"Nila menangis dan melambai ke arah Bibi Sar, dia bilang sakit katanya."
"Hah? Apa iya, Bi? Bibi cuma mimpi kali.""Iya, tapi mimpi itu kayak nyata Sar.""Mimpi cuma kembang tidur Bi, gak usah terlalu dipikirin."Aku mematung. Saat anak itu akan kembali tidur aku segera menariknya lagi."Sar, apa menurutmu orang yang sudah meninggal bisa meminta tolong lewat mimpi? Atau ini memang hanya sugesti Bibi yang terlalu kepikiran aja?" cecarku.Sarah menggeleng ragu."Besok antar Bibi ke makam Nila ya Sar, tapi tunggu Mila datang dulu."Anak itu mematung tak menanggapi."Sar, kamu malah bengong sih." Aku menyikut lengannya."Eh i-iya Bi, Sarah sampe kaget," katanya tergagap."Kamu ini mikirin apa sih Sar?""Emm enggak Bi, tadi Sarah cuma lagi mikir soal apa yang tadi Bibi ceritakan, apa iya orang yang sudah meninggal bisa meminta tolong?"Aku menggeleng tak paham, tentu saja, aku sendiri ragu menafsirkan mimpiku, di sisi lain aku melihat Nila tampak jelas sekali meminta tolong.Tapi di sisi lain lagi, aku tak bisa percaya sepenuhnya karena orang yang sudah meninggal tak mungkin kembali dalam wujud apapun. Kecuali ada jin yang menyerupainya."Udah ah meningan sekarang Bibi tidur aja, do'ain Nila nya biar Nila gak datang lagi." Sarah menutup obrolan sambil kembali berbaring.Aku pun melakukan hal yang sama.***Esok hari.Aku sudah mondar-mandir menunggu Mila yang tak kunjung datang, padahal ini sudah pukul 10 pagi, masa iya pulang naik pesawat bisa selama ini di perjalanan?Bukan masalah apa, kemarin aku sudah dibuat shock dengan kepulangan Nila, jangan sampai hari ini aku juga mendapat kabar buruk dari anak pertamaku juga.Amit-amit amit-amit. Aku mengetok kepala."Ayo Bi, katanya mau ke makam," ajak Sarah."Enggak, tunggu dulu Sar, Mbak Mila belum datang ini, Bibi khawatir."Sarah menarik napas dalam."Mungkin Mbak Mila gak jadi pulang, Bi," katanya lagi seraya duduk di kursi teras."Apa iya? Coba kamu telepon lagi Sar, gak mungkin anak itu gak pulang, adiknya meninggal masa gak pulang.""Gak ke makam dulu aja, Bi? Takut nanti hujan.""Enggak, ayo buruan ambil hp kamu Sar, Bibi udah khawatir banget ini."Terpaksa akhirnya Sarah pun bangkit dan kembali ke rumahnya.Setelah beberapa menit anak itu kembali lagi."Mana hp nya Sar?""Dicas Bi, tapi udah ditelepon kok, katanya Mbak Mila lagi di perjalanan.""Aih anak itu kok di perjalanan lama sekali, masa dari kemarin sore gak sampe-sampe." Aku sedikit mengigit bibir, khawatir.Setelah mendapat kabar Mila yang ternyata masih di perjalanan, aku pun memutuskan pergi ke makamnya Nila.-Sampai di sana aku langsung ambruk di atas pusara anakku. Sudah tak bisa kugambarkan bagaimana rasanya perasaanku sekarang.2 tahun aku melepasnya pergi, 2 tahun juga aku memendam kerinduan padanya, bicara pun jarang-jarang karena kami tak punya ponsel sendiri, bukan tak punya sebetulnya tapi maklum sudah tua diberi ponsel jadul sama Mila pun kami tak bisa menggunakannya. Dan sudah lama sekali ponselnya juga rusak."Nila, maaf ya Nak, kemarin Ibu gak antar kamu sampai makam, gak tahu kenapa tiba-tiba Ibu pingsan sayang," ucapku lirih sambil terus memeluk gundukan tanah merah itu."Sabar, Bi, jangan terlalu dipikirin takut Bibi sakit." Sarah di sampingku menenangkan.Aku bersyukur punya tetangga sebaik dia, walau dia masih muda tapi tak bosan membantuku.Selama ini hidupku sedikit banyaknya memang bergantung pada Sarah, anak itulah yang selalu menolong dan memastikan kondisiku.Seperti saat-saat berat seperti ini misalnya, dari kemarin Sarah tak henti-hentinya menemaniku, memastikan aku makan dan istirahat dengan benar.Sarah memang sudah seperti anaku sendiri."Makasih ya Sar kamu sudah menemani Bibi.""Bibi ini ngomong