Share

Bab 2. Mata Yang Dulu

Penulis: Fiska Aimma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-02 10:39:27

Speechless. Mungkin itulah yang tepat untuk menggambarkan kondisiku saat ini. Sudah lama aku tidak mengalami kejadian yang membuatku kehilangan kata-kata seperti ini.

Aku ingat betul, selama aku hidup selama dua tiga puluh tahun, ada tiga kejadian yang membuatku kehilangan kata-kata.

Pertama, ketika hamil tapi mertuaku malah menolak kehamilanku dan memintaku menggugurkannya dengan alasan dia tidak mau memiliki cucu dariku.

Kedua, ketika aku tidak bisa menghubungi suamiku sekali pun aku sudah berusaha mencari. El bagai ditelan bumi dan sengaja meninggalkanku di sini untuk diceraikan lewat konspirasi mertua.

Dan ketiga, saat ini. Saat aku tahu kalau kepsek anakku adalah El--suami yang kini telah menjadi mantan dan sangat aku benci.

Oh Tuhan. Apakah ini tanda-tanda kiamat sudah dekat? Kenapa juga aku harus bertemu mantan suami yang sudah lama ingin aku hapuskan dari ingatanku?

Andai waktu bisa diulang mungkin aku memilih untuk tidak datang ke sini dan menyekolahkan anakku di sini.

Sejujurnya, meski sudah beberapa menit bertemu dan sampai kami cukup lama berdiri berhadapan seperti ini, hatiku tetap saja masih mencelos ketika melihat wajah El sekali lagi.

Dengan pertemuan kembali kami, diam-diam aku jadi teringat masa-masa di mana buruk dan menyakitkannya perpisahan kami dulu.

So, rasanya mustahil jika kami harus kembali berkomunikasi.

Mustahil! Ini mustahil! Aku tidak bisa membiarkan Aliza dekat dengan El! Aku harus memindahkan anakku sebelum dia tahu kalau Aliza adalah anak kandungnya.

"Elfarobi Fahreza. Panggil saja Pak El."

Kata-kata Adel terus saja menggaung di telingaku bagaikan suara yang mengganggu. Saat itu kurasakan kondisi di sekitarku seolah-olah jadi berjalan lambat. Mulai dari saat pria itu berbalik dan menatapku dengan tatapan terkejutnya sementara aku berusaha untuk tak jatuh pingsan karena emosi yang tertahan.

Saat ini aku bisa merasakan mataku memanas dan pandanganku mengabur. El ya, dia El.

Lelaki yang dulu aku percayai tidak akan membuatku menangis tapi malah menorehkan luka paling tajam hingga aku merasa ingin mati. Dan sialnya dia hanya berdiri satu meter di depanku saat ini.

Mengapa dia harus kembali di saat aku hampir melupakan? Dan mengapa dia semakin terlihat tampan untuk lelaki yang telah menyakitiku?

"Halo, Mamah Aliza. Saya harap kedepannya pihak sekolah dan Ibu bisa bekerja sama dengan baik, ya? Oh, ya, kalau boleh tahu di mana Ayah Aliza? Apakah Ayah Aliza datang juga hari ini?" El bertanya seraya mengerutkan keningnya seolah sengaja mempertanyakan hal itu untuk memenuhi rasa penasaran.

Di sisi lain aku setengah mati tengah menahan rasa ingin menamparnya saat ini karena telah pergi seenaknya dari hidupku. Kemana saja kamu selama ini? Kenapa kamu dan keluargamu hanya menyakitiku?

Aku mengepalkan tangan saat El berjalan semakin dekat dengan tatapan yang rasanya seolah campur aduk. Aku menangkap ada rasa rindu, kemarahan, benci, bingung dan ... agh!

"Ayah Aliza tidak datang. Dia tidak akan pernah datang," jawabku berusaha mengendalikan suara agar tidak bergetar.

El terperangah mendengar jawabanku dan bahkan rahangnya kian mengetat seiring dengan tatapan tajamnya yang terasa menusuk. "Kenapa? Kenapa dia gak datang? Apa dia sibuk? Atau ...."

"Bu Alina ini single parent Pak, beliau ini hebat loh bisa membesarkan Aliza sampai besar seperti ini seorang diri," timpal Adel langsung seolah ingin menyelamatkanku dari pertanyaan mematikan ini.

Diam-diam aku bersyukur Adel ada di sini. Meski sahabatku itu tidak tahu kalau El ternyata mantan suamiku yang kuceritakan padanya lima tahun lalu pada saat kami tanpa sengaja dekat saat masih sama-sama magang di perusahaan, Adel selalu bisa memahami kondisiku meski aku tak bicara.

Ya, meski pada akhirnya Adel resign lebih dulu karena hamil dan menikah, Adel selalu berada di pihakku apa pun kondisinya.

Mungkin semua itu karena dia tahu bagaimana susahnya aku hidup sebatang kara dan membesarkan putri yang cantik jelita tanpa siapa pun di sampingku.

"Oh, single parent," gumam El seolah berkata pada diri sendiri. Aku bisa melihat sedikit seringai mengerikan di balik wajah tampannya itu walau sesaat. "Maaf ya, Bu, saya kira ibu datang berdua. Maaf atas kelancangan saya dan terima kasih sudah datang. Oh, ya, ayo silahkan duduk kita akan membicarakan perihal program komite sekolah ke depannya."

Entah apa alasannya, tapi saat ini aku merasa El tengah sekuat mungkin sepertiku bertindak biasa. Oh, bukan! Rasa ini lebih tepatnya asing. Tapi, kenapa ini terasa sangat menyedihkan?

"Ayo, Lin, kita duduk, jangan berdiri terus," bisik Adel padaku yang masih mematung sedangkan dia sudah duduk di samping El.

"Oh, eh, iya." Mendengar teguran itu, aku terkesiap dan segera menarik kursi tapi belum sempat duduk tiba-tiba kakiku terasa lemah sampai aku nyaris jatuh. Hal ini sering terjadi jika aku terlalu syok tapi untunglah aku bisa berpegangan pada meja dan kursi rapat yang tak sengaja terdorong ke belakang, tersenggol tumitku.

"Eh, Mah Iza, kenapa? Baik-baik aja?"

"Gugup banget ya, Bu? Ketemu pria ganteng macam Pak El?"

"Iya, Bu, dimaklumi kok. Kan udah lama sendiri ya, Bu?"

Terdengar cuit-cuitan para orang tua siswa yang sedikit menggoda ketika melihatku jatuh. Jujur, saat ini aku sangat malu dan merasa tidak nyaman. Niatku untuk tidak mempermalukan diri nyatanya gagal.

Adel gegas membantuku berdiri. "Kamu gak apa-apa, Lin? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Adel sambil memegang bahuku.

"A-aku baik-baik saja Del, makasih ya. Maaf kayaknya aku butuh ke toilet dulu," pamitku sambil melepaskan tangan Adel dan langsung melangkahkan kaki ke luar ruangan.

Saat ini aku hanya ingin menghindar dari semuanya karena hatiku rasanya belum siap. Bagaimana mungkin aku bisa berada di ruangan yang sama dengan mantan suamiku yang kubenci?

Ini kenyataan yang meresahkan. Sangat membagongkan!

(***)

Adakah yang memahami perasaanku yang kacau sekarang?

Sungguh, sampai sekarang aku masih gak menyangka ketika aku mulai merasa kuat membesarkan Aliza sendiri dan memutuskan untuk hidup sendiri ternyata takdir membenturkanku dengan pertemuan yang gila ini. Tak kupungkiri, kejadian ini membuat guncangan dahsyat dalam palung hatiku tapi aku juga bingung bagaimana cara untuk menghadapi ini.

Setelah menenangkan diri beberapa menit di toilet dan merapikan diri yang terlihat berantakan, aku melangkah keluar. Langkah gontaiku terhenti saat suara berat tiba-tiba mengejutkanku.

"Alina, apa kabar?"

Aku membeku. Terdiam. Rasanya kakiku jadi sangat sulit untuk digerakkan dan bahkan mengangkat kepalaku pun aku tak mampu.

El datang melangkah mendekatiku sampai akhirnya berhenti tepat di depanku. Aroma parfum Bvlgary Aqua miliknya menyapa indera penciumanku. Aku masih terdiam dan air mataku hampir saja menetes tapi aku tahan.

"Alina ...." panggilnya lagi lirih.

