Kata-kata itulah yang ingin kuucapkan pada Fai. Namun, bibir ini kelu untuk mengungkapkan kebenaran tentang calon suaminya. Air mata masih berjatuhan di pipi Fai, atas kepergian Ibu. Rasanya, aku tak tega memberinya kesedihan yang baru. Jadi, kuurungkan niat ini dan menunggu waktu yang tepat di lain hari."Kenapa kau diam saja, Mel? tanya Fai seraya mengibaskan tangan di depan wajahku. Aku tersadar dari kegalauan."Kau pulanglah lebih dulu. Aku sedang tak ingin bicara denganmu!" titahku dengan nada ketus. Sengaja kupasang muka jutek, agar dia merasa tak nyaman di dekatku dan cepat-cepat pergi. Aku tak ingin melihat kesedihannya, meski aku pun tengah merasakan kesedihan yang sama."Tapi kenapa? Apa kau merasa tersinggung karena tadi aku bicara tentang membeli rumah baru untukmu?" Fai bertanya sambil menyeka air mata dengan ujung jilbabnya, membuatku ingin memeluk dan menenangkannya. Tapi, ah ... aku terlalu gengsi, karena di matanya aku hanyalah 'orang jahat' yang tak punya perasaan. "
🌸🌸🌸Halaman rumah penuh dengan karangan bunga belasungkawa dari rekan kerja Fai dan Dian. Terlihat jelas nama instansi tempat mereka berdua bekerja tertulis di sana. Fai pasti sibuk menerima tamu yang melayat seharian tadi, sebelum berangkat ke acara amal anak yatim piatu.Aku baru pulang sore ini, ketika jam tanganku menunjuk angka lima. Dan sekarang aku duduk di kursi rotan yang biasa dipakai Ibu. Seseorang tengah melihat-lihat karangan bunga itu, punggungnya membungkuk saat membaca tulisan yang ada di sana. Tak lama kemudian, ia menoleh dan tersenyum kepadaku, kemudian membuka pagar rumah dan menghampiriku ke teras."Kamu Meli, ya? Tadi Fai nitip kunci rumah," katanya seraya menyerahkan benda yang sedari tadi kucari-cari. Rupanya Fai menitipkannya pada Bu Mardiyah."Ah, ya. Makasih, Bu," balasku."Fai dan Dian sudah berangkat dari tadi sore. Kalau kamu mau, buka puasa di rumah saya aja yuk," ajaknya. "Terimakasih. Saya buka di sini saja."Wanita yang kuharapkan jadi ibu mertuak
"Keburukanku di masa lalu, tak kubawa ke masa sekarang. Aku sudah meninggalkannya jauh di sana, dan sejak saat itu aku terus memantaskan diri untuk Fai. Karena, sejak awal, dia lah satu-satunya tujuanku." Dian membalas sambil menatapku dengan tenang. "Bukankah, dulu kau yang pergi meninggalkanku? Karena lebih memilih karirmu ketimbang berusaha tetap di sisiku?"Aku menjauhkan tubuhku darinya. Kalimatnya yang terakhir itu sungguh menyesakkan dada, mengorek luka lama yang selama ini ingin kulupakan."Karena, kau selalu menyuruhku memakai jilbab dan berbaju panjang. Sementara, kau tahu aku seorang model yang dituntut untuk menunjukkan keindahan tubuhku di depan kamera. Kau hanya ingin mengubahku menjadi seperti Faihatun, bukan menerimaku apa adanya!" balasku.Dian membuang napas dan memejamkan mata. "Setidaknya, aku sudah memberimu kesempatan," ucapnya pelan. Kemudian pandangannya tertuju ke belakangku, ia sedikit terkejut namun segera ditahannya."Apa yang sedang kalian bicarakan?" Suar
“Kau masih menggeluti dunia modelling? Mel, sekarang kau kan sudah Sarjana Ekonomi. Gunakan ilmumu untuk mendapat pekerjaan yang sesuai. Dunia model itu riskan, berhentilah dari sana.”Fai memasukkan es bon-bon yang sudah jadi ke freezer kecil khusus membuat es. Dari dulu, dia memang tak setuju aku berkecimpung di dunia model. Katanya, auratku diumbar dengan imbalan uang dan dinikmati mata para lelaki, itu dosa.“Entahlah Fai, imanku belum bisa menjangkau sampai ke sana. Soal dosa atau pahala, aku serahkan sama Yang Di Atas,” kataku.“Lalu, koleksi jilbabmu itu untuk apa? Bukankah kau berniat untuk memakainya?” tanya Fai. Kali ini dia serius menatapku.“Eum … itu bekas pemotretan fashion muslimah!” jawabku cepat.“Tapi, aku belum pernah melihat satu pun fotomu yang mengenakan busana muslim? Malah, baru saja tadi aku melihatmu memakai jilbab.” Fai terlihat heran.Tentu saja kau tidak pernah melihatnya, Fai! Karena sebenarnya jilbab itu kubeli atas permintaan Dian yang ingin aku berpena
“Hatimu, apakah merasa cinta terhadap calon suamiku?” tanya Fai begitu datarnya, seolah sedang mempersiapkan diri untuk kecewa.“Sudah jelas, kan? Dari awal aku mengatakan bahwa dia lebih pantas bersanding denganku.”Aku memilih untuk tak menatap Fai, demi terhindar dari rasa sakit yang tersirat di wajahnya.“Kupikir kita berbeda,” gumam Fai seraya mengarahkan pandangan ke arah jendela kamar.“Kita memang berbeda, Fai. Karena kita tak sedarah. Selama hidup ini, hanya ada dua kesamaan yang kita miliki. Pertama, memiliki seorang Ibu yang luar biasa. Kedua, hati yang mencintai Dian,” ujarku.Kini, pandangannya beralih padaku. Ada kasih sayang berlimpah dalam sorot matanya itu. “Dan kau selalu ingin menguasai cinta keduanya. Baik cinta Ibu maupun Dian, kau selalu ingin dapat porsi yang lebih besar dariku,” balasnya.“Benar, Fai! Karena aku ingin lebih bahagia darimu. Aku selalu iri padamu. Kau berasal dari keluarga miskin, tapi banyak orang yang menyayangimu. Sementara aku … walaupun kelu
Itu bagaikan suara petir di telingaku. Meli mengucapkannya dengan terbata dan ragu.Kulepaskan tanganku dari genggamam Meli, lalu memeluknya. “Kalau benar yang kau katakan, harusnya sejak dulu kau tahan Dian agar tetap di sisimu, hingga ia tak punya kesempatan untuk bertemu lagi denganku,” ucapku. “Sekarang, aku sudah menyebar undangan pada semua rekan, dan akad nikah kami tinggal beberapa hari lagi. Kenapa kau baru bercerita?” tanyaku setenang mungkin seraya melepas pelukan.Seumur hidup, baru kali ini aku memeluk Meli. Rasanya, seperti menemukan ‘rumahku’ setelah kepergian Ibu. Tapi, sayang, sebentar lagi Meli akan pergi.“Karena, begitu banyak ketakutan dalam dadaku. Kau tahu, kan, berkata jujur tak mudah? Terlebih hal yang kukatakan akan membuatmu terluka,” jawab Meli, matanya berkaca-kaca. “Tapi, kenapa kau begitu tenang, Fai? Tidakkah kau terkejut atau sedih mendengarnya? Calon suamimu pernah ‘bersetubuh’ denganku.”Aku mengusap air mata yang mulai menetes di pipinya. Bedaknya t
*Kamar Meli kini kosong, aku mengubahnya menjadi tempat menaruh semua persiapan akad nikahku. Pagi ini barang-barang yang telah kupesan datang, mulai dari baju pengantin hingga sayuran. Semua kugeletakkan begitu saja di sana. Entah apa yang akan kulakukan dengan barang-barang itu, karena aku telah mengundurkan akad nikahku.“Beri aku waktu untuk berpikir,” ucapku saat mengajukan pengunduran tanggal akad nikah pada Dian, pagi kemarin sebelum detik-detik berpisah dengan Meli. Dian menyetujuinya, ia mengerti bagaimana galaunya pikiranku setelah mengetahui kebenaran itu Miris, memang. Sejak kehadiran Meli dalam hidupku, aku selalu dapat “bekasnya”. Baju, tas, sepatu, mainan, dan lainnya … selalu bekas Meli. Apakah salah jika kali ini aku menolak ‘lelaki bekas Meli’ untuk jadi suamiku? Kurasa, cukup di masa kecil saja aku pakai ‘barang-barang bekas’.“Astaghfirulloh,” gumamku saat menyadari telah mengatai Dian dengan ujaran yang tak sopan. Semua itu karena rasa kesalku padanya.Setelah p
Aku menggeser posisi, menjauh dari Dian. “Aku hargai kejujuranmu, dan kesiapanmu menerima konsekuensinya. Terimakasih untuk semua itu. Kita masih bisa berteman. Itulah bentuk penghargaanku atas kejujuranmu,” ucapku dengan gemetar sambil melangkah mundur. Tak sangka niat untuk mengakhiri hubungan dengannya, terucap juga.“Fai, ap—apa maksudmu?” Dian bertanya untuk memastikan pernyataanku.“Aku tak bisa melanjutkan hubungan denganmu,” jawabku dengan yakin. Kemudian melangkah mundur perlahan.“Tapi, undangan sudah disebar. Dan bagaimana dengan hatiku?” Setiap aku mundur selangkah, Dian pun akan maju selangkah. Sehingga jarak diantara kami tetap sama.“Soal undangan, aku akan mengurusnya. Dan soal hati … kita urus masing-masing!” tegasku sambil mempercepat langkah ke pinggir jalan, melambaikan tangan pada angkutan kota yang tengah melintas. Beruntung, ujung jilbabku tersapu angin hingga menutupi wajah, dan menyerap air mataku yang tiba-tiba saja menetes tak terkendali. Semoga saja, tak