"Kalian bersih-bersih dulu terus makan, Ibu tunggu" ucap Ibu Balin setelah membukakan pintu untuk keduanya. Dia tidak lagi tersenyum ramah seperti saat menyambut Elena pertama kali. Elena merasa sakit saat melihat perubahan sikap Ibu dan Ayah Balin tapi dia sadar bahwa mereka pasti sangat kecewa setelah tau kebenarannya. Balin yang biasanya mengeluarkan banyolan-banyolan kali ini benar-benar diam dan hanya menundukkan kepala. Setelah menyelesaikan mandi dan makan, Balin dan Elena mendatangi orang tua Balin yang sedang menonton tv di ruang keluarga. "Bu" sapa Elena tapi hanya mendapat deham dari Ibu Balin. "Bu, jangan seperti itu. Semua Balin yang salah. Balin yang menyuruh Elena untuk pura-pura jadi pacar Balin. Balin yang memaksa Elena" jelas Balin sambil duduk jongkok di depan Ibunya. "Ayah sama Ibu tidak pernah mengajarkan kamu untuk berbohong. Tapi teganya kamu melakukan itu sama kami" ucap Ayahnya yang sedari tadi hanya diam sedang mencurahkan rasa kecewanya. "Maaf Yah, Bu
Arya yang sejak tadi menunggu disekitar rumah Swastika akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana mencari warung karena merasa lapar dan mungkin sedikit mengorek informasi dari warga sekitar. "Nasi gorengnya pedes ya Pak, tambah telur ceplok setengah matangnya satu" ucapnya yang mendapat anggukan kepala dari si Abang Nasgor. Saat sedang menunggu pesanannya, beberapa orang sedang membicarakan perihal kejadian yang menimpa keluarga Pak Rudi. Awalnya Arya bingung, siapa sebenarnya Pak Rudi? Tapi setelah semakin lama menguping pembicaraan warga setempat, akhirnya Arya mengetahui bahwa yang dibicarakan adalah keluarga Swastika. "Terus bagaimana kelanjutannya Pak?" tanyanya dengan nada yang dibuat sehalus mungkin tapi tetap saja terdengar kaku dan seolah dibuat-buat. "Dibawa kekantor polisi Pak. Tadi saya juga kaget tiba-tiba dengat suara sirine mobil polisi, kirain bakalan ada grebekan ternyata ke rumahnya Pak Rudi" jawab salah satu dari mereka dengan nada medok khas orang Kebumen. "I
Satu minggu setelah dokumen dinyatakan lengkap, akhirnya Swastika dihubungi oleh Bagas bahwa sidang akan digelas 2 hari lagi. Swastika pun menghubungi Balin dan Elena untuk datang sebagai salah satu saksi. Hari H sidang pun datang. Semuanya sudah bersiap, saat ini mereka sudah memasuki ruang sidang dan duduk ditempat masing-masing. Hanya tinggal menunggu hakim ketua untuk masuk. Tak berselang lama, hakim pun masuk dan semuanya diharuskan berdiri, kemudian sidang pun dimulai. Satu per satu saksi menceritakan semua yang mereka tau berkaitan dengan kejadian saat itu termasuk Swastika yang menceritakan semuanya, dia sudah jauh lebih kuat dan tenang setelah beberapa kali harus bolak balik ke psikolog demi kesehatan mentalnya. Saat sidang berlangsung, seorang pria bertopi dan setelan rapi terlihat duduk disalah satu bangku dan menyaksikan jalannya sidang. Dari pihak Doni tidak ada sanggahan sehingga memperlancar jalannya sidang. Disana, keluarga Doni juga ikut mendampingi tapi tidak ad
Sampai didepan rumahnya, Swastika bergegas turun dan sambil menggandeng Abi dia menuju pintu. "Bu, mana orangnya?" teriaknya sambil melihat kedalam rumah. "Saya disini" ucap pria itu dengan tenang dan terkesan sangat dingin. "Om?" ucap Abi setelah menengok dan melihat ke atas. "Om Arya?" imbuhnya ambil mengerutkan alisnya. Swastika yang semula diam, juga ikut berbalik arah dan menatap Arya dengan tajam. Arya tidak menatap balik dan justru duduk di kursi depan dengan santai sambil menggulung lengan kemeja panjangnya hingga sampai siku. "Abi. Abi masuk dulu ya, bantu nenek didapur" ucap Swastika yang berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Abi. Ibunya Swastika yang baru saja datang dari arah dalam rumah, mengerti kode dari anaknya, kemudian membawa Abi untuk masuk kedalam rumah. Sementara Swastika ikut duduk di kursi yang ada disebelah Arya. "Mau apa anda kemari?" tanya Swastika tanpa melihat pada Arya dan hanya menatap lurus kedepan rumah tanpa ekspresi. "Untuk memastik
