Share

Mengambil Keputusan

Penulis: Lysa_Yovita22
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-30 22:48:12

Ivy merasa tubuhnya seperti tidak bertulang. Seluruh sendi terasa nyeri dan rasa mual terus saja mengganggu. Belum lagi lidahnya yang bereaksi aneh jika mengecap rasa.

Sekuat tenaga, Ivy berusaha melawan semua rasa tak nyaman yang menggerogoti tubuhnya. Dia harus sehat karena ada ayah yang harus diurusi. 

Ivy mengendap-endap menuju dapur. Harum aroma kaldu sapi yang menguar seolah-olah menuntunnya menuju ke ruangan itu. 

Air liurnya menetes membayangkan bagaimana gurihnya kuah beraroma rempah itu. Namun, tatapan galak dari kepala koki, membuat Ivy merasa  miris. 

"Bukannya Nyonya Besar melarangmu berkeliaran di dapur?" Riddle, kepala koki, berkacak pinggang.

"Ma-maaf, Tuan. Aku lapar," ucap Ivy, jujur. 

"Tidak bisa. Menu ini khusus untuk Nona Muda yang sedang hamil. Kau harus menunggu jika ada sisanya." 

"Tapi ini rumahku! Kenapa kalian memperlakukan aku seperti ini?" Suara Ivy gemetar ketika menyuarakan protesnya.

"Aku hanya menjalankan perintah Nyonya Besar. Pergilah! Aku tak mau dihukum hanya karena berbaik hati kepadamu." Riddle mengibaskan tangannya.

"Sedikit saja, Tuan. Aku mohon," pinta Ivy. Ada dorongan kuat dari dalam perut yang membuatnya sampai memaksa seperti itu. 

Riddle berdecak kesal. Melihat tatapan memelas Ivy, bohong besar kalau nalurinya tak tersentuh. Dilema. Namun, entah kenapa, Riddle beranjak mengambil mangkuk porselen berukuran kecil.

Riddle menuangkan sup kaldu itu ke dalam mangkuk. Beberapa potong daging sapi pun ikut dimasukkan ke dalam mangkuk. "Pergilah. Bawa segera. Aku tak akan berbaik hati untuk yang kedua kalinya."

Air mata Ivy sampai menetes. "Terima kasih, Tuan." Diambilnya mangkuk itu dengan tangan gemetar lalu bergegas pergi menjauh. 

Riddle menatap semuanya dengan hati yang berkecamuk. "Semoga saja aku tak dihukum hanya karena bersifat selayaknya manusia."

Ivy menuju kamar di mana Alden berada. Gadis itu tak akan sanggup makan sup lezat sendirian. Dia selalu mendahulukan kepentingan ayahnya. 

"Ayah, ayo makan. Aku bawakan sup kaldu yang enak sekali," ucap Ivy. 

Alden membuka mata. Susah payah dicobanya untuk tersenyum. Laki-laki paruh baya itu tahu bagaimana sulitnya mereka mendapatkan makanan di rumah sendiri.

Dengan telaten Ivy menyuapi ayahnya. Alden menggerakkan kepala, menandakan sudah selesai. Walau sup itu sangat lezat dan mereka jarang mencicipinya, Alden harus berbagi dengan sang putri. 

"Ayah sudah kenyang? Aku boleh makan sup ini?" tanya Ivy dengan mata yang berbinar-binar.

Alden menggerakkan mata. Ivy mengucapkan terima kasih lalu menyantap sup yang tersisa. Tanpa sadar, dielusnya lembut perut yang terlalu ramping itu. 

Alden melihat semua tingkah natural Ivy. Rasa sakit menghantam kepala melihat gadisnya hidup sangat kesusahan. 

"Aku belum bisa mengembalikan mangkuk ke dapur. Takut ketahuan Tante. Apalagi sup itu dibuat khusus untuk kehamilan Lucy," gumam Ivy.

Alden mendengar semuanya. Tentu saja terkejut karena selama ini, Lucy dan Lucas begitu dimanjakan. Apalagi ketika Alden masih sehat, kedua anak bawaan istri barunya itu, menjadi prioritas utama. 

Sementara putri kandungnya harus menerima ketidakadilan yang secara tak langsung disetujui Alden. Sekarang, menyesal sampai bersimbah darah pun tak ada gunanya. Tubuhnya sudah cacat, tak berguna sama sekali. Malah menjadi beban untuk putrinya yang sempat disia-siakan.

Dan Lucy yang selama ini tak sungkan menggelayut manja itu, hamil? Alden ngeri mendengarnya. Hatinya langsung merapal doa agar Ivy tidak pernah melakukan hal yang sama. Hamil sebelum menikah. 

Senyum semringah Ivy karena berhasil mencicipi sup kaldu itu menghilang. Perutnya seperti diaduk-aduk. Mual.

"Ay-ayah, maaf. Aku harus ke kamar mandi. Perutku mual sekali." Ivy mengeluarkan suara seperti hendak muntah. 

Entah kenapa, firasat Alden berubah buruk. Napasnya berat. Ketakutannya muncul. 'Tidak. Putriku gadis baik-baik. Dia hanya kelelahan, masuk angin atau hanya tak biasa makan makanan enak seperti dulu.'

Ivy berlari menuju kamar mandi yang ada di ujung koridor. Isi perutnya berlomba-lomba minta dikeluarkan. Tubuhnya terasa lemas. 

Ivy sampai terduduk lemah tak jauh dari pintu kamar mandi. Lucy yang sudah selesai makan melihat bagaimana payahnya kondisi Ivy. 

"Apa kau sakit?" 

Ivy mendongak. Lucy tampak sangat cantik dengan balutan dress selutut berbahan katun dengan motif kupu-kupu kecil itu. "Entahlah. Perutku rasanya seperti diaduk-aduk."

Lucy mengulurkan tangan. "Ayo, ke kamarku. Aku punya obatnya."

Sebenarnya, Ivy sudah berjanji untuk menjaga jarak dengan Lucy. Karena menduga kalau penyebab semua kesialan yang menimpanya bertubi-tubi itu adalah ulah dari si adik tiri. Hanya saja, Ivy tak punya bukti. 

"Ivy! Jangan melamun. Kau ini, selalu saja membuatku kesal! Aku sedang hamil dan tak baik bagi bayiku kalau aku marah-marah." Lucy mengomel panjang lalu meninggalkan Ivy yang menatap kaget. 

"Iya." Ivy mencoba untuk bangkit dan menyusul Lucy. 

Rasa rindu berbalut sedih menyergap Ivy ketika melihat isi kamar Lucy. Dahulu, ruangan yang ditempati Lucy adalah kamarnya. Namun, Lucy merengek memintanya kepada Alden dan dikabulkan. 

"Tunggu sebentar," ucap Lucy. Dengan cepat, ditariknya laci nakas untuk mengeluarkan sesuatu untuk diserahkan ke Ivy.

Ivy mengernyit heran melihat benda yang disodorkan Lucy. "Apa ini?"

"Alat penguji kehamilan. Kau pasti membutuhkannya." 

"Jangan gila, Lucy! Aku tak mungkin sedang hamil," bantah Ivy bercampur ngeri.

"Oh, ya sudah. Aku hanya mencoba berbaik hati. Kalau kau tak mau, buang saja. Pergilah! Aku ngantuk." Lucy mendorong tubuh Ivy lalu gegas menutup pintu, dengan separuh membanting.

Ivy berdiri di depan pintu kamar itu. Gamang. Berbagai pertanyaan menjejali kepalanya. Butuh waktu sekian menit sampai akhirnya Ivy berjalan kembali menuju kamar mandi. 

Ivy mengikuti semua petunjuk yang ada di bungkus alat itu. Jantungnya bekerja sangat keras ketika menunggu hasilnya. 

Dua garis dengan tanda merah yang samar. "I-ini ... artinya aku ... hamil?" 

Ivy terduduk ngeri sambil menggenggam hasil tesnya itu. Bayangan tentang masa depan yang akan semakin suram langsung muncul. Hidupnya saat ini saja sudah cukup sulit. 

"Bagaimana bisa aku merawat ayah dan bayi di saat bersamaan? Sedangkan untuk sekadar makan saja, aku seperti pengemis di rumah sendiri." 

Ivy keluar dari kamar mandi itu dengan kepala yang sangat berat. Dia memilih untuk meratapi nasib di kamarnya saja.

Berbagai pertanyaan dan pemikiran menjejali kepala Ivy. Bagaimana membiayai kuliah dalam kondisi hamil? Karena hamil pun membutuhkan biaya yang tak sedikit. 

"Ayah pasti kecewa karena aku tak bisa menjaga kehormatan. Aku harus apa?" Ivy memeluk tubuhnya. 

Bayangan laki-laki bermata sebiru lautan itu membayang. "Di mana aku harus mencari keberadaan ayah dari janin ini? Apa aku harus kembali ke hotel itu untuk bertanya siapa dia?" 

