“Tadi kamu jadi ke kantor polisi, Yang?”
Aku melirik suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk di kepalanya. Sejak kami menikah, hal-hal seperti ini sudah biasa kulihat dan tak menjadi kecanggungan lagi diantara kita.Aku mengangguk.“Terus gimana?” tanyanya lagi.“Nggak gimana-gimana, kok. Aku cuma dijadikan saksi saja, lagian aku juga salah satu korbannya. Dia nipu aku, kamu tahu kan? Dan...” Aku mengembuskan napas berat. “Aku ketemu Risa.”“Risa asisten kamu itu?”Aku mengangguk lagi. “Mereka sudah lama punya hubungan ternyata, dan aku sama sekali nggak tahu. Aku merasa dibohongi sama dia,” gumamku dengan suara parau.Kukuh mendekat, merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya dan mengelus punggungku pelan.“Nanti aku boleh kan, ketemu dia lagi? Sebentar saja, tadi aku nggak sempat berbicara banyak.”Kukuh mengangguk. “Tentu. KBREAKING NEWSSelebgram cantik pendatang baru, Sabrina Maryam mendapat penghargaan sebagai duta kecantikan. Aku menatap layar ponsel yang menampilkan foto cantik Sabrina—kembaranku. Ada denyut didada. Iri? Tentu saja. Dia selalu lebih beruntung dan bersinar dariku. Sejak dulu.Kami kembar, tapi tak serupa. Jika berpikir saudara kembar akan mempunyai wajah sama dan ikatan batin yang kuat, kalian salah. Bahkan, ketika aku di bully saat sekolah dulu, dia hanya diam saja. Sungguh tak berperi kesaudaraan.Dia cantik, aku tidak.Dia tinggi, aku tidak.Dia langsing, aku ... bahkan seperti bundelan karung beras.Nasib Sabrina selalu beruntung, aku kebalikannya. Satu-satunya yang dapat aku banggakan adalah aku pintar. Jangan heran kenapa, karena kenyataannya seperti ini.Dia mirip sekali dengan Mama, dan aku sangat mirip dengan Papa. Mama yang cantik, tinggi dan putih, menurunkan gennya ke Sabrina. Sungguh Sabrina sangat serakah mengambil semua kecantikan Mama tanpa menyisakan sedikit pun pada
Aku membaca komentar-komentar di sebuah akun gosip diaplikasi I*******m. Berita tentangku yang mendapat penghargaan sempat viral di berbagai media sosial.Gyu**Memang cantik banget sih, dia.Kumal*aPrestasi dia apa?YunjayGue suka liat konten dia, bagus sih. Besok kawinEh bukannya dia punya kembaran ya?Kembaran?Kami bahkan tak layak disebut kembar. Kami berbeda. Dia mirip Papa, dan aku lebih mirip Mama. Beruntungnya aku karena mewarisi hampir seluruh kecantikan Mama. Tapi Sabia—kembaranku mewarisi kecerdasan Papa yang seorang dosen di universitas negeri yang cukup terkenal di Jakarta. Itulah yang membuatku merasa sangat kesal dengannya. “Sabrina, coba kamu belajar lebih giat lagi seperti Sabia agar mendapat nilai yang lebih baik,” ucap Papa ketika aku memberi kertas hasil ulangan.Aku melirik Sabia dengan mata melotot. Sabia menunduk. Cupu. Dia bahkan tak belajar sama sekali. Hobinya membaca komik atau novel. Membosankan sekali hidupnya.“Sabia mendapat nilai sempurna, kamu se
“Serius ini gue?” tanyaku tak percaya setelah melihat pantulan dicermin. Puput mengangguk.“Nggak nyangka ternyata gue cantik juga,” ucapku bangga sambil meraba wajah yang kini mirip dengan Sabrina.“Lu tuh cantik, Bia,” puji Puput. “Tapi lu songong nggak mau glow up. Bangga banget dengan muka dekil lu itu.”“Entar gue pikir-pikir dulu. Lagian ini demi naskah gue yang mau dijadikan series.”“Akhirnya setelah lima kali ganti makeup ada yang cocok juga sama muka lu, Bi,” ujar Puput lega.Aku tertawa membayangkan betapa kesalnya muka Puput setengah jam yang lalu saat aku memprotes hasil riasannya. Ya iyalah, siapa yang nggak protes kalau request biar jadi Lisa blackpink malah jadinya kek emak-emak mau kondangan.Menor.“Lu nggak sadar diri, Bia,” kesal Puput saat aku memprotesnya. “Muka lu juga pas-pasan, lu malah ngelunjak minta dibikin biar kek si Lisa.”“Ya kan katanya lu biasa makeup-in artis.”“Gue MUA, bukan dokter plastik!” protes Puput sambil menoyor kepalaku. Ish, bisa bodoh ak
Lelaki di hadapanku bernama Kukuh Ardi. Kami baru saja berkenalan tadi saat sampai di warung bakso.“Teman main Sabia di saat suka maupun duka,” katanya.Aku mengernyit. Sungguh romantis sekali. Itu teman main apa teman hidup?“Jadi—lu juga tahu tentang gue?” Tanyaku lagi.“Tentu.” Dia kembali menikmati baksonya. “Kalian anak kembar yang beda nasib.”“Kami hanya beda jalan,” protesku.“Sama saja.”Terserahlah. Aku lebih suka menikmati baksoku dari pada menanggapi omongan Kukuh. Kapan lagi aku bisa bebas memakan apa pun yang ku mau. Mama tak akan tahu.“Lu nyaman tinggal sama nyokap lu?”Aku menghentikan kunyahanku. Kenapa dia ingin tahu?“Lu tahu, Sabia nggak pernah nyaman tinggal di rumah nyokap kalian, karena selalu dibandingkan sama lu.”“Gue juga merasakan hal yang sama, kalo lu mau tahu. Gue seperti hidup tanpa kemauan gue sendiri. Entah, rasanya berat banget harus menuruti keinginan Mama.”“Jadi, lu melakukan semua kerjaan dengan terpaksa?” tanya Kukuh lagi. Kepo sekali dia.Aku
