"Nomor teleponnya gimana? Emang kita punya nomor telepon Mila?"
"Coba minta ke si Sarah, Bu."Aku diam sebentar sambil kembali berpikir.Kalau aku minta nomor telepon sama Sarah, anak itu pasti akan tersinggung dan bertanya kenapa kami harus menelepon lewat telepon desa?Tapi kalau bukan dari Sarah dari mana lagi aku akan mendapatkan nomor telepon Mila?"Gimana, Bu?" Suamiku bertanya lagi."Enggak, Pak, kita gak boleh minta nomor telepon Mila sama Sarah, anak itu bisa tersinggung, lagi pula katanya Sarah lagi sibuk bikin proposal malam ini, gak bisa diganggu."Suamiku termenung sambil memijit keningnya."Terus gimana, Bu? Kita khawatir di sini, Mila udah dua malam di perjalanan gak sampai-sampai, kita perlu bicara langsung sama dia supaya kita gak terlalu cemas."Benar juga kata suamiku, tapi bagaimana? Darimana kami akan mendapatkan nomor telepon Mila?"Apa perlu kita minta ke kantor desa, Pak? Barangkali disana Mila pernah mengurus surat-surat keberangkatannya ke Surabaya dia pasti menyertakan nomor teleponnya juga."Suamiku diam sebentar."Tapi kalau tidak ada di sana gimana, Bu? Sudah 3 tahun lalu Mila berangkat dan belum tentu nomornya juga masih sama," ujarnya kemudian.Aku kembali bingung. Benar juga. Kupegangi kepalaku yang lagi-lagi mendadak pusing ini.Sementara bayangan buruk soal Mila dan Nila kembali menyerang benakku, membuatku harus terus berpikir bagaimana caranya kami bisa menghubungi Mila untuk memastikan kondisinya.Tapi untunglah tiba-tiba aku ingat pada ponsel jadul pemberian Mila 2 tahun yang lalu.Saat itu Mila pulang ketika Nila akan menikah dan ia memberikan kami ponsel, walau sudah lama ponsel itu tidak lagi digunakan karena sudah rusak, tapi semoga ponsel itu bisa diperbaiki dan bisa mengeluarkan kami dari kecemasan ini."Ya sudah sebentar, Pak."Aku pun bangkit dan masuk ke dalam kamar, lalu mengambil ponsel jadul yang sudah lama kusimpan di laci itu."Pak, nanti coba Bapak bawa ponsel ini ke bale desa, kata Sarah ponsel ini rusak enggak bisa digunakan lagi, tapi coba Bapak minta tolong ke orang-orang di desa mungkin di sana ada orang yang bisa membetulkan nya.""Pasti di ponsel ini sudah ada nomor Mila, Mila sendiri yang bilang katanya sudah menyimpan nomornya di ponsel ini," imbuhku lagi.Suamiku pun mengambil ponsel itu dari tanganku, lalu memasukkannya ke dalam saku celananya."Oke Bu, besok selepas dari makam, pukul 9 Bapak langsung ke bale desa," pungkasnya.Suamiku pun bangkit, tapi sebelum ia beranjak, suamiku kembali lagi menoleh."Ibu tidur sendiri malam ini?""Iya, Sarah lagi sibuk buat proposal katanya," jawabku apa adanya."Ya sudah," katanya seraya pergi membawa lampu petromak dan senter yang sudah ia persiapkan sejak tadi.Jam dinding terus bekerja. Waktu pun terus beranjak menjahit bulir-bulir malam yang makin kelam dan sunyi.Aku tidak menginginkan apapun malam ini selain melihat Mila cepat datang, aku sudah kehilangan Nila dengan cara yang tragis dan belum jelas kebenarannya bagaimana, jangan sampai aku mendengar kabar yang tidak ingin kudengar lagi dari Mila anak pertamaku.-Pukul 10 malam.Seseorang mengetuk pintu rumahku. Dengan semangat aku bangkit dari ranjang."Itu pasti Mila, Mila anakku datang," gumamku.Tok tok tok. Pintu diketuk lagi, seperti tak sabar sekali seseorang yang ada di luar itu."Ya sebentar." Aku berteriak sambil membetulkan penutup kepalaku."Aminah?" Terkejut sekaligus kecewa karena yang datang ternyata bukan Mila, melainkan Aminah--ibunya Sarah."Ada apa? Tumben malam-malam ke sini? Kamu lagi sakit 'kan?" cecarku.Aminah memang sedang sakit parah sudah setahun ini, kesehariannya ia hanya bisa berbaring di atas kasur, karenanya aku kaget saat melihat Aminah datang mengetuk pintu, dia pasti