Share

Temukan Dia!

Sejak peristiwa pemenangan lelang gadis di malam dua bulan lalu, Ocean Aloysius Alexavier, tak pernah lagi berselera menghabiskan malam panjang bersama wanita bayaran.

Setiap ingin menuntaskan dahaga, seleranya menguap walau wanita bayaran itu sudah dalam kondisi siap tempur. Bayangan wajah cantik gadis bermata kehijauan dengan rambut ikal berantakan, lengkap erangan sendu, terus menggema di kepalan Ocean.

Sayang, Ocean kehilangan jejak dan petunjuk tentang siapa gadis yang mencuri uang seratus dollar miliknya pagi itu. Padahal Ocean dengan senang hati akan memandikan gadis itu dengan jutaan dollar jika saja ada malam-malam panas berikutnya. 

Bibir sensual yang merekah merah alami itu seakan-akan membiusnya agar tidak lagi sembarangan memagut milik jalang lain. Wajah sendu yang mengerang manja itu pun menari-nari di pelupuk mata Ocean.

"Pakailah bajumu. Aku berubah pikiran." Ocean mendengkus keras lalu berpindah ke sofa. Diteguknya wine untuk mengusir rasa kesal.

Wanita bayaran yang sudah menunggu lama kesempatan untuk bisa melayani Ocean, menatap kesal. Sudah dilakukannya pose menantang dengan lingerie tipis seksi menggoda, mangsa di hadapannya malah mengusir tanpa berminat lebih lanjut.

Merasa tertantang, didatanginya laki-laki yang memasang wajah dingin itu. "Tuan, apakah tubuhku ini tak mampu membuat Anda tertarik?" Jemari lentik itu langsung merambat naik ke arah pangkal paha Ocean.

Ocean menangkap jemari yang lancang itu. Ocean meletakkan gelas sloki berisi wine, lalu dicengkeramnya dagu runcing wanita bertubuh sintal itu. "Apa kau sudah sangat ingin digagahi? Baiklah. Akan aku kabulkan." 

Seringai nakal muncul di wajah wanita bayaran itu. "Dengan senang hati aku akan memuaskan Tuan." 

Ocean menghempaskan dagu runcing itu. Ditekannya tombol ponsel. "Masuklah."

Hanya beberapa menit kemudian, Jarret Rodriguez, asisten pribadi Ocean, masuk. "Perintah, Tuan."

Tatapan mata Ocean mengunci ke arah wanita bayaran itu. "Dia butuh pemuasan. Berikan sampai dia lupa caranya berjalan!" 

Mata keabuan itu membelalak ngeri, tubuhnya langsung gemetar dan bersujud. "Tolong, Tuan. Maafkan aku. Jangan. Aku ... aku pulang saja."

Ocean mendengkus. "Aku sudah berbaik hati memberimu bonus. Pergunakan sebelum aku murka dan memintanya untuk melenyapkanmu."

Tanpa belas kasihan, Jarret meraih tubuh seksi yang nyaris terekspos sempurna itu dalam panggulannya. Mirip seperti memanggul karung beras, enteng saja asisten pribadi itu melakukannya. 

Jeritan keras dan pukulan yang mendarat di punggung Jarret tak terasa sama sekali. Tubuh kekar itu benar-benar keras dan liat.

Di ruang bawah tanah, gadis itu dilemparkan ke ranjang penyiksaan. "Jangan pernah berpikir untuk lari!" 

Wanita bayaran itu melanggarnya. Ditangkapnya kaki Jarret. "Tolong, ampuni aku, Tuan. Aku hanya ingin melayani Tuan saja." 

Air matanya mengalir deras. Make up yang tadinya sempurna untuk memikat hati pejantan, sudah berantakan. Belum lagi rambutnya sudah seperti singa. 

"Bukannya Tuan sudah berbaik hati memuaskan keinginanmu? Tunggulah sebentar lagi." Dengan satu kali sentakan keras, Jarret membuat wanita itu terjengkang.

Pintu kayu itu pun ditutup. Selang beberapa menit kemudian, masuklah satu laki-laki berwajah masam untuk melaksanakan perintah dari bos mereka.

Jarret kembali mendatangi kamar tuannya. Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan untuk masuk, lelaki bertubuh tinggi besar itu menunggu perintah.

"Kenapa sulit sekali mencari siapa gadis yang bersamaku malam itu?" Ocean menyesap wine nya.

"Maaf, Tuan. Aku sudah melacak data sampai ke agensi penyelenggara acara, nama yang didaftarkan palsu." Jarret menunduk.

"Bagaimana bisa?" Ocean meremas gelas sloki itu.

"Nama dan identitasnya ketika dilacak merupakan milik gadis yang sudah lama mati." 

"Berengsek!" Ocean langsung mengentakkan gelas itu ke meja. "Cari dia, Jarret! Ke ujung dunia mana pun, temukan gadis itu!"

Tadinya, Ocean ingin langsung mencari siapa sebenarnya gadis yang menarik perhatiannya itu. Namun, Ferdinand Sky Alexavier, kakeknya, menugaskannya untuk segera mendatangi kota Light Queen.

Ada agenda jual-beli tanah ribuan hektar yang hendak dijadikan sebagai perkebunan anggur. Salah satu bisnis keluarga Alexavier, bergerak di bidang budidaya anggur hingga menjadi minuman beralkohol berharga mahal.

Ada juga kebun cokelat yang dipegang oleh Jacob Alvonsius Leight, sepupu kandung Ocean. Anak dari putri sulung Ferdinand. 

Ocean dan Jacob. Dua laki-laki itu memang bersaing ketat memperebutkan posisi penerus klan mafia Alexavier. Jika Ocean masih betah menebar pesona dan benih ke sembarang wanita, Jacob sudah bertaubat dan menikahi wanita berdarah bangsawan pula, Marion Green. 

Ferdinand sedang menantikan kehadiran cicit yang akan diwariskan banyak sekali kemewahan. Laki-laki berusia senja itu berharap banyak dari Ocean. Karena Ocean satu-satunya cucu berdarah Alexavier, keturunan langsung dari Dominic Thunder, putra bungsu Ferdinand.

Hanya saja, Ferdinand tak bisa langsung menyerahkan kekuasaan pada Ocean, mengingat ada hati yang harus dijaganya. Ferdinand tak mau menyakiti putrinya, ibu kandung Jacob.

"Apa kita akan kembali ke Brightstorm dalam waktu dekat, Tuan?" 

"Belum, Jarret. Kakek masih belum memerintahku lagi. Urusan tanah pun masih belum selesai, kan." Ocean kembali menyesap winenya.

"Baik, Tuan. Permisi."

"Cari gadis itu. Jangan berhenti sampai kau berhasil menemukannya," pungkas Ocean.

"Siap, Tuan." 

Sementara itu, di kamar sempit bekas gudang perkakas , Ivy berbaring lemah. Sudah sejak pagi, dia memuntahkan isi perut. Sampai tenaganya nyaris tak tersisa. 

"Aku tak punya persediaan obat. Pasti ini karena aku sering terlambat makan." Ivy meringis menahan rasa enek yang tersisa di pangkal tenggorokannya.

Sejak peristiwa kelam itu, Ivy bertekad untuk mengubur semua kenangan buruk dengan mengambil kerja paruh waktu lebih banyak. Dia butuh uang lebih untuk membayar perawat. Agar ayahnya bisa sembuh.

Sungguh miris karena semua harta yang seharusnya dimiliki Ivy, malah sudah berpindah tangan dengan mudah ke Payton. Tanpa sisa. Bahkan untuk sekadar makan saja, jatah Ivy jauh lebih menyedihkan ketimbang pelayan di rumah. 

Ivy sering hanya makan sup encer yang dingin dan sekerat roti dengan irisan daging super tipis. Baginya tak mengapa, asalkan ayahnya bisa makan dengan layak. Tidak mewah seperti hidangan spesial lengkap seperti dahulu. Di mana ada menu pembuka, menu utama dan pencuci mulut. 

Koki dan pekerja lama yang setia pada keluarga, sudah dipecat Payton. Sekarang yang tersisa di rumah megah itu hanyalah pelayan-pelayan baru pencari muka. Karena tak ingin dibuang tanpa gaji oleh wanita licik itu, tentu saja.

Ivy kembali bergegas turun. Tubuhnya bersimpuh di depan ember besi. Ivy kembali muntah. "Ya Tuhan, aku tak bisa mengambil pekerjaan hari ini. Bisa-bisa nanti aku pingsan di dalam kereta bawah tanah."

Ivy mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada untuk membawa ember itu. Dia harus mencuci bersih ember sebelum Payton mengamuk. 

Ketika langkah kakinya hampir  sampai di depan kamar Lucy, terdengar suara teriakan kegirangan. "Ah, Sayang. Aku hamil. Kita akan segera menikah resmi, bukan?"

"Tentu saja. Aku akan bertanggung jawab pada bayi itu. Kau akan segera menjadi Nyonya Brian Ashley, Sayang."

Spontan, ember yang dipegang Ivy jatuh ke lantai dan menimbulkan suara nyaring. Tak hanya itu, isinya pun berceceran di lantai. 

Lucy yang merasa terganggu langsung keluar dengan wajah kesal. Namun, kegembiraannya muncul melihat Ivy dengan gemetar sibuk membereskan kekacauan itu. 

Lucy menyenggol tubuh Ivy sampai tersungkur dalam genangan bekas muntahan itu. "Oopst, aku tak sengaja. Astaga, Kakak, kau tampak menyedihkan. Seperti biasanya." 

Brian yang menyusul kemudian menatap dengan iba. Namun, tak mungkin ditolongnya gadis yang sudah mengkhianatinya itu. 

Lucy yang melihat Brian keluar, langsung menghampiri untuk menggelayut manja. "Maaf, Sayang. Ivy tak sengaja menumpahkan isi ember itu."

Brian masih marah kepada Ivy. Hatinya masih terluka parah, karena menganggap Ivy-lah yang lebih dahulu berkhianat. Agar makin menabur garam di luka hati Ivy, Brian merangkul pinggang Lucy. "Biarkan saja! Dia memang gadis ceroboh dan tak tahu diri."

Masih dengan menatap datar, Brain tanpa sungkan menggendong Lucy kembali ke kamar. Ivy yang masih bersimpuh dengan rambut dan tubuh lengket berbau, sudah kehilangan kemampuan untuk menangisi nasibnya lagi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status