apa? Sarah 'kan dari dulu emang udah anggap Bibi sebagai ibu sendiri," katanya sambil menyenderkan kepalanya pada pelipisku.Aku kembali terisak, ingat Nila yang juga suka melakukan hal sama.Bruukk.Kami setengah telonjak saat tiba-tiba dahan pohon bunga kamboja jatuh di dekat kami."Awas Saaar.""Ya Tuhan sampai kaget Sarah, Bi." Sarah mengusap-ngusap dadanya."Kok bisa ya ini dahan lumayan gede tiba-tiba jatuh begini?""Udahlah Bi, mungkin karena kena angin."Aku diam mematung. Perasaan sejak tadi di sini tak ada angin, tapi ah sudahlah kenapa aku harus memikirkan hal yang gak penting? Dahan pohon jatuh itu biasa, kenapa aku harus merasa heran? Astagfirullah aku ini memang terlalu berlebihan.Pukul 12 siang kami pun pulang."Sar kamu nginep lagi di rumah Bibi 'kan?""Emm enggak kayak nya, Bi, Sarah mau bikin proposal acara kampung soalnya, biar sekalian diketik di komputer entar malem.""Oh ya udah gak apa-apa, biar Bibi tidur sendiri aja Sar."Kami pun masuk ke rumah masing-masing.-Malam hari selepas isya.Di rumah tidak ada acara tahlilan, karena kami biasa mengadakannya di malam pertama, ketiga dan ke tujuh saja."Apa si Mila gak jadi pulang, Bu?" tanya suamiku yang sedang menyiapkan lampu petromak untuk ke makam."Kata si Sarah masih di jalan, Pak."Suamiku duduk sebentar, wajah keriputnya terlihat sangat menyedihkan saat ia tengah khawatir seperti itu.Suamiku memang tak banyak omong, ia cenderung tenang menyikapi semuanya tapi aku tahu ia pun sama terpukulnya denganku."Udah dua malam Mila di perjalanan, Ibu takut terjadi apa-apa sama anak itu, Pak," ucapku lagi.Mata tua suamiku melirik."Kita harus apa sekarang, Bu? Apa perlu kita telepon dia lewat telepon umum desa saja? Biar kita denger suaranya langsung," tanya suamiku.Aku termenung, entah mengapa aku mendadak setuju dengan usul suamiku.Lebih-lebih entah sudah berapa lama kami memang tak pernah bicara lagi dengan Mila secara langsung. Pesan dan kabar hanya disampaikan oleh Sarah saja."Ya udah Pak, nanti besok coba Bapak pergi ke bale desa, pinjam telepon di sana, tapi ....""Apa, Bu?""Nomor teleponnya gimana? Emang kita punya nomor telepon Mila?""Coba minta ke si Sarah, Bu."Aku diam sebentar sambil kembali berpikir.Kalau aku minta nomor telepon sama Sarah, anak itu pasti akan tersinggung dan bertanya kenapa kami harus menelepon lewat telepon desa?Tapi kalau bukan dari Sarah dari mana lagi aku akan mendapatkan nomor telepon Mila?"Gimana, Bu?" Suamiku bertanya lagi."Enggak, Pak, kita gak boleh minta nomor telepon Mila sama Sarah, anak itu bisa tersinggung, lagi pula katanya Sarah lagi sibuk bikin proposal malam ini, gak bisa diganggu."Suamiku termenung sambil memijit keningnya."Terus gimana, Bu? Kita khawatir di sini, Mila udah dua malam di perjalanan gak sampai-sampai, kita perlu bicara langsung sama dia supaya kita gak terlalu cemas."Benar juga kata suamiku, tapi bagaimana? Darimana kami akan mendapatkan nomor telepon Mila?"Apa perlu kita minta ke kantor desa, Pak? Barangkali disana Mila pernah mengurus surat-surat keberangkatannya ke Surabaya dia pasti
"Cuma dicas? Gak rusak?" Aku mengulangi.Suami mengangguk dengan tatapan serius."Tapi kata Sarah hape nya rusak Pak, makanya gak dipake dari dulu.""Ya ini hape nya baik-baik aja, tadi Bapak cuma disuruh ke conter aja sama Pak Tomo, katanya suruh beli kartu baru dan pasang di sana, nih kalau gak percaya Bapak mau telepon Mila, tadi Bapak juga udah diajarin gimana caranya nelepon sama Pak Sutomo di kantor bale desa," ujarnya lagi.Ia mulai memencet beberapa tombol hingga ponsel itu pun berbunyi menunggu telepon diangkat."Mana, Pak? Mila mana?" Aku tak sabar."Sabar dulu, tadi kata Pak Tomo sebelum ada bunