Share

Sabrina

Aku membaca komentar-komentar di sebuah akun gosip diaplikasi I*******m. Berita tentangku yang mendapat penghargaan sempat viral di berbagai media sosial.

Gyu**

Memang cantik banget sih, dia.

Kumal*a

Prestasi dia apa?

Yunjay

Gue suka liat konten dia, bagus sih.

Besok kawin

Eh bukannya dia punya kembaran ya?

Kembaran?

Kami bahkan tak layak disebut kembar. Kami berbeda. Dia mirip Papa, dan aku lebih mirip Mama. Beruntungnya aku karena mewarisi hampir seluruh kecantikan Mama.

Tapi Sabia—kembaranku mewarisi kecerdasan Papa yang seorang dosen di universitas negeri yang cukup terkenal di Jakarta. Itulah yang membuatku merasa sangat kesal dengannya.

“Sabrina, coba kamu belajar lebih giat lagi seperti Sabia agar mendapat nilai yang lebih baik,” ucap Papa ketika aku memberi kertas hasil ulangan.

Aku melirik Sabia dengan mata melotot. Sabia menunduk. Cupu. Dia bahkan tak belajar sama sekali. Hobinya membaca komik atau novel. Membosankan sekali hidupnya.

“Sabia mendapat nilai sempurna, kamu separuhnya saja nggak ada. Jangan kebanyakan main Sabrina.”

Aku merengut. Aku sudah belajar selama 3 jam tanpa henti. Tapi, memang sepertinya otakku sulit sekali menyerap pelajaran, malah lebih cepat nyambung jika tentang makeup dan skincare.

Ini pasti gara-gara Sabia yang serakah mengambil hampir semua nutrisi yang Mama makan saat beliau hamil.

Aku mematut diri di depan cermin. Cantik seperti biasa. Aku mengambil makeup remover dari skincare merk terkenal, lalu menuangkannya diatas kapas. Wajahku terasa ringan setelah membersihkan riasan yang hampir seharian menempel dikulitku. Belum lagi debu dan polusi.

“Bri.”

Aku melirik Mama yang datang dengan buket bunga.

“Lihat, kamu dapat bunga dari Pak Rully. Kamu tahu kan dia produser film,” ucap Mama dengan senyum lebar di bibirnya.

Aku tak merespons. Entah mengapa Mama menjadi terlalu obsesi menjadikanku seorang artis, padahal sudah ku bilang kalau aku hanya ingin menjadi konter kreator.

Aku suka dengan kecantikan dan skincare, bukan berarti aku mau juga masuk ke dalam dunia selebriti. Aku hanya ingin membuat konten review tentang beberapa produk kecantikan karena memang dibidang inilah keahlianku.

“Ma.”

“Sepertinya dia suka sama kamu, Bri,” ucap mama lagi.

“Memberi bunga bukan berarti suka, Ma. Dia hanya juga tamu diacara tadi.”

“Tapi Mama punya firasat lain.”

Aku memutar bola mata. Mama mengambil duduk di sebelahku.

“Kamu sudah 25 tahun, Bri.”

Aku hanya bergumam. “Sabia juga, Ma.”

“Kita sedang membicarakan kamu, Sabrina.”

“Seharusnya bukan aku saja yang Mama tuntut bisa ini, bisa itu. Sabia juga anak Mama.”

“Dia berbeda,” lirih Mama.

“Dia jelek, maksud Mama?”

“Mama nggak pernah bilang dia jelek.”

“Lalu?”

“Dia... lebih memilih Papa dari pada Mama.”

“Bukankah adil?” tanyaku membuat Mama bungkam.

“Kamu nggak mengerti, Bri.”

“Mama yang nggak ngerti!” seruku menaikkan nada suaraku membuat Mama sedikit terkejut.

Aku mendesah pelan, “Maaf.”

“Tidurlah, sepertinya pikiranmu sedang kacau. Besok jadwalmu menginap di rumah Papamu.” Mama beranjak dari kamarku. “Kuatkan hatimu di sana, jangan sampai kamu termakan omongan Papamu.”

Mama keluar kamarku dengan sedikit membanting pintu.

Aku masuk kamar mandi untuk melakukan double cleansing pada wajahku untuk menghindari penyumbatan pada pori-pori wajah karena makeup. Tak lupa juga memakai toner, serum dan cream malam agar glazed skinku tetap terjaga.

Tahap terakhir ku oleskan lip treatment yang membuat bibirku tampak lembap, lembut dan juga terlindungi dari sinar UV. Hampir semua skincare yang aku pakai dari skincare merk terkenal.

Iseng ku lirik status di aplikasi chat Sabia yang baru saja muncul dilayar ponselku.

‘Biar makin bulat.’

Begitu caption di bawahnya dengan sebuah foto 3 mangkok bakso.

Bukankah dia lebih beruntung dariku?

____________________

Aku berpapasan dengan Sabia di depan pintu gerbang rumah Mama. Sejak orang tua kami berpisah, aku dan Sabia juga tinggal terpisah. Baguslah. Aku jadi tak merasa sebal dengan pujian Papa yang selalu dilayangkan untuknya.

Sabia yang selalu juara kelas.

Sabia yang selalu menang Olimpiade sains, dan seabrek prestasi Sabia yang tak dapat aku raih.