berusaha sangat keras untuk sampai ke depan rumahku."Tah, si Sarah nginep lagi di sini enggak?" tanyanya dengan dada yang tampak sesak.Keningku sontak mengerut."Sarah? Sarah gak nginep di sini Nah, katanya mau ngetik proposal di rumahmu.""Tapi kok dia gak ada di rumah ya Nah? Biasanya anak itu bilang dulu kalau mau kemana-mana."Aku menggeleng bingung. Si Aminah makin terlihat cemas di tempatnya.Segera aku mengibaskan tangan dan memecah kecemasan Aminah."Ah namanya juga anak muda Nah, mungkin aja anakmu itu lagi jajan sama pacarnya," ucapku ringan."Boro-boro, pacar dari mana dia Tah," balasnya sambil terus mengedarkan pandang ke sekitar rumah kami."Mungkin lagi kumpul sama anak-anak muda desa, Tah, si Sarah itu 'kan anaknya aktif."Aminah bergeming, kecemasan di wajahnya sedikit berkurang setelah aku mengatakan hal itu. Syukurlah, aku harap si Sarah itu memang sedang bersama anak-anak muda desa, tadi siang dia bilang akan membuat proposal acara jadi mungkin saja anak itu sekarang sedang berdiskusi masalah itu."Ya sudah aku pulang ya Tah." Aminah berpamitan.Aku pun kembali ke dalam dan menutup pintu.***Esok hari pukul 10 pagi suamiku datang."Bu, sini, Bu," katanya buru-buru. Ia segera menaruh lampu petromak dan membuka sarung yang disampirkannya."Ada apa sih, Pak?" tanyaku sambil menaruh beras yang sedang kutampi di atas dipan."Bu, coba lihat hape kita udah bener, Bu." Dengan raut bahagia suamiku memencet tombol berwarna merah, tak butuh waktu lama ponsel itu pun menyala."Nah 'kan apa Ibu bilang? Ini siapa yang benerin, Pak?" tanyaku dengan senyuman lebar karena amat senang."Enggak dibenerin, Bu, ini cuma dicas, kata orang desa hape kita enggak rusak cuma habis baterai."Mendadak senyumku pudar.Aku sama ngilunya juga, tak tega melihat jenazah Mila yang sangat mengkhawatirkan.Kedua matanya melotot, tubuhnya membiru dan lidahnya terjulur keluar. Tapi yang membuat kami makin ngilu adalah saat bagian dadanya sudah hilang sebagian."Kami perkirakan jenazah diserang binatang buas Bu, Pak," tutur seorang tim sar.Tubuhku meremang, bulu kuduk mendadak berdiri tak karuan.Segera seoranh petugas kembali menutup kantung itu.Setelah jenazah Mila ditemukan semua wargapun bubar. Tadinya petugas akan membawa jenazah Mila ke rumah sakit, tapi atas bantuan perangkat desa Sultan bisa meyakinkan mereka untuk langsung menyerahkan jenazah pada kami saja."Biar langsung kami makamkan di sini saja Pak, gak usah dibawa lagi ke rumah sakit dulu karena perjalanan cukup jauh."Dibantu orang yang sudah berpengalaman di desa ini, bu besan akhirnya mengurus jenazah Mila bersama mereka di rumahnya."Sabar Bu, sabar."Aku mengelus-ngelus pundaknya. Besan yang sedang memandikan jenazah Mila makin tertund
Mila melotot, wajahnya yang sedang marah tersorot cahaya bulan. "Ibu!" sentaknya tak suka."Kenapa? Kalau kau mau loncat, loncat saja! Hidupmu memang sudah tak ada gunanya!" besan kembali menantang.Segera kuelus pundak besan."Istighfar Bu besan, walau bagaimanapun dia anak Ibu," bisikku."Dia bukan anak saya lagi, Bu.""Ayo loncat Mila!" teriak besan lagi menatap tajam anak perempuannya itu."Tapi, Bu ... aaaaaa!" Suara Mila memekik langit dan malam yang hening."Milaaa!" Spontan mulutku berteriak saat melihat wanita itu terpeleset lalu jatuh ke sungai."Saudari Mila!" Bergegas para petugas juga maju ke sisi jembatan."Bu besan Mila jatuh Bu, Mila jatuh." Aku mengguncang kedua bahu besan.Bukannya beranjak ke tepi jembatan, besan malah ambruk di tempatnya dengan isak tangis yang mendadak pecah.Aku jadi bingung sendiri, tapi cepat kutinggalkan besan dan bergegas melihat ke tepi jembatan."Gimana Sultan?""Mila bener-bener jatuh, Bu.""Ya Allah ... nasibmu Mila." Aku menutup mulut.
