MasukKabar itu menghantam Aya seperti petir di pagi hari yang cerah. Sesuatu di dalam dirinya patah, runtuh seketika.
“Nggak…,” bibirnya bergetar. “Nggak mungkin….” Penjelasan dokter terdengar seperti suara dari kejauhan. Berhenti bernapas. Terlalu lemah. Semua kata itu menamparnya tanpa ampun. Kakinya goyah, air mata jatuh tanpa sempat ia tahan. “Ibu… ini pasti salah…,” bisiknya lirih. Aya berlari ke kamar rawat, lalu terhenti ketika ranjang itu kosong. Tubuhnya gemetar saat ia dibawa ke kamar jenazah. Di sanalah ibunya terbaring, diam, dingin, tak lagi menjawab panggilan. Begitu selimut putih itu tersingkap, Aya jatuh berlutut. Tangisnya pecah singkat, patah, seperti napas yang kehabisan tempat berpijak. Ia memeluk tubuh ibunya, sementara kartu ATM itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai. Uang yang ia dapatkan dengan harga yang terlalu mahal, tak mampu menyelamatkan apa pun. Ia sudah menyerahkan segalanya. Namun tetap saja… ia terlambat. Atau mungkin, itu adalah hukuman bagi Aya. Selama ini, ibunya selalu mengajarkan hal baik. Tapi, ia demi sesuatu yang cepat, Aya justru memilih jalan yang salah. ** Dua bulan berlalu. Namun, selama itu kehidupan Aya tak banyak berubah. Sejak ibunya meninggal, Aya tinggal seorang diri. Beruntung, ia memiliki Gina, sahabat baik yang selalu membantunya. Bahkan, kini Aya juga telah bekerja di cafe sederhana milik kakak Gina, Hendra. Aya selalu berusaha bekerja dengan rajin dan cekatan. Melayani para pelanggan dengan senyuman ramah. Hendra sebagai bosnya juga sangat baik dan memperlakukan Aya seperti adiknya sendiri. Meski begitu tetap tegas padanya. Siang itu, Aya baru saja beristirahat setelah bekerja sejak pagi. "Aya," panggil Hendra tiba-tiba. "Iya, Mas?" Aya menoleh ke arah pria tampan berwajah manis yang berjalan mendekatinya. Hendra diam sejenak. "Kamu... Ikut Mas ke ruangan," ajaknya kemudian. "Baik, Mas." Aya dengan patuh berjalan di belakang sang bos. Mereka berdua pun masuk ke dalam ruangan kerja Hendra. "Duduklah," ucap Hendra lembut, mempersilahkan Aya duduk pada sofa yang ada di sudut ruangan. Lalu dirinya ikut duduk di sebelah Aya. "Ada apa, Mas? Apa... aku melakukan kesalahan?" tanya Aya membuka pembicaraan. Hendra menggeleng pelan. Namun dia tak segera menjawab. Pria itu justru diam menatap wajah cantik Aya yang duduk di sampingnya. Aya pun dengan sabar menunggu sang bos berbicara. "Ay... Mas mau bicara serius sama kamu," ucap Hendra kemudian. Aya masih diam. Di dalam ruangan itu, hanya terdengar suara detak jarum jam dinding ketika tak ada yang bicara. Begitu tenang, berbeda dengan keadaan di luar sana yang sibuk dengan datang perginya para pelanggan. "Aya... Mas suka sama kamu... Maukah kamu menikah denganku?" Pertanyaan itu membuat Aya membeku. Senyumannya bahkan tiba-tiba menghilang dari wajah cantiknya. "Ah. Kamu nggak perlu menjawabnya sekarang, Ay. Tapi... Mas benar-benar serius, Mas suka sama kamu," ucap Hendra kemudian. Aya menatap wajah lembut di depannya. Hendra adalah sosok pria yang tak pernah dia harapkan menjadi pasangan. Karena bagi dirinya, Hendra adalah sosok kakak laki-laki yang sempurna. "Apa yang membuat Mas Hendra suka padaku?" tanya Aya kemudian. Ada rasa takut yang tiba-tiba muncul di dalam hatinya. "Semuanya. Mas suka kamu yang ceria, baik, punya semangat tinggi, penuh kasih sayang, bahkan selalu menjaga semua hal yang berharga dengan sangat baik," jawab Hendra tanpa ragu. Aya merasakan tamparan di dalam hatinya. 