Aku sedikit terkejut melihat penampilannya yang tampak—berbeda.

“Lu dandan?” tanyaku yang dijawab dengan anggukan kepalanya.

Seperti yang kukatakan, hubungan kamu tak terlalu baik.

Kami terlahir dengan kembar fraternal atau kembar tidak identik, dimana sel telur dibuahi oleh dua sel sperma yang membuat wajah kami berbeda. Selain itu juga kami memiliki plasenta yang berbeda.

Tapi plasenta milik Sabia sepertinya lebih cepat menyerap nutrisi sehingga dari bayi pun dia sudah tampak bulat.

“Tolong jaga Papa,” ucapnya. “Akhir-akhir ini kesehatannya sedang kurang baik.”

Aku mengangguk malas, lalu memasuki mobil yang terparkir di halaman rumah.

Sebelum ke rumah Papa aku akan mengambil video untuk barang-barang endors yang masuk di rumah kontrakan yang sengaja ku jadikan gudang.

Sengaja tak ku letakkan di rumah Mama, karena aku punya rencana untuk tinggal sendiri. Aku terlalu lelah jika terus mengikuti ucapan Mama.

“Bri, gue dengar Tante Astri mau daftarin lu ikut casting main film series,” ucap Risa, asisten pribadiku.

Masa sih?

“Mama belum ngomong apa-apa ke gue, Ris.”

“Film yang diadopsi dari novel sebuah aplikasi penulisan sih, katanya,” kata Risa lagi.

Aku mengangkat bahu acuh. Jika benar, Mama sungguh keterlaluan, mengambil keputusan tanpa diskusi terlebih dahulu denganku. Padahal, akulah yang menjalaninya.

“Lu tahu produsernya?”

Aku menggeleng.

“Pak Rully.”

Eh yang semalam menitipkan bunga pada Mamakah?

“Selain produser, dia juga punya perusahaan dibidang penerbitan,” jelas Risa.

Aku tak peduli.

“Ganteng dia, loh. Keknya cocok sama lu, Bri.”

“Jadi barang mana dulu yang mau diambil videonya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Ini.” Risa memberikan satu kotak alat makeup untuk ku review dan promosikan ke akun media sosialku, karena memang aku hanya menerima endors yang berhubungan dengan kecantikan.

Aku melajukan mobil setelah selesai melakukan pekerjaanku menuju perumahan yang Papa tinggali. Masih di daerah Jakarta, hanya beda wilayah.

Aku membunyikan klakson kepada beberapa pemuda yang menghalangi jalanku. Kurang kerjaan memang, main kok di jalanan. Harusnya rumah Papa tak jauh lagi dari sini, tapi mereka sangat mengganggu.

“Ada masalah apa?” tanya salah satu dari mereka.

“Bisa minggir?” tanyaku balik. “Kalian menghalangi jalan.”

“Sabrina?” tanya salah satu dari mereka yang wajahnya tak asing bagiku.

“Kenal?”

Pemuda itu mengangguk. “Kembarannya Biantet. Sori, maksud gue Sabia.”

Aku tersenyum miring. Pantas tak asing, sepertinya memang pemuda ini yang ada di status aplikasi chat Sabia semalam.

“Bisa suruh teman lu minggir?”

“Tentu.”

Pemuda itu memberi kode pada teman-temannya untuk memberi jalan untukku.

“Thanks,” ucapku sebelum melajukan mobil ke rumah Papa.

_____________

“Kamu sudah datang?” tanya pria yang rambutnya sudah mulai beruban itu.

Aku mengangguk.

“Kamar kamu sudah Sabia siapkan dari tadi pagi.”

Papa memang hanya tinggal berdua dengan Sabia setelah bercerai dengan Mama. Entah alasan apa yang membuat mereka berpisah, kami—aku dan Sabia tak pernah tahu.

“Papa sudah memasak untukmu,” ucap Papa.

Mama bahkan tak pernah memasak untukku.

“Mamamu bilang, kamu nggak boleh makan yang berlemak, jadi Papa buatkan sup.”

“Pah,” panggilku membuat Papa memandangku penuh tanya.

“Aku ingin makan apa pun yang aku mau tanpa sepengetahuan Mama,” pintaku.

Ini adalah kesempatanku. Jujur saja, aku selalu merasa iri dengan Sabia yang selalu bisa makan apa saja tanpa takut kena marah Mama. Berbeda denganku yang selalu Mama atur. Bahkan, makan nasi putih mungkin hanya 3 kali dalam seminggu.

“Tapi—“

“Aku ingin makan bakso seperti Sabia.” Aku memotong ucapan Papa.

“Sabrina—“

Aku berjalan keluar tanpa memedulikan panggilan Papa.

“Astaga.”

Hampir saja aku bertabrakan dengan pemuda yang sepertinya teman Sabia.

“Kamu teman Sabia?” tanyaku sok kenal.

Dia mengangguk. Aku menarik tangannya untuk segera pergi dari rumah Papa.

“Antar aku makan bakso.”

Dia menatapku seperti ingin protes.

“Maaf—“

“Dimana warungnya?”

Dia tak menjawab, malah menghentikan langkahnya.

“Kenapa?” tanyaku.

Dia menarik tangannya yang sedari tadi kupegang. “Bukan mahram.

Astaga.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Adam Tutorial
akhirnya sabia d sini juga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status