Arisha bisa melihat pegawainya menunduk segan pada seseorang yang berdiri di belakangnya. Sudah Arisha duga, pasti Ilham kini sudah memergokinya. Dengan penuh keraguan, Arisha berbalik memastikan siapa yang ada di belakangnya.
“Loh, Arisha?”
Arisha menengadahkan kepalanya, matanya membelalak saat dugaannya ternyata benar. Ilham tengah berdiri menatapnya terkejut. Mata mereka saling beradu pandang di tengah keterkejutan masing-masing. Arisha tampak salah tingkah saat sudah berusaha untuk terus menghindar tetapi pada akhirnya tetap saja mereka bertemu.
“Ah, iya. Anda yang memesan katering, ‘kan?” tanya Arisha yang terlihat bingung.
“Maaf, Bu. Saya permisi dulu,” pamit sang pegawai yang merasa canggung berada di sana.
Tangan Arisha segera menggapai tangan si pegawai agar tidak pergi meninggalkannya. Hal itu cukup membuat si pegawai sedikit terkejut karena ia sampai tertarik selangkah kebelakang imbas dari tari
Perhatian Ilham segera teralihkan pada sepasang anak yang meneriakinya dengan sebutan papa. Ilham sedikit terkejut dengan kehadiran Tara dan Tya yang tiba-tiba saja menghambur ke arahnya. Sendok yang ia pegang untuk menyuap hidangan yang Arisha suguhkan untuk ia cicipi pun segera ia simpan. “Tara! Tya! Ngapain kalian ke sini!?” seru Arisha bertanya. Dengan wajah tanpa merasa bersalahnya, Tya melirik sekilas ke arah sang ibunda lalu memeletkan lidahnya sekilas. Hal tersebut tentu saja membuat mata Arisha membelalak tidak percaya. Ia bisa melihat betapa bahagianya kedua anak kembarnya itu saat bertemu Ilham, tetapi tidak dengan dirinya. “Papaaaah!” panggil Tya dengan manja. “Papa ke mana aja? Kenapa baru sekarang datang ke sini?” tanya Tara dengan senyum manis di wajahnya. Arisha tertegun, ia tidak begitu percaya dengan apa yang ia lihat dan dengar di depannya. Terlebih lagi melihat bagaimana baiknya sambutan Tara pada Ilham. Tara adala
Tara tampak menundukan kepalanya saat Arisha berhasil membentaknya. Arisha yang menyadari hal tersebut seketika melihat ke arahnya. Ia tahu kalau dirinya telah hilang kendali tidak seperti biasanya.“Tara,” panggil Arisha pelan dan hati-hati.Tara menengadahkan kepalanya menatap sang ibunda, wajahnya sudah tampak memerah menahan tangis. Arisha mengira, Tara akan marah padanya dan pergi meninggalkannya. Namun, yang Arisha dapatkan adalah Tara yang berlari ke arahnya lalu membenamkan wajahnya di perut Arisha yang tengah duduk.“Mama, jangan marah sama Tara, maafin Tara ya,” ucap Tara lirih.Arisha sadar betul kalau anak laki-lakinya itu sedang menahan tangisnya. Mendengar suara Tara yang lirih meminta maaf kepadanya, Arisha merasa sangat bersalah. Sejak kapan ia tidak bisa mengendalikan emosinya seperti ini? Sememusingkan apapun kedua anaknya, Arisha tidak pernah membentak keduanya sebelumnya.“Tara, kalau Tara mau
“Ayo, bilang makasih dulu sama Papa,” ujar Arisha lagi pada kedua anaknya.Tara dan Tya saling melempar pandangan. Mereka tidak tau harus memanggil Ilham dengan sebutan apa kali ini. Karena bila menyebut dengan sapaan Papa, sepasang anak kembar itu takut jika Arisha akan kembali marah dan sedih.“Makasih, Om,” ujar Tara ragu.“Iya, makasih banyak ya ... Om,” imbuh Tya pelan.Arisha tampak mengerutkan dahinya keheranan. Ada apa dengan kedua anaknya ini? Pikir Arisha merasa aneh. Tentu saja kedua anak kembar itu takut menyakiti hatinya lagi.“Kenapa? Bukannya kalian suka manggil dengan sebutan ‘Papa’?” tanya Arisha pada sepasang anak kembarnya.Arisha terdiam saat kedua anaknya mencoba untuk memeluk dirinya walaupun hanya bisa memeluk kakinya. Kedua anaknya itu tampak sedih, apa drama tadi siang itu benar-benar membuat kedua anaknya setraumatik ini? Pikir Arisha mulai cemas.
Wajah Arisha tampak cemas saat melihat piring milik Tara yang jatuh dan pecah karena tidak sengaja terhempas oleh tangan Tya yang sepertinya akan mengambil minuman miliknya. Tya yang menyadari kesalahannya itu pun berteriak karena terkejut. Sementara Tara pun sama terkejutnya tetapi ia hanya melongo melihat makanannya yang sudah berserakan di lantai bersama piring yang sudah pecah.“Jangan ada yang turun dari kursi ya,” pinta Arisha pada sepasang anak kembarnya.Tara dan Tya tampak menganggukkan kepalanya menuruti apa yang sang ibunda katakan pada mereka. Arisha berjongkok, ia berniat untuk membereskan pecahan piring yang ada.“Momi, Tya minta maaf,” gumam Tya merasa bersalah saat melihat Arisha membersihkan pecahan beling di lantai.Arisha tersenyum dan menatap anak gadisnya itu sekilas. “Gak apa-apa, Sayang,” jawab Arisha sambil menggelengkan kepalanya pelan.“Lain kali hati-hati ya, Tya,” tegur Bun
Arisha dibuat bersembunyi saat baru saja ia datang ke toko katering miliknya. Siang itu, ia melihat Ilham yang baru saja datang bersama seseorang pria yang sepertinya asistennya, tebak Arisha. Ilham masuk ke dalam toko kateringnya disambut oleh salah satu pegawainya.Kuku jari jemari Arisha kini menjadi bulan-bulanan Arisha yang menggigitinya karena merasa cemas. Ia tidak tau harus masuk ke toko kateringnya atau pergi dari sana. Namun, ia sendiri tentu saja tidak mau bertemu lagi dengan Ilham karena sebelumnya pun ia sudah membuat sebuah drama pemecatan dirinya sendiri.“Gimana, nih?” gumam Arisha yang masih menggigiti kuku jari tangannya.Ditengah kebingungannya dengan langkah apa yang harus ia ambil, Arisha dibuat terkejut dengan dering ponselnya yang berteriak begitu nyaring. Sedikit kesal, Arisha merogoh isi tasnya untuk mendapatkan ponsel pintarnya. Sebuah panggilan masuk dari salah satu pegawainya membuat Arisha mengerutkan keningnya.“Halo,” sapa Arisha pelan yang lebih condong
Ilham berbalik keluar dari tempat katering yang tidak ia ketahui kalau sebenarnya usaha katering itu adalah milik Arisha. Haerul yang kebingungan hanya berdiri tidak mengikuti sang majikan pergi keluar setelah mendapat panggilan telepon dari seseorang yang ia duga adalah istri Ilham, Haerul memilih berbincang dengan salah satu pegawai katering tersebut. Ilham hanya ingin mencari udara segar di luar usaha katering itu yang terdapat halaman hijau yang cukup luas setelah sedikit berbincang dengan sang istri di telepon.Ia sendiri menyadari sikapnya sangat buruk terhadap sang istri. Namun, semua itu tidak ia lakukan semerta-merta tanpa alasan. Ada alasan yang kuat kenapa Ilham sangat sulit untuk menerima Kian sebagai istrinya.Pandangan tegasnya kini menyipit saat ia keluar dari bangunan usaha katering itu sebagai tanda reflek akan cahaya matahari yang terik. Untung saja ada hijaunya dedaunan di halaman membuat Ilham tidak begitu sebal dibuatnya. Mata Ilham menyapu sekitar, lingkungan yan
Ilham berusaha melepaskan genggaman tangan Kian pada Arisha yang sangatlah kencang. Haerul sang asisten yang melihat kejadian itu pun segera ikut membantu sang atasan. Sementara para pegawai Arisha yang ada di lobi kantornya menatap cemas ke arah Arisha tanpa berani membantunya.“Jangan seperti anak kecil, Kian. Lepaskan!” tegas Ilham masih mencoba menahan Arisha agar tidak terjatuh kebelakang. Ucapannya tentu saja tidak Kian gubris sebagai bentuk pembalasan darinya.“Rasain kamu Arisha! Dasar Jalang! Wanita gak tau diri! Dasar penggoda! Perebut suami orang!” seru Kian masih dengan tangan yang menarik rambut Arisha.Para pegawai Arisha saling berbisik tidak percaya mendengar apa yang Kian ucapkan tentang sang bos. Bagaimana mungkin bosnya yang memiliki hati bersih dan selalu bersikap lembut seperti Arisha bisa menjadi seorang wanita yang merebut suami orang, pikir mereka. Tentu saja mereka tidak benar-benar percaya dengan ucapan Kian yang pada dasarnya adalah orang asing yang sangat a
Mata Tara memicing tajam menatap seorang wanita paruh baya yang kini berdiri di hadapannya dan Tya. Siang itu, Tara dan Tya dibuat menunggu oleh sang ibunda karena Arisha tak kunjung tampak untu menjemput keduanya. Namun, rasa waspada kembali Tara aktifkan saat seorang wanita paruh baya yang sebelumnya pernah bertemu mereka kini muncul kembali.“Ini Oma yang waktu itu ya?” tanya Tya yang berada di belakang Tara.Wanita itu mengangguk senang ketika anak gadis itu masih mengenalinya. “Iya, ini Tya sama Tara, ‘kan?” balas wanita itu. Tya menganggukan kepalanya sebagai jawaban.“Wah, kalian apa kabar? Lagi nunggu jemputan ya? Nunggunya di sini yuk, sambil duduk,” ajak wanita itu berjalan ke arah sebuah bangku yang ada di halaman taman kanak-kanak tersebut.Tanpa banyak berpikir, Tya mengikuti wanita paruh baya itu untuk duduk di sampingnya. Sementara Tara, ia membelalakan matanya ketika Tya dengan santainya meninggalkannya. Dengan sigap, Tara mengikuti langkah kecil sang adik.“Siapa yang