'Menjaga semua hal yang berharga? Aku bahkan kehilangan kesucianku demi sejumlah uang....' batinnya pilu. "Maaf, Mas... Tolong beri aku waktu buat berpikir...." putus Aya kemudian. "Iya, Ay. Mas ngerti, kok. Kamu pikirkan baik-baik soal jawabannya. Mas akan selalu menunggu," ucap Hendra lembut. Aya kembali bekerja setelahnya. Dia masih tak menyangka bahwa orang yang dia anggap seperti kakaknya sendiri, malah mengajaknya menikah. Bukannya tak mau, tapi Aya merasa tak pantas untuk Hendra. Bagaimanapun juga, dia telah menyerahkan kehormatannya pada seorang pria yang tak dia ketahui namanya. ** Selain memikirkan jawaban untuk lamaran Hendra, Aya masih terus bekerja dengan baik. Namun, meski tubuhnya bekerja seperti biasa, ada sesuatu dalam dirinya yang tidak normal belakangan ini. Entah kenapa, Aya merasa mudah lelah, bahkan sensitif terhadap bau kopi yang biasanya dia sukai. Bahkan hari ini, sejak pagi Aya merasakan mual dan pusing. Aya menutup mulutnya, lalu buru-buru meninggalkan area kerja. Begitu tiba di toilet, ia langsung membungkuk dan memuntahkan isi perutnya. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipis. “Apa-apaan ini…,” gumamnya lemah sambil berpegangan pada wastafel. Mual, pusing, tubuh mudah lelah. Satu per satu gejala itu berputar di kepalanya. Lalu pikirannya tersentak pada satu hal lain yang selama ini ia abaikan. Sejak ibunya meninggal… ia belum datang bulan. Wajah Aya semakin pucat. Jantungnya berdetak tak karuan. “Tunggu… nggak mungkin kan…,” bisiknya panik. “Aku nggak mungkin hamil….” Belum sempat ia menyelesaikan pikirannya, pintu toilet diketuk pelan. “Aya? Kamu kenapa?” suara Hendra terdengar cemas dari luar. Aya cepat-cepat membasuh wajahnya, menegakkan tubuh meski kakinya masih gemetar. Saat pintu terbuka, Hendra langsung menyadari wajahnya yang pucat. “Kamu sakit?” tanyanya khawatir. Aya menggeleng pelan, memaksakan senyum. “Nggak… cuma masuk angin. Aku gapapa, Mas.” Hendra masih menatap Aya lekat. Kerut di dahinya tak juga mengendur. “Kamu yakin? Wajah kamu pucat banget,” katanya pelan. “Kalau mau, aku anterin pulang aja. Kerjaan bisa aku urusin.” Aya buru-buru menggeleng. Tangannya refleks mencengkeram celemek di pinggangnya. “Nggak usah, Mas. Aku beneran nggak apa-apa,” jawabnya cepat. “Mungkin cuma kecapekan. Nanti juga mendingan.” Hendra tampak ragu. Ia menimbang sejenak, lalu menghela napas. “Kalau kamu maksa tetap kerja, istirahat yang bener. Jangan dipaksain.” “Iya,” sahut Aya singkat. Ia menunduk, menghindari tatapan itu. Baru beberapa langkah keluar dari toilet, Aya merasa kepalanya terasa semakin berat. Dunia di sekelilingnya berputar pelan, lalu semakin cepat. Suara kafe mendengung samar di telinganya. Aya mencoba berpegangan pada dinding, tapi tangannya meleset. Lututnya melemah. Dan sebelum sempat memanggil siapapun, pandangannya menggelap. Tubuh Aya ambruk ke lantai. Ketika kesadaran Aya kembali perlahan, seperti cahaya yang merayap masuk ke ruangan gelap. Kepalanya masih terasa berat. Aya mengerang pelan saat membuka mata. Langit-langit kamar yang asing menyambutnya. “Aya?” suara lembut memanggil. “Kamu sudah sadar?” Aya menoleh. Gina duduk di sisi ranjang, wajahnya penuh cemas. Di belakangnya, Hendra berdiri dengan ekspresi serius, tangannya menyilang di dada. “Ini… kamar kamu?” suara Aya serak. Gina mengangguk cepat. “Iya. Kamu pingsan di kafe. Mas Hendra yang gendong kamu ke mobil.” Aya terdiam. Sepenggal ingatan sebelumnya muncul di kepalanya. Hendra melangkah mendekat. Tatapannya lurus, tak menghindar. “Aya,” ucapnya pelan tapi tegas, “Apa pun yang terjadi sama kamu… aku mau kamu dengar baik-baik.” Aya menegang, dahinya berkerut bingung. “Apapun kondisimu sekarang,” lanjut Hendra, “Siapapun laki-laki yang sudah menghamili kamu… kalau dia pergi dan ninggalin kamu, aku siap tanggung jawab.” Napas Aya tercekat. Dadanya berdesir keras. “Ma-Mas, apa maksudmu?” ***Kabar itu seperti petir yang menyambar di pagi hari yang cerah. Membuat sesuatu di dalam diri Aya patah, runtuh. "Nggak...." bibirnya bergetar. "Nggak mungkin...." Lalu dokter itu melanjutkan dengan pelan, seolah kata-kata itu bisa menjadi lebih tajam dari sebuah pisau. "Beliau berhenti bernapas pukul dua dini hari. Kami sudah mencoba yang terbaik, Mbak. Tapi kondisinya terlalu lemah. Bahkan lebih lemah dari sebelumnya...." Aya mundur satu langkah. Lalu langkah kedua. Sementara kedua kakinya kehilangan kekuatan. Wajahnya berubah putih pucat. Bibirnya gemetar keras. Air mata pun tak dapat dia bendung lagi. Kabar itu adalah tamparan keras baginya yang tak ingin dia percayai. "Ibu... Nggak mungkin... Ini pasti salah...." Sang dokter menatapnya iba. "Nggak mungkin...." suara Aya gemetar, "...operasinya saja masih beberapa hari lagi. Nggak mungkin ibu meninggal... Nggak mungkin...." Tangis pertama pecah dari tenggorokannya. Palan, namun begitu putus asa. Aya menekuk tubuhnya dan me
"Ugh...."Keluhan kecil itu lolos dari bibir Aya saat kesadarannya mulai kembali ke tubuhnya. Kedua kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya seolah sulit dia gerakkan. Setiap inci ototnya menegang, bahkan ada hal lain yang terasa tak nyaman.Aya menggeliat pelan, mencoba bangun. Tapi sebelum dia sempat mengangkat tubuh, ada sensasi hangat di sisi kirinya, kehangatan tubuh seseorang.Seketika napas Aya tercekat. Dia menoleh perlahan, sangat perlahan, takut jika dia bergerak terlalu cepat maka akan ada hal buruk yang tidak bisa dihindari.Dan di sana, tepat di sampingnya, seorang pria berbaring santai dengan rambut acak-acakan dan dada bidang yang naik turun perlahan. Mata Aya membesar namun dia tak bersuara."Sudah bangun?"Suara berat itu terdengar seolah menusuk kamar hotel mewah tersebut. Dalam sekejap, ingatan semalam kembali menerjang Aya.Sentuhan, ciuman, rintihan, dan juga desahannya. Tangan kekar pria itu yang menjamahnya dengan liar. Tubuhnya sendiri yang tak melakukan peno