"Maaf Pak, permisi saya ingin lewat," kataku tegas tanpa melihat ke arahnya dan mengambil jalan lewat celah yang ada. Tapi secara cepat tubuh tegapnya bergeser hingga aku tidak bisa pergi.

"Kamu gak bisa lewat sebelum kita bicara," balasnya dengan suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Jengah dengan keadaan yang ada, aku reflek mengangkat wajah dan menatap tepat ke arah netranya yang sialnya masih mampu membiusku seperti dulu.

""Bicara? Bicara apa lagi? Bagi saya Anda sudah mati delapan tahun lalu. Jadi, saya rasa tidak ada lagi yang harus diobrolkan di sini. Maaf, saya ingin kembali ke ruangan, tolong minggir!" usirku segera sambil mengambil jalan ke samping dan beranjak untuk meninggalkannya yang masih terdiam.

Namun, belum juga aku berjalan tiga langkah sekali lagi suara El terdengar.

"Kamu boleh pergi tapi jawab dulu pertanyaan saya. Kemana saja kamu selama ini? Dan apa Aliza anak saya?"

Deg.

Mendengar lontaran pertanyaan yang tiba-tiba itu, tubuhku seketika menegang. Dan tanpa sadar aku memutar langkah dan berbalik menghadapnya yang ternyata masih berdiri di tempat yang sama.

"Katakan, Lin! Apa Aliza anak saya? Kenapa kamu diam aja, hah?" desak El seraya menatapku lekat seolah ingin memakanku bulat-bulat.

Sekarang juga. Detik ini juga.

Oh Tuhan. Kenapa dia harus bertanya itu sekarang? Dan apa yang harus kujawab untuk menutupi bahwa Aliza anaknya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Anak Rahasia Kepala Sekolah    Bab 91. Ending

    Suasana kamar rawat El seketika diliputi kecanggungan. Entah mengapa, ketika mereka hadir dan duduk di depanku dan El, aku merasakan ketegangan di udara. Tatapan mereka membuatku merasa canggung, seakan setiap kata yang akan diucapkan sudah ditakar dan dipikirkan berulang kali. Aku menahan diri untuk tidak menilai, tetapi rasa sakit yang terpendam di hatiku kembali mengemuka. Diam-diam, aku melihat reaksi El atas kedatangan dua wanita yang pernah hadir di hidupnya dan mengganggu rumah tangga kami. Namun, rupanya El memang lelaki yang sangat menghargai istri, semenjak Faye dan Sania datang kulihat El hanya memasang wajah datar seolah malas. "El, Lin, sebenarnya kami... kami ingin meminta maaf." Faye yang tadi terlihat gugup pada akhirnya memulai percakapan. Suaranya lembut, tapi ada nada berat yang menyertai kata-katanya. "Kami tahu, kami telah menghalangi El dan kamu untuk bersama. Apalagi aku membuat kalian sempat bertengkar," lanjut Faye sambil melihatku yang duduk di depannya d

  • Anak Rahasia Kepala Sekolah    Bab 90

    Tinggal satu hari lagi El berada di rumah sakit, akhirnya setelah hampir seminggu berada dalam perawatan untuk pemulihan kami diperbolehkan pulang juga. Tampaknya fisik El lebih cepat pulih dari perkiraan. Selama El di rumah sakit aku tidak pernah absen menemaninya dan terkadang juga aku membawa Aliza agar El merasa bahagia.Namun, tentu saja Aliza gak bisa sering-sering menemani karena dia juga harus sekolah dan takut badannya kecapean kalau nungguin El sampai malam. Alhasil, hanya aku yang lebih banyak bareng El karena selain ada kepentingan. Kami pun sama-sama memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya membuat ibu mertuaku itu divonis hukuman penjara. Baik aku dan El berjanji, akan mengunjunginya usai kami keluar dari rumah sakit. Kami berharap Bu Rosa mau berbesar hati menerima kami. "Mas, alhamdullilah ya akhirnya kasus kita selesai juga. Rasanya aku lega banget deh. Kira-kira kalau aku jenguk Ibu mau nemuin aku gak, ya?" Aku merebahkan kepalaku di atas paha El dan menghadapkan

