Share

Perjalanan mencari jati diri

Tok..tok!!!

"Siapa?" teriak Bara, masih dalam keadaan terbakar emosi.

"Ini Ibundamu, boleh Bunda masuk, Nak?" suara yang lembut menjawab teriakan Bara itu.

"Iya, Bunda," jawab Bara dengan suara yang agak reda, merasa sedikit lega mendengar suara ibunya.

Sartika, Nyonya rumah itu, seorang wanita yang terlihat anggun dan begitu lemah lembut, memasuki kamar anak tunggalnya. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, kecantikannya masih terpancar dengan gemilang. Wajahnya yang lembut dan senyumnya yang hangat membuat siapa pun merasa nyaman di dekatnya.

"Kalau tidak mau mengambil jabatan itu, kamu mau jadi apa, Nak? Kamu bilang mau merantau, mau kemana kamu? Disini, hidupmu dekat dengan orang tua, semua fasilitas yang kamu butuhkan tersedia. Koneksi Ayahandamu lebih dari cukup untuk kamu bisa menjadi orang sukses. Apa yang kamu cari, Nak?" Runtutan pertanyaan itu menyerbu Bara, menciptakan keheningan yang tegang di dalam kamar.

Bara menatap Ibunda yang selalu ada di sisinya, selalu membelanya, dan terlihat begitu sangat khawatir atas keputusan anaknya itu. Ia merasakan beban yang berat di pundaknya, merasa ditantang untuk menjelaskan apa yang ada di dalam hatinya.

"Pikirkanlah baik-baik, Nak. Setiap keputusan yang kamu buat hari ini adalah sesuatu yang akan kamu terima di kemudian hari," lanjut Sartika dengan suara lembut namun penuh kebijaksanaan. Ia kemudian meninggalkan kamar anaknya, memberikan waktu dan ruang bagi Bara untuk merenungkan kata-kata yang baru saja disampaikan.

***

Hari itu tanggal 2 Juni 2019, suasana di rumah Bara terasa tegang. Bara, yang sudah mengemasi barang-barangnya, turun ke bawah hendak berpamitan. Di ruang tamu, terlihat kedua orangtuanya yang sedang berbincang. Tiba-tiba, mereka terhenti dan menatap Bara dengan ekspresi campuran dari keheranan, kekhawatiran, dan mungkin juga sedikit kekecewaan.

"Heh... Jadi, mantap sekali langkahmu keluar dari rumah ini?" tanya Ayahnya dengan nada remeh.

"Nak, sudah yakin dengan keputusanmu?" Ibunya menimpali dengan suara lembut namun penuh kekhawatiran.

Bara mengangguk mantap, memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan-pertanyaan itu. Dia mendekati Ibunya, berlutut di depannya, memohon restu atas perjalanannya yang belum pasti tujuannya, namun yang pasti adalah keinginannya untuk keluar dari rasa bosan yang telah menghantuinya selama ini.

""Jangan membuat keputusan ketika sedang emosi, Nak. Urungkanlah niatmu untuk pergi," pinta Ibunya dengan suara yang penuh kelembutan, mencium pucuk kepala Bara dengan penuh kasih sayang.

Bara yang masih berlutut di hadapan Ibunya menatap mata wanita yang begitu ia cintai. "Bunda, aku sudah dewasa dan telah mencapai saatnya untuk mencari jalan hidupku sendiri. Aku mohon restumu, Bunda," kata Bara dengan suara yang penuh rasa harap, lalu ia bersujud dan mencium lembut kaki Ibunya sebagai tanda penghormatan dan permohonan.

Melihat hal tersebut, Ibunya pundak Bara dengan penuh kasih sayang, merasakan getaran keberanian dan tekad dalam genggaman itu. "Hati-hati ya, Nak. Jaga dirimu dengan baik, dan pulanglah dengan selamat," ucap Ibunya dengan nada yang penuh kekhawatiran, tak bisa menyembunyikan perasaannya yang cemas di raut wajahnya yang penuh kasih.

Ibunya menatap sang Ayah dengan harapan yang dalam, berharap suaminya mengucapkan sesuatu yang bisa merubah keputusan Bara, agar anak semata wayang mereka tak jadi meninggalkan rumah. Namun, Ayahnya tetap teguh pada pendiriannya, tak bergeming sedikit pun. Keputusan Bara untuk pergi tampaknya tak bisa digoyahkan oleh apapun, termasuk oleh kerasnya sang Ayah

"Cepat pergilah, aku muak melihat anak pembangkang sepertimu! Pergi dan jangan pernah menginjakan kaki lagi di rumah ini!" Suara ayahnya terdengar memenuhi ruangan, bergema seiring dengan tangis yang pecah dari bibir sang ibu. Tangisnya mencerminkan kepedihan dan kehancuran yang dirasakan oleh kedua orang tua Bara dalam momen yang sulit ini.

Bara berdiri menatap ayahnya dengan berani, menunjukkan bahwa dia adalah laki laki yang bertanggung jawab pada perkataannya. Kemudian dia menatap ibunya, "Terima kasih sudah percaya padaku,Bun" kata Bara dengan suara yang penuh rasa terima kasih. Ia mencium punggung tangan Ibunya sebagai tanda penghormatan dan kasih sayang. Kemudian, dengan langkah mantap, ia melangkah keluar rumah menuju motornya yang sudah siap menemani perjalanan barunya. Lambaian tangan Ibunya mengiringi kepergian Bara, memberikan dukungan dan doa yang tak terucapkan secara langsung.

"Den... Den..." suara yang cukup familiar terdengar memanggil Bara, membuatnya menghentikan motornya dan mencari sumber suara itu dengan penuh keingintahuan. Dari kejauhan, terlihat Ningsih berlari terseok-seok dengan nafas terengah-engah, tampaknya ada sesuatu yang penting yang ingin dia sampaikan kepada Bara.

Dengan cepat, Bara melambaikan tangannya dengan penuh kekhawatiran, memberi sinyal bahwa ia melihat Ningsih dan siap mendengarkan apa yang ingin disampaikannya. "Ada apa, Bi? Astaga!" Bara memegang pundak wanita itu dengan sigap, khawatir dengan keadaannya yang tampak kelelahan dan terengah-engah.

"Ini, Den... hah... huhh..." Ningsih mencoba mengatur nafasnya yang terseret oleh kecepatan larinya. Dalam genggaman tangannya, terlihat sebuah gelang yang tampak berkilauan dan memiliki makna yang mendalam.

Bara memperhatikan gelang yang hendak diberikan oleh Ningsih, matanya penuh dengan rasa penasaran dan keingintahuan. "Apa ini, Bi?" tanyanya dengan suara yang penuh antusiasme, penasaran dengan objek yang dipegang oleh Ningsih dan ingin mengetahui arti di baliknya.

"Ini adalah gelang dari saya, Den. Saya berharap agar Den Bara selalu dilindungi sepanjang perjalanan ini," ucap Ningsih dengan suara yang penuh harap dan mata yang berkaca-kaca, menunjukkan betapa pentingnya gelang itu bagi Bara dan betapa besar harapannya untuk keselamatan dan keberhasilan Bara dalam perjalanannya.

Bara tersenyum, merasa tersentuh dengan tindakan dan harapan yang tulus dari Ningsih. "Terima kasih, Bi," ujarnya dengan suara yang penuh dengan rasa terima kasih dan juga kehangatan. Sambil memakai gelang itu di pergelangan tangannya. Gelang itu terlihat sangat pas dan memberikan semacam perlindungan dan dukungan tak terlihat bagi Bara, mengingatkannya bahwa dia tidak sendirian dalam perjalanan hidupnya.

Kemudian, setelah berpamitan dengan Ningsih, Bara melanjutkan perjalanan. Namun, dalam perjalanan itu, perkataan Ayahnya terus terngiang-ngiang di telinganya. Kata-kata itu memberikan dorongan dan menambah keberanian dalam dirinya.

Dalam perjalanan yang dilaluinya, Bara merasakan beban berat yang terletak di dadanya. Kata-kata yang terlontar dari ayahnya saat mengusirnya dari rumah masih terus menghantui pikirannya, mematahkan hatinya yang penuh dengan kerinduan dan keinginan untuk diterima. Namun, dalam keheningan malam yang gelap, Bara membulatkan tekadnya untuk terus berjalan, mencari jati dirinya yang sejati.

Setiap jalan yang diambilnya adalah langkah menuju kebebasan dan kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan impian yang menggelora dalam dirinya. Meskipun hatinya terasa hancur, Bara menemukan kekuatan baru dalam dirinya untuk terus maju, memperjuangkan haknya untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam perjalanan yang penuh tantangan dan ketidakpastian, Bara berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan membuktikan kepada dunia dan terutama kepada ayahnya bahwa dia mampu meraih kebahagiaan dan kesuksesan dengan caranya sendiri. Dengan tekad yang tak tergoyahkan dan semangat yang membara, Bara melangkah maju, siap menghadapi segala rintangan dan menemukan jati dirinya yang sejati di tengah perjalanan hidup yang menantang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
acbcdefghijkala
semangat torr
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status