Share

Kacau

Sebelum menjadi sepasang kekasih, keduanya sudah bersahabat sejak bangku sekolah menengah. Seharusnya Brian hafal betul bagaimana karakter Ivy. Gadis cantik berpinggul ramping menggoda itu, menangis tergugu di sepanjang koridor menuju kamarnya. 

Ivy tampak kacau. Di kamarnya yang sangat sempit, Ivy duduk memeluk lutut. Tubuhnya berguncang keras. Suara ratapan tangisnya pun terdengar memilukan.

Ivy tak habis pikir, bagaimana bisa dalam waktu singkat, kesialan menimpanya bertubi-tubi. Keperawanannya hilang dengan cara memalukan. Lalu Brian kedapatan hampir meniduri adik tirinya. 

"Rumah ini sudah lama berubah menjadi neraka. Tapi kali ini yang paling mengerikan." Ivy terisak-isak.

Semua dimulai ketika Elisabeth mengetahui perselingkuhan suaminya dengan Payton. Elisabeth stres berat. Bobot tubuhnya turun drastis. Apalagi ketika tanpa malu Payton dibawa pulang ke kediaman mereka dengan sepasang anaknya pula.

Elisabeth jatuh sakit. Ivy yang saat itu masih duduk di bangku sekolah atas, menjadi perawat dadakan untuk ibunya. Karena Alden, ayahnya Ivy, menolak untuk membawa istrinya ke rumah sakit.

Semua karena pengaruh kuat Payton. Wanita jalang bermulut manis itu benar-benar sudah menaklukkan hati Alden. Sampai akhirnya, Elisabeth mengembuskan napas terakhir. 

Alden masih saja sibuk mengurusi bisnis yang berkaitan dengan minuman botol dan pengolahan keju. Tidak ada kesedihan sama sekali ketika mengetahui Elisabeth sudah tiada. 

Wanita malang itu dikubur bersama semua kesedihannya di halaman belakang rumah. Tanpa ada penghormatan apa pun juga. 

Tak butuh waktu lama, semua hak atas Elisabeth dan Ivy, beralih ke Payton. Pelakor licik itu naik kelas dengan mudahnya. Bersama kedua anaknya, Lucy dan Lucas, seisi rumah dikuasai penuh.

Hidup Ivy semakin menyedihkan. Segala fasilitas yang tadinya menjadi haknya, dicabut. Ivy bisa melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, dengan bekerja paruh waktu. Tanpa bantuan dana segar seperti yang didapatkan Lucy dan Lucas.

Padahal Ivy belajar dengan sungguh-sungguh. Karena tahu betapa sulitnya mengumpulkan uang demi membiayai pendidikannya. Berbeda dengan dua anak benalu tak tahu diuntung itu. Kuliah hanyalah ajang pamer harta dan menghabiskan waktu di luar rumah dengan bersenang-senang.

Sekarang, semua tujuan dan kebahagiaan hidup Ivy sudah hancur. Brian hilang bersama dengan harga diri Ivy yang tercabik-cabik.

"Aku kotor. Aku tak layak untuk dicintai. Bahkan Brian saja berubah membuang aku." Ivy masih saja mengeluhkan nasibnya.

Ivy masih ingin menangisi nasibnya. Sambil bergumam sendiri, air mata itu terus saja mengalir. Sampai akhirnya, Ivy berbaring di lantai karena lelah meratap.

Payton merasa belum puas mengerjai Ivy, mendatangi gudang sempit yang dijadikan kamar itu. Dengan kejam disiramnya tubuh gadis yang berbaring meringkuk itu dengan seember air dingin.

"Whoaaa." Ivy menjerit keras karena terkejut. Dia langsung terduduk lalu memeluk diri. "Tan-tante."

"Kau memang tak bisa diandalkan! Aku menyuruhmu apa, hah? Kenapa kau malah enak-enakan tidur?" Payton melempar ember ke arah Ivy.

Ivy mengaduh. Ember itu tepat menghantam kepalanya. Bukannya merasa bersalah, Payton malah mendengkus keras. "Cepatlah berbenah! Aku tak mau repot mengurus tua bangka itu."

"Iya, Tante." Ivy beringsut untuk bangkit. 

Payton berdecih mencemooh lalu keluar dari ruangan yang menyesakkan dadanya itu. Sejak enam bulan lalu, Alden terbaring pasrah di atas ranjang. 

Satu persatu masalah menghantam kepala Alden. Karena beberapa cabang usahanya mengalami kerugian. Orang-orang yang dipercaya ternyata mengambil keuntungan di belakangnya. 

Tanpa sepengetahuan Alden, orang-orang itu mengikat diri dengan Payton. Semua kecurangan itu masuk ke rekening pribadi wanita ular yang dijadikan selingkuhan Alden.

