Beberapa hari kemudian, lahirlah seorang bayi tampan yang diberi nama Abisatya Dewandaru. Swastika berharap, Abi akan menjadi anak yang jujur yang akan memberi kebahagiaan sesuai dengan arti dari nama yang diberikannya. Dia lahir satu minggu lebih awal dari tanggal HPL. Walau harus melahirkan tanpa didampingi suami, Swastika tetap tegar melewati semua prosesnya. Hanya Balin dan Elena yang tetap setia disampingnya.
Abi tumbuh menjadi anak yang tampan, pintar dan humoris. Dia tidak kekurangan kasih sayang walau tanpa kehadiran seorang ayah. Balin selalu meluangkan waktu untuk menemani dan mengajaknya bermain. Elena juga tidak mau kalah, setiap dia datang selalu membawakan mainan untuk Abi. Mereka sangat menyayangi Abi. Selama Swastika masih recovery, Balin dan Elena akan bergantian menjaga Abi.Tidak terasa waktu berlalu, saat ini Abi sudah memasuki usia tujuh tahun. Dan saat hari ulang tahunnya yang setiap tahun selalu dirayakan bersama Mama, Om Balin kesayangan dan Tante Elena cantik, dia berharap agar dapat memiliki seorang Papa. Permintaan yang sangat sulit diwujudkan oleh Swastika, mengingat bahkan sampai sekarang dia menolak lamaran dari beberapa pria termasuk Balin.Sehari setelah acara ulang tahun Abi, Swastika mendapat surat panggilan dari kepala sekolah anaknya. Disana, kepala sekolah menjelaskan bahwa para guru disana tidak mampu mengajar Abi karena Abi sering sekali menanyakan berbagai hal dan persoalan yang seharusnya diselesaikan oleh anak dengan jenjang sekolah jauh diatas Abi. Dan apabila guru sudah memberi jawaban dan itu tidak membuatnya puas, dia akan terus mengejar guru itu. Sehingga para guru merasa terintimidasi.Dan saat sekolah mengadakan tes IQ yang memang rutin diadakan setiap tahun untuk anak tahun ajaran baru, hasil tes Abi menunjukkan kalau IQ Abi memang diatas rata-rata, sehingga kepala sekolah menyarankan untuk memindahkan Abi kesekolah yang memang dikhususkan untuk anak 'seperti' Abi. Kepala sekolah bahkan memberikan beberapa rekomendasi sekolah sebagai pilihan dan salah satunya berada dikota asal Swastika.Setelah mengalami beberapa pertimbangan dan meminta pendapat Balin dan Elena. Dia memutuskan untuk memilih sekolah yang ada di kota asalnya. Abipun setuju dengan keputusan sang Mama karena dia juga merasa tidak nyaman bersekolah disekolahnya saat ini.Swastikapun mengajukan pengunduran dirinya sebagai manager diapotek milik teman Elena, walaupun keberatan tapi akhirnya dia mengijinkan Swastika untuk mengundurkan diri dan diapun berjanji akan membuka cabang baru disana agar dapat dikelola oleh Swastika."Ma, ayo cepat. Bisakah kita kerumah Oma dan Opa?" tanya Abi sesaat setelah mereka keluar dari area bandara. Swastika memang sudah menceritakan pada Abi perihal keluarganya. Siapa Oma, Opanya dan dimana mereka tinggal. Tetapi Swastika masih belum berani untuk mempertemukan mereka, masih ada sesuatu yang mengganjal dihatinya."Nanti dulu ya sayang. Kita istirahat dulu diapartement. Mama akan coba hubungi Oma dan Opa dulu" jawab Swastika dengan sabar dan telaten."Benarkah kamu mau kerumah orang tuamu? Biar aku yang kesana dulu. Nanti aku beri tahu kalau mereka sudah benar-benar siap menerima kamu dan Abi" bisik Balin lirih agar si kecil Abi tidak mendengar ucapannya.Swastika hanya mengangguk dan menerima saja saran dari Balin. Dia kemudian memalingkan wajahnya kekiri guna melihat jalanan yang sudah lama dia rindukan."Silahkan masuk tuan muda" ucap Swastika sambil membika pintu apartement, walau tidak terlalu besar tapi sangat cukup untuk dihuni oleh dua orang. Disana juga sangat