Dia mengabaikan suara itu dan akhirnya mereka pulang. Disepanjang perjalanan, Abi terus berceloteh menceritakan tentang Oma Ratna.
"Dia sudah kembali seperti dulu lagi" batin Swastika sambil terus menanggapi celotehan anaknya yang tidak ada hentinya itu.Beberapa bulan setelah pertemuan di rumah sakit, Oma Ratna masih sering mengunjungi Abi. Dia juga sering menawarkan diri untuk menjemput Abi saat Swastika sedang sibuk dengan apotek yang baru saja dibuka. Apotek Swastika berada tepat disebrang apartementnya, memudahkan dia untuk memantau Abi.Oma Ratna tiba-tiba mengajak Swastika dan Abi untuk makan malam dirumahnya pada sabtu malam. Di mempunyai rencana untuk mengenalkan Swastika pada anaknya. Aryasatya Gunawan. Yang sudah seperti bujang lapuk karena tidak segera menikah dan hanya suka one night stand bersama wanita sewaannya."Rumah Oma besar sekali" puji Abi saat sudah masuk kedalam rumah Oma Ratna dan bersama dengan Swastika mereka dibawa kearea taman belakang rumah itu."Suami Oma yang bikin tapi tetap Oma yang jadi designernya" jawab Oma Ratna dengan bangga."Selera Oma sangat bagus" puji Abi sekali lagi sambil mengangkat kedua jempol mungilnya.Swastika yang mengikuti mereka dari belakang hanya bisa menggeleng. Tapi memang benar jika design rumah ini sangat bagus. Kalau dilihat dari luar akan terlihat sama seperti rumah pada umunya hanya saja jauh lebih luas. Bukan hanya mengagumi rumah itu, Swastika juga kagum pada Oma Ratna karena bisa sedekat ini dengan Abi, padahal bisa dibilang mereka baru saja bertemu.Oma Ratna mempersilahkan Swastika dan Abi untuk duduk digazebo yang sudah ada banyak makanan disana. Selagi menikmati hidangan, anak Oma Ratna yang selalu dibilangnya sebagai perjaka tua itu terbangun. Waktu tidurnya memang tidak sama dengan kebanyakan orang, disaat orang lain beraktifitas dia lebih banyak tidur dan sebaliknya, saat yang lain tidur dia akan lebih banyak beraktifitas. Dia langsung menuju dapur dan mengambil jus kesehatan yang selalu tersedia disana. Samar-samar dia mendengar suara tawa Maminya dan seorang anak kecil laku-laki. Karena rasa penasarannya yang tinggi, di mengikuti asal suara. Dari kejauhan dia melihat Maminya sedang berbincang dengan seseorang yang memunggunginya. Dia menautkan kedua alisnya dengan rasa heran kemudian mendekati Maminya yang melambaikan tangan karena sudah melihatnya berdiri cukup lama disana."Ada tamu Mam?" tanyanya yang sudah berada tidak jauh dibelakang Swastika.Mendengat suara itu, seketika Swastika menghentikan geraka sendoknya dan diam terpaku. Suara yang sangat dia benci tapi disatu sisi sangat dia rindukan dan tidak akan pernah dia lupakan."Duduk sini sayang. Perkenalkan ini teman Mami yang selalu Mami ceritakan itu" ucap Oma Ratna dengan senyum merekah selebar bahu jalan."Hai. Perkenalkan saya Arya. Aryasatya Gunawan" ucap Arya kelewat santai bahkan setelah itu dia meminum kembali jusnya.'Benar. Itu Dia' batin Swastika. Dan benar saja, Saat dia menoleh, seketika nafasnya terasa berat, kerongkongannya tiba-tiba kering dan kepalanya terasa pening.Tanpa menerima uluran tangan Arya, Swastika segera bangkit mengambil tasnya dan mengajak Abi untuk meninggalkan tempat itu. Walau awalnya Abi sempat menolak tapi akhirnya dia menurut dengan sedikit paksaan. Mereka pergi bahkan tanpa berpamitan. Swastika segera melajukan mobilnya menjauhi rumah itu. Dia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan Arya dalam waktu sesingkat ini setelah dia kembali.Air mata yang sejak dirumah tadi dia tahan akhirnya luruh juga. Beberapa kali dia mengusap pipinya, seolah tidak ingin Abi mengetahui kalau dia menangis. Tapi Swastika salah, semua gerak geriknya justru menjadi pusat perhatian Abi sejak saat Mamanya bertemu dengan anak Oma Ratna."Mama kenapa? Apa Mama sakit?" tanya Abi yang kebingungan melihat Mamanya menangis. Swastika tidak menjawab, dia hanya menggeleng, bahkan untuk menjawab pertanyaan Abi saja terasa sangat sulit, semua kata yang ingin diucapkannya terhenti di tenggorokannya.Sesampainya di apartement, perasaan Swastika sudah menjadi lebih tengan. Air matanya sudah tidak lagi menetes."Sayang, mulai sekarang. Abi tidak boleh dekat-dekat dengan Oma Ratna. Jangan pernah kerumahnya atau mau diajak pergi dan dijemput olehnya. Mulai besok Mama yang akan antar jemput kamu, kalau Mama tidak bisa kamu akan dijemput oleh Om Balin atau Tante Elena" pinta Swastika dengan tegas dan tidak ingin dibantah."Tante Elena bakalan pindah kesini Ma?" tanya Abi dengan antusias."Iya. Dia akan pindah kesini" jawab Swastika dengan tersenyum dan mengusap rambut anak lelakinya.Didalam kamar, Abi masih penasaran dengan reaksi Mamanya tadi saat dirumah Oma Ratna. Dia mengingat-ingat lagi nama anak Oma Ratna dan akan mencari indentitas lengkapnya. Abi memiliki laptop yang dibelikan oleh Elena saat ulang tahunnya yang ke 6. Elana tau Abi sangat tertarik dengan bidang IT. Diam-diam Elena juga mengajak Abi untuk bertemu dengan temannya yang juga jago dalam bidang IT. Disana Abi diajari cara meng-hack, coding, cara membuat aplikasi dan lainnya.Berbeda dengan Abi, saat ini Swastika sedang gelisah. Pertemuannya dengan Arya yang tidak disengaja, justru meyakinkannya bahwa dia masih belum benar-benar melupakan pria itu. Jauh didalam lubuk hatinya, perasaan itu masih ada bahkan semakin kuat seiring rasa rindu yang selalu membebat hatinya."Kenapa harus sekarang?" gumamnya sambil terus menangis memeluk gulingnya.Keesokan harinya, pada pagi-pagi buta. Swastika terbangun mendengar ketukan pintu dan suara bel yang ditekan dengan brutal."GOOD MORNING" teriak Elena sambil mereganggkan tangannya yang juga disambut pelukan oleh Swastika. Elena segera masuk dan meletakkan kopernya di salah satu kamar yang sudah disediakan. Kemudian menyusul Swastika duduk dimeja bar yang ada didepan dapur mini."Kamu kenapa? Apa ada yang terjadi sebelum aku tiba disini? Mata kamu sembab begitu" tanya Elena sambil mengunyah cemilan milik Abi yang memang selalu tersedia disana.Swastika yang sedang memunggungi Elena untuk membuat minuman hanya menggeleng dan diam. Setelahnya, Swastika memberikan minuman itu langsung diminum oleh Elena. Disela-sela minumnya, Swastika berkata, "Aku baru saja bertemu dengan Papanya Abi".Seketika Elena menyemburkan minuman yang ada dimulutnya kemudian berteriak, "APA?".Abi yang sedari tadi berdiri didepan pintu kamarnya ingin menyapa Elena, dia urungkan setelah mendengar pengakuan dari Mamanya."Papa Abi? Siapa Ma?" tanya Abi yang langsung membuat dua orang dewasa itu terdiam dan menoleh kearah Abi."A-Abi..""A-Abi sudah bangun?" tanya Swastika yang kaget Abi sudah berada didepan pintu kamarnya yang tidak terlalu jauh dari dapur. "Tadi Mama bilang Papa Abi. Siapa Ma?" Abi balik bertanya pada Swastika yang terlihat salah tingkah saat ini. "Itu loh. Papanya Abimanyu temen kamu saat sekolah diSurabaya dulu" Elena mencoba mengubah topik pembicaraan. "Ahh.. Iya. Iya, kemarin Mama bertemu sama Papanya Abi. Abimanyu kebetulan dia ada rapat disini dan mampir keapotek Mama membeli obat" kilah Swastika meneruskan pembicaraan Elena. "Ohh. kirain Papanya Abi aku" ucap Abi yang sudah tidak tertarik dengan obrolan tentang Papanya Abimanyu. Setelah bersalaman dan memeluk Elena, Abi kembali kekamarnya dan melanjutkan tidurnya karena hari itu hari minggu jadi dia bebas untuk bangun siang. "Jadi ceritakan semuanya" pinta Elena yang sudah terlanjur penasaran. Swastikapun menceritakan kejadian semalam dengan menahan derai air matanya. Berhari-hari setelah kejadian itu, Swastika semakin memperketat jadw
"Itu hanya mimpi buruk Abi. Tadi Abi baca doa sebelum tidur?" tanya Swastika sambil terus mengusap punggung Abi. Abi hanya menggeleng dan saat nafasnya mulai teratur, Swastika melepas pelukkannya kemudian mencium kening anak semata wayangnya itu. Elenapun mendekat dan memberikan segelas air putih agar Abi kembali tenang. "Sudah jagoan. Mulai sekarang kalau mau tidur harus baca doa dulu. Ok" ucap Elena yang mengusap rambut tebal Abi. Setelahnya, Swastika mengantar Abi kembali kedalam kamar dan menyuruhnya untuk tidur lagi tapi Abi menolak dan justru berlari kearah Elena dan memeluknya. "Ada apa Sayang?" tanya Elena sambil bermain kode-kodean dengan Swastika yang berada didepan pintu kamar Abi. Abipun membisikkan keinginannya dan membuat Elena justru tertawa tetapi tetap mengiyakan asalkan mendapat ijin dari Mamanya. Awalnya Abi ragu untuk bilang ke Mamanya, dia tidak berani bicara dan hanya melirik Mamanya saja. Tapi setelah Elena meyakinkannya, akhirnya Abi memberanikan diri mint
Seorang perempuan tua mengenakan daster sederhana yang bahkan sudah sedikit robek dibagian bahu dan rambut yang digulung rendah menyambutnya dengan senyum terindah yang sudah lama tidak dilihatnya. Ibunya syok melihat anak yang sudah lama dia rindukan tiba-tiba datang. Dia hanya diam mematung sementara Swastika bersujud dan mencium kaki ibunya sambil menangis kemudian dia berdiri dan langsung memeluk erat Ibunya seolah menyakurkan rasa rindu yang sudah menumpuk dihatinya hingga terasa sesak bukan main. Kata maaf terus terucap dari bilah bibirnya. Setelah memandang Balin dan mendapat anggukan darinya, Ibunya yang semula diam membalas pelukan erat anak perempuannya itu. Air mata keduanya terasa tak mau berhenti hingga membuat baju mereka basah. Rasa rindu yang sudah sangat lama mereka rasakan, mereka tuangkan semuanya bersamaan dengan keluarnya air mata kebahagiaan. Untaian doa yang selalu Ibunya panjatkan akhirnya terkabul dan dapat memeluk kembali anaknya yang telah lama menghilang
Setelah mendapat ejekan dari cucunya, Ayah Swastika segera pergi mandi dan berganti pakaian. Dan kemudian bermain dengan cucunya lagi. Mereka bahkan terlihat seperti seorang teman, saling bercerita dan enggan pergi jauh satu sama lain. Sementara Balin yang sudah pulang ke rumah orang tuanya sejak Abi berlari masuk untuk memeluk Mamanya yang sedang menangis didepan pintu, saat ini sedang disidang oleh kedua orang tuanya karena belum juga membawa pulang calon menantu. Ini adalah salah satu hal yang membuatnya malas untuk pulang sejak terakhir kali dia memutuskan untuk pulang. Berbanding terbalik dengan Balin, Elena saat ini sedang kasmaran karena Doni menyusulnya dan saat ini sedang mengajaknya kesalah satu restoran terkenal. "Kamu berapa hari disini?" tanya Elena sambil memotong daging steak kemudian melahapnya. "Hanya dua hari, besok aku harus sudah balik lagi. Ada kerjaan yang tidak bisa ditinggal" jawabnya sambil juga menikmati daging steak yang direkomendasikan oleh Elena. "Kam