  • Anak Rahasia Kepala Sekolah    Bab 89

    Selama El diperiksa oleh dokter, senyuman tak henti tersungging di mulutku karena merasa sangat bahagia bisa melihat El terjaga lagi. Jujur, ini bagaikan suatu anugerah yang tak terkira. Tadinya aku sudah hilang harapan tapi Tuhan memang Maha Baik, Dia selalu tahu apa yang hamba-Nya butuhkan dan Dialah yang Maha pengabul doa."Kondisi Pak El sudah agak stabil tapi beberapa hari ke depan kami harus tetap melakukan observasi karena harus memeriksa secara menyeluruh tapi kabar baiknya Pak El bisa dipindah ke ruang rawat biasa. Sementara, jangan biarkan dia banyak bergerak dulu, ya?" ujar dokter Bagus seraya melepaskan snelli. Wajahnya menunjukan kelegaan setelah memeriksa suamiku.Aku mengangguk pasti sembari tersenyum lebar. "Baik Dok siap. Saya akan menjaga suami saya.""Terima kasih Dok," ujar El lirih dan lemah."Sama-sama. Kalau gitu saya permisi, ya?""Silahkan Dok."Setelah dokter spesialis yang menangani El beranjak pergi, kini tersisalah aku dan El. Aku menatap El yang juga ten

  • Anak Rahasia Kepala Sekolah    Bab 88

    Tiga hari telah berlalu pasca insiden p*nusukan dan p*nculikan yang dilakukan Neo, El masih betah tertidur di atas ranjang ICU. Kata dokter luka El sudah dijait dan operasi besar pun berhasil, sekarang tinggal nunggu kesadaran El. Tapi, syukurnya ada kabar baik yaitu tubuh El merespon positif terhadap obat-obat yang diberikan sehingga bekas tusukannya lebih cepat mengering. Di sisi lain kondisi aku pun berangsur baik. Aku bahkan masih bisa bolak-balik mengurus Iza dan rumah sakit sambil terus memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya bisa didakwa atas kasus perencanaan penculikan bersama Neo karena dia yang menyuruh Neo menculikku dan dia juga yang menyuruh Neo menterorku dengan membawa Aliza ke istana boneka.Oh Tuhan. Gak disangka Bu Rosa dan Neo tega memisahkan kami sejauh ini. Hanya demi sebuah warisan kekayaan, dia rela menghalalkan berbagai cara termasuk membunuh orang. Benar-benar bejat! Aku tidak terbayang perasaan El jika sadar nanti jika tahu ibunya yang merencanakan ini

  • Anak Rahasia Kepala Sekolah    Bab 87

    Menegangkan, kacau dan menakutkan. Tak bisa aku bayangkan kalau kami akan berada di posisi di mana kami harus terjebak dengan Neo juga anteknya di gudang yang menyeramkan dan juga gelap. Siapa duga, Neo--sahabatku yang kukira baik kini dengan busuknya mengacungkan senjata dan mengarahkan moncongnya ke arah kami di saat aku dan El mau melarikan diri. Jujur! Saat ini aku merasa jantungku hampir meledak karena ketakutan. Neo tampak marah dan putus asa, sementara El berusaha tetap tenang di sampingku. Pria tampan itu seakan menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja jika kami bersama. "Kalian gak bisa ke mana-mana! Aku tegaskan sama kamu, El! Alina itu milikku! Dia cinta sejati seorang Neo bukan Elfarobi! Paham?!" bentak Neo dengan nada tegas dan menggelegar membuatku reflek mundur di belakang El. Sungguh, situasi ini sangat mengerikan, aku tak bisa terus di bawah pandangan Neo yang menyedihkan juga jahat. El meremas tanganku lebih erat, seolah memberi isyarat bahwa dia akan melindun

  • Anak Rahasia Kepala Sekolah    Bab 86

    Neo menculik dan menjebakku. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Seketika ketakutan merayap di seluruh tubuhku, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai diriku. Aku tak percaya kalau Neo kini telah banyak berubah, entah apa alasannya tapi Neo berubah menjadi jahat.Apa karena aku tolak dia jadi seperti ini? Agh, sial! Mengapa aku bisa semudah itu percaya sama Neo?Memikirkan kebodohanku, diam-diam aku jadi menyesal karena tidak bisa bertemu dengan El. Tapi, meski sedih dan marah aku gak boleh kehabisan akal, saat ini El harus tahu aku berada dalam bahaya. Hanya saja, bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melarikan diri atau mencari El? Aku terus menggerak-gerakkan tangan dan kakiku yang kini terikat.Sebenarnya, beberapa saat lalu seusai aku tahu kalau Neo menculikku, Neo yang semula baik tak segan menunjukkan sisi jahatnya. Dia tiba-tiba mendorongku hingga ke kursi belakang. Setelah mengikat aku dan mengancam kalau akan berbuat macam-macam jika aku berisik, Neo

  • Anak Rahasia Kepala Sekolah    Bab 85

    Esok harinya. Aku merasa sudah cukup menyendiri dan memikirkan rencana ke depannya untuk dilakukan menghadapi masalah ini. Semalaman penuh aku merenungkan semua sampai akhirnya aku memilih untuk berbicara dengan El dan menyelesaikan semuanya sesuai saran Rahma. Berulang kali aku memikirkan kalau apa yang dikatakan Rahma itu benar, kalau dosa ibu kandungku bukanlah dosaku. Tidak seharusnya aku menanggung kesalahan ibuku dan aku pun seharusnya percaya pada El. Selama ini El sudah banyak berkorban, gak mungkin dia mengkhianatiku terutama sama Faye.Dikarenakan mengingat itu semua, aku pikir ini saatnya aku untuk mengambil semua peranan dan memutuskan yang terbaik untuk kehidupanku sendiri. Aku harus percaya sama El dan aku yakin dia pun akan memahami kalau pengkhianatan orang tua kami gak ada hubungannya dengan rumah tangga kami.Aku melirik jam tangan, ternyata waktu sudah menunjukan jam 7.00 pagi, sepertinya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Aku ingin bergegas menemui El dan mem

  • Anak Rahasia Kepala Sekolah    Bab 84

    Keesokan paginya. Aku kembali mencoba mencari cara agar bisa masuk ke ruangan El tanpa bisa diusir seperti semalam. Bagaikan orang gila, aku meminta bantuan ke sana dan ke sini demi bisa masuk ke ruangan El tapi rasanya susah sekali karena Bu Rosa sama sekali gak beranjak.Beruntung, setelah menunggu hampir tengah hari. Aku akhirnya dapat bantuan dari Bre--sahabatnya El dan sekarang jadi mantan bosku. Bre yang baru saja menjenguk El bilang kalau El sudah membaik dan dipindah ke ruang rawat VIP sehingga aku bisa dengan mudah mengakses selama gak ada Bu Rosa atau pengawalnya. Kata Bre, El masih belum sadar sepenuhnya karena masih harus banyak istirahat akibat cidera tulang yang ia alami. Tentu kabar itu setidaknya membahagiakan hatiku yang sejak semalam sudah harap-harap cemas, terutama Bre juga bilang Bu Rosa sedang pergi keluar jadi ini saatnya aku bisa menyelinap masuk.Dan setelah persiapan matang, akhirnya aku bisa juga sampai di depan ruang rawat El. Sebelum masuk, aku berhenti

  • Anak Rahasia Kepala Sekolah    Bab 83

    "El kecelakaan Lin, dia kecelakaan! Sekarang katanya dia dilarikan ke UGD." Sekali lagi informasi dari Bik Ratih beberapa saat lalu membuatku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. 1320015635874Jujur, aku sangat terkejut hingga sempat terdiam dan tubuhku terasa kaku. Berita kecelakaan tentang El benar-benar menghantamku seperti gelombang besar yang tiba-tiba datang. Namun, meski rasanya hati ini begitu cemas, tanpa pikir panjang dengan cepat, aku meraih tas dan jaketku, lalu bergegas keluar rumah menuju rumah sakit, tentu saja setelah menitipkan Iza kepada Bik Ratih. Aku sengaja gak mau memberitahukan kabar tentang El pada Iza karena anak itu pasti menangis kencang dan ingin ikut padahal ini sudah sangat larut malam.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak ayal pikiranku kacau dengan berbagai perasaan. Ada ketakutan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang mendalam. Aku mengira kalau El mengalami kecelakaan tunggal karena saking marahnya padaku sehingga oleng dan menabrak pembat

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status