Share

3

Auteur: Rizu Key
last update Dernière mise à jour: 2025-11-27 11:01:40

Gina segera melangkah mendekat. Ia duduk di sisi ranjang, lalu meraih tangan Aya, menggenggamnya erat seolah memberi penopang.

“Aya…” suaranya lembut, tapi serius. “Tadi waktu kamu pingsan, dokter periksa kamu, dan ternyata … kamu hamil.”

Kata itu menghantam lebih keras dari yang Aya bayangkan. Wajahnya memucat. Jantungnya berdetak tak karuan.

“Ha… hamil?” suaranya nyaris tak keluar.

Dugaan yang sejak tadi ia tekan kini menjelma kenyataan. Aya menelan ludah, napasnya bergetar.

Gina tak melepas genggaman tangan Aya. Tatapannya tenang, tanpa tuduhan. “Aya… sebenarnya apa yang terjadi sama kamu?”

Air mata Aya menggenang. Ia menunduk, bahunya bergetar.

“Maaf…,” hanya itu yang sanggup ia ucapkan. “Aku nggak bisa cerita.”

Hendra menarik napas dalam, lalu berkata pelan, “Kalau begitu dengarkan aku. Apa pun kondisimu, aku siap tanggung jawab. Aku siap jadi ayah untuk anak itu… dan suami untuk kamu.”

Aya mendongak, lalu menggeleng keras.

“Mas, nggak,” suaranya bergetar. “Aku nggak pantas buat Mas Hendra. Aku nggak mau Mas Hendra terikat sama hidupku.”

“Ini bukan soal pantas atau nggak pantas,” bantah Hendra cepat. “Kamu nggak sendirian, Ay. Kamu hamil. Kamu butuh perlindungan, dan aku memang mencintaimu, Aya.”

Gina ikut bicara, nadanya tetap lembut tapi tegas. “Aya, Mas Hendra cuma mau bantu. Dia tulus.”

Aya menggeleng lagi, lebih kuat.

“Justru karena itu aku nggak bisa,” katanya lirih tapi keras. “Mas Hendra orang baik. Terlalu baik buat hidupku yang berantakan.”

“Aya….” Hendra maju selangkah. “Aku nggak merasa dipaksa. Ini pilihanku.”

“Tapi aku merasa bersalah,” potong Aya. Matanya basah menatap Hendra. “Aku nggak mau hidup Mas rusak cuma karena aku dan anak ini.”

Ruangan itu hening sesaat.

Gina menatap Aya dengan mata berkaca-kaca. “Kalau kamu pergi, kamu mau hadapi semuanya sendiri?”

Aya menunduk. Tangannya mengepal di atas perutnya.

“Iya,” jawabnya pelan. “Itu memang seharusnya aku lakukan.”

Hendra terdiam. Rahangnya mengeras, tapi matanya menyimpan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.

“Aku akan tetap pergi,” lanjut Aya lirih. “Terima kasih selama ini kalian udah baik sama aku. Maaf aku malah membuat kalian kecewa.”

**

Lima tahun berlalu.

Setelah kejadian itu, Aya memilih untuk pergi ke kota, hidup seorang diri dengan pekerjaan seadanya. Untuk membiayai kehidupannya dan anaknya yang kini telah menginjak usia 5 tahun, selain dari pekerjaan serabutan, Aya terpaksa menggunakan kartu ATM itu.

Selama itu juga, Aya benar-benar memutuskan hubungannya dengan Gina dan Hendra. Ia tak ingin lagi membebani mereka.

"Putra, kamu sedang apa?"

Waktu berjalan begitu cepat. Putra yang dulu mungil, kini sudah tumbuh menjadi bocah yang tampan, sehat, dan cerdas. Bahkan di usianya yang belum genap lima tahun, dia sudah lancar membaca buku cerita anak-anak dan menghitung angka dengan cepat.

Kini, bocah tampan itu akan mulai memasuki Taman Kanak-Kanak.

"Bunda, gimana? Bagus nggak seragamnya?" tanya Putra yang saat itu sedang mencoba seragam barunya.

Aya diam sejenak. Dia mengamati wajah putranya yang semakin mirip dengan ayah kandungnya. Jelas, Aya masih mengingat baik wajah pria itu.

