Share

Mengambil Keputusan

Ivy merasa tubuhnya seperti tidak bertulang. Seluruh sendi terasa nyeri dan rasa mual terus saja mengganggu. Belum lagi lidahnya yang bereaksi aneh jika mengecap rasa.

Sekuat tenaga, Ivy berusaha melawan semua rasa tak nyaman yang menggerogoti tubuhnya. Dia harus sehat karena ada ayah yang harus diurusi. 

Ivy mengendap-endap menuju dapur. Harum aroma kaldu sapi yang menguar seolah-olah menuntunnya menuju ke ruangan itu. 

Air liurnya menetes membayangkan bagaimana gurihnya kuah beraroma rempah itu. Namun, tatapan galak dari kepala koki, membuat Ivy merasa  miris. 

"Bukannya Nyonya Besar melarangmu berkeliaran di dapur?" Riddle, kepala koki, berkacak pinggang.

"Ma-maaf, Tuan. Aku lapar," ucap Ivy, jujur. 

"Tidak bisa. Menu ini khusus untuk Nona Muda yang sedang hamil. Kau harus menunggu jika ada sisanya." 

"Tapi ini rumahku! Kenapa kalian memperlakukan aku seperti ini?" Suara Ivy gemetar ketika menyuarakan protesnya.

"Aku hanya menjalankan perintah Nyonya Besar. Pergilah! Aku tak mau dihukum hanya karena berbaik hati kepadamu." Riddle mengibaskan tangannya.

"Sedikit saja, Tuan. Aku mohon," pinta Ivy. Ada dorongan kuat dari dalam perut yang membuatnya sampai memaksa seperti itu. 

Riddle berdecak kesal. Melihat tatapan memelas Ivy, bohong besar kalau nalurinya tak tersentuh. Dilema. Namun, entah kenapa, Riddle beranjak mengambil mangkuk porselen berukuran kecil.

Riddle menuangkan sup kaldu itu ke dalam mangkuk. Beberapa potong daging sapi pun ikut dimasukkan ke dalam mangkuk. "Pergilah. Bawa segera. Aku tak akan berbaik hati untuk yang kedua kalinya."

Air mata Ivy sampai menetes. "Terima kasih, Tuan." Diambilnya mangkuk itu dengan tangan gemetar lalu bergegas pergi menjauh. 

Riddle menatap semuanya dengan hati yang berkecamuk. "Semoga saja aku tak dihukum hanya karena bersifat selayaknya manusia."

Ivy menuju kamar di mana Alden berada. Gadis itu tak akan sanggup makan sup lezat sendirian. Dia selalu mendahulukan kepentingan ayahnya. 

"Ayah, ayo makan. Aku bawakan sup kaldu yang enak sekali," ucap Ivy. 

Alden membuka mata. Susah payah dicobanya untuk tersenyum. Laki-laki paruh baya itu tahu bagaimana sulitnya mereka mendapatkan makanan di rumah sendiri.

Dengan telaten Ivy menyuapi ayahnya. Alden menggerakkan kepala, menandakan sudah selesai. Walau sup itu sangat lezat dan mereka jarang mencicipinya, Alden harus berbagi dengan sang putri. 

"Ayah sudah kenyang? Aku boleh makan sup ini?" tanya Ivy dengan mata yang berbinar-binar.

Alden menggerakkan mata. Ivy mengucapkan terima kasih lalu menyantap sup yang tersisa. Tanpa sadar, dielusnya lembut perut yang terlalu ramping itu. 

Alden melihat semua tingkah natural Ivy. Rasa sakit menghantam kepala melihat gadisnya hidup sangat kesusahan. 

"Aku belum bisa mengembalikan mangkuk ke dapur. Takut ketahuan Tante. Apalagi sup itu dibuat khusus untuk kehamilan Lucy," gumam Ivy.

Alden mendengar semuanya. Tentu saja terkejut karena selama ini, Lucy dan Lucas begitu dimanjakan. Apalagi ketika Alden masih sehat, kedua anak bawaan istri barunya itu, menjadi prioritas utama. 

Sementara putri kandungnya harus menerima ketidakadilan yang secara tak langsung disetujui Alden. Sekarang, menyesal sampai bersimbah darah pun tak ada gunanya. Tubuhnya sudah cacat, tak berguna sama sekali. Malah menjadi beban untuk putrinya yang sempat disia-siakan.

Dan Lucy yang selama ini tak sungkan menggelayut manja itu, hamil? Alden ngeri mendengarnya. Hatinya langsung merapal doa agar Ivy tidak pernah melakukan hal yang sama. Hamil sebelum menikah. 

Senyum semringah Ivy karena berhasil mencicipi sup kaldu itu menghilang. Perutnya seperti diaduk-aduk. Mual.

"Ay-ayah, maaf. Aku harus ke kamar mandi. Perutku mual sekali." Ivy mengeluarkan suara seperti hendak muntah. 

Entah kenapa, firasat Alden berubah buruk. Napasnya berat. Ketakutannya muncul. 'Tidak. Putriku gadis baik-baik. Dia hanya kelelahan, masuk angin atau hanya tak biasa makan makanan enak seperti dulu.'

Ivy berlari menuju kamar mandi yang ada di ujung koridor. Isi perutnya berlomba-lomba minta dikeluarkan. Tubuhnya terasa lemas. 

Ivy sampai terduduk lemah tak jauh dari pintu kamar mandi. Lucy yang sudah selesai makan melihat bagaimana payahnya kondisi Ivy. 

"Apa kau sakit?" 

Ivy mendongak. Lucy tampak sangat cantik dengan balutan dress selutut berbahan katun dengan motif kupu-kupu kecil itu. "Entahlah. Perutku rasanya seperti diaduk-aduk."

Lucy mengulurkan tangan. "Ayo, ke kamarku. Aku punya obatnya."

Sebenarnya, Ivy sudah berjanji untuk menjaga jarak dengan Lucy. Karena menduga kalau penyebab semua kesialan yang menimpanya bertubi-tubi itu adalah ulah dari si adik tiri. Hanya saja, Ivy tak punya bukti. 

"Ivy! Jangan melamun. Kau ini, selalu saja membuatku kesal! Aku sedang hamil dan tak baik bagi bayiku kalau aku marah-marah." Lucy mengomel panjang lalu meninggalkan Ivy yang menatap kaget. 

"Iya." Ivy mencoba untuk bangkit dan menyusul Lucy. 

Rasa rindu berbalut sedih menyergap Ivy ketika melihat isi kamar Lucy. Dahulu, ruangan yang ditempati Lucy adalah kamarnya. Namun, Lucy merengek memintanya kepada Alden dan dikabulkan. 

"Tunggu sebentar," ucap Lucy. Dengan cepat, ditariknya laci nakas untuk mengeluarkan sesuatu untuk diserahkan ke Ivy.

Ivy mengernyit heran melihat benda yang disodorkan Lucy. "Apa ini?"

"Alat penguji kehamilan. Kau pasti membutuhkannya." 

"Jangan gila, Lucy! Aku tak mungkin sedang hamil," bantah Ivy bercampur ngeri.

"Oh, ya sudah. Aku hanya mencoba berbaik hati. Kalau kau tak mau, buang saja. Pergilah! Aku ngantuk." Lucy mendorong tubuh Ivy lalu gegas menutup pintu, dengan separuh membanting.

Ivy berdiri di depan pintu kamar itu. Gamang. Berbagai pertanyaan menjejali kepalanya. Butuh waktu sekian menit sampai akhirnya Ivy berjalan kembali menuju kamar mandi. 

Ivy mengikuti semua petunjuk yang ada di bungkus alat itu. Jantungnya bekerja sangat keras ketika menunggu hasilnya. 

Dua garis dengan tanda merah yang samar. "I-ini ... artinya aku ... hamil?" 

Ivy terduduk ngeri sambil menggenggam hasil tesnya itu. Bayangan tentang masa depan yang akan semakin suram langsung muncul. Hidupnya saat ini saja sudah cukup sulit. 

"Bagaimana bisa aku merawat ayah dan bayi di saat bersamaan? Sedangkan untuk sekadar makan saja, aku seperti pengemis di rumah sendiri." 

Ivy keluar dari kamar mandi itu dengan kepala yang sangat berat. Dia memilih untuk meratapi nasib di kamarnya saja.

Berbagai pertanyaan dan pemikiran menjejali kepala Ivy. Bagaimana membiayai kuliah dalam kondisi hamil? Karena hamil pun membutuhkan biaya yang tak sedikit. 

"Ayah pasti kecewa karena aku tak bisa menjaga kehormatan. Aku harus apa?" Ivy memeluk tubuhnya. 

Bayangan laki-laki bermata sebiru lautan itu membayang. "Di mana aku harus mencari keberadaan ayah dari janin ini? Apa aku harus kembali ke hotel itu untuk bertanya siapa dia?" 

Ivy menggeleng. "Tidak. Dia sepertinya bukan tipe laki-laki yang mau bertanggung jawab. Dia pemaksa! Dan belum tentu mau terlibat."

Ivy tahu jalannya pasti akan sangat berliku dan terjal. Belum lagi membayangkan bagaimana reaksi ayahnya juga Payton. Namun, Ivy tak sanggup jika harus menyingkirkan janin tak berdosa itu dari rahimnya. 

Ivy memantapkan hati. "Sesulit apa pun ke depannya nanti, aku akan mempertahankan janin ini."

Bulir bening mengalir turun membasahi pipi tirus Ivy. Dielusnya lembut perut yang berisi janin itu. "Bertahanlah di dalam sana, Nak. Tumbuh jadi anak yang kuat. Ada Mommy di sini." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status