Lahir dengan keadaan kembar tak akan pernah Sabia dan Sabrina inginkan jika ternyata jadi ajang perbandingan. Mama yang selalu menuntut Sabrina tampil sempurna, dan Papa yang selalu ingin Sabia menjadi orang sukses. Bagaimana keduanya menjalani kehidupan?
Lihat lebih banyakBREAKING NEWS
Selebgram cantik pendatang baru, Sabrina Maryam mendapat penghargaan sebagai duta kecantikan.Aku menatap layar ponsel yang menampilkan foto cantik Sabrina—kembaranku. Ada denyut didada. Iri? Tentu saja. Dia selalu lebih beruntung dan bersinar dariku. Sejak dulu.Kami kembar, tapi tak serupa. Jika berpikir saudara kembar akan mempunyai wajah sama dan ikatan batin yang kuat, kalian salah. Bahkan, ketika aku di bully saat sekolah dulu, dia hanya diam saja. Sungguh tak berperi kesaudaraan.Dia cantik, aku tidak.Dia tinggi, aku tidak.Dia langsing, aku ... bahkan seperti bundelan karung beras.Nasib Sabrina selalu beruntung, aku kebalikannya. Satu-satunya yang dapat aku banggakan adalah aku pintar. Jangan heran kenapa, karena kenyataannya seperti ini.Dia mirip sekali dengan Mama, dan aku sangat mirip dengan Papa. Mama yang cantik, tinggi dan putih, menurunkan gennya ke Sabrina. Sungguh Sabrina sangat serakah mengambil semua kecantikan Mama tanpa menyisakan sedikit pun padaku.Harusnya bagi hasil, karena aku juga bersedia berbagi rahim dengannya. Padahal, aku lahir 5 menit lebih dulu darinya, harusnya aku juga mendapat bagian kecantikan Mama minimal separo.Cih. Menyebalkan sekali bukan?Sejak dari rahim bahkan dia sudah mulai diet dengan mengikhlaskan sebagian besar nutrisi selama kehamilan Mama kepadaku. Aku lahir dengan berat badan 3 kilogram, sementara dia hanya 2,4 kilogram.“Kamu sedang apa?”Aku segera menutup ponsel begitu suara Papa terdengar. Meliriknya sebentar, lalu aku kembali fokus pada laptopku.“Kamu sudah lihat berita?” tanya Papa lagi yang ku jawab dengan sebuah anggukan.“Papa akan lebih bangga jika dia menutup aurat sepertimu.” Lelaki itu mengembuskan napas berat, lalu mengelus punggungku.“Papa lihat beritanya?”“Tentu.”“Harusnya Papa bangga.”Papa menggeleng, “Besok jadwal kamu menginap di rumah Mama?” tanya Papa.Aku mengangguk.“Kalau begitu, bersiaplah. Besok Papa antar sekalian jemput Sabrina—“ ucapan Papa terhenti.“Papa lupa kalau Sabrina bisa ke sini sendiri.”Aku menjatuhkan diri ke kasur setelah Papa benar-benar menghilang dari balik pintu. Aku dan Sabrina berpisah sejak masuk bangku SMP, mungkin itu yang menjadi penyebab kami kekurangan ikatan batin.Aku melirik ponsel yang sejak tadi berkedip.[Bilang Papa, aku besok masih ada jadwal.]Pesan dari Sabrina ku abaikan, lalu melihat pesan lain yang masuk. Kamu tak seakrab itu.[Biantet, main yuk.]Dih.[Ogah.]Seenaknya saja mengganti nama anak orang. Padahal Papa mengadakan pengajian di hari ketujuh kelahiranku untuk memberi nama Sabia Maryam.Kukuh Bima mengirimkan foto.Sial.Bakso Mang Daud sungguh menggoda iman. Padahal aku rencananya mau diet biar langsing seperti Sabrina. Benar-benar Kukuh meluruhkan niatku.[Otw.]Akhirnya aku mengalah. Dietnya besok saja. Inilah yang membuatku lebih beruntung dari Sabrina, bisa makan apa pun yang kusuka tanpa ada yang melarang.Aku ingat Sabrina bahkan di tegur oleh Mama ketika sedang menikmati bakso yang kubawa.“Sabrina, jangan makan sembarangan,” tegur Mama saat itu. “Sabia, lain kali kalau mau ke rumah Mama jangan bawa makanan yang nggak sehat itu, kamu tahu kan Sabrina harus menjaga tubuhnya. Kamu juga kurangi makanan nggak sehat begitu, lihat badan kamu sudah kayak karung beras.”Aku menelan bakso yang baru saja ku masukan ke mulut tanpa kukunyah menyebabkan aku tersedak.“Astaga.” Mama dengan cepat menepuk punggungku dengan keras. “Makanya kalau makan pelan-pelan. Kayak Papamu nggak pernah kasih makan aja.”"Apa anak Mama hanya Sabrina?" Aku menyingkirkan tangan Mama dari punggungku begitu beliau menyinggung Papa.“Alhamdulillah, Papa nggak pernah melarang Bia makan apa pun,” sindirku.“Pantas saja badan kamu jadi bengkak gitu. Berapa berat badan kamu sekarang?”Astaghfirullah! Anak sendiri di bully. Aku melirik Sabrina yang terlihat acuh.“Apa penampilan begitu penting buat Mama?”“Tentu dong. Kamu lihat Sabrina, adikmu itu sudah jadi orang terkenal sekarang berkat penampilannya yang menarik. Sudah bisa menghasilkan uang sendiri,” papar wanita yang melahirkanku itu membanggakan kembaranku.“Mama heran, kalian kembar tapi kenapa beda banget.”Aku mengembuskan napas kasar. Bukan sekali dua kali Mama membandingkanku dengan Sabrina seperti ini.“Aku juga bisa menghasilkan uang sendiri, Ma.”“Jadi apa kamu?”“Aku pen—““Stop, Ma!”Kami mengalihkan pandangan pada Sabrina yang terlihat frustrasi.“Kalian sangat berisik,” ucapnya lalu pergi dari meja makan. Sementara aku, menatap Mama jengah dan melakukan hal sama seperti yang Sabrina lakukan. Meninggalkan Mama sendiri dengan tumpukan mangkok bakso yang belum habis isinya.Kan mubazir.Maunya sih, balik lagi ambil bakso yang tersisa. Tapi gengsi. Aku kan sedang marah!Kukuh melambaikan tangannya ketika melihatku memarkirkan motor di depan warung bakso langganan kami. Sepertinya dia bersama Puput.“Duduk sini, Bi.” Puput menepuk bangku di sebelahnya.Setelah memesan seporsi bakso, aku duduk di Puput.“Makin glowing aja, Put,” kataku sambil menyeruput es teh manis dari gelas gadis itu.“Es orang main minum saja,” sungut Puput mengambil kembali esnya. Pelit.“Ajarin Sabia makeup bisa glow up juga kek lu, Put.” Kukuh menimpali. "Muka kusam banget kek debu aspal."Astaghfirullah. Hobi sekali membuatku berdzikir terus-terusan.“Bukan gue nggak mau ngajarin, ini Dugong yang nggak mau diajak glow up.”Ck. Aku masih nyaman dengan kondisiku sekarang, walaupun jujur dari hati yang sangat dalam aku juga ingin seperti Sabrina yang mendapat pujian dari orang-orang.Puput teman senasib seperjuangan saat kami sama-sama dibangku SMA. Jelek, kumel, kucel, dekil pokoknya istilah nggak bagus itu ada pada kami berdua. Puput dulu bahkan memakai kacamata yang hampir memenuhi separuh wajahnya. Tapi lihatlah, gadis itu bahkan kini sudah menjadi MUA.Dan aku ... menjadi orang yang tertinggal jauh. Mau sedih tapi malu sama harga diri.Prestasiku hanya dibidang akademik, yang lainnya bikin hati meringis. Bahkan, aku pernah sering di bully karena tak memberi jawaban saat ulangan pada teman sekelas.