Ketika Alden menemukan bukti, semua sudah terlambat. Racun yang dicekoki Payton setiap hari dengan dosis sangat rendah itu membuat Alden mengalami stroke. Pembuluh darah di kepalanya pecah. 

Sosoknya kini tak lebih dari seonggok daging tanpa daya. Hanya bisa terbaring pasrah di kamar pengasingan. Tempat di mana dahulu Elisabeth diletakkan sampai akhirnya meregang nyawa. 

Tugas merawat Alden diserahkan ke Ivy. Walau sudah diperlakukan tak manusiawi, Ivy tetap saja telaten merawat ayahnya. Karena sadar, Alden satu-satunya yang tersisa dari keluarganya.

Setelah membersihkan diri, Ivy berjalan pelan menyusuri lorong menuju kamar ayahnya berada. Lagi-lagi pemandangan menyakitkan itu harus dihadapinya. 

Lucy dan Brian sedang berciuman di depan pintu kamar. Ditekannya kuat-kuat dada yang terasa sesak. "Permisi. Aku mau lewat."

"Kau layak mendapatkan yang terbaik, Lucy. Aku mencintaimu. Kita akan menikah dalam waktu dekat." Brian sengaja mengeraskan suaranya. 

Ivy berhenti melangkah. Dipejamkannya mata sambil berdesis lirih. Lagi-lagi dia kalah dari adik tirinya itu. Mungkin memang sudah nasibnya menjadi pembantu di kediamannya sendiri. Semua haknya sudah dirampas paksa. Termasuk laki-laki pertama yang sangat dicintainya itu.

Ivy berjalan menjauh. Hatinya sudah tak lagi berbentuk. Terlalu sakit dengan semua hal mengerikan yang dialaminya dalam waktu singkat. 

Ivy bersimpuh di samping ranjang yang ditiduri ayahnya, Alden Riley. Sekuat tenaga ditahannya suara isakan. Namun, gagal. Ivy menangis tersedu-sedu sambil berbaring meringkuk. 

Ivy menghapus air matanya. Tubuhnya terasa dingin dan ngilu karena berbaring di lantai itu. Dia harus bergegas memberi makan dan membersihkan tubuh ayahnya.

Ivy berbalik badan. Dipastikannya semua jejak basah di pipi sudah hilang, barulah dia berani menatap wajah ayahnya. "Maaf, Ayah. Aku kesiangan."

Alden yang ikut menangis mendengar isakan memilukan dari putrinya, pura-pura sedang terlelap. Namun, Ivy melihat semua air mata itu. "Kenapa Ayah menangis? Apa ada yang sakit?" 

Ivy selalu mengajak Alden mengobrol. Walau sampai detik ini, semuanya sia-sia, tetapi Ivy merasa memiliki kembali perhatian dan kasih sayang ayahnya. Seperti dahulu, sebelum iblis betina berwujud Payton datang menghancurkan segalanya.

Ivy menyeka lembut air mata di pipi yang biasanya tampak penuh dan gagah itu. Penyakit dengan cepat menggerogoti tubuh dan kewarasan Alden. Laki-laki yang biasa perkasa dan sibuk itu, mendadak lumpuh layu seperti zombie.

"Ayah, ayo semangat untuk sembuh. Temani aku melewati semua cobaan dalam neraka ini," bisik Ivy, lirih. 

Cintanya begitu besar untuk Alden. Walau berkali-kali keberadaannya diabaikan, tetap saja Ivy menghormati ayahnya. Karena sejatinya ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuan.

Alden membuka mata. Tatapannya menyedihkan. Matanya seperti mengisyaratkan keinginan untuk mengatakan rentetan kalimat penyesalan. 

Ivy sedang sibuk menyeka tubuh Alden. Sesekali terdengar senandung lirih tentang lagu yang biasa dinyanyikan oleh Elisabeth.

Setiap kali merasa rindu dan kesepian, lagu tentang cinta dan pengorbanan itulah yang didendangkan Ivy. Lagu yang selalu dinyanyikan ketika Elisabeth sibuk membuat kue jahe kesukaan seisi rumah. 

Untuk menghibur hati, Ivy selalu membangkitkan kenangan manis tentang kebersamaan keluarga mereka di masa lalu. Mengenang kembali saat-saat bahagia agar sisi warasnya masih terjaga.

Alden tak berkedip menatap wajah cantik putrinya. 'Ah, Elisabeth, Cintaku. Tak seharusnya aku menyia-nyiakan malaikat kecil yang kau lahirkan dengan susah payah ini. Tunggulah aku. Kita akan bertemu sebentar lagi, bersama dalam keabadian.' Alden hanya mampu membatin seraya melirik ke kiri dan kanan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status