Share

Menerima Takdir

"Bu Jaenab!"

Khanza menyanggah tubuh lunglai wanita paruh baya itu.

"Bayi? Astaghfirullah ...."

Bu Jaenab bergumam sembari berpegangan pada tembok, dia sungguh tak percaya dengan apa yang baru saja diketahui. Dalam lemah wanita itu menampar pipinya sendiri, hati Bu Jaenab semakin nyeri menyadari semua bukanlah mimpi.

"Ayo duduk dulu, Bu."

Khanza yang tak mampu menahan air mata pun memapah Bu Jaenab ke kursi tunggu, dia menatap nanar manik hitam nan keriput wanita di hadapannya.

"Ibu nggak ngerti, apa Maira punya pacar?" tanya Bu Jaenab sembari memijat dahi yang terasa sangat pening.

Khanza menggeleng pelan. "Nggak, Bu, Maira nggak punya pacar," jawabnya dengan menahan sesak di dada.

"Terus? Kalau begitu siapa yang tega menghamili anakku? Apa Maira berbuat zina? Apa dia mabuk? Apa dia diam-diam melakukan perbuatan hina?"

Bu Jaenab memberondong Khanza dengan pertanyaan yang membuat hatinya kian nyeri. Sebagai orang tua, dia merasa gagal mendidik anaknya.

Merasa kasihan pada keluarga sang sahabat, air mata Khanza semakin mengalir deras melihat reaksi Bu Jaenab yang sangat kecewa.

"Maira diperkosa, Bu," lirih Khanza, dadanya terasa berat seakan-akan terhimpit bebatuan yang sangat besar.

Bu Jaenab mendongak, rahangnya seketika mengeras, dadanya bergemuruh, tangannya seketika mengepal kuat dengan deru napas yang semakin berat.

"Diperkosa?" ulang Bu Jaenab dengan gigi gemeretak menahan amarah yang kian membuncah.

Sungguh, wanita itu sangat murka pada orang yang tega berbuat asusila pada anaknya. Akan tetapi, dia juga sangat menyesal karena hal sebesar ini luput dari kesadarannya, air mata Bu Jaenab kembali tumpah, kali ini tangisannya sangat keras sehingga terdengar oleh beberapa orang yang lewat.

"Astaghfirullahalazim ...."

Bu Jaenab mengelus dada yang terasa nyeri. "Kapan? Kenapa dia nggak cerita?" tanya ibunya Maira sembari menyeka air mata.

Isak tangis Khanza pun semakin keras. "Waktu kami mengikuti acara organisasi di gunung, Bu."

"Ya Allah, Mairaaaa, itu sudah dua bulan lalu, kenapa dia nggak cerita? Kenapa dia diam aja dan nggak melaporkan pelakunya ke polisi?" sesal Bu Jaenab.

"Maira bilang dia takut terjadi sesuatu pada Pak Ayub andai mendengar kabar itu, saat kejadian juga Maira sangat trauma, Bu."

Khanza menangis tersedu-sedu mengingat kejadian yang menimpa sang sahabat dua bulan lalu, bayangan itu melintas di kepala seperti sebuah slide film yang tengah dipertontonkan.

"Maira, kamu di mana?"

Khanza yang menyasadari sang sahabat tak bersamanya itu berlari di hutan, dia hendak melapor pada ketua, tetapi tak sempat karena ponselnya tak mendapatkan sinyal. Merasa sudah sangat hafal sebab dia sudah sering naik turun gunung sejak masih sekolah, lantas memutuskan mencari Maira seorang diri.

Tak butuh waktu lama, Khanza langsung menemukan Maira yang tengah menangis sambil bersandar di pinggir batu besar.

"Maira, kamu kenapa?" tanya Khanza panik.

Menyadari sahabatnya datang, Maira lantas memeluk Khanza erat, wajahnya sangat pucat dan ketakutan.

"Aku takut, Za, aku takut!"

Khanza semakin gusar melihat sikap aneh Maira, terlebih dia melihat hijab sang sahabat berantakan. Hatinya gelisah, pikirannya semakin tak karuan.

"Kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Khanza penasaran.

"Aku takut, Za, aku takut!"

Tak ada kata lain yang keluar dari mulut Maira, wanita itu hanya menangis dan mengucapkan kata berulang dengan deru napas tak beraturan, seluruh tubuhnya gemetar seakan-akan dia mengalami trauma yang hebat.

"Nggak usah takut, aku di sini, maaf karena tadi ninggalin kamu, Mai."

Lama Khanza memeluk Maira, tetapi wanita itu tak kunjung tenang. Saat membantu sahabatnya bangkit, Khanza menyadari celana dalam Maira ada di tempat lain. Jantungnya memompa darah lebih cepat, kini dia mengerti hal buruk baru saja menimpa sahabatnya.

"Mai, kamu kenapa? Jujur sama aku, nggak usah takut," pinta Khanza sembari mengguncang pelan pundak sang sahabat untuk meyakinkannya agar bicara.

"A-aku__"

Maira hampir tak bisa mengungkapkan apa yang terjadi. Lelehan air mata yang mengalir dari kedua netra saja sudah membuat Khanza faham.

"Nggak apa-apa Mai, ada aku di sini, kamu tenang ya."

Khanza memeluk Maira erat, dua sahabat itu menangis bersamaan. Semua hal buruk berkecamuk di kepala Khanza.

"Aku diperkosa, Za ...."

Maira berucap lirih, hati Khanza semakin nyeri mendengarnya. Wanita itu memeluk sang sahabat lebih erat dari sebelumnya. Setelah sedikit tenang, Khanza menatap mata Maira dalam.

"Mai, ayo kita bilang ketua, ada dosen juga di pos, kita usut siapa pelakunya, ya," kata Khanza, dia sungguh marah pada pria brengsek yang merudapksa sahabatnya.

"Jangan Za, jangaaaan!" Maira menggelengkan kepala.

"Kenapa?" tanya Khanza kecewa.

"Aku malu, aku takut, aku nggak siap andai bapak dengar kabar ini, aku mohon jangan," pinta Maira dengan air mata mengalir.

"Tapi Mai, dia harus bertanggungjawab atas perbuatannya," sanggah Khanza.

"Jangan Za, aku malu kalau orang-orang tahu aku sudah ngga perawan, aku benar-benar takut dengan pandangan orang yang mungkin akan menghakimi," ujar Maira.

Khanza terdiam. Wanita itu sangat sadar, masyarakat di lingkungannya memang terkadang toxic, meskipun Maira adalah korban akan tetapi mungkin saja hanya sedikit yang akan bersimpati.

"Biarin ini jadi rahasia kita, Za, aku mohon," kata Maira dengan raut galau.

Hati Khanza semakin teriris, akan tetapi dia menghargai keputusan Maira, wanita itu lantas memeluk sahabatnya erat dan keduanya kembali menangis bersama.

"Jadi begitu ceritanya, Bu," ujar Khanza sembari menyeka air mata yang terus merangsek keluar dari pelupuk mata.

Dada Bu Jaenab semakin sesak mendengar kisah pilu sang putri. Wanita itu kini sadar kenapa anaknya berubah menjadi pendiam sejak pulang dari gunung. Sialnya sebagai ibu dia tak peka apapun, itulah hal yang paling disesali oleh Bu Jaenab.

"Ya Allah, Nak, kamu pasti sakit banget menanggung semuanya sendirian."

Bu Jaenab berbisik, batinnya ngilu merasakan semua beban yang ditanggung sang putri. Setelah diizinkan, dia bersama Khanza menemani Maira yang masih belum sadar.

"Nak, maafin Ibu karena nggak bisa menjaga kamu, ya."

Bu Jaenab mengelus lembut wajah Maira, begitupun Khanza, dia duduk di kursi sembari menatap nanar wajah sahabatnya.

"Oh ya, Ibu baru ingat, tadi pagi Bu Suci nyindir Ibu tentang gadis yang hamil di luar nikah, apa dia juga tahu?" tanya Bu Jaenab teringat perkataan tetangganya.

Khanza mendongak, dia mengerutkan kening sebab sangat yakin bahwa hanya dirinya saja yang tahu tentang Maira untuk saat ini.

"Dia tahu dari mana?" tanya Khanza penasaran.

"Ibu juga nggak tahu, mungkin cuma kebetulan aja kali," jawab Bu Jaenab berusaha berpikiran positif. Lagi pula, setelah ini dia harus menyiapkan mental sebab pasti keluarganya akan menjadi bahan gunjingan.

"Sebentar, Bu Suci itu Mamanya Nadine, kan?" tanya Khanza memastikan.

"Iya, satu kelas sama kamu juga, kan?" Bu Jaenab balik bertanya.

Khanza terdiam, dia ingat ada seseorang yang sangat mencurigakan saat dirinya dan Maira keluar dari toilet kampus waktu itu.

"Jangan-jangan__"

Khanza tak melanjutkan ucapannya, dia sangat yakin orang yang menguping itu adalah Nadine si biang gosip.

***

Di rumahnya, Nadin tengah bercengkrama dengan sang ibunda sembari menonton televisi.