"Bagus. Jadi tambah ganteng anak Bunda," puji Aya sembari tersenyum.

"Bunda," panggil Putra lagi sembari mendekati sang ibu dan duduk di sebelahnya.

"Iya, Sayang?"

Putra menatap ibunya dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.

"Kemarin pas daftar sekolah Putra lihat temen-temen diantar ayah mereka,” kata bocah itu dengan polosnya. “Putra juga pengen. Ayah dimana sih, Bunda?”

Aya langsung terdiam. Pertanyaan itu akhirnya datang juga. Wanita itu menelan ludahnya. Ia sudah sering membayangkan momen ini, namun tetap saja dadanya terasa sesak saat benar-benar menghadapinya.

"Bunda kok nggak jawab?" tanya Putra lagi, masih menatap wajah ibunya dengan penuh tanda tanya.

"Kenapa Ayah gak pernah datang?" tambah bocah tampan itu.

Aya masih diam. Kecerdasan putranya nyatanya juga bisa menyusahkannya seperti ini. Namun, dia tidak marah pada anak semata wayangnya itu. Justru dia kembali merasa bersalah.

“Sayang...." Aya menatap wajah anaknya dengan senyum lembut. “Ayah nggak di sini, dia lagi … jauh. Jadi, putra sama Bunda aja gak apa-apa, ya?”

"Jauh di mana?" tanya Putra lagi, mengejar ibunya.

“Di tempat yang gak bisa kita datangi," jawab Aya tetap terlihat tenang. Berharap anaknya akan mengerti dan tidak bertanya lagi.

Putra terdiam sejenak, lalu mengerutkan kening kecilnya. "Ayah Putra nggak sayang kita ya? Kok Ayah pergi jauh?"

Pertanyaan lain justru muncul dan hal itu membuat kedua mata Aya berkaca-kaca. Namun, Aya berusaha menahannya, tidak ingin menjatuhkan air mata di depan anaknya.

“Ayah sayang kita. Tapi, Ayah masih ada pekerjaan jadi harus pergi dulu,” alibi Aya akhirnya.

Akhirnya, Putra hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ya sudah, kalau gitu kita pergi ke sekolah ya supaya nggak terlambat,” kata Aya lagi, mengalihkan pembicaraan.

Seketika wajah Putra berubah menjadi lebih antusias, seolah permasalahan sebelumnya telah lenyap begitu saja.

“Ayo! Putra nggak sabar mau belajar!” seru bocah itu antusias. Dia langsung meraih tas merah dengan karakter kartun itu dan berlari kecil ke luar rumah.

Aya tersenyum sedikit lega, lalu langsung meraih tas kerjanya dan menyusul putranya.

Setelah mengantar anaknya, Aya harus langsung pergi ke kantor dan bekerja.

Sebulan terakhir, Aya bekerja di sebuah perusahaan yang cukup terkenal, Bagaskara Group. Meskipun hanya berstatus karyawan kontrak di bagian administrasi, tapi Aya itu tidak membuat Aya berkecil hati.

Kemampuannya bahkan bisa dibandingkan dengan karyawan senior yang satu divisi dengannya. Dan wanita itu disukai rekan-rekan kerjanya yang merasa tertolong karena kemampuannya.

Tak lama setelah Aya tiba di kantor dan fokus pada pekerjaannya, tiba-tiba Bu Vega, manajer senior itu datang dengan wajah kesal.

Brak!

Bu Vega membanting satu dokumen yang cukup tebal ke meja Aya, membuat wanita itu terkejut seketika.

“Kamu kalau gak bisa kerja, lebih baik keluar dari kantor ini!” seru Bu Vega penuh amarah.

“M–maaf, Bu. Saya ada salah apa?” tanya Aya ragu. Selama ini, dia selalu mengerjakan semua pekerjaan itu sesuai arahan.

“Semua yang kamu masukkan ke berkas laporan itu salah! Kamu tahu apa akibatnya, Aya?!” Bu Vega menatap Aya dengan tajam. “Kantor ini bisa rugi puluhan juta, Aya!”

