Share

Bab 5

"Nomor teleponnya gimana? Emang kita punya nomor telepon Mila?"

"Coba minta ke si Sarah, Bu."

Aku diam sebentar sambil kembali berpikir.

Kalau aku minta nomor telepon sama Sarah, anak itu pasti akan tersinggung dan bertanya kenapa kami harus menelepon lewat telepon desa?

Tapi kalau bukan dari Sarah dari mana lagi aku akan mendapatkan nomor telepon Mila?

"Gimana, Bu?" Suamiku bertanya lagi.

"Enggak, Pak, kita gak boleh minta nomor telepon Mila sama Sarah, anak itu bisa tersinggung, lagi pula katanya Sarah lagi sibuk bikin proposal malam ini, gak bisa diganggu."

Suamiku termenung sambil memijit keningnya.

"Terus gimana, Bu? Kita khawatir di sini, Mila udah dua malam di perjalanan gak sampai-sampai, kita perlu bicara langsung sama dia supaya kita gak terlalu cemas."

Benar juga kata suamiku, tapi bagaimana? Darimana kami akan mendapatkan nomor telepon Mila?

"Apa perlu kita minta ke kantor desa, Pak? Barangkali disana Mila pernah mengurus surat-surat keberangkatannya ke Surabaya dia pasti menyertakan nomor teleponnya juga."

Suamiku diam sebentar.

"Tapi kalau tidak ada di sana gimana, Bu? Sudah 3 tahun lalu Mila berangkat dan belum tentu nomornya juga masih sama," ujarnya kemudian.

Aku kembali bingung. Benar juga. Kupegangi kepalaku yang lagi-lagi mendadak pusing ini.

Sementara bayangan buruk soal Mila dan Nila kembali menyerang benakku, membuatku harus terus berpikir bagaimana caranya kami bisa menghubungi Mila untuk memastikan kondisinya.

Tapi untunglah tiba-tiba aku ingat pada ponsel jadul pemberian Mila 2 tahun yang lalu.

Saat itu Mila pulang ketika Nila akan menikah dan ia memberikan kami ponsel, walau sudah lama ponsel itu tidak lagi digunakan karena sudah rusak, tapi semoga ponsel itu bisa diperbaiki dan bisa mengeluarkan kami dari kecemasan ini.

"Ya sudah sebentar, Pak."

Aku pun bangkit dan masuk ke dalam kamar, lalu mengambil ponsel jadul yang sudah lama kusimpan di laci itu.

"Pak, nanti coba Bapak bawa ponsel ini ke bale desa, kata Sarah ponsel ini rusak enggak bisa digunakan lagi, tapi coba Bapak minta tolong ke orang-orang di desa mungkin di sana ada orang yang bisa membetulkan nya."

"Pasti di ponsel ini sudah ada nomor Mila, Mila sendiri yang bilang katanya sudah menyimpan nomornya di ponsel ini," imbuhku lagi.

Suamiku pun mengambil ponsel itu dari tanganku, lalu memasukkannya ke dalam saku celananya.

"Oke Bu, besok selepas dari makam, pukul 9 Bapak langsung ke bale desa," pungkasnya.

Suamiku pun bangkit, tapi sebelum ia beranjak, suamiku kembali lagi menoleh.

"Ibu tidur sendiri malam ini?"

"Iya, Sarah lagi sibuk buat proposal katanya," jawabku apa adanya.

"Ya sudah," katanya seraya pergi membawa lampu petromak dan senter yang sudah ia persiapkan sejak tadi.

Jam dinding terus bekerja. Waktu pun terus beranjak menjahit bulir-bulir malam yang makin kelam dan sunyi.

Aku tidak menginginkan apapun malam ini selain melihat Mila cepat datang, aku sudah kehilangan Nila dengan cara yang tragis dan belum jelas kebenarannya bagaimana, jangan sampai aku mendengar kabar yang tidak ingin kudengar lagi dari Mila anak pertamaku.

-

Pukul 10 malam.

Seseorang mengetuk pintu rumahku. Dengan semangat aku bangkit dari ranjang.

"Itu pasti Mila, Mila anakku datang," gumamku.

Tok tok tok. Pintu diketuk lagi, seperti tak sabar sekali seseorang yang ada di luar itu.

"Ya sebentar." Aku berteriak sambil membetulkan penutup kepalaku.

"Aminah?" Terkejut sekaligus kecewa karena yang datang ternyata bukan Mila, melainkan Aminah--ibunya Sarah.

"Ada apa? Tumben malam-malam ke sini? Kamu lagi sakit 'kan?" cecarku.

Aminah memang sedang sakit parah sudah setahun ini, kesehariannya ia hanya bisa berbaring di atas kasur, karenanya aku kaget saat melihat Aminah datang mengetuk pintu, dia pasti berusaha sangat keras untuk sampai ke depan rumahku.

"Tah, si Sarah nginep lagi di sini enggak?" tanyanya dengan dada yang tampak sesak.

Keningku sontak mengerut.

"Sarah? Sarah gak nginep di sini Nah, katanya mau ngetik proposal di rumahmu."

"Tapi kok dia gak ada di rumah ya Nah? Biasanya anak itu bilang dulu kalau mau kemana-mana."

Aku menggeleng bingung. Si Aminah makin terlihat cemas di tempatnya.

Segera aku mengibaskan tangan dan memecah kecemasan Aminah.

"Ah namanya juga anak muda Nah, mungkin aja anakmu itu lagi jajan sama pacarnya," ucapku ringan.

"Boro-boro, pacar dari mana dia Tah," balasnya sambil terus mengedarkan pandang ke sekitar rumah kami.

"Mungkin lagi kumpul sama anak-anak muda desa, Tah, si Sarah itu 'kan anaknya aktif."

Aminah bergeming, kecemasan di wajahnya sedikit berkurang setelah aku mengatakan hal itu. Syukurlah, aku harap si Sarah itu memang sedang bersama anak-anak muda desa, tadi siang dia bilang akan membuat proposal acara jadi mungkin saja anak itu sekarang sedang berdiskusi masalah itu.

"Ya sudah aku pulang ya Tah." Aminah berpamitan.

Aku pun kembali ke dalam dan menutup pintu.

***

Esok hari pukul 10 pagi suamiku datang.

"Bu, sini, Bu," katanya buru-buru. Ia segera menaruh lampu petromak dan membuka sarung yang disampirkannya.

"Ada apa sih, Pak?" tanyaku sambil menaruh beras yang sedang kutampi di atas dipan.

"Bu, coba lihat hape kita udah bener, Bu." Dengan raut bahagia suamiku memencet tombol berwarna merah, tak butuh waktu lama ponsel itu pun menyala.

"Nah 'kan apa Ibu bilang? Ini siapa yang benerin, Pak?" tanyaku dengan senyuman lebar karena amat senang.

"Enggak dibenerin, Bu, ini cuma dicas, kata orang desa hape kita enggak rusak cuma habis baterai."

Mendadak senyumku pudar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status