Ivy menggeleng. "Tidak. Dia sepertinya bukan tipe laki-laki yang mau bertanggung jawab. Dia pemaksa! Dan belum tentu mau terlibat."

Ivy tahu jalannya pasti akan sangat berliku dan terjal. Belum lagi membayangkan bagaimana reaksi ayahnya juga Payton. Namun, Ivy tak sanggup jika harus menyingkirkan janin tak berdosa itu dari rahimnya. 

Ivy memantapkan hati. "Sesulit apa pun ke depannya nanti, aku akan mempertahankan janin ini."

Bulir bening mengalir turun membasahi pipi tirus Ivy. Dielusnya lembut perut yang berisi janin itu. "Bertahanlah di dalam sana, Nak. Tumbuh jadi anak yang kuat. Ada Mommy di sini." 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Anak Sang Mafia yang Dirahasiakan   Melebur Rasa

    Ocean membimbing Ivy ke depan kaca. "Lihatlah. Betapa cantiknya wajah istriku."Ivy menggeleng. "Tidak. Kau memuji hanya untuk menyenangkan hatiku saja."Ocean mengecup pundak Ivy. "Kenapa bisa terpikir seperti itu, hm?""Entahlah. Mungkin karena beberapa bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh. Atau kau bosan karena sudah terpisah sekian lama denganku." Sebenarnya, hati Ivy sakit saat mengutarakan rasa. Ocean tersenyum. "Apa kau ingin tau seberapa parahnya keadaanku saat kau pergi tanpa pesan?""Kau tampak baik-baik saja." Ivy masih bersikeras. Ocean menarik tubuh Ivy agar saling berhadapan. "Lihat baik-baik suamimu ini. Apa yang berubah sejak kau pergi, hm?"Ivy menelisik dengan teliti. "Kau lebih kurus. Cambangmu berantakan. Kau juga seperti lupa caranya bersisir dengan rapi.""Dan apa kau tak melihat kalau aku punya kantung mata?"Tatapan Ivy terkunci di sepasang bola mata sebiru lautan itu. "Apa kau tidak bisa tidur?"Ingin sekali Ocean mengigit bibir Ivy yang begitu ringan ber

  • Anak Sang Mafia yang Dirahasiakan   Tak Menarik Lagi

    Ocean menatap lembut. Jemarinya terulur untuk merapikan rambut Ivy, lalu diselipkan di belakang telinga. "Kau adalah hal paling luar biasa yang bisa mengubah sudut pandangku tentang cinta."Ivy tak mampu menahan semburat merah yang hadir akibat rasa jengah karena pujian itu. Isi kepala dan hatinya bertentangan. Kedua organ tubuh itu sedang melakukan tugasnya masing-masing."Katakan, Sayang. Apa yang terjadi sampai kau bisa mengikuti acara lelang itu?" Ocean ingin memperbaiki semua dari awal pertemuan mereka. Lalu Ivy pun bercerita tentang pekerjaan sampingan yang diambilnya setelah pulang kuliah, yakni menjadi petugas katering. Saat itu, adik tirinya datang sebagai tamu. Salah satu pelayan yang juga bekerja di sana, memberi Ivy minuman. Setelahnya tubuh Ivy terasa aneh. Ivy pun mengadukan hal itu ke Lucy, adik tirinya. Lalu dia dibimbing masuk ke kamar milik penyelenggara pesta, Mike.Ocean tahu ada sesuatu yang dicampurkan dalam minuman itu. "Maaf, apa sebelum ini, kau pernah minu

  • Anak Sang Mafia yang Dirahasiakan   Kejujuran

    Dokter sudah mengizinkan Ivy untuk pulang. Saat dia mengatakan harus mampir ke apartemen milik Joshua, Ocean hanya menggelengkan kepalanya. "Tapi barang bawaanku ada di sana, Ocean." Ivy hendak melepas seat beltnya."Aku sudah meletakkannya di bagasi belakang, Sayang. Kita hanya perlu pulang saja." Ocean berkata lembut. Sungguh, Ocean sudah berjanji akan benar-benar memperlakukan Ivy dengan sebaik-baiknya. Ocean berniat untuk membahas semua tentang masa lalu keduanya. Agar kelak tak akan ada lagi bahan bangkitan dari masa lalu. Ivy pun tak jadi membantah. Apalagi melihat sorot mata sebiru lautan itu begitu teduh menenangkan hati. Ivy terhipnotis."Kita belum boleh mengunjungi Kakek lagi. Dan sekarang, setiap aku dinas ke luar kota atau luar negeri, kau harus ikut."Nyali Ivy sudah tak seberani saat mengetahui kebenaran yang sengaja disembunyikan Ocean. Sekarang, dia hanya ingin hidup tenang sambil membesarkan anak dalam kandungan saja. Ke-empat orang itu berada di satu pesawat yan

  • Anak Sang Mafia yang Dirahasiakan   Menyelesaikan

    Joshua tak menyangka kalau perempuan hamil yang menarik perhatiannya ternyata adalah istri konglomerat.Walau penampilan Ocean tampak dingin, tetap saja aura dirinya mampu mengintimidasi lawan bicara. "Maaf, aku tak tahu kalau Aurora punya suami. Dia sama sekali tidak pernah membahas tentang itu."Tanpa berkata apa-apa, Ocean mengeluarkan semua bukti. "Empat pekerjamu mengeroyok istriku. Seperti ini kondisinya sekarang."Joshua gusar bukan main. Apalagi melihat foto yang diam-diam diambil Ocean ketika pertama kali tiba di ruang pasien itu. "Ini ... astaga! Berengsek sekali.""Ya. Semua hanya karena kau memperlakukan istriku secara berlebihan di mata orang lain. Katakan, berapa yang harus aku bayar?" Kesombongan begitu kuat terpancar dari Ocean.Joshua tersenyum tipis. Lelaki di hadapan ini bukan sedang menantang harga dirinya sebagai atasan Ivy. Lelaki ini hanya sedang berusaha melindungi istrinya. "Tidak ada. Aku ikhlas melakukan hal itu. Dia adalah stafku yang berdedikasi tinggi."O

  • Anak Sang Mafia yang Dirahasiakan   Dia Datang

    Masih dalam kondisi gemetaran, Ivy menekan tombol pemanggil suster. Tak lama kemudian, suster datang. "Ibu sudah siuman? Bagaimana? Apa yang Ibu rasakan?""Bayiku bagaimana?" Ivy tidak mencemaskan keadaannya. Masih ada yang jauh lebih penting."Bayi Ibu baik-baik saja. Luka lebam juga sudah diobati. Bukti visum juga sudah ada." Suster itu menatap iba. Paramedis yang menangani, mengira kalau Ivy menjadi korban perampokan."Boleh tolong ketikkan alamat lengkap rumah sakit ini? Keluargaku ingin berkunjung." Ivy menyodorkan ponsel berisi aplikasi pesan langsung ke nomor Charlotte."Oh, tentu saja boleh. Sebentar." Dengan sigap, suster membantu apa yang Ivy inginkan, lalu mengembalikan ponsel. "Terima kasih banyak, Suster. Maaf, di mana orang yang menolongku?""Beliau sudah pergi. Tapi dia meninggalkan nomor telepon. Nanti akan aku tanya di pihak resepsionis.""Baik. Sekali lagi terima kasih, Suster." Ivy mencoba tersenyum.Rahangnya masih terasa sakit. Pun lehernya agak nyeri. Cekikan di

  • Anak Sang Mafia yang Dirahasiakan   Dikeroyok

    Biasanya, Ivy selalu tersenyum ketika berpapasan dengan para pekerja di restoran itu. Namun, sejak kejadian dengan beberapa waiters dipecat sepihak oleh Joshua, lebih banyak yang melengos atau pura-pura tidak melihatnya.Ivy hanya bisa mengelus dada. Bersikap sabar ada semua cobaan yang sedang di jalaninya. Isi tahu ada janin yang harus ditanggung secara mental dan fisik. Sepulang kerja, Ivy menyempatkan diri untuk mengunjungi salah satu gerai salad. Lidahnya tiba-tiba menginginkan makanan itu. Ivy sampai membawa pulang satu pack salad untuk dimakan di apartemen.Karena lokasi gerai salad itu dekat dengan taman, Ivy menyempatkan diri untuk menikmati senja. Dia duduk di bangku taman yang kosong. Sembari menatap keindahan semesta, Ivy mengelus lembut perutnya. "Bayiku, sedang apa di sana? Kau suka dengan rasa salad yang tadi Mama makan?"Sesekali Ivy tersenyum. Di bayangannya, ada anak yang terlahir dari rahimnya lagi. Dia bisa melupakan kerinduan kepada Lake yang sampai sekarang pun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status