bersih dan yang terpenting penjagaan disana sangat ketat, tidak heran mengingat Swastika harus mengeluarkan setengah dari uang tabungannya untuk membeli apartement ini.Sembari Swastika membereskan pakaiannya, si kecil Abi sedang asyik menonton tv dan tidak lupa cemilan kentang goreng favoritnya."Ma, apa Papa juga ada dikota ini? Bagaimana tampangnya? Apa dia tampan?" pertanyaan Abi membuat Swastika membeku, tidak menyangka Abi akan menanyakan hal itu. Selama tujuh tahun tidak tidak pernah mempertanyakan perihal itu, tapi belum juga satu hari mereka disana Abi sudah menanyakannya. Mungkin memang benar pepatah mengatakan darah lebih kental daripada air.Lama Swastika diam, hingga akhirnya dia membuka mulut, tapi belum sempat dia mengeluarkan suara, Abi sudah lebih dulu menyahut, "Tidak perku dijawab Ma. Abi sudah tau. Kalau memang Papa itu baik, tidak mungkin dia meninggalkan kita. Benarkan Ma?". Swastika hanya mengangguk, tidak tau harus merespon seperti apa.Sejak kecil Abi tidak pernah menanyakan tentang Papanya. Walau dia diejek oleh teman-temannya dia akan bersikap cuek dan tidak peduli.Setelah beberes, Swastika mengajak Abi makan malam dan tidur karena besok hari pertama Abi masuk ke sekolah barunya.Pertanyaan Abi seolah menghipnotisnya, dia jadi mengingat kembali saat-saat dulu masih bersamanya. Dalam lamunannya dia bergumam, "Bagaimana kabarmu? Masih ingatkah kamu padaku?".Walau sekarang berada dikota yang sama, Swastika berharap dia tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.Hari pertama Abi bersekolah berjalan normal, lingkungan sekolah yang baru sesuai dengan yang Abi inginkan, disana mereka berkompetisi menjadi yang terbaik. Walau ada beberapa anak yang tidak suka padanya karena wajah tampannya, dia tidak mempedulikan itu dan dia melewati hari pertamanya dengan bahagia.Satu minggu kemudian seperti biasa, Swastika menjemput Abi tapi kali ini dia bersama Balin yang baru saja tiba setelah selama satu minggu berada dirumah orang tuanya. Setelah masuk mobil, Abi sedari tadi hanya diam, dia menjawab pertanyaan Mama dan Omnya itu hanya dengan satu kata itupun terdengar lemah. Lama kelamaan tubuh Abi dipenuhi keringay dingin dan Abipun meringkuk dikursi belakang. Dia mengeluh sakit perut dan dadanya sesak.Karena khawatir dengan keadaan Abi, Balin kemudian membelokkan mobilnya menuju RS yang dia lewati saat menuju apartement Swastika. Sampai disana, Balin segera menggendong Abi dan membawanya ke UGD."Bagaimana keadaan anak saya Dok?" tanya Swastika setelah dokter selesai memeriksa anaknya."Dia mengalami alergi. Apa dia memakan sesuatu yang memicu alerginya?" tanya dokter itu."Dia alergi udang Dok. Akan saya tanyakan kepada pihak sekolah, apakah hari ini ada menu yang mengandung udang" jawab Swastika yang sedang memegang tangan Abi yang tidak di infus."Baiklah kalau begitu. Sekarang anak ibu sudah lebih baik tapi saya sarankan tetap menjalani rawat inap agar kami dapat memantau keadaannya" saran dokter itu dan langsung mendapat persetujuan dari Swastika. Mereka kemudian memindahkan Abi kebangsal anak.Keesokan harinya, keadaan Abi sudah jauh lebih baik, bahkan dia sudah bisa duduk dan perutnya sudah tidak sakit lagi. Setelah sarapan, dia meminta Swastika untuk berjalan-jalan ditaman.Setelah diperbolehkan oleh perawat jaga, Swastika segera mengambilkan kursi roda dan menyuruh Abi untuk duduk disana. Swastikapun mendorong kursi roda Abi menuju taman yang ternyata sudah dipenuhi oleh pasien rumah sakit yang juga ingin menghirup udara segar. Ada beberapa yang juga melakukan senam."Sayang, kamu