“Si Sabrina makin bersinar aja,” puji Puput. “Pengikut dia di youtube sudah sepuluh juta, kecipratan duitnya nggak, lu?”Boro-boro. Kecipratan keringatnya saja tidak.“Jadi Beauty influncer laku keras, apalagi jaman skincare lagi digandrungi kek sekarang,” lanjutnya.Aku mengaduk baksoku dengan tak minat. Selera makanku hilang. Seperti sadar dengan perubahan ekspresiku, Kukuh menyenggol lengan Puput.Puput berdehem, “Lu juga cantik kok, Bi. Tapi perlu dipermak saja dikit.”Tuh kan.“Lu kata baju, dipermak.” Kukuh tertawa sampai menggebrak meja.Dih! Teman macam apa mereka. Mau cari teman lain tapi tak ada yang mau. Nasib orang jelek.Dadaku bergetar, rupanya ada panggilan masuk dari Pak Rully—bosku di kantor.“Assalamualaikum,” ucapku.“Kamu dimana?”Jawab salam dulu kek.“Makan bakso.”“Oh, pantas saja badan kamu bulat seperti bakso.”Astaghfirullah! Jadi dia telepon cuma buat bully?“Sabia,” panggilnya.“Hmmm.”“Naskahmu akan dipinang,”“Saya belum siap, Pak.”Eh dia ngomong apa, sih?“Bukan kamu. Tapi naskah kamu.”Eh serius? Aku menggebrak meja sampai kuah bakso milik Puput dan Kukuh muncrat.“Astaga, Sabia!” teriak mereka berdua bersamaan. Cie kompak.“Bisa diulangi?”“Tidak ada pengulangan, Sabia. Cepat temui saya dan dandan yang cantik.”Mati. Maksudku teleponnya, bukan orangnya.Apa tadi dia bilang? Dandan cantik? Cantik?Aku melirik Puput. Puput balik menatapku curiga.“Ada apa?”“Gue butuh bantuan lu.”“Tadi kamu jadi ke kantor polisi, Yang?” Aku melirik suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk di kepalanya. Sejak kami menikah, hal-hal seperti ini sudah biasa kulihat dan tak menjadi kecanggungan lagi diantara kita.Aku mengangguk. “Terus gimana?” tanyanya lagi.“Nggak gimana-gimana, kok. Aku cuma dijadikan saksi saja, lagian aku juga salah satu korbannya. Dia nipu aku, kamu tahu kan? Dan...” Aku mengembuskan napas berat. “Aku ketemu Risa.”“Risa asisten kamu itu?”Aku mengangguk lagi. “Mereka sudah lama punya hubungan ternyata, dan aku sama sekali nggak tahu. Aku merasa dibohongi sama dia,” gumamku dengan suara parau. Kukuh mendekat, merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya dan mengelus punggungku pelan. “Nanti aku boleh kan, ketemu dia lagi? Sebentar saja, tadi aku nggak sempat berbicara banyak.”Kukuh mengangguk. “Tentu. K
“Gimana?” tanyaku saat Sabrina keluar dari kantor polisi.Nama Sabrina ikut terseret dalam kasus penangkapan Adam, dan yang lebih mengejutkan, Risa—asisten Sabrina juga ikut terjaring bersama Adam. Baru aku tahu dari Sabrina jika ternyata mereka menjalin hubungan. Aku jadi merasa kasihan dengan Sabrina karena telah percaya dengan orang yang salah. Bisa dibilang Risa adalah orang terdekat Sabrina saat itu.Aku tak tahu bagaimana perasaan Sabrina saat ini, aku yakin dia sangat kecewa. “Gue hanya dijadikan saksi,” jawabnya.“Lu bilang kan, kalau mereka sengaja menjebak lu?”Sabrina mengangguk, aku bernapas lega. “Gue ketemu Risa,” katanya dengan nada sendu. “gue masih nggak nyangka saja dia ngelakuin hal ini. Padahal gue sudah percaya banget sama dia.”Aku mengelus punggungnya. Kami hanya berdua, karena Kukuh dan Mas Rully ada pekerjaan yang tak bisa ditunda.
Aku melirik lelaki yang terlelap di sebelahku. Ada debaran aneh yang bergelayut di dadaku. Untuk pertama kalinya kami bersentuhan tanpa kain penghalang. Mau diceritakan?Janganlah, aku malu. Pasalnya beberapa kali aku berteriak dan beberapa kali memukulnya karena sakit yang kurasakan, setelahnya tentu saja dia mencibirku karena aku mendesah. Sudah cukup. Aku sangat malu. Sungguh.Aku memungut pakaianku yang berceceran dilantai, lalu masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Ada beberapa jejak yang dia tinggalkan ditubuhku, aku menggeleng untuk menghilangkan ingatan tentang yang baru saja terjadi diantara kami.Astaga. Aku terkejut ketika membuka pintu kamar mandi dia sudah berdiri di depanku dengan celana kolor Spongebob kuningnya tanpa baju. Aku memalingkan muka berusaha menghindari menatap dada bidangnya yang terpampang nyata di depanku. Sepertinya dia rajin nge-gym.“An
Aku melirik tangan yang menggenggam erat jemariku di bawah meja seolah memberi kekuatan agar aku nyaman berada di depan banyak kamera. Ya, aku memutuskan untuk memberikan klarifikasi atas videoku dan Mama yang sudah tersebar di berbagai sosial media yang berimbas pada karier Sabrina dan nama baik Mama.Walaupun sampai saat ini Sabrina tak mengatakan siapa pelakunya, aku tetap akan membersihkan nama mereka. Ini adalah bentuk peduliku karena hanya mereka keluargaku semenjak Papa meninggal. “Apa Mbak Sabia diperlakukan tidak adil oleh Ibunya? Seperti yang kita lihat di video yang tersebar bahwa Ibu Anda seperti memilih kasih,” kata salah satu wartawan.Aku mengembuskan napas berat, lalu menggeleng. “Kami perlakukan sama, saya memang lebih dekat dengan Papa, kalau Sabrina dengan Mama, kalau di video itu saya rasa hanya kesalah pahaman saja, sih.”“Jadi, apa sebenarnya yang membuat Mbak Sabia memutuskan memilih Sabrina menjadi peme
“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Aku mengucap syukur hamdalah ketika dengan lancar lelaki itu mengucapkan ijab qobul di depan Papa, penghulu dan beberapa saksi lainnya. Setelah drama panjang yang dibuat oleh Mama, akhirnya aku bisa menikah dengan lelaki yang kucintai.Begitu pula dengan Sabia, kami lahir dan menikah di hari yang sama dengan kondisi yang berbeda. Harusnya aku bahagia, tapi perasaan sedihku lebih mendominasi dari pada bahagiaku. Melihat Papa yang terbaring kemudian menjadi saksi nikah kami, membuatku miris.Bukankah pernikahan harusnya disambut dengan suka cita?Tapi tidak dengan pernikahan kami.Aku bahkan hanya memakai baju sederhana yang dia bawa dari rumah. Katanya ini baju nikah Ibunya dulu. Padahal, impianku adalah menikah dengan mewah bak putri raja.Bukan seperti ini.
“Saya terima nikah dan kawinnya Sabia Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Air mataku mengalir tanpa sadar setelah para saksi dari dokter dan perawat menyaksikan pernikahan kami. Aku baru tahu, jika dokter Kalandra pernah menempuh pendidikan di pesantren, jadi kami tak perlu memanggil seorang ahli agama. Tak ada pesta, tak ada hiasan di wajah, hanya akad sederhana yang berlangsung di rumah sakit. Dengan baju gamis sederhana yang dibawakan oleh Tante Mirna, aku telah sah menjadi seorang istri. Sungguh, ini bukan jenis pernikahan yang menjadi impianku. Tapi, tak mengapa, demi Papa aku akan menjalaninya.Setidaknya aku telah memenuhi permintaan Papa untuk terakhir kalinya. Aku mewujudkan keinginan Papa untuk menjadi wali nikahku walaupun dalam kondisi terbaring lemah. Aku mencium tangan lelaki yang sudah sah menjadi suamiku dengan takzim. K
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen