dia bangun dan duduk di samping kasurnya, mencoba mengumpulkan tenaga untuk pergi ke kamar mandi. Rasanya dia ingin muntah, mungkin karena semalam dia memang terlalu banyak minum.Bara yang berjalan ke kamar mandi segera membuka kran wastafel dan membasuh wajahnya. Kepalanya masih terasa berat. "Sepertinya memang harus kembali tidur," pikirnya saat melihat bayangan dirinya di cermin.Dia kembali ke kasurnya lalu perlahan merebahkan diri, mencari posisi yang enak untuk tertidur. Saat pikirannya sudah setengah sadar, tiba-tiba dia mendengar suara yang sangat menganggu dari kamar di sebelahnya."Hm. ahh. uhh" suara desahan yang begitu jelas terdengar di telinga Bara."Sialan!" ujar Bara sambil menutup kedua telinganya dengan bantal.Seperti yang kita ketahui, saat mencapai puncak suara itu akan lebih kencang dan cepat. Bara yang emosi mendengarnya me

  • Anak Jendral dan Desa Penyamun   Metropolis adalah saksi bisu

    "Kok diam?" tanya pria itu, saat melihat Bara yang kaku tak bersuara. Mata Bara masih melirik pistol itu.Pria di sampingnya langsung menjabat tangan Bara dengan senyum menyeringai, "Aku Alex, santai saja, tak perlu kamu khawatir dengan apa yang kamu lihat."Mendengar ucapan pria itu, Bara langsung mengangguk. Perasaannya sedikit tenang, walaupun sebenarnya masih ada rasa khawatir yang menyelimutinyaBara, yang adalah anak satu-satunya di keluarga, sebenarnya punya hak yang istimewa untuk menikmati semua akses, terutama karena dia adalah anak seorang jenderal. Tentu banyak hal yang diinginkan Bara bisa dia dapatkan, misalnya pergi ke tempat-tempat seperti Metropolis ini.Namun, saat masih di rumahnya, Bara hanya sibuk dengan buku dan semua hal tentang pengetahuan. Memang sesekali Bara pernah ke bar di kotanya, itupun saat diajak paman atau sepupunya. Itulah sebabnya Bara tak terlalu nyaman berada di tempat ini.Dentuman dan lampu yang berkedip-kedip itu membuat semua orang di sana sep

  • Anak Jendral dan Desa Penyamun   Desa Baru

    Setelah pemberhentian terakhirnya, Bara melanjutkan perjalanan melewati beberapa desa. Sebenarnya, dalam hati ia ingin berhenti sejenak untuk menikmati makanan khas desa tersebut atau bahkan menginap di salah satu desa tersebut. Namun, dengan pertimbangan yang matang, Bara memutuskan untuk terus melanjutkan perjalanan dan berhenti di desa yang benar-benar ingin ia tinggali.Beberapa menit kemudian dari kejauhan, Bara memperhatikan sebuah mobil Kijang yang terparkir di bahu jalan. Seorang pria dengan kaos hitam dan celana jeans terlihat sangat frustasi saat menendang-nendang bagian tengah mobil tersebut, dan membuka kap mobil. Bara perlahan memperlambat laju motornya dan berhenti tepat di samping mobil tersebut, ingin memberikan pertolongan yang diperlukan."Mobilnya kenapa, Pak?" tanya Bara sambil melepas helmnya, memperhatikan dengan seksama kerusakan yang ada.Pria tersebut menatap ke arah Bara dengan pandangan campuran antara harapan dan kekecewaan. "Ndak tau ini, Mas. Tiba-tiba m

  • Anak Jendral dan Desa Penyamun   Ternyata, Desa itu?

    Bara melanjutkan perjalanannya setelah berpamitan dengan Ki Sugeng. Saat berkendara di sepanjang jalan yang sunyi dan sepi, dia tak sengaja melihat sebuah warung kecil yang terletak di pinggir jalan. Rasa haus yang menghampirinya membuatnya memutuskan untuk singgah sejenak dan mengisi ulang energi.Dengan hati yang penuh harap, Bara menghampiri warung itu dan memesan segelas kopi hangat. Pemilik warung, seorang pria paruh baya berumur sekitar 50 tahunan, menyambut kedatangannya dengan senyuman hangat. "Mas dari mana dan mau ke mana ?" tanya sang pemilik warung dengan rasa ingin tahu yang tulus.Bara tersenyum ramah dan menjawab dengan penuh keceriaan, "Saya hanya sedang berkelana, Pak. Beberapa hari yang lalu, saya sempat menginap di salah satu Penginapan di desa Kendra. Dan sekarang, saya melanjutkan perjalanan lagi untuk menjelajahi tempat-tempat baru."Pemilik warung terkejut mendengar nama desa Kendra yang disebutkan oleh Bara. Tatapannya penuh keheranan dan penasaran. "Desa Kendr

  • Anak Jendral dan Desa Penyamun   Keputusan yang membingungkan

    Bara berjalan kembali ke Penginapan setelah mendapat jawaban dari Kenanga. Desa itu terasa begitu akrab dan hangat baginya tapi kata kata Kenanga ada benarnya juga.Ketika ia hampir sampai di persimpangan menuju Penginapan, Bara berpapasan dengan seorang pemuda yang tampak terkejut melihatnya. Pemuda itu dengan terburu-buru berkata, "Mas, apapun tujuanmu, segeralah pergi dari desa ini. Auramu terlalu terang, Mas." Tanpa menunggu jawaban dari Bara, pemuda itu berlalu dengan cepat.Bara terdiam, memandang pemuda yang menjauh dengan kebingungan. 'Apa maksud dari kata-kata pemuda itu? Aura terang, apa maksudnya?'Keanehan-keanehan yang terjadi di desa ini semakin membuatnya bimbang apakah ia harus tetap tinggal atau pergi."Loh Mas, dari mana?" tanya seorang yang lewat, Bapak itu adalah penjual bensin eceran yang awalnya menunjukkan jalan untuk Bara"Eh ini Pak saya mau balik ke Penginapan, tapi sebelum itu apa Bapak tau mungkin ada tetua di kampung ini?. Kebetulan saya mau ketemu beliau."

  • Anak Jendral dan Desa Penyamun   Pesona Kenanga si Gadis Desa

    Setelah perbincangan yang hangat tadi, Bara kembali ke kamarnya dan mulai sibuk menulis jurnalnya perjalanannya. Sudah beberapa jam ia asyik mencatat pengalaman-pengalaman dan pikiran-pikirannya. Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan yang datang dari pintu kamarnya. Bara mengernyit heran, karena ia tidak sedang mengharapkan kedatangan siapapun.Dengan hati-hati, Bara membuka pintu dan terkejut melihat seorang wanita cantik berdiri di hadapannya. Wanita itu tersenyum manis, "Maaf menganggu Mas. Saya Kenanga, cucu dari Nenek Lastri yang tadi Mas tolong""Oh iya, saya Bara" Bara keluar dari kamar dan berdiri berhadapan dengan Kenanga"Ini Mas, saya bawa makanan. Bentuk ucapan terima kasih saya karena Mas Bara sudah mau membantu Nenek saya tadi" Kenanga menyodorkan sebuah rantang berisi makanan yang terlihat lezat. Bara merasa senang dan terharu dengan perhatian Kenanga. "Wah, saya sangat berterima kasih." Bara menerima makanan itu dengan wajah yang bahagia"Baiklah Mas, saya balik dulu.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status