Gina segera melangkah mendekat. Ia duduk di sisi ranjang, lalu meraih tangan Aya, menggenggamnya erat seolah memberi penopang. “Aya…” suaranya lembut, tapi serius. “Tadi waktu kamu pingsan, dokter periksa kamu, dan ternyata … kamu hamil.” Kata itu menghantam lebih keras dari yang Aya bayangkan. Wajahnya memucat. Jantungnya berdetak tak karuan. “Ha… hamil?” suaranya nyaris tak keluar. Dugaan yang sejak tadi ia tekan kini menjelma kenyataan. Aya menelan ludah, napasnya bergetar. Gina tak melepas genggaman tangan Aya. Tatapannya tenang, tanpa tuduhan. “Aya… sebenarnya apa yang terjadi sama kamu?” Air mata Aya menggenang. Ia menunduk, bahunya bergetar. “Maaf…,” hanya itu yang sanggup ia ucapkan. “Aku nggak bisa cerita.” Hendra menarik napas dalam, lalu berkata pelan, “Kalau begitu dengarkan aku. Apa pun kondisimu, aku siap tanggung jawab. Aku siap jadi ayah untuk anak itu… dan suami untuk kamu.” Aya mendongak, lalu menggeleng keras. “Mas, nggak,” suaranya bergetar. “Ak
Kabar itu menghantam Aya seperti petir di pagi hari yang cerah. Sesuatu di dalam dirinya patah, runtuh seketika.“Nggak…,” bibirnya bergetar. “Nggak mungkin….”Penjelasan dokter terdengar seperti suara dari kejauhan. Berhenti bernapas. Terlalu lemah. Semua kata itu menamparnya tanpa ampun. Kakinya goyah, air mata jatuh tanpa sempat ia tahan.“Ibu… ini pasti salah…,” bisiknya lirih.Aya berlari ke kamar rawat, lalu terhenti ketika ranjang itu kosong. Tubuhnya gemetar saat ia dibawa ke kamar jenazah. Di sanalah ibunya terbaring, diam, dingin, tak lagi menjawab panggilan.Begitu selimut putih itu tersingkap, Aya jatuh berlutut. Tangisnya pecah singkat, patah, seperti napas yang kehabisan tempat berpijak. Ia memeluk tubuh ibunya, sementara kartu ATM itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai.Uang yang ia dapatkan dengan harga yang terlalu mahal, tak mampu menyelamatkan apa pun. Ia sudah menyerahkan segalanya. Namun tetap saja… ia terlambat.Atau mungkin, itu adalah hukuman bagi A
“Tolong pelan, Tuan….”Pekikan itu terdengar lirih di dalam kamar hotel mewah yang pengap oleh hawa tubuh dan aroma parfum mahal. Suara Aya nyaris tenggelam oleh deru napas berat pria di atasnya.Ayana Cantika, gadis dua puluh dua tahun, dengan tubuh yang belum pernah benar-benar mengenal sentuhan seperti ini, terkungkung di bawah seorang pria tampan bertubuh kekar.Pinggul pria itu terus bergerak tanpa jeda, membuat Aya terpaksa mengikuti irama yang tak pernah ia inginkan.“Ahh…,” racau sang pria, suaranya berat dan serak.Dua tangan kekar menggenggam pinggul ramping Aya, menahannya agar tak menghindar. Desahan mereka bersahutan, namun hanya satu yang dipenuhi gairah. Pria itu memejamkan mata, tenggelam dalam sensasi yang ia nikmati sendiri.Di bawah cahaya lampu kamar yang terang, tak ada sehelai benang pun menutupi tubuh mereka. Rasa malu sudah lama luruh digantikan oleh erangan, desahan, dan napas yang saling bertabrakan tanpa makna.“Ahh… Tuan, tolong pelan sedikit…,” pinta Aya l