"Ya tap-" Ucapanku terhenti saat kulihat Mila sudah mengeluarkan pisau cutternya.Aku bergegas bangkit dan menjauh darinya meski mendadak kedua kakiku terasa lemas dan bergetar.Wajah Mila tampak tengah dibakar api amarah, rupanya ia tersinggung karena tadi aku sempat menyebut dan membandingkan dia dengan Nila menantuku."Kamu ini apa-apaan Mila? Jangan main-main, itu benda tajam," ujarku memasang wajah waspada."Memang, memang ini benda tajam dan aku sengaja ingin memberimu kenang-kenangan," ucapnya diiringi gelak tawa.Dadaku bergemuruh hebat, napasku mendadak tercekat. Kulambaikan tangan ini untuk mencoba membuatnya tenang."Tenang Mila, kamu jangan begini, ingat aku adalah calon mertuamu."Mila mendecih dan terus maju ke arahku dengan tatapan tajam."Cih dasar pembohong, kalau kau adalah calon mertuaku kenapa kau sebut-sebut nama orang lain hah?"Sethh. Cutter itu menggores tepat di bagian atas lengan kananku.Aku menjerit, sejurus kemudian ibu besan datang membuka pintu kamar."Ya
PoV Ibu Ambarwati.Sultan menutup pintu kamar dengan kencang, lalu menguncinya agar Mila tak kabur sebelum polisi datang.Sementara di dalam Mila terus-terusan berteriak seperti orang kesetanan. "Biarkan dia teriak sendiri sampe capek sekalian," ujar Sultan penuh amarah.Aku bergidik ngeri sambil memegangi luka bekas sabetan pisau Mila. Wanita itu emang udah gak waras, hanya karena aku gak bisa membujuk anakku untuk menikahinya dia kalap dan gelap mata lalu tanpa ragu menyerangku dengan pisau cutter.Padahal aku sudah dengan besar hati tengah mencoba menerimanya karena ia sekarang sedang mengandung cucuku. Tapi rupanya aku salah, wanita seperti Mila itu memang pantasnya hidup di dalam penjara."Bu, Mila akan berikan bayi ini setelah ia lahir tapi Mila punya dua permintaan," ucapnya kemarin lusa, ketika aku dan Sultan menengoknya ke rumah sakit.Keningku mengerut, "permintaan apa?""Bebaskan Mila dari tuntutan Bani Azhar dan buatlah agar dia mau menikahi Mila," tegasnya menatapku seri
Dan ucapannya itu benar-benar jadi kenyataan. Ya Allah ... aku gak pernah membayangkan istriku akan benar-benar terbang dan gak pernah kembali lagi. Tapi keinginannya jadi orang yang berguna juga sudah tercapai.Sampai saat ini ginjal Nila masih berguna dan jadi wasilah kesehatan Bi Aminah. Semoga dengan hal ini Nila akan tenang dan bahagia di alam sana."Sudah sampai, Pak." Suara Pak Anwar menarikku dalam kesadaran."Eh kok cepet?"Tak terasa sepanjang jalan melamun, tahu-tahu mobil yang membawa kami sudah sampai saja di rumah sakit."Bapak ngelamun aja sih," balas Pak Anwar lagi.Ibu mertua dan Bi Aminah bergegas langsung masuk bahkan sebelum aku turun dari mobil.Sampai di ruangannya Sarah, kami tak diizinkan masuk bersamaan, karena Sarah masih dalam proses pengobatan setelah racunnya berhasil dikeluarkan."Masuk satu-satu ya Pak, agar tidak mengganggu kenyamanan pasien juga." Seorang perawat memperingatkan kami."Baik, Sus."Bi Aminah masuk lebih dulu, sekitar 20 menit beliau kemb
Aku menoleh. Mila sedang menyilangkan kedua tangannya di dada sambil tersenyum jahat."Dasar wanita gak punya rasa malu!"Ia malah tertawa puas."Aku hanya mengikuti skenario Tuhan Bani Azhar, awalnya aku gak pernah menduga dengan kehamilan ini ibumu akan membelaku tapi karena Tuhan sudah takdirkan ya sudah, mau bagaimana? Itu artinya kau memang ditakdirkan untukku 'kan?"Kedua tanganku mengepal hebat. Baru saja akan kutampar wanita itu ibuku sudah lebih dulu datang menampik tanganku."Apa ini Sultan? Jangan kasar sama wanita hamil, dia bisa stres dan jatuh lagi!" sentak beliau dengan mata melotot."Gak apa-apa kalau kamu gak mau terima aku Azhar, tapi bayi ini, tetap anakmu." Mila mulai berakting di depan ibuku, seolah-olah ia adalah orang yang paling tersakiti."Sudah Mila jangan nangis nanti bayimu stres, makanya saya 'kan udah bilang kamu di kamar aja, jangan deket-deket sama Sultan," ujar Ibuku lagi seraya meraih bobot Mila untuk setengah memeluknya.Geram, aku berteriak. "Bu, di