POV Author
Mata El berkeliling mencari sosok wanita yang menghuni pikirannya sejak tadi.El tahu dia sudah gila. Di hari yang seharusnya dia fokus pada pekerjaan dan amanah barunya, El malah terlihat seolah sedang mengincar mangsa yaitu Alina.Bak orang kebingungan pria itu terus mencari dan menunggu di depan toilet sekolah. Perasaannya campur aduk tapi tetap berusaha untuk santai agar tak terlihat gelisah.Syukurlah penantiannya tak lama karena matanya otomatis menyipit ketika melihat seorang wanita baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sembab.Segera dia menghampiri wanita itu untuk menuntaskan semua rasa penasaran yang bergumul dalam hatinya."Alina, apa kabar?" Itulah kalimat pertama yang El ucapkan pada mantan istrinya itu, padahal sebelum mereka bertemu dia sudah merangkai jutaan kata di benaknya tapi malah itu yang keluar.Wanita cantik itu sesaat menoleh tapi tak menjawab panggilan pria itu, ada gurat-gurat kemarahan dan kesedihan yang tampak jelas di raut mukanya yang memucat. Tidak ingin membuang waktu sekaligus kesempatan, pria tampan itu segera lebih mendekatkan diri ke arah Alina yang kini mematung di tempatnya."Alina ...." panggil El lagi lirih membuat perempuan itu bereaksi dan menunjukkan sikap yang tak diinginkan oleh hati pria itu.Tanpa melihat ke arah El, Alina pun melangkah ke samping untuk menghindarinya. "Maaf Pak, permisi saya ingin lewat," katanya tegas tapi tak menyurutkan nyali El sama sekali untuk bisa berbicara dengan Alina.El merasa sudah tak sabar untuk memastikan keadaan sebelum dia kembali merasa tersakiti oleh rahasia yang selama ini ditutupi darinya.Cukup bagi El menderita karena merasa dikhianati selama delapan tahun lamanya setelah ditinggal Alina, kini dia harus mencari kebenarannya."Kamu gak bisa lewat sebelum kita bicara," cegah El seraya menggeser tubuhnya sampai perempuan cantik itu tidak bisa pergi.Alina tampak kecewa dan pada akhirnya melayangkan tatapan tak suka pada sang pria."Bicara? Bicara apa lagi? Bagi saya Anda sudah mati delapan tahun lalu. Jadi, saya rasa tidak ada lagi yang harus diobrolkan di sini. Sekarang lebih baik Anda minggir!"Sekali lagi Alina membentak El, dia tidak suka jika ditahan-tahan dan parahnya itu membuat perasaan pria yang ada di depannya kian bergemuruh dahsyat.Selama ini El mengira kalau perempuan itu akan menunjukan rasa bersalah karena telah meninggalkannya tanpa pesan apa pun tapi sebaliknya dia malah menerima perlakuan yang kurang menyenangkan.El menggeram dan tangannya reflek mencengkram."Oke, kamu boleh pergi tapi jawab dulu pertanyaan saya. Ke mana saja kamu selama ini? Dan apa Aliza itu anak saya?" tanya El penuh penekanan. Dia tatap mata Alina yang sudah berkaca-kaca tapi El berusaha gak perduli, lagi pula El sudah lama merasa hancur semenjak Alina meminta cerai lewat sang ibu dan membiarkannya dalam kesakitan.Pria itu kesepian dan kehilangan."Katakan, Lin! Apa Aliza anak saya? Kenapa kamu diam aja, hah?!" desak El disertai desahan kasar dari mulutnya.Dia sudah tidak tahan terpenjara dalam keputusasaan dan pertanyaan. El sangat berharap Alina akan jujur padanya.Alina sejenak terdiam dengan wajah tegang tapi tiba-tiba dia maju dengan pandangan yang sangat tajam."Bukan! Dia bukan anak Anda! Dia anak dari pria lain! Sekarang stop bertanya!" sentak Alina dengan suara tinggi yang berhasil membuat El serasa disiram es batu sekujur tubuhnya.El membeku karena harapannya seolah luntur. "Ka-kamu serius Lin? Aliza bukan anak saya? Kamu jangan berbohong Lin, saya bisa melihat kemiripan wajahnya dan sikapnya yang--""Saya bilang bukan ya bukan!" Alina menegaskan sekali lagi. "Dia adalah putri saya!""Tidak! Kamu bohong! Saya yakin, Aliza anak saya dan kamu. Saya yakin karena Aliza saat ini berumur tujuh tahun sementara perpisahan kita sudah delapan tahun. Itu berarti setahun kamu hamil, tujuh tahun lagi adalah umur anak kita. Lagi pula kamu belum pernah menikah lagi bukan?" cecar El lagi seraya hampir memegang pundak Alina tapi wanita cantik itu gegas menepisnya dan melayangkan raut emosi."Kata siapa saya gak menikah lagi? Jangan geer! Dia anak suami saya yang kedua!" sanggah Alina untuk mematahkan keyakinan El. Dia sengaja berbohong agar El berhenti menyangka Aliza anaknya, jika El sampai tahu pastinya mantan ibu mertua Alina akan kembali membuat mereka menderita.Cukup. Ya, cukup! Alina tidak mau lagi berada di bayang-bayang keluarga Fahreza lagi karena mereka itu toxic dan wanita itu gak sanggup menanggung akibatnya."Apa? Gak mungkin! Jadi maksud kamu setelah kita bercerai. kamu menikah lagi dan sekarang bercerai lagi? Gila, hebat banget kamu, ya?" Suara El terdengar sarkastik. Lelaki itu mulai berani menyindir Alina secara terang-terangan, sinar ketidaksukaan dan kebencian begitu kentara dalam sorot matanya yang memerah karena marah.Alina mendecak miris. "Oh tentu saja saya hebat. Untuk apa saya membiarkan diri saya tersiksa menunggu lelaki yang sebenarnya mengabaikan saya dan bahkan pergi menghilang," balas Alina tak kalah sengit.El maju selangkah, tatapannya menajam. "Kata siapa saya tidak perduli? Saya bahkan buru-buru pulang tapi kamu udah gak ada di rumah. Sebenarnya apa alasan kamu berbuat begitu Lin? Saya mencari kamu hingga saya hampir gila dan saya bahkan dapat info kamu mengkhianati saya. Dan ternyata benar, kamu bahkan sudah punya anak.""Oh, jadi selama ini Pak El yang terhormat ini punya keyakinan kalau saya mengkhianati Pak El, begitu? Hahaha, sungguh lucu!" Alina tertawa sumbang karena merasa kalimat El konyol sekali. El menuduh tanpa bukti dan hanya percaya pada mulut jahat dan Alina sangat yakin kalau mantan mertuanya-lah menghasut itu tapi Alina memutuskan untuk tak memperpanjang masalah.El menggeleng tegas. "Nggak, awalnya saya gak yakin tapi sekarang setelah kamu bilang kalau Iza itu adalah anak dari suami kedua kamu. Saya jadi yakin selama saya di Jepang kamu berselingkuh!" tuduh El seraya mengarahkan telunjuknya tepat ke wajah Alina yang memucat.Sejujurnya, mendengar El berkata begitu kejam hati Alina rasanya seakan dicabik-cabik. Tapi, Alina berpikir mungkin ini lebih baik bagi mereka berdua.Pada akhirnya Alina hanya bisa tersenyum getir. "Baguslah kalau Anda sudah yakin. Kalau begitu, pembicaraan kita sudah selesai, sekarang biarkan saya lewat! Permisi!" pamit Alina keras sambil pergi meninggalkan El yang masih membeku seolah tertusuk sembilu.Sementara, di sisi lain Alina hanya bisa berlari secepat mungkin agar air matanya tak terlihat El.Dia ingin pergi dari El, itu saja.Suasana kamar rawat El seketika diliputi kecanggungan. Entah mengapa, ketika mereka hadir dan duduk di depanku dan El, aku merasakan ketegangan di udara. Tatapan mereka membuatku merasa canggung, seakan setiap kata yang akan diucapkan sudah ditakar dan dipikirkan berulang kali. Aku menahan diri untuk tidak menilai, tetapi rasa sakit yang terpendam di hatiku kembali mengemuka. Diam-diam, aku melihat reaksi El atas kedatangan dua wanita yang pernah hadir di hidupnya dan mengganggu rumah tangga kami. Namun, rupanya El memang lelaki yang sangat menghargai istri, semenjak Faye dan Sania datang kulihat El hanya memasang wajah datar seolah malas. "El, Lin, sebenarnya kami... kami ingin meminta maaf." Faye yang tadi terlihat gugup pada akhirnya memulai percakapan. Suaranya lembut, tapi ada nada berat yang menyertai kata-katanya. "Kami tahu, kami telah menghalangi El dan kamu untuk bersama. Apalagi aku membuat kalian sempat bertengkar," lanjut Faye sambil melihatku yang duduk di depannya d
Tinggal satu hari lagi El berada di rumah sakit, akhirnya setelah hampir seminggu berada dalam perawatan untuk pemulihan kami diperbolehkan pulang juga. Tampaknya fisik El lebih cepat pulih dari perkiraan. Selama El di rumah sakit aku tidak pernah absen menemaninya dan terkadang juga aku membawa Aliza agar El merasa bahagia.Namun, tentu saja Aliza gak bisa sering-sering menemani karena dia juga harus sekolah dan takut badannya kecapean kalau nungguin El sampai malam. Alhasil, hanya aku yang lebih banyak bareng El karena selain ada kepentingan. Kami pun sama-sama memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya membuat ibu mertuaku itu divonis hukuman penjara. Baik aku dan El berjanji, akan mengunjunginya usai kami keluar dari rumah sakit. Kami berharap Bu Rosa mau berbesar hati menerima kami. "Mas, alhamdullilah ya akhirnya kasus kita selesai juga. Rasanya aku lega banget deh. Kira-kira kalau aku jenguk Ibu mau nemuin aku gak, ya?" Aku merebahkan kepalaku di atas paha El dan menghadapkan
