ANAK YANG KUBENCI 4
Nyusahin Aja"Ta, aku mau tanya, tapi jangan marah, ya?'Latifah, teman kostku bertanya. Kulihat dia sekilas, lalu mengangguk. Latifah ini dulu temanku saat SMA tapi beda jurusan dan beda kelas. Tinggalnya masih satu kecamatan sama aku, beda desa saja."Dulu waktu kamu hamil, kenapa tidak digugurin aja?" Tanya Latifah hati-hati. Ini pertanyaan sensitif, dan Latifah baru berani bertanya setelah sekian tahun."Terlambat," jawabku santai, tanganku tetap nguprek HP."Maksudnya?"Ck! Gitu aja nggak ngerti, Latifah ini nggak pernah berubah dari dulu begonya."Orang tuaku baru tahu aku hamil setelah enam bulan. Selama itu, aku sendiri bingung mau ngapain. Kalau sekarang sih gampang, banyak orang jualan obat telat mens di online," aku tertawa kecil,Latifah juga."Kamu nyesel nggak sih, Ta?""Nggak!" Jawabku cepat. Aku pindah naik ke kasur. Duduk bersandar di dinding dengan menekuk kedua lutut."Buat apa menyesal, nangis darah pun semuanya sudah terjadi," suaraku datar. Latifah terdiam, pun aku."Yang aku sesali adalah kenapa anak itu hidup," netraku menerawang."Kenapa?"Aku menoleh Latifah dengan sedikit gusar, bego banget sih ni anak."Masak gitu aja nggak tahu, sih?" Sungutku dengan cemberut."Emang nggak tahu," Latifah menjawab tanpa dosa."Dia itu anak pembawa sial! Dan selama ada dia, masalah akan selalu datang padaku!"Latifah memandangku,"jangan begitu, Ta, setidaknya kamu punya anak. Di luar sana, banyak perempuan yang diceraikan suaminya gara-gara nggak punya anak," Latifah mencoba memberi gambaran padaku."Yang kamu bicarakan itu kan perempuan mandul, tapi, aku kan tidak. Kelak kalau sudah menikah resmi, aku akan punya anak lagi, dan itu bukan anak haram!""Biar bagaimana pun, Kayla itu anakmu, Ta," ucap Latifah kemudian."Dia anak ibuku, dan akan selalu bersama ibuku!" Mataku memicing. Tak akan pernah kuakui Kayla adalah anakku! Kayla tidak punya akte kelahiran karena aku tidak membuatkannya. Status di KTP-ku juga 'TIDAK KAWIN'."Kalau misalkan ibumu meninggal terus gimana, Ta?" Latifah ingin tahu banget rupanya."Ya biar Kayla ikut," kedua alisku terangkat, bibirku tersenyum."Ikut ke mana?""Ke akhirat lah, masak ke mall! Bego lu hahaha," tawaku berderai. Latifah geleng kepala."Gila lu, Ndrooo!"**Di pabrik, aku bekerja sebagai penjahit. Berbekal ijazah menjahit dari kursus yang kudapatkan di kampung.Kerja di pabrik tidak banyak menggunakan otak. Ketrampilan dan keahlian diperlukan di sini. Bekerja di dunia wanita memang penuh aroma cemburu. Saling sikut, adu mulut dan teriakan adalah makanan sehari-hari.Aku tidak bodoh. Meski bukan nomor satu, dulu waktu sekolah aku selalu berada di urutan rangking sepuluh besar. Cita-citaku dulu adalah menjadi Polwan, tapi semuanya kandas karena kelahiran bocah sialan bernama Kayla itu! Kudengar, katanya masuk Polwan harus perawan tingting. Sedangkan aku, perawan bolong.Hanya butuh waktu dua hari, aku langsung bisa menguasai mesin Juki peganganku. Dari menjahit bagian yang paling mudah hingga yang paling susah seperti memasang collar aku kuasai semuanya dalam waktu kurang dari satu bulan.Aku belajar berbagai jenis mesin. Bila waktu istirahat tiba, aku hanya menggunakan lima belas menit saja. Aku kembali ke line lebih awal, karena aku menggunakan sisa waktu istirahat untuk belajar mesin spesial seperti mesin pasang kancing, mesin obras, dan overdeck.Dengan sedikit ilmu menjilat ~yang aku pun sebenarnya muak ~ aku berhasil menjadi anak emas supervisor hingga kepala divisi line. Mereka berjanji untuk merekomendasikan jabatan supervisor untukku bila dibutuhkan.Gaji awalku sebagai buruh pabrik di kota besar adalah sekitar empat jutaan. Kukirim ke Ibu lima ratus ribu, sisanya buat kebutuhanku di sini seperti bayar kost, makan sehari-hari dan bersenang-senang.Pikirku cukup lah buat ibu sendiri lima ratus ribu. Di kampung, ibu menanam beragam sayuran seperti bayam, singkong, cabe, tomat dan lainnya. Juga ada kolam lele di belakang rumah. Kalau untuk makan sehari-hari cukup lah buat Ibu saja.Buat Kayla? NO!Aku tidak akan memberi sepeser pun untuk anak itu. Peduli amat, bapaknya aja nggak peduli! Kayla mau hidup seperti apa, sekolah atau tidak, bukan urusanku. Cukup aku melahirkan dia, itu sudah membuatku mengutuk diriku sendiri seumur hidup.**"Rita, tahun ini Kayla masuk SD lho, tolong bantu uang masuknya, ya?"Itu permintaan ibuku saat aku video call dengan dia. Keningku langsung mengerut."Sekolahin di negeri aja, Bu, gratis!" Jawabku, "nanti seragamnya minta bekasnya Yunia aja, kalau perlu sepatunya juga," jawabku kesal. Apa apaan Ibu minta uang aku buat Kayla. No way lah!"Rencananya, Ibu mau masukin ke SDIT, biar pinter sekolahnya juga pinter agamanya," sahut ibuku lagi."Hallah, Bu! Kayla itu nggak usah dimanjain. Ngapain Ibu mikirin dia, pikir diri Ibu sendiri. Udah tua, nggak usah capek-capek." Kataku berang. Orang tua kok susah dinasehati."Udah ya, Bu, kalau Rita punya uang ya tak kasih. Kalau nggak punya ya nggak. Nggak usah ngarep."Aku menutup telepon dengan perasaan geram. Kesal aku, kenapa Ibu harus susah-susah ngurusin Kayla sih, biarin anak itu cari sekolah sendiri, kalau tidak mau ya nggak usah sekolah. Gitu aja kok repot.Lagi-lagi Kayla membuatku jengkel! Kulempar HP di kasur. Nyusahin aja!BersambungANAK YANG KUBENCI 5Pulang Kampung Setelah tiga tahun bekerja, aku mengambil cuti tahunan. Tadinya, aku hanya pulang kalau lebaran saja. Kali ini aku mengambil jatah cuti selama dua Minggu, akan kugunakan untuk pulang kampung. Sebenarnya, aku punya tujuan tersendiri di balik kepulanganku ini. Aku merasa sudah sukses sekarang. Penampilanku berbeda dengan Rita yang dulu. Kulitku kini putih, wajahku mulus dan glowing. Pakaian, sepatu, sendal, tas, jam tangan dan ponselku semuanya baru dan terkini. Apalagi ponselku ini, yang kubeli dengan harga di atas 5 jeti! Ini adalah lambang keberhasilanku! Akan kutunjukkan pada orang kampung yang dulu suka mengolok-olok aku, kalau sekarang mereka semua nggak ada apa-apanya! Cuma mulut sampah! Kubungkam mulut nyinyir kalian dengan uangku! "Eh, Mbak Rita, pulang kapan?" Bu Gofur, tetangga samping rumah menyapa saat aku melihat-lihat kebun sayur ibuku. "Kemarin sore, Bu," jawabku tersenyum. Bu Gofur melihat gelang emas di tanganku. Hmm kesempatan
ANAK YANG KUBENCI 6Anak yang baik Huh, bosen klumbrak klumbruk di rumah. Mana di kampung, sepi. Beda dengan Jakarta, selalu ramai setiap hari. Kalau libur aku jalan-jalan ke mall, belanja, atau nggak nonton bioskop, atau nggak berenang. Kangen sama temen-temen.Pagi ini aku bangun agak siang karena semalam chat-chatan sama temenku sampai larut malam. Cutiku masih seminggu lagi, tapi aku tidak akan menghabiskan di sini, paling dua hari lagi aku balik ke Jakarta. Keluar rumah, aku duduk di teras. Ibu tidak ada, kalau Kayla mungkin sekolah. Anak sialan itu sudah kelas empat SD. Nggak terasa, cepat besar dia. Wajahnya lebih mirip Richard dari pada aku. Kulit putihnya, garis wajahnya bila tersenyum, hidung, bibir, mata, semuanya mirip bapaknya. Hanya rambut dan alis matanya yang tebal, mirip denganku. Masih untung cantik, kalau jelek udah aku buang ke laut tu anak. Mau ngapain ya? Sekarang kok, aku merasa asing di rumahku sendiri. Saat mau kembali masuk rumah, seseorang memanggilku. "
ANAK YANG KUBENCI 7Dimarahin Embah "Ibu pergi dulu, Rita," Memakai seragam ngaji, Ibu berpamitan padaku. Hari ini Kamis pasaran Pahing jatahnya Ibu mengaji kampung. "Iya, hati-hati, Bu," Masih jam setengah dua siang. Aku yang tidak terbiasa tidur siang merasa bosan bermain HP melulu. "Assalamualaikum," Kudengar suara Kayla mengucap salam, anak itu baru pulang sekolah rupanya. Kulihat jam lagi di HP, jam dua kurang sepuluh. Aku bergegas keluar kamar. Kayla sedang mengambil minum. "Heh! Jam segini baru pulang, dari mana?" Tanyaku. "Dari sekolah," gadis kecil berseragam SD itu menjawab. Satu gelas penuh air putih dia teguk sampai tandas. Wajah Kayla berkeringat seperti habis berolahraga. "Pasti kamu habis main, anak SD itu pulangnya jam satu. Ini sudah jam dua!" Mataku mendelik. Anak bandel ini pasti habis bermain dan menghabiskan uang saku dari embahnya. "Beneran pulang sekolah, Mah, kan sekolahnya lumayan jauh, Kayla jalan kaki," jawabnya sembari mengusap keringat di dahiny
ANAK YANG KUBENCI 8ARIA"Rita, selamat ya, sudah diangkat jadi Supervisor," kata Mbak Ratih, mantan supervisor-ku. "Sama-sama, Mbak. Kalau bukan rekomendasi dari Mbak Ratih, aku juga masih Jahit kerah, hehehe," Senangnya aku sudah dinaikkan jabatan menjadi supervisor. Tanggung jawabnya lebih besar karena membawahi line. Gapapa lah, yang penting sebanding dengan gajinya. Aku semakin yakin, bahwa semakin jauh dari Kayla, keberuntunganku semakin mendekat. Sekarang aku diangkat jadi Supervisor, gajiku naik hingga aku bisa pindah ke kos-kosan yang tergolong mewah. Coba masih di kampung, bakalan jadi tukang derep di sawah aku. Kayla memang pembawa sial. Lebih baik, aku jauh-jauh darinya. **Hari ini, kami para supervisor dipanggil untuk meeting oleh manager produksi. Mereka bilang ada buyer yang mau inspeksi. Kebetulan, yang mengerjakan pesanan tersebut termasuk line yang aku kepalai. "Rita, sampai mana progres-nya?" Pak Amir, kepala produksi bertanya padaku. "40 persen sudah di
ANAK YANG KUBENCI 9Jatuh Cinta Lagi?Keluar dari mobil, aku berlari kecil menerjang rintik hujan. Memasuki pagar, aku merasa mobil Aria belum bergerak. Tak sengaja, aku menoleh ke belakang. Benar, mobilnya masih diam di sana. Nunggu apa, sih? Atau dia sedang mengawasiku?"Sampai malam, Rit?" Wina, teman sebelah kamarku menyapa, di tangannya membawa semangkuk mie instan rebus yang masih mengepul. "Eh, iya, tadi mampir dulu ke supermarket terus kehujanan," jawabku sambil tengak-tengok ke jalan. Untung saja sudah pergi mobilnya. Males aku kalau ditanya-tanya sama Wina. Dia itu kepo. Menaruh belanjaan di meja, aku duduk di tepi tempat tidur. Kok rasanya berdebar dan gugup begini sih? Padahal aku sudah bukan anak muda lagi. Bibirku senyum sendiri. Apa karena sudah lama aku tidak bergaul dengan laki-laki? Maksudku jatuh cinta lagi gitu ... hmm.Jujur saja, selama tinggal di Jakarta aku belum pernah mempunyai teman dekat. Semua teman biasa aja, kalau jalan juga ramai-ramai. Aku sendiri ju
ANAK YANG KUBENCI 10Gimana dong Kuketik nomor rekening ibuku, lalu kukirim uang sebesar lima ratus ribu. Setiap bulan, aku rutin mengirim uang untuk Ibu, meski beliau tidak pernah meminta. Ibu tahu, aku akan marah dan mengomel bila Ibu meminta uang untuk Kayla. Terakhir, Ibu meminta kiriman uang untuk biaya masuk SMP Kayla, tapi aku tidak memberinya. Dari saat itu, Ibu tidak pernah lagi meminta uang untuk Kayla. Memang Kayla anakku, anak yang tidak kuharap kehadirannya di muka bumi ini. Tidak kewajibanku untuk membiayai dia. Hidupku sudah susah dari saat hamil hingga melahirkan dia. Yang aku heran, apakah Richard tidak ingat dengan anaknya ini, ya? Dulu dia pergi meninggalkan aku dalam keadaan hamil dan dia tahu itu. Kalau seorang laki-laki bisa dengan santainya meninggalkan tanggung jawab, kenapa aku tidak? Bikinnya berdua, suka sama suka tapi, kenapa hanya aku sendiri yang menanggung malu dan susah? Seandainya aku tahu di mana Richard, akan kukirim Kayla bersamanya. Biar Richar
ANAK YANG KUBENCI 11Tidak Jujur Ini baju yang ke tujuh yang aku coba, semuanya salah. Aku merasa nervous hingga gonta-ganti baju. Aku bingung harus pakai baju apa untuk bertemu dengan Pak Aria? Duh Gusti, kenapa aku jadi seperti ini?Ponselku berdenting, pesan WA baru masuk. Cepat kuraih benda pipih dari kasur. Astaga! Pak Aria sudah sampai dan dia menunggu di depan gerbang. Bagaimana ini, sedangkan aku belum selesai juga memilih baju! Emang mau ke mana sih, kok aku nggak nanya. Akhirnya, aku memilih memakai rok dengan bawahan model payung. Sepatu flat warna putih membalut kakiku. Rambut yang panjang sebahu kubiarkan tergerai. Insha Allah sudah cantik.Meski usiaku sudah kepala tiga, tapi body aku masih tetap langsing lho, nggak kalah sama yang umur dua puluhan. Walau aku sudah pernah punya anak, tapi tidak ada yang berubah dari bentuk tubuhku. Tidak ada yang tahu aku punya anak di kampung. Latifah, temanku yang tahu rahasiaku juga sudah resign dari pabrik. Latifah pulang kampung k
ANAK YANG KUBENCI 12Kabar dari Kampung Aku tidak tahu, hubungan seperti apa yang kini tengah aku jalani bersama Pak Aria. Kami semakin akrab, aku tidak sungkan lagi menegurnya bila dia berkunjung ke pabrik. Nggak pernah ke line sekarang, Pak Aria lebih sering di office. Kupikir, gedung 1 ~di sini ada beberapa gedung dan disebut dengan menggunakan angka~ dengan penghuni sekitar seribu orang ini sudah tahu semua tentang gossip aku dan Pak Aria. Gimana nggak, aku karyawan lama di sini, hampir semuanya dari Satpam sampai OB, dari penjahit sampai ke bagian packing, tahu semua tentang aku. Itu menurutku sih, hehehe. Mimpi indahku untuk membina rumah tangga kembali hadir. Aku layak bahagia setelah perjalanan panjang penuh tekanan dan kesialan. Deritaku saat hamil Kayla masih terasa perih hingga kini. Sendiri dengan perut yang semakin membesar, takut, khawatir, bingung, semua jadi satu. Tak ada orang yang kuajak bicara saking takutnya. Apalagi saat Richard dan keluarganya pindah entah ke