"Ibu tuh kesel tahu Din, Bu Jaenab itu tetap aja sombong meski udah dikasih petunjuk," ujar Bu Suci dengan raut judes.

"Biarin aja Bu, nanti juga dia pingsan kalau tahu anaknya yang super duper sholeha itu hamil di luar nikah," jawab Nadine sembari mengunyah camilan pedas kesukaannya.

"Iya, pasti diam-diam si Maira itu berzina, masih mending anak ibu meskipun nggak berhijab juga masih bisa jaga diri."

Bu Suci memuji anaknya dengan penuh kesombongan. Wanita itu mengelus lembut rambut Nadin yang terurai.

"Iya, Nenek juga kalau nanti dengar pasti mingkem, nggak akan banding-bandingin aku sama Maira lagi," celetuk Nadine bangga.

Wanita berkulit putih itu sangat benci sebab sang nenek sering menyuruhnya agar menutup aurat seperti Maira, dia gerah sebab merasa ibu dari ayahnya itu lebih sayang anak tetangga dari pada cucunya sendiri. Pun dengan Bu Suci yang tak suka pada mertuanya yang merasa lebih sayang Bu jaenab daripada menantu sendiri.

Sementara itu, di rumah sakit Maira sudah mulai sadar. Wanita itu kaget menyadari dirinya berada di rumah sakit.

"Mai, alhamdulillah kamu sudah bangun," ujar Khanza yang sangat senang melihat sahabatnya membuka mata.

"Za, kenapa aku di rumah sakit, apa bayiku sudah mati? Aku nggak mau dia mati, Za, aku nggak mau."

Maira menangis lantaran sadar akan kesalahannya sebelum ini. Dalam tidurnya dia bermimpi bertemu anak laki-laki yang sangat tampan dan memanggilnya mama. Maira sangat menyesal karena telah membunuh anaknya sendiri.

"Kamu aman, kenapa kamu melakukan itu, Mai? Aku sudah bilang jangan melakukan hal bodoh," kata Khanza dengan nada kecewa.

"Maaf, tapi aku bimbang, aku takut nggak bisa menghadapi semuanya," jawab Maira sembari terisak.

Khanza memeluk sang sahabat. Malam ini dia menginap di rumah sakit sebab Bu Jaenab harus menunggu Pak Ayub di bangsal lain. Namun, mereka sepakat akan menyembunyikan ini dari Maira.

"Iya, Mai, aku ngerti." Khanza menepuk pundak sang sahabat untuk menunjukkan kepedulian.

Namun, sedetik kemudian Maira menangis membayangkan anaknya yang dibunuh oleh tangan sendiri bahkan saat belum sempat terlahir ke dunia.

"Kamu kenapa, Mai?" tanya Khanza.

"Aku merasa bersalah, aku takut anakku akan menuntut di akhirat karena sudah dizolimi ibunya sendiri," jawab Maira sambil terisak penuh sesal.

Mendengar jawaban Maira yang merasa bersalah atas tindakan bodohnya, Khanza lantas tersenyum.

"Kamu kok senyum?" tanya Maira dengan mengerutkan kening.

"Mai, anak kamu itu hebat, dia sangat kuat, bahkan meskipun kamu mencoba membunuhnya dia masih tetap bertahan," jawab Khanza, haru, sedih bercampur menjadi satu di hatinya.

Mata Maira melebar. Inilah kali pertama dia bersyukur atas janin yang berada di rahimnya. "Jadi, dia masih di sini, Za?" tanya Maira sembari mengelus perut yang masih datar, air mata mengalir dari kedua netra. Entah, Maira tak tahu itu adalah tangisan bahagia atau apa.

"Iya, dia masih di sana dan mau menemani kamu, Mai," ucap Khanza berusaha memberi dukungan atas takdir yang harus diterima sahabatnya.

"Maira, bagaimanapun caranya dia berada di sana, siapapun ayahnya, tetap kamu adalah ibunya, jangan bertindak seperti ini lagi, ya."

Suara parau Bu Jaenab membuat Maira tersentak. Wanita itu terkejut menyadari ibunya sudah tahu semua hal yang disembunyikan.

"Ibu?" bisik Maira dengan perasaan tak menentu.

"Ibu ada di sini, Nak. Satu hal yang harus kamu ingat, dia nggak berdosa, nggak sepantasnya kamu berbuat itu sama dia. Mari, kita besarkan dia sama-sama, ya."

Bu Jaenab memeluk putrinya, begitupun Khanza yang ikut memeluk sang sahabat. Mereka berjanji apapun yang akan terjadi ke depannya, semua akan dijalani bersama-sama.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status