Selama El diperiksa oleh dokter, senyuman tak henti tersungging di mulutku karena merasa sangat bahagia bisa melihat El terjaga lagi. Jujur, ini bagaikan suatu anugerah yang tak terkira. Tadinya aku sudah hilang harapan tapi Tuhan memang Maha Baik, Dia selalu tahu apa yang hamba-Nya butuhkan dan Dialah yang Maha pengabul doa."Kondisi Pak El sudah agak stabil tapi beberapa hari ke depan kami harus tetap melakukan observasi karena harus memeriksa secara menyeluruh tapi kabar baiknya Pak El bisa dipindah ke ruang rawat biasa. Sementara, jangan biarkan dia banyak bergerak dulu, ya?" ujar dokter Bagus seraya melepaskan snelli. Wajahnya menunjukan kelegaan setelah memeriksa suamiku.Aku mengangguk pasti sembari tersenyum lebar. "Baik Dok siap. Saya akan menjaga suami saya.""Terima kasih Dok," ujar El lirih dan lemah."Sama-sama. Kalau gitu saya permisi, ya?""Silahkan Dok."Setelah dokter spesialis yang menangani El beranjak pergi, kini tersisalah aku dan El. Aku menatap El yang juga ten
Tiga hari telah berlalu pasca insiden p*nusukan dan p*nculikan yang dilakukan Neo, El masih betah tertidur di atas ranjang ICU. Kata dokter luka El sudah dijait dan operasi besar pun berhasil, sekarang tinggal nunggu kesadaran El. Tapi, syukurnya ada kabar baik yaitu tubuh El merespon positif terhadap obat-obat yang diberikan sehingga bekas tusukannya lebih cepat mengering. Di sisi lain kondisi aku pun berangsur baik. Aku bahkan masih bisa bolak-balik mengurus Iza dan rumah sakit sambil terus memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya bisa didakwa atas kasus perencanaan penculikan bersama Neo karena dia yang menyuruh Neo menculikku dan dia juga yang menyuruh Neo menterorku dengan membawa Aliza ke istana boneka.Oh Tuhan. Gak disangka Bu Rosa dan Neo tega memisahkan kami sejauh ini. Hanya demi sebuah warisan kekayaan, dia rela menghalalkan berbagai cara termasuk membunuh orang. Benar-benar bejat! Aku tidak terbayang perasaan El jika sadar nanti jika tahu ibunya yang merencanakan ini
Menegangkan, kacau dan menakutkan. Tak bisa aku bayangkan kalau kami akan berada di posisi di mana kami harus terjebak dengan Neo juga anteknya di gudang yang menyeramkan dan juga gelap. Siapa duga, Neo--sahabatku yang kukira baik kini dengan busuknya mengacungkan senjata dan mengarahkan moncongnya ke arah kami di saat aku dan El mau melarikan diri. Jujur! Saat ini aku merasa jantungku hampir meledak karena ketakutan. Neo tampak marah dan putus asa, sementara El berusaha tetap tenang di sampingku. Pria tampan itu seakan menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja jika kami bersama. "Kalian gak bisa ke mana-mana! Aku tegaskan sama kamu, El! Alina itu milikku! Dia cinta sejati seorang Neo bukan Elfarobi! Paham?!" bentak Neo dengan nada tegas dan menggelegar membuatku reflek mundur di belakang El. Sungguh, situasi ini sangat mengerikan, aku tak bisa terus di bawah pandangan Neo yang menyedihkan juga jahat. El meremas tanganku lebih erat, seolah memberi isyarat bahwa dia akan melindun
Neo menculik dan menjebakku. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Seketika ketakutan merayap di seluruh tubuhku, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai diriku. Aku tak percaya kalau Neo kini telah banyak berubah, entah apa alasannya tapi Neo berubah menjadi jahat.Apa karena aku tolak dia jadi seperti ini? Agh, sial! Mengapa aku bisa semudah itu percaya sama Neo?Memikirkan kebodohanku, diam-diam aku jadi menyesal karena tidak bisa bertemu dengan El. Tapi, meski sedih dan marah aku gak boleh kehabisan akal, saat ini El harus tahu aku berada dalam bahaya. Hanya saja, bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melarikan diri atau mencari El? Aku terus menggerak-gerakkan tangan dan kakiku yang kini terikat.Sebenarnya, beberapa saat lalu seusai aku tahu kalau Neo menculikku, Neo yang semula baik tak segan menunjukkan sisi jahatnya. Dia tiba-tiba mendorongku hingga ke kursi belakang. Setelah mengikat aku dan mengancam kalau akan berbuat macam-macam jika aku berisik, Neo