"Dokter lima belas menit lagi ruang operasi sudah siap" ucap salah satu perawat yang bertugas diruang operasi.Arya hanya berdeham dan sama sekali tidak berucap apapun, walau begitu auranya sudah membius siapa saja yang melihatnya, apalagi saat kacamatanya bertengger dihidung mancungnya seperti sekarang ini. "Oh My God. Jantung, kau baik-baik saja" gumam perawat itu setelah menutup pintu ruangan Arya sambil memegang dadanya sebelah kiri kemudian dia kembali keruang operasi. Arya memang dikenal sebagai dokter bertangan dingin yang tampan. Banyak operasi yang dianggap sulit tapi bisa dia atasi. Walau usianya yang masih tergolong muda, kemampuannya sudah diatas rata-rata dari dokter seusianya. Dengan kemampuannya ini, dia menjadi langganan para pejabat beserta keluarganya, pengusaha juga para selebritis. Bahkan sempat ada rumor kalau dia memiliki hubungan dengan salah seorang model terkenal. Seperti operasi kali ini, bahkan profesor sekalipun banyak yang menolak dan menyarankan untuk
Pagi-pagi sekali Balin sudab berada di apartement Elena dan sedang memasak untuk sarapan. Bukan masakan rumit, dia hanya menganggang roti dan memberi selai diatasnya juga segelas susu dan air putih. TokTokTok"Elena, bangun" teriak Balin sambil terus mengetuk pintu kamar Elena yang masih tertutup rapat. Pada awalnya, dia mengetuk dengan cukup pelan tapi lama-kelamaan semakin keras karena tidak kunjung mendapat jawaban. "Dobrak ya nih" teriaknya lagi sambil terus mengetuk pintu dengan kasar. Elena yang masih tidur akhirnya terbangun karena merasa terganggu dengan suara bising itu. "Apa sih itu berisik banget" gumam Elena masih dengan mata tertutup. Tapi bukannya bangun, dia justru menutup telinganya menggunakan bantal. Dibalik pintu, Balinpun tidak menyerah. Dia terus mengetuk pintu dengan kasar. "Argghh... Berisik banget sih" teriaknya lagi karena ketukan itu semakin kencang dan brutal juga disertai umpatan. Mau tidak mau dia akhirnya bangun dan membuka pintu. Saat dia membuka
Balin langsung berlari menuju dapur menyiapkan pesanan Ibunya kemudian ke kebun belakang untuk memanggil Ayahnya. "Yah. Sebenarnya Balin anak kandung atau anak pungut sih?" tanya Balin sambil duduk didekat Ayahnya yang bercucuran keringat karena baru saja menebang beberapa pohon pisang yang buahnya sudah matang. "Emang keliatannya bagaimana?" jawab Ayahnya dengan santai dan seolah tidak peduli dengan pertanyaan konyol sang anak Karena bagaimanapun Balin sangat mirip dengan dirinya saat muda dulu, jelas dia tidak meragukan kalau Balin adalah benar anaknya. "Tadi Balin datang sana Elena. Bisa-bisanya Balin dicuekin dan disuruh ini itu. Disuruh panggil Ayah juga buat kedepan" Ayahnya langsung bangkit dan segera masuk kedalam rumah meninggalkan parang dan pisang berjejer yang baru ditebangnya begitu saja. Balinpun membawa masuk semuanya dan kemudian dia membawa cemilan dan air minum ke ruang tamu setelah Ibunya berteriak beberapa kali memanggil namanya. "Hubungan kamu dan Balin seben
Balin dengan cepat langsung menarik Doni dan menghajarnya. Pada awalnya Doni mencoba melawan, tapi tenaganya kalah jauh dengan Balin yang memang rutin latihan boxing. Sedangkan Elena masih diam terpaku setelah melihat apa yang Doni lakukan pada Swastika sampai Balin mendorongnya hingga dia terjatuh didekat Swastika yang masih menangis ketakutan. Balin menyeret keluar tubuh Doni yang mulai tidak berdaya dan penuh luka lebam. Elena yang sudah sadar dari syoknya segera mengambil selimut untuk menutupi bagian dada Swastika karena bajunya sudah sobek kemudian memeluknya dengan sangat erat. Walau hatinya hancur sehancur-hancurnya karena melihat kelakuan Doni tapi kondisi sahabatnya jauh lebih penting baginya. Dalam pelukkannya, Swastika menangis tersedu-sedu. Balin yang sudah sampai didepan rumah, meletakkan Doni yang sudah terkapar begitu saja dilantai kemudian dia menelfon polisi dan orang tua Swastika. Papa Swastika yang mendapat kabar dari Balin buru-buru mengajak istri dan cucunya