Aku mencoba fokus pada layar laptop di depanku. Menjadi seorang penulis adalah keinginanku sejak SMP. Hobi membaca dan menulis buku diary, membuatku terbiasa menyusun setiap kalimat yang muncul di kepala menjadi sebuah tulisan.Aku memasukkan karakter Mama pada tokoh antagonis yang sedang ku tulis. Siapa suruh marah-marah terus, inilah akibatnya jika membuat masalah dengan penulis. Karaktermu bakal diabadikan di dalam tulisan.“Hapus, deh,” ucapku menghapus tulisan tentang Mama. Bisa dikutuk jadi cantik kalau ketahuan. Lagi pula aku juga masih menaruh hormat pada Mama dan tak ingin dianggap durhaka. “Bisa bantu Mama?” “Astaghfirullah!”Bikin kaget saja! Mama tiba-tiba muncul dibalik pintu.“Apa?” tanyaku malas.“Keluarlah,” ucap Mama.Pintu kamarku ditutup lagi. Tanpa mematikan laptop, aku menyusul Mama yang berjalan lebih dulu.“Mama habis belanja bulanan.” Mama menunjuk pada beberapa kantong belanjaan yang berserakan di dapur.“Kebetulan yang biasa bantu-bantu sedang pulang, bisa
[Ingat, Bri, sore nanti ada casting.]Pesan dari Mama aku abaikan. Kabarnya, produser dari series yang akan aku bintangi adalah Pak Rully—bos Sabia.Melihat interaksi Sabia dengan bosnya, sepertinya mereka sudah lama dekat. Bahkan, mereka terlihat akrab. Berbeda denganku yang introvert, Sabia selalu bisa mencairkan suasana. Pembawaannya yang apa adanya selalu membuatnya cepat akrab dengan orang lain.Aku?Teman pun selalu datang dan pergi jika sudah menumpang pada ketenaranku. Setelah tadi melakukan pemotretan untuk barang-barang endors, seperti biasa aku akan mereview beberapa produk kosmetik yang kugunakan.Aku menyalakan kamera untuk melakukan live di akun sosial mediaku. Pengikutku sudah lumayan banyak, sekitar sembilan ratus ribu.“Hai gaes, kali ini aku mau bikin make up tipis-tipis, pokoknya simpel banget buat kalian yang kepingin hang out bareng besti,” ucapku menyapa beberapa orang yang mulai mengikuti live-ku.“Nah, ini dia.” Aku menunjukkan tepat di kamera beberapa produk
“Saya masih nggak menyangka kalau kamu kembaran Sabrina,” kata Pak Rully menatapku curiga.Setelah Papa dan Sabrina pulang, aku dan Pak Rully masih duduk di restoran untuk rapat. Katanya.Aku berdecak. “Nggak usah heran gitu deh, Pak.”“Kamu yakin bukan anak pungut?” E buset itu mulut. “Astaghfirullah. Mulut enak benar ngomong.”“Ya, kan, siapa tahu.”“Bapak nggak liat muka Papa saya? Kami mirip loh.”“Iya sih, mirip bulatnya.”Astaga.Hampir saja aku melempar gelas jus di depanku kalau tak ingat kalau dia bosku.“Jadi intinya Bapak ngajak saya ke sini untuk apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.“Saya mau besok kamu ikut ke lokasi.”Ck. Padahal bisa kirim pesan saja, kenapa mesti suruh datang? Bilang saja kalau kangen. “Pulsa Bapak habis?”Dia menggeleng. “Kuota habis?”Dia menggeleng lagi. “Kamu mau belikan kuota?”“Idih, ogah!”Dia ketawa. Matanya menyipit. Kok ganteng?Astaghfirullah! Sadar Sabia. Dia bos menyebalkan tukang bully. “Sepertinya kalian nggak terlalu akrab.”Aku
Di tengah riuh para talent yang mengikuti casting, aku memperhatikan bagaimana Pak Rully dan Sabia berinteraksi di depan sana. Sungguh, aku masih penasaran dengan apa yang Sabia lakukan.Apakah dia asisten Pak Rully?Aku melirik Mama yang juga ternyata memperhatikan mereka. “Kamu lihat Sabia?” Tanya Mama.Aku mengangguk. “Sepertinya dia punya peran penting di sini.”Aku mengangguk setuju. Beberapa kali dia seperti bicara pada sutradara dan juga Pak Rully. “Dia kelihatan dekat dengan Pak Rully.”“Dia bos Sabia, Ma.”“Oh, ya? Apa Sabia asistennya?”Aku menggeleng. Tidak tahu. “Lakukan yang terbaik, Sabrina. Setelah ini giliran kamu.”Aku mengembuskan napas. “Walaupun nggak dapat peran utama, tapi kamu harus dapat peran di series ini. Kamu tahu sendiri kalo series yang sedang digarap sedang di gandrungi.”“Ma—““Dengarkan saja apa kata Mama, Sabrina.”Series yang akan digarap diadopsi dari novel bergenre romansa komedi yang sedang digandrungi. Katanya, novelnya bahkan menjadi best sell