tunggu disini sebentar. Mama angkat telfon dulu" ucap Swastika sambil berjongkok didepan Abi.Sembari menikmati udara pagi, tidak lupa dia membaca buku tentang anatomi tubuh manusia yang menjadi favoritnya. Tapi ekor matanya menangkap seseorang yang sedari tadi memperhatikannya dari kejauhan. Dia memberanikan diri mendekat dan akan bertanya pada wanita tua itu. Dia sedikit ragu, Mamanya selalu menekankan padanya untuk tidak berbicara dengan orang asing. Tapi perlahan, langkahnya mendekati wanita tua itu."Maaf nek. Kenapa nenek terus melihatku? Aku merasa tidak nyaman" ucap Abi yang sudah berdiri disamping wanita tua itu, sementara yang diajak bicara hanya diam dan mengusap air matanya yang mengalir di pipi."Panggil saja Oma Ratna. Maaf kalau membuat kamu tidak nyaman. Saat lihat kamu, Oma jadi ingat anak Oma. Dia persis sekali sama kamu. Mata, hidung, bibir bahkan rambut kamu sama dengannya" ucap Wanita tua yang juga memakai infus ditangan kirinya dan menepuk kursi disampingnya pertanda bahwa dia menyuruh Abi untuk duduk disana."Memang anak Oma dimana?" tanya Abi sambil duduk disamping Oma Ratna."Dia sekarang sudah tua. Dia jadi salah satu dokter yang bekerja disini" ucap Oma Ratna dengan bangga.Selagi mereka bercengkrama bahkan sesekali saling melempar pujian juga candaan, Swastika yang baru saja menerima telfon tengah panik setelah sadar kalau Abi tidak ada diatas kursi rodanya.Dia mengedarkan pandangan keseluruh taman mencari Abi dan ternyata dia melihat Abi sedang duduk berdua dibawah pohon rindang sambil tertawa."Astaga. Kamu bikin Mama panik. Kenapa ada disini?" tanya Swastika sembari berjongkok didepan Abi."Maaf Ma" jawab Abi sambil menunjukkan senyum selebar bahu jalan."Sudah jangan dimarahi, dia hanya mau menemani saya disini. Kamu pasti Mamanya Abi? perkenalkan saya Ratna" timpal wanita tua itu yang langsung mengulurkan tangan padanya."Saya Swastika. Maaf kalau anak saya merepotkan Ibu" jawab Swastika sambil duduk disamping Abi.Ibu Ratna meminta ijin pada Swastika untuk sesekali mengunjungi Abi, dia bilang dia seperti memiliki ikatan batin dengan Abi sejak pertama kali mereka bertemu. Pada awalnya Swastika keberatan, tapi setelah Abi merengek dan memohon padanya, akhirnya dia luluh dan mengijinkannya.Hari-hari setelahnya, Oma Ratna masih sering mengunjingi Abi. Terkadang mereka berjalan berdua untuk sekedar ngobrol ditaman, sementara Swastika hanya memantaunya dari kejauhan. Hingga saat Abi keluar dari Rumah sakit, Oma Ratna turut membantu dan menemani Abi. Dia juga menawarkan untuk mengantar tapi Swastika menolaknya dengan halus."Mam" teriak seseorang dari ujung lorong ruangan Abi. Suara yang tidak asing dan sangat dia kenal. Suara yang tidak akan pernah dia lupakan."Mungkinkah dia?"Dia mengabaikan suara itu dan akhirnya mereka pulang. Disepanjang perjalanan, Abi terus berceloteh menceritakan tentang Oma Ratna. "Dia sudah kembali seperti dulu lagi" batin Swastika sambil terus menanggapi celotehan anaknya yang tidak ada hentinya itu. Beberapa bulan setelah pertemuan di rumah sakit, Oma Ratna masih sering mengunjungi Abi. Dia juga sering menawarkan diri untuk menjemput Abi saat Swastika sedang sibuk dengan apotek yang baru saja dibuka. Apotek Swastika berada tepat disebrang apartementnya, memudahkan dia untuk memantau Abi. Oma Ratna tiba-tiba mengajak Swastika dan Abi untuk makan malam dirumahnya pada sabtu malam. Di mempunyai rencana untuk mengenalkan Swastika pada anaknya. Aryasatya Gunawan. Yang sudah seperti bujang lapuk karena tidak segera menikah dan hanya suka one night stand bersama wanita sewaannya. "Rumah Oma besar sekali" puji Abi saat sudah masuk kedalam rumah Oma Ratna dan bersama dengan Swastika mereka dibawa kearea taman belakang rumah itu. "Sua