Aya membelalakkan matanya tak percaya. Dia langsung meraih dokumen itu dan mengeceknya dengan teliti. Namun, semua yang tertera di sana benar-benar membuat Aya terperanga.

“Bu, ini bukan hasil pekerjaan saya,” kata Aya segera. “Bukan ini yang saya kerjakan.”

Aya ingat betul apa yang sudah dia kerjakan, jadi dia tidak mungkin salah.

“Kamu mau mengelak? Jelas-jelas ini file yang kamu kasih ke saya,” sinis Bu Vega.

“S–Saya bisa buktikan, itu bukan hasil kerja saya.”

Aya buru-buru membuka folder dokumen laporan yang ada di laptopnya. Namun, begitu folder itu terbuka, mata Aya semakin terbelalak.

“Kenapa kosong?” gumam Aya bingung. Dia buru-buru mengambil flashdisk yang ada di laci meja kerjanya, dia ingat betul sudah menyalin file itu.

Namun, lagi-lagi folder dokumen itu kosong.

“Sudahlah, kalau lebih baik kamu pergi dari kantor ini sebelum membuat kantor ini semakin merugi!” seru Bu Vega tak tahan lagi.

Aya semakin panik, tangannya mulai gemetar. Itu semua bukan hasil pekerjaannya, tapi kenapa dia yang disalahkan.

Belum sempat Aya bersuara lagi, suara bariton seorang pria muncul dari arah pintu ruangan, membuat Aya dan Bu Vega seketika terkejut.

“Kenapa ribut sekali di jam kerja?!”

Namun, begitu Aya melihat pemilik suara itu, jantungnya seolah berhenti bekerja. Matanya melebar, lidahnya kelu.

Pria itu ….

Setelah sekian lama, kenapa pria itu muncul kembali di hadapan Aya?!

***

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Anak Rahasia Presdir Impoten   5

    Kabar itu seperti petir yang menyambar di pagi hari yang cerah. Membuat sesuatu di dalam diri Aya patah, runtuh. "Nggak...." bibirnya bergetar. "Nggak mungkin...." Lalu dokter itu melanjutkan dengan pelan, seolah kata-kata itu bisa menjadi lebih tajam dari sebuah pisau. "Beliau berhenti bernapas pukul dua dini hari. Kami sudah mencoba yang terbaik, Mbak. Tapi kondisinya terlalu lemah. Bahkan lebih lemah dari sebelumnya...." Aya mundur satu langkah. Lalu langkah kedua. Sementara kedua kakinya kehilangan kekuatan. Wajahnya berubah putih pucat. Bibirnya gemetar keras. Air mata pun tak dapat dia bendung lagi. Kabar itu adalah tamparan keras baginya yang tak ingin dia percayai. "Ibu... Nggak mungkin... Ini pasti salah...." Sang dokter menatapnya iba. "Nggak mungkin...." suara Aya gemetar, "...operasinya saja masih beberapa hari lagi. Nggak mungkin ibu meninggal... Nggak mungkin...." Tangis pertama pecah dari tenggorokannya. Palan, namun begitu putus asa. Aya menekuk tubuhnya dan me

  • Anak Rahasia Presdir Impoten   4

    "Ugh...."Keluhan kecil itu lolos dari bibir Aya saat kesadarannya mulai kembali ke tubuhnya. Kedua kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya seolah sulit dia gerakkan. Setiap inci ototnya menegang, bahkan ada hal lain yang terasa tak nyaman.Aya menggeliat pelan, mencoba bangun. Tapi sebelum dia sempat mengangkat tubuh, ada sensasi hangat di sisi kirinya, kehangatan tubuh seseorang.Seketika napas Aya tercekat. Dia menoleh perlahan, sangat perlahan, takut jika dia bergerak terlalu cepat maka akan ada hal buruk yang tidak bisa dihindari.Dan di sana, tepat di sampingnya, seorang pria berbaring santai dengan rambut acak-acakan dan dada bidang yang naik turun perlahan. Mata Aya membesar namun dia tak bersuara."Sudah bangun?"Suara berat itu terdengar seolah menusuk kamar hotel mewah tersebut. Dalam sekejap, ingatan semalam kembali menerjang Aya.Sentuhan, ciuman, rintihan, dan juga desahannya. Tangan kekar pria itu yang menjamahnya dengan liar. Tubuhnya sendiri yang tak melakukan peno

