Share

Anak Kembar yang Dibedakan
Anak Kembar yang Dibedakan
Penulis: Mumtaza wafa

Sabia

BREAKING NEWS

Selebgram cantik pendatang baru, Sabrina Maryam mendapat penghargaan sebagai duta kecantikan.

Aku menatap layar ponsel yang menampilkan foto cantik Sabrina—kembaranku. Ada denyut didada. Iri? Tentu saja. Dia selalu lebih beruntung dan bersinar dariku. Sejak dulu.

Kami kembar, tapi tak serupa. Jika berpikir saudara kembar akan mempunyai wajah sama dan ikatan batin yang kuat, kalian salah. Bahkan, ketika aku di bully saat sekolah dulu, dia hanya diam saja. Sungguh tak berperi kesaudaraan.

Dia cantik, aku tidak.

Dia tinggi, aku tidak.

Dia langsing, aku ... bahkan seperti bundelan karung beras.

Nasib Sabrina selalu beruntung, aku kebalikannya. Satu-satunya yang dapat aku banggakan adalah aku pintar. Jangan heran kenapa, karena kenyataannya seperti ini.

Dia mirip sekali dengan Mama, dan aku sangat mirip dengan Papa. Mama yang cantik, tinggi dan putih, menurunkan gennya ke Sabrina. Sungguh Sabrina sangat serakah mengambil semua kecantikan Mama tanpa menyisakan sedikit pun padaku.

Harusnya bagi hasil, karena aku juga bersedia berbagi rahim dengannya. Padahal, aku lahir 5 menit lebih dulu darinya, harusnya aku juga mendapat bagian kecantikan Mama minimal separo.

Cih. Menyebalkan sekali bukan?

Sejak dari rahim bahkan dia sudah mulai diet dengan mengikhlaskan sebagian besar nutrisi selama kehamilan Mama kepadaku. Aku lahir dengan berat badan 3 kilogram, sementara dia hanya 2,4 kilogram.

“Kamu sedang apa?”

Aku segera menutup ponsel begitu suara Papa terdengar. Meliriknya sebentar, lalu aku kembali fokus pada laptopku.

“Kamu sudah lihat berita?” tanya Papa lagi yang ku jawab dengan sebuah anggukan.

“Papa akan lebih bangga jika dia menutup aurat sepertimu.” Lelaki itu mengembuskan napas berat, lalu mengelus punggungku.

“Papa lihat beritanya?”

“Tentu.”

“Harusnya Papa bangga.”

Papa menggeleng, “Besok jadwal kamu menginap di rumah Mama?” tanya Papa.

Aku mengangguk.

“Kalau begitu, bersiaplah. Besok Papa antar sekalian jemput Sabrina—“ ucapan Papa terhenti.

“Papa lupa kalau Sabrina bisa ke sini sendiri.”

Aku menjatuhkan diri ke kasur setelah Papa benar-benar menghilang dari balik pintu. Aku dan Sabrina berpisah sejak masuk bangku SMP, mungkin itu yang menjadi penyebab kami kekurangan ikatan batin.

Aku melirik ponsel yang sejak tadi berkedip.

[Bilang Papa, aku besok masih ada jadwal.]

Pesan dari Sabrina ku abaikan, lalu melihat pesan lain yang masuk. Kamu tak seakrab itu.

[Biantet, main yuk.]

Dih.

[Ogah.]

Seenaknya saja mengganti nama anak orang. Padahal Papa mengadakan pengajian di hari ketujuh kelahiranku untuk memberi nama Sabia Maryam.

Kukuh Bima mengirimkan foto.

Sial.

Bakso Mang Daud sungguh menggoda iman. Padahal aku rencananya mau diet biar langsing seperti Sabrina. Benar-benar Kukuh meluruhkan niatku.

[Otw.]

Akhirnya aku mengalah. Dietnya besok saja. Inilah yang membuatku lebih beruntung dari Sabrina, bisa makan apa pun yang kusuka tanpa ada yang melarang.

Aku ingat Sabrina bahkan di tegur oleh Mama ketika sedang menikmati bakso yang kubawa.

“Sabrina, jangan makan sembarangan,” tegur Mama saat itu. “Sabia, lain kali kalau mau ke rumah Mama jangan bawa makanan yang nggak sehat itu, kamu tahu kan Sabrina harus menjaga tubuhnya. Kamu juga kurangi makanan nggak sehat begitu, lihat badan kamu sudah kayak karung beras.”

Aku menelan bakso yang baru saja ku masukan ke mulut tanpa kukunyah menyebabkan aku tersedak.

“Astaga.” Mama dengan cepat menepuk punggungku dengan keras. “Makanya kalau makan pelan-pelan. Kayak Papamu nggak pernah kasih makan aja.”

"Apa anak Mama hanya Sabrina?" Aku menyingkirkan tangan Mama dari punggungku begitu beliau menyinggung Papa.

“Alhamdulillah, Papa nggak pernah melarang Bia makan apa pun,” sindirku.

“Pantas saja badan kamu jadi bengkak gitu. Berapa berat badan kamu sekarang?”

Astaghfirullah! Anak sendiri di bully. Aku melirik Sabrina yang terlihat acuh.

“Apa penampilan begitu penting buat Mama?”

“Tentu dong. Kamu lihat Sabrina, adikmu itu sudah jadi orang terkenal sekarang berkat penampilannya yang menarik. Sudah bisa menghasilkan uang sendiri,” papar wanita yang melahirkanku itu membanggakan kembaranku.

“Mama heran, kalian kembar tapi kenapa beda banget.”

Aku mengembuskan napas kasar. Bukan sekali dua kali Mama membandingkanku dengan Sabrina seperti ini.

“Aku juga bisa menghasilkan uang sendiri, Ma.”

“Jadi apa kamu?”

“Aku pen—“

“Stop, Ma!”

Kami mengalihkan pandangan pada Sabrina yang terlihat frustrasi.

“Kalian sangat berisik,” ucapnya lalu pergi dari meja makan. Sementara aku, menatap Mama jengah dan melakukan hal sama seperti yang Sabrina lakukan. Meninggalkan Mama sendiri dengan tumpukan mangkok bakso yang belum habis isinya.

Kan mubazir.

Maunya sih, balik lagi ambil bakso yang tersisa. Tapi gengsi. Aku kan sedang marah!

Kukuh melambaikan tangannya ketika melihatku memarkirkan motor di depan warung bakso langganan kami. Sepertinya dia bersama Puput.

“Duduk sini, Bi.” Puput menepuk bangku di sebelahnya.

Setelah memesan seporsi bakso, aku duduk di Puput.

“Makin glowing aja, Put,” kataku sambil menyeruput es teh manis dari gelas gadis itu.

“Es orang main minum saja,” sungut Puput mengambil kembali esnya. Pelit.

“Ajarin Sabia makeup bisa glow up juga kek lu, Put.” Kukuh menimpali. "Muka kusam banget kek debu aspal."

Astaghfirullah. Hobi sekali membuatku berdzikir terus-terusan.

“Bukan gue nggak mau ngajarin, ini Dugong yang nggak mau diajak glow up.”

Ck. Aku masih nyaman dengan kondisiku sekarang, walaupun jujur dari hati yang sangat dalam aku juga ingin seperti Sabrina yang mendapat pujian dari orang-orang.

Puput teman senasib seperjuangan saat kami sama-sama dibangku SMA. Jelek, kumel, kucel, dekil pokoknya istilah nggak bagus itu ada pada kami berdua. Puput dulu bahkan memakai kacamata yang hampir memenuhi separuh wajahnya. Tapi lihatlah, gadis itu bahkan kini sudah menjadi MUA.

Dan aku ... menjadi orang yang tertinggal jauh. Mau sedih tapi malu sama harga diri.

Prestasiku hanya dibidang akademik, yang lainnya bikin hati meringis. Bahkan, aku pernah sering di bully karena tak memberi jawaban saat ulangan pada teman sekelas.

“Si Sabrina makin bersinar aja,” puji Puput. “Pengikut dia di youtube sudah sepuluh juta, kecipratan duitnya nggak, lu?”

Boro-boro. Kecipratan keringatnya saja tidak.

“Jadi Beauty influncer laku keras, apalagi jaman skincare lagi digandrungi kek sekarang,” lanjutnya.

Aku mengaduk baksoku dengan tak minat. Selera makanku hilang. Seperti sadar dengan perubahan ekspresiku, Kukuh menyenggol lengan Puput.

Puput berdehem, “Lu juga cantik kok, Bi. Tapi perlu dipermak saja dikit.”

Tuh kan.

“Lu kata baju, dipermak.” Kukuh tertawa sampai menggebrak meja.

Dih! Teman macam apa mereka. Mau cari teman lain tapi tak ada yang mau. Nasib orang jelek.

Dadaku bergetar, rupanya ada panggilan masuk dari Pak Rully—bosku di kantor.

“Assalamualaikum,” ucapku.

“Kamu dimana?”

Jawab salam dulu kek.

“Makan bakso.”

“Oh, pantas saja badan kamu bulat seperti bakso.”

Astaghfirullah! Jadi dia telepon cuma buat bully?

“Sabia,” panggilnya.

“Hmmm.”

“Naskahmu akan dipinang,”

“Saya belum siap, Pak.”

Eh dia ngomong apa, sih?

“Bukan kamu. Tapi naskah kamu.”

Eh serius? Aku menggebrak meja sampai kuah bakso milik Puput dan Kukuh muncrat.

“Astaga, Sabia!” teriak mereka berdua bersamaan. Cie kompak.

“Bisa diulangi?”

“Tidak ada pengulangan, Sabia. Cepat temui saya dan dandan yang cantik.”

Mati. Maksudku teleponnya, bukan orangnya.

Apa tadi dia bilang? Dandan cantik? Cantik?

Aku melirik Puput. Puput balik menatapku curiga.

“Ada apa?”

“Gue butuh bantuan lu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status