"A-Abi sudah bangun?" tanya Swastika yang kaget Abi sudah berada didepan pintu kamarnya yang tidak terlalu jauh dari dapur. "Tadi Mama bilang Papa Abi. Siapa Ma?" Abi balik bertanya pada Swastika yang terlihat salah tingkah saat ini. "Itu loh. Papanya Abimanyu temen kamu saat sekolah diSurabaya dulu" Elena mencoba mengubah topik pembicaraan. "Ahh.. Iya. Iya, kemarin Mama bertemu sama Papanya Abi. Abimanyu kebetulan dia ada rapat disini dan mampir keapotek Mama membeli obat" kilah Swastika meneruskan pembicaraan Elena. "Ohh. kirain Papanya Abi aku" ucap Abi yang sudah tidak tertarik dengan obrolan tentang Papanya Abimanyu. Setelah bersalaman dan memeluk Elena, Abi kembali kekamarnya dan melanjutkan tidurnya karena hari itu hari minggu jadi dia bebas untuk bangun siang. "Jadi ceritakan semuanya" pinta Elena yang sudah terlanjur penasaran. Swastikapun menceritakan kejadian semalam dengan menahan derai air matanya. Berhari-hari setelah kejadian itu, Swastika semakin memperketat jadw
"Itu hanya mimpi buruk Abi. Tadi Abi baca doa sebelum tidur?" tanya Swastika sambil terus mengusap punggung Abi. Abi hanya menggeleng dan saat nafasnya mulai teratur, Swastika melepas pelukkannya kemudian mencium kening anak semata wayangnya itu. Elenapun mendekat dan memberikan segelas air putih agar Abi kembali tenang. "Sudah jagoan. Mulai sekarang kalau mau tidur harus baca doa dulu. Ok" ucap Elena yang mengusap rambut tebal Abi. Setelahnya, Swastika mengantar Abi kembali kedalam kamar dan menyuruhnya untuk tidur lagi tapi Abi menolak dan justru berlari kearah Elena dan memeluknya. "Ada apa Sayang?" tanya Elena sambil bermain kode-kodean dengan Swastika yang berada didepan pintu kamar Abi. Abipun membisikkan keinginannya dan membuat Elena justru tertawa tetapi tetap mengiyakan asalkan mendapat ijin dari Mamanya. Awalnya Abi ragu untuk bilang ke Mamanya, dia tidak berani bicara dan hanya melirik Mamanya saja. Tapi setelah Elena meyakinkannya, akhirnya Abi memberanikan diri mint
Seorang perempuan tua mengenakan daster sederhana yang bahkan sudah sedikit robek dibagian bahu dan rambut yang digulung rendah menyambutnya dengan senyum terindah yang sudah lama tidak dilihatnya. Ibunya syok melihat anak yang sudah lama dia rindukan tiba-tiba datang. Dia hanya diam mematung sementara Swastika bersujud dan mencium kaki ibunya sambil menangis kemudian dia berdiri dan langsung memeluk erat Ibunya seolah menyakurkan rasa rindu yang sudah menumpuk dihatinya hingga terasa sesak bukan main. Kata maaf terus terucap dari bilah bibirnya. Setelah memandang Balin dan mendapat anggukan darinya, Ibunya yang semula diam membalas pelukan erat anak perempuannya itu. Air mata keduanya terasa tak mau berhenti hingga membuat baju mereka basah. Rasa rindu yang sudah sangat lama mereka rasakan, mereka tuangkan semuanya bersamaan dengan keluarnya air mata kebahagiaan. Untaian doa yang selalu Ibunya panjatkan akhirnya terkabul dan dapat memeluk kembali anaknya yang telah lama menghilang
