“Pelankan suaramu, Fai!” titah Ibu, panik. Ia kemudian melepaskan tangannya dari mulutku saat aku sudah agak tenang. Ibu menahan isak tangis hingga ekspresi wajahnya sulit kugambarkan. Namun yang pasti, adaberjuta kepedihan tergurat di sana. Lantunan takbir masih menggema, begitu pun suara bedug bertalu-talu di malam takbir itu, harusnya kami menangis bahagia menyambut hari kemenangan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Ibu langsung memelukku dengan erat. Tangisnya mulai pecah, namun dengan suara yang sengaja ditahan. Aku takut sekaligus merasa aman dalam pelukan Ibu. Namun tanda tanya itu masih ada, tentang noda darah yang bau amisnya sangat menusuk. “Fai, tadi selelpas buka puasa Ibu menemani Nyonya Guntur membagikan THR pada fakir miskin yang hidup di jalanan. Tiba-tiba mobil yang dikendarai kami ditabrak orang tak dikenal. Mobil kami terguling ke hutan. Nyonya Guntur langsung meninggal, Ibu dan supir yang selamat mengeluarkan Nyonya Guntur dari mobil yang hampir meledak. Mak
Hubungan antar manusia memang tak selamanya baik, namun juga tak selamanya buruk. Sedekat apapun kita dengan seseorang, pasti akan selalu ada gesekan yang memicu konflik. Entah itu konflik fisik, maupun konflik batin. Meli menyikut pinggangku. “Itu Dian, Fai,” ucapnya seraya menunjuk Dian dengan dagu. “Aku tahu,” jawabku. “Kalau ada yang mau diomongin sama Dian, sana samperin. Jangan dipendam,” lanjut Meli. Rupanya ia menyadari gelagatku yang tengah menghadapi konflik batin tak kunjung usai ini. “Dari mana aku harus mulai bicara?” tanyaku pada Meli. Kali ini aku merasa perlu meminta pendapatnya. “Ayo kutemani,” bisiknya. “Kau pergi saja bersama Dian. Jalan-jalan kemana kek. Biar aku yang menemani Bu Mardiyah.” Meli tampak yakin. Dia meraih tanganku, mengajakku untuk melangkahkan kaki menghampiri Dian. Aku sempat ragu, karena khawatir Meli keberatan dalam hatinya. Mengingat dia pun pernah mengharapkan Dian di sisinya. “Kau yakin, Mel?” tanyaku. “Soal apa?” “Kau sudah mengikhla
"Tidurlah, nanti laparmu akan hilang."Kuusap kelopak mata anak tiriku, dengan tangan gemetar. Betapa tidak, hati ini pilu karena hampir setiap hari perutnya tidak terisi banyak nasi."Aku masih lapar, Bu," begitulah lirihnya setiap menjelang tidur.Anak itu selalu menurut. Setelah ia tertidur, aku selalu memasak secangkir beras hingga pada saat Subuh tiba, beras itu berubah menjadi tiga centong nasi.Waktu itu sahur pertama di bulan Ramadhan 1998, anak tiriku baru berusia tujuh tahun. Ia kubangungkan dengan perasaan was-was di hati, takut kalau-kalau sudah meninggal dalam tidurnya karena kelaparan."Faihatun ... bangun, Nak," kucolek tubuhnya menggunakan jari telunjuk, hati ini sungguh khawatir ketakutan itu akan terjadi.Alhamdulillah akhirnya ia membuka mata, walau dengan pelan dan tampak lemas."Ayo sahur," kata itu kubisikkan di telinganya.Fai mengangguk, kuminumkan segelas air putih untuk menambah tenaganya. Kemudian menuntunnya ke meja makan."Duduk yang benar, Ibu akan ambilk
"Fai suapi Ibu, ya," ucapnya, menyendok nasi dengan sesuwir daging ayam. "Kalau lauknya mau ganti, bilang aja ya, Bu," lanjutnya.Buka puasa di hari ke dua Ramadhan 2021. Aku disuapi Faihatun karena anak itu yang meminta. Di matanya, aku ini sudah renta ... padahal sebenarnya untuk sekedar menyuap nasi aku masih mampu."Alhamdulillah tadi Fai dapat uang insentif dari kantor, jadi pulangnya bisa beli lauk yang banyak untuk menu buka puasa. Ini semua kesukaan Ibu, Fai sengaja belikan. Maaf ya, Fai gak masak karena lelah habis bekerja," katanya, sambil menyuap sendokan kedua."Sudah cukup menyuapiku. Sekarang giliranmu yang buka puasa. Ibu bisa makan sendiri," balasku seraya mengambil sendok dari tangan Fai. "Makanan ini sangat banyak. Bagaimana kalau tidak habis? Lain kali kalau masak atau beli, secukupnya saja," lanjutku.Meja makan penuh dengan hidangan. Terlalu banyak untuk ukuran berdua. Mubazir kalau tidak habis, kami tak mungkin memakan semuanya."Kan bisa dikasihkan, Bu," jawab F
"Kamu pulang saja dulu, saya lagi repot ngurusin tamu," paksa Nyonya Guntur ketika aku kukuh ingin mendapatkan upah sore itu juga. Akhirnya aku pun pulang, karena Nyonya Guntur sudah mulai terlihat jengkel. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus berputar-putar mengakali harus masak apa untuk buka hari itu. Di rumah tinggal segenggam beras dan sebuah wortel yang kupunya. Terdengar suara azan maghrib, sekaligus pertanda waktu buka puasa. Aku berjalan sangat lambat hingga tidak bisa mengejar waktu untuk sampai di rumah sebelum magrib. Teringat Faihatun yang seharian kutinggalkan bekerja, sedang apakah dia di rumah sendirian? Perasaanku khawatir, takut terjadi apa-apa dengan anak itu. Apalagi di rumah tidak ada makanan, dengan apa dia akan berbuka?Teganya Juragan dan Nyonya Guntur kepadaku. Sudah dua hari bekerja hingga lelah, namun tak sepeser pun uang yang dibayarkan mereka. Padahal, makanan begitu banyak tergeletak di meja makannya. Tak bisakah mereka memberiku sedikit untuk k
Fai menganggukkan kepala pada Bu Mardiyah sebagai salam hormat. "Itu Fai, ya? Wah ... Fai tumbuh jadi gadis yang cantik," ujar Bu Mardiyah."Iya, Bu." Faihatun tersipu mendapat pujian dari Bu Mardiyah.Aku mendengarkan percakapan mereka berdua yang terlihat sangat asyik. Bu Mardiyah berpindah tempat duduk mendekati Fai."Fai masih ingat sama Dian?" tanya Bu Mardiyah."Iya, Bu. Dian teman Fai waktu masih kecil," jawab Fai."Sekarang Dian sudah jadi PNS. Berkat kamu, Fai ....""Lho? Kok berkat saya, Bu?" Fai terlihat heran. Aku menepuk pundaknya."Di desa, kami hidup sulit. Selepas diwisuda, Dian selalu termenung di teras rumah. Kupikir karena ia frustasi belum mendapatkan pekerjaan. Setelah kutanya ... rupanya ia sedang mengingatmu. Sebagai seorang ibu, tentu saya tahu apa yang sedang dialaminya. Akhirnya saya jadikan kerinduannya padamu sebagai motivasi untuk membuatnya bangkit," jelas Bu Mardiyah.Fai masih tampak kebingungan, atau pura-pura bingung? Entahlah, yang pasti ia sangat t
"Lho, kok malah nanya ... ya suruh masuk, atuh. Kan kasihan," jawabku."Hihi, Fai gugup, Bu ...," kata Fai."Bersikap sewajarnya saja." Aku menasihati FaiSelama ini, Fai tak pernah berpacaran atau sekedar memiliki teman lelaki. Aku cukup mengkhawatirkan hal itu karena usia Fai sudah tiga puluh tahun, usia yang cukup untuk berumahtangga. Sementara aku pun mulai lemah dimakan usia yang menginjak lima puluh delapan tahun. Aku ingin, Fai segera bertemu jodohnya.Tak lama kemudian, Fai mengajak Dian masuk ke rumah dan duduk di sampingku. Mereka tampak serasi walaupun masih malu-malu, karena lama tak bertemu. Seandainya mereka berjodoh, aku sangat senang. Insyaalloh, mereka sama-sama shaleh. Dulu, keduanya tumbuh bersama dan harus terpisah saat menginjak remaja."Bu, apa kabar?" sapa Dian seraya memberikanku beberapa bingkisan buah tangan yang dibungkus hiasan indah."Alhamdulillah," jawabku. "Kudengar, keluargamu kembali pindah ke sini. Saya senang tetanggaan dengan kalian lagi.""Iya, Bu
"Ibu mau nyuci lagi? Di mana, Bu?" tanya Fai."Belum tahu, Fai. Belum ada yang nyuruh Ibu," jawabku.Fai mengangguk. Aku mengajaknya tidur agar dia tidak mengantuk ketika bangun sahur nanti. Tempat tidur kami hanyalah selembar kasur lepek yang sudah usang, diletakkan di lantai karena ranjang satu-satunya yang kami punya sudah dijual untuk membeli beras dan membayar kebutuhan.Rumah yang kutinggali bersama Fai waktu itu adalah peninggalan ayahku. Sebelumnya, kami tinggal bersama Mas Hendra di rumah gedong. Namun, dijual beserta isinya karena harus menutupi utang dagang. Ketiga toko yang dimiliki Mas Hendra juga dijual. Kami bangkrut, dan Mas Hendra kabur. Alhasil, aku dan Fai harus kembali ke rumah gubuk peninggalan ayahku."Bu, Fai lapar," katanya ketika mata hendak terlelap."Masih ada nasi dan goreng telur sisa buka puasa tadi maghrib. Sebentar, Ibu ambilkan ya," kataku.Fai menggeleng. "Bukan, Bu. Fai ingin makan cemilan, bukan makan nasi," lirihnya, memelas."Tak ada Fai. Tidurla