Malam itu, saat dia sedang jalan pulang karena baru saja selesai shift malam, dia melihat Arya yang sempoyongan disamping mobilnya. Tangan satunya seperti sedang mencari sesuatu disaku celananya sedangkan tangan lainnya ada didepan dadanya berusaha melepas kancing kemejanya. Tempat kost Swastika memang tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja, tapi saat itu karena sudah larut, dia memutuskan untuk berjalan memutar mencari jalan ramai yang harus melewati sebuah club malam. "dr. Arya?" gumamnya sambil menyipitkan mata, agar bisa melihat lebih jelas dan tidak salah orang. Setelah memastikan bahwa benar itu dr. Arya kenalannya, dia pun mendekatinya. "Tolong bantu saya" ucap Arya dengan suara serak dan tangan yang sudah memegang lengan Swastika yang ada disampingnya. Arya tidak begitu mengenali Swastika karena pandangannya saat ini sedikit kabur, tapi yang pasti dia harus meminta bantuan lebih dulu. "Saya harus bagaimana? Saya antar ke rumah sakit saja ya Dok? Sepertinya dokter sakit,
"Arya, Abi mana?" tanya Mami Ratna yang terbaring lemas karena penyakitnya kambuh. Saat itu di hotel, "Iya Mam""Halo, Tuan Arya ini saya, Ini Nyonya Tuan. Nyonya...." ucap Luna. Asisten yang memang disiapkan Arya untuk memantau Maminya dengan suara yang penuh dengan kecemasan. "MAMI KENAPA?" teriak Arya. "Pingsan" ucap "APAAA?" Dengan cepat, Arya segera beberes dan pergi dari hotel itu. Pikirannya penuh dengan harapan agar tidak terjadi apa-apa dengan Maminya. Dia merutuki sikapnya yang justru meninggalkannya hanya untuk menemui Swastika yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Sepanjang jalan, mulutnya komat kamit sambil terus mencoba menelfon dokter kenalannya yang menangani Maminya. Apabila saat ini ada polisi lalu lintas, niscaya dia akan terkena pasal berlapis. Setelah berkendara cukup lama karena saat itu Arya sedang ada disalah satu rumah sakit yang dia tangani dan hanya kesana saat ada operasi, akhirnya dia sampai di rumah sakit tempat Ibunya dirawat. "Bagaiman
"Abi sudah dengar semuanya Ma" ucap Abi sambil terus berjalan menuju Mama dan Neneknya yang saat ini sedang syok. "A-Abi.." ucap Mamanya terbata sambil melepas pelukan Ibunya dan mengusap jejak air matanya mencoba tersenyum menyembunyikan lukanya. "Jadi benar, Om Arya adalah Papa Abi?" tanya Abi sekali lagi setelah berada tepat didepan Mamanya. "M-Maaf Sayang. Mama tidak bermaksud untuk..." "Sudahlah Ma. Paling tidak sekarang Abi sudah tau siapa Papa Abi sebenarnya" potong Abi yang langsung memeluk Mamanya. "Sekarang biar Abi yang saja Mama. Jangan nangis lagi ya Ma" ucap Abi mencoba menenangkan Mamanya dan mengusap pipi cabi sang Mama. "Cantik" sambungnya yang membuat Mamanya tersipu malu. "Paling tidak Papa Abi ganteng Ma. Walaupun seperti itu. Hahahah" kelakar Abi mencoba mencairkan suasana. "Abi pintar sekali. Mulai sekarang buat Mama bahagia ya" ucap sang nenek sambil terus mengusap kepala Abi. "Abi adalah anugrah terindah yang Mama punya. Mama sangat bersyukur punya ana
"STOP" "JANGAN. TOLONG" "STOP" "BAIK. AKAN SEGERA KAMI LUNASI" Teriak Ibu Swastika pada preman-preman anak buah bos renternir yang mengobrak-abrik dan mencoba membawa perabotan yang terlihat masih berharga. Sementara sang suami sedang dipegang dan dipukuli oleh anak buah yang lain. "Kami sudah memberi tenggang waktu lama tapi sepertinya tidak ada niatan baik dari kalian" ucap bos renternir. "Akan segera kami lunasi. Tolong beri kami waktu sekali lagi" pinta Ibu Swastika sambil memegang suaminya yang sudah lemah dan babak belur. "Kami beri waktu dua minggu, kalau tidak segera dilunasi, segera angkat kaki dari rumah ini" ancam bos renternir itu. "Bisakah waktunya ditambah? Dua minggu terlalu cepat. Darimana kami bisa dapat uang sebanyak itu?" "Bukan urusan saya" ucap bos itu kemudian pergi dengan para anak buahnya yang membawa perabotan elektronik yang ada di rumahnya. "Yah. Bagaimana ini Yah?" ucap Ibu Swastika sambil menangis memeluk suaminya. Untuk melunasi semua biaya kar