  • Anak Rahasia Presdir Impoten   3

    Gina segera melangkah mendekat. Ia duduk di sisi ranjang, lalu meraih tangan Aya, menggenggamnya erat seolah memberi penopang. “Aya…” suaranya lembut, tapi serius. “Tadi waktu kamu pingsan, dokter periksa kamu, dan ternyata … kamu hamil.” Kata itu menghantam lebih keras dari yang Aya bayangkan. Wajahnya memucat. Jantungnya berdetak tak karuan. “Ha… hamil?” suaranya nyaris tak keluar. Dugaan yang sejak tadi ia tekan kini menjelma kenyataan. Aya menelan ludah, napasnya bergetar. Gina tak melepas genggaman tangan Aya. Tatapannya tenang, tanpa tuduhan. “Aya… sebenarnya apa yang terjadi sama kamu?” Air mata Aya menggenang. Ia menunduk, bahunya bergetar. “Maaf…,” hanya itu yang sanggup ia ucapkan. “Aku nggak bisa cerita.” Hendra menarik napas dalam, lalu berkata pelan, “Kalau begitu dengarkan aku. Apa pun kondisimu, aku siap tanggung jawab. Aku siap jadi ayah untuk anak itu… dan suami untuk kamu.” Aya mendongak, lalu menggeleng keras. “Mas, nggak,” suaranya bergetar. “Ak

  • Anak Rahasia Presdir Impoten   2

    Kabar itu menghantam Aya seperti petir di pagi hari yang cerah. Sesuatu di dalam dirinya patah, runtuh seketika.“Nggak…,” bibirnya bergetar. “Nggak mungkin….”Penjelasan dokter terdengar seperti suara dari kejauhan. Berhenti bernapas. Terlalu lemah. Semua kata itu menamparnya tanpa ampun. Kakinya goyah, air mata jatuh tanpa sempat ia tahan.“Ibu… ini pasti salah…,” bisiknya lirih.Aya berlari ke kamar rawat, lalu terhenti ketika ranjang itu kosong. Tubuhnya gemetar saat ia dibawa ke kamar jenazah. Di sanalah ibunya terbaring, diam, dingin, tak lagi menjawab panggilan.Begitu selimut putih itu tersingkap, Aya jatuh berlutut. Tangisnya pecah singkat, patah, seperti napas yang kehabisan tempat berpijak. Ia memeluk tubuh ibunya, sementara kartu ATM itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai.Uang yang ia dapatkan dengan harga yang terlalu mahal, tak mampu menyelamatkan apa pun. Ia sudah menyerahkan segalanya. Namun tetap saja… ia terlambat.Atau mungkin, itu adalah hukuman bagi A

  • Anak Rahasia Presdir Impoten   1

    “Tolong pelan, Tuan….”Pekikan itu terdengar lirih di dalam kamar hotel mewah yang pengap oleh hawa tubuh dan aroma parfum mahal. Suara Aya nyaris tenggelam oleh deru napas berat pria di atasnya.Ayana Cantika, gadis dua puluh dua tahun, dengan tubuh yang belum pernah benar-benar mengenal sentuhan seperti ini, terkungkung di bawah seorang pria tampan bertubuh kekar.Pinggul pria itu terus bergerak tanpa jeda, membuat Aya terpaksa mengikuti irama yang tak pernah ia inginkan.“Ahh…,” racau sang pria, suaranya berat dan serak.Dua tangan kekar menggenggam pinggul ramping Aya, menahannya agar tak menghindar. Desahan mereka bersahutan, namun hanya satu yang dipenuhi gairah. Pria itu memejamkan mata, tenggelam dalam sensasi yang ia nikmati sendiri.Di bawah cahaya lampu kamar yang terang, tak ada sehelai benang pun menutupi tubuh mereka. Rasa malu sudah lama luruh digantikan oleh erangan, desahan, dan napas yang saling bertabrakan tanpa makna.“Ahh… Tuan, tolong pelan sedikit…,” pinta Aya l

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status