Share

Bab 4

"Nila menangis dan melambai ke arah Bibi Sar, dia bilang sakit katanya."

"Hah? Apa iya, Bi? Bibi cuma mimpi kali."

"Iya, tapi mimpi itu kayak nyata Sar."

"Mimpi cuma kembang tidur Bi, gak usah terlalu dipikirin."

Aku mematung. Saat anak itu akan kembali tidur aku segera menariknya lagi.

"Sar, apa menurutmu orang yang sudah meninggal bisa meminta tolong lewat mimpi? Atau ini memang hanya sugesti Bibi yang terlalu kepikiran aja?" cecarku.

Sarah menggeleng ragu.

"Besok antar Bibi ke makam Nila ya Sar, tapi tunggu Mila datang dulu."

Anak itu mematung tak menanggapi.

"Sar, kamu malah bengong sih." Aku menyikut lengannya.

"Eh i-iya Bi, Sarah sampe kaget," katanya tergagap.

"Kamu ini mikirin apa sih Sar?"

"Emm enggak Bi, tadi Sarah cuma lagi mikir soal apa yang tadi Bibi ceritakan, apa iya orang yang sudah meninggal bisa meminta tolong?"

Aku menggeleng tak paham, tentu saja, aku sendiri ragu menafsirkan mimpiku, di sisi lain aku melihat Nila tampak jelas sekali meminta tolong.

Tapi di sisi lain lagi, aku tak bisa percaya sepenuhnya karena orang yang sudah meninggal tak mungkin kembali dalam wujud apapun. Kecuali ada jin yang menyerupainya.

"Udah ah meningan sekarang Bibi tidur aja, do'ain Nila nya biar Nila gak datang lagi." Sarah menutup obrolan sambil kembali berbaring.

Aku pun melakukan hal yang sama.

***

Esok hari.

Aku sudah mondar-mandir menunggu Mila yang tak kunjung datang, padahal ini sudah pukul 10 pagi, masa iya pulang naik pesawat bisa selama ini di perjalanan?

Bukan masalah apa, kemarin aku sudah dibuat shock dengan kepulangan Nila, jangan sampai hari ini aku juga mendapat kabar buruk dari anak pertamaku juga.

Amit-amit amit-amit. Aku mengetok kepala.

"Ayo Bi, katanya mau ke makam," ajak Sarah.

"Enggak, tunggu dulu Sar, Mbak Mila belum datang ini, Bibi khawatir."

Sarah menarik napas dalam.

"Mungkin Mbak Mila gak jadi pulang, Bi," katanya lagi seraya duduk di kursi teras.

"Apa iya? Coba kamu telepon lagi Sar, gak mungkin anak itu gak pulang, adiknya meninggal masa gak pulang."

"Gak ke makam dulu aja, Bi? Takut nanti hujan."

"Enggak, ayo buruan ambil hp kamu Sar, Bibi udah khawatir banget ini."

Terpaksa akhirnya Sarah pun bangkit dan kembali ke rumahnya.

Setelah beberapa menit anak itu kembali lagi.

"Mana hp nya Sar?"

"Dicas Bi, tapi udah ditelepon kok, katanya Mbak Mila lagi di perjalanan."

"Aih anak itu kok di perjalanan lama sekali, masa dari kemarin sore gak sampe-sampe." Aku sedikit mengigit bibir, khawatir.

Setelah mendapat kabar Mila yang ternyata masih di perjalanan, aku pun memutuskan pergi ke makamnya Nila.

-

Sampai di sana aku langsung ambruk di atas pusara anakku. Sudah tak bisa kugambarkan bagaimana rasanya perasaanku sekarang.

2 tahun aku melepasnya pergi, 2 tahun juga aku memendam kerinduan padanya, bicara pun jarang-jarang karena kami tak punya ponsel sendiri, bukan tak punya sebetulnya tapi maklum sudah tua diberi ponsel jadul sama Mila pun kami tak bisa menggunakannya. Dan sudah lama sekali ponselnya juga rusak.

"Nila, maaf ya Nak, kemarin Ibu gak antar kamu sampai makam, gak tahu kenapa tiba-tiba Ibu pingsan sayang," ucapku lirih sambil terus memeluk gundukan tanah merah itu.

"Sabar, Bi, jangan terlalu dipikirin takut Bibi sakit." Sarah di sampingku menenangkan.

Aku bersyukur punya tetangga sebaik dia, walau dia masih muda tapi tak bosan membantuku.

Selama ini hidupku sedikit banyaknya memang bergantung pada Sarah, anak itulah yang selalu menolong dan memastikan kondisiku.

Seperti saat-saat berat seperti ini misalnya, dari kemarin Sarah tak henti-hentinya menemaniku, memastikan aku makan dan istirahat dengan benar.

Sarah memang sudah seperti anaku sendiri.

"Makasih ya Sar kamu sudah menemani Bibi."

"Bibi ini ngomong apa? Sarah 'kan dari dulu emang udah anggap Bibi sebagai ibu sendiri," katanya sambil menyenderkan kepalanya pada pelipisku.

Aku kembali terisak, ingat Nila yang juga suka melakukan hal sama.

Bruukk.

Kami setengah telonjak saat tiba-tiba dahan pohon bunga kamboja jatuh di dekat kami.

"Awas Saaar."

"Ya Tuhan sampai kaget Sarah, Bi." Sarah mengusap-ngusap dadanya.

"Kok bisa ya ini dahan lumayan gede tiba-tiba jatuh begini?"

"Udahlah Bi, mungkin karena kena angin."

Aku diam mematung. Perasaan sejak tadi di sini tak ada angin, tapi ah sudahlah kenapa aku harus memikirkan hal yang gak penting? Dahan pohon jatuh itu biasa, kenapa aku harus merasa heran? Astagfirullah aku ini memang terlalu berlebihan.

Pukul 12 siang kami pun pulang.

"Sar kamu nginep lagi di rumah Bibi 'kan?"

"Emm enggak kayak nya, Bi, Sarah mau bikin proposal acara kampung soalnya, biar sekalian diketik di komputer entar malem."

"Oh ya udah gak apa-apa, biar Bibi tidur sendiri aja Sar."

Kami pun masuk ke rumah masing-masing.

-

Malam hari selepas isya.

Di rumah tidak ada acara tahlilan, karena kami biasa mengadakannya di malam pertama, ketiga dan ke tujuh saja.

"Apa si Mila gak jadi pulang, Bu?" tanya suamiku yang sedang menyiapkan lampu petromak untuk ke makam.

"Kata si Sarah masih di jalan, Pak."

Suamiku duduk sebentar, wajah keriputnya terlihat sangat menyedihkan saat ia tengah khawatir seperti itu.

Suamiku memang tak banyak omong, ia cenderung tenang menyikapi semuanya tapi aku tahu ia pun sama terpukulnya denganku.

"Udah dua malam Mila di perjalanan, Ibu takut terjadi apa-apa sama anak itu, Pak," ucapku lagi.

Mata tua suamiku melirik.

"Kita harus apa sekarang, Bu? Apa perlu kita telepon dia lewat telepon umum desa saja? Biar kita denger suaranya langsung," tanya suamiku.

Aku termenung, entah mengapa aku mendadak setuju dengan usul suamiku.

Lebih-lebih entah sudah berapa lama kami memang tak pernah bicara lagi dengan Mila secara langsung. Pesan dan kabar hanya disampaikan oleh Sarah saja.

"Ya udah Pak, nanti besok coba Bapak pergi ke bale desa, pinjam telepon di sana, tapi ...."

"Apa, Bu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status