Setelah mendapat ejekan dari cucunya, Ayah Swastika segera pergi mandi dan berganti pakaian. Dan kemudian bermain dengan cucunya lagi. Mereka bahkan terlihat seperti seorang teman, saling bercerita dan enggan pergi jauh satu sama lain. Sementara Balin yang sudah pulang ke rumah orang tuanya sejak Abi berlari masuk untuk memeluk Mamanya yang sedang menangis didepan pintu, saat ini sedang disidang oleh kedua orang tuanya karena belum juga membawa pulang calon menantu. Ini adalah salah satu hal yang membuatnya malas untuk pulang sejak terakhir kali dia memutuskan untuk pulang. Berbanding terbalik dengan Balin, Elena saat ini sedang kasmaran karena Doni menyusulnya dan saat ini sedang mengajaknya kesalah satu restoran terkenal. "Kamu berapa hari disini?" tanya Elena sambil memotong daging steak kemudian melahapnya. "Hanya dua hari, besok aku harus sudah balik lagi. Ada kerjaan yang tidak bisa ditinggal" jawabnya sambil juga menikmati daging steak yang direkomendasikan oleh Elena. "Kam
"Dokter lima belas menit lagi ruang operasi sudah siap" ucap salah satu perawat yang bertugas diruang operasi.Arya hanya berdeham dan sama sekali tidak berucap apapun, walau begitu auranya sudah membius siapa saja yang melihatnya, apalagi saat kacamatanya bertengger dihidung mancungnya seperti sekarang ini. "Oh My God. Jantung, kau baik-baik saja" gumam perawat itu setelah menutup pintu ruangan Arya sambil memegang dadanya sebelah kiri kemudian dia kembali keruang operasi. Arya memang dikenal sebagai dokter bertangan dingin yang tampan. Banyak operasi yang dianggap sulit tapi bisa dia atasi. Walau usianya yang masih tergolong muda, kemampuannya sudah diatas rata-rata dari dokter seusianya. Dengan kemampuannya ini, dia menjadi langganan para pejabat beserta keluarganya, pengusaha juga para selebritis. Bahkan sempat ada rumor kalau dia memiliki hubungan dengan salah seorang model terkenal. Seperti operasi kali ini, bahkan profesor sekalipun banyak yang menolak dan menyarankan untuk
Pagi-pagi sekali Balin sudab berada di apartement Elena dan sedang memasak untuk sarapan. Bukan masakan rumit, dia hanya menganggang roti dan memberi selai diatasnya juga segelas susu dan air putih. TokTokTok"Elena, bangun" teriak Balin sambil terus mengetuk pintu kamar Elena yang masih tertutup rapat. Pada awalnya, dia mengetuk dengan cukup pelan tapi lama-kelamaan semakin keras karena tidak kunjung mendapat jawaban. "Dobrak ya nih" teriaknya lagi sambil terus mengetuk pintu dengan kasar. Elena yang masih tidur akhirnya terbangun karena merasa terganggu dengan suara bising itu. "Apa sih itu berisik banget" gumam Elena masih dengan mata tertutup. Tapi bukannya bangun, dia justru menutup telinganya menggunakan bantal. Dibalik pintu, Balinpun tidak menyerah. Dia terus mengetuk pintu dengan kasar. "Argghh... Berisik banget sih" teriaknya lagi karena ketukan itu semakin kencang dan brutal juga disertai umpatan. Mau tidak mau dia akhirnya bangun dan membuka pintu. Saat dia membuka
Balin langsung berlari menuju dapur menyiapkan pesanan Ibunya kemudian ke kebun belakang untuk memanggil Ayahnya. "Yah. Sebenarnya Balin anak kandung atau anak pungut sih?" tanya Balin sambil duduk didekat Ayahnya yang bercucuran keringat karena baru saja menebang beberapa pohon pisang yang buahnya sudah matang. "Emang keliatannya bagaimana?" jawab Ayahnya dengan santai dan seolah tidak peduli dengan pertanyaan konyol sang anak Karena bagaimanapun Balin sangat mirip dengan dirinya saat muda dulu, jelas dia tidak meragukan kalau Balin adalah benar anaknya. "Tadi Balin datang sana Elena. Bisa-bisanya Balin dicuekin dan disuruh ini itu. Disuruh panggil Ayah juga buat kedepan" Ayahnya langsung bangkit dan segera masuk kedalam rumah meninggalkan parang dan pisang berjejer yang baru ditebangnya begitu saja. Balinpun membawa masuk semuanya dan kemudian dia membawa cemilan dan air minum ke ruang tamu setelah Ibunya berteriak beberapa kali memanggil namanya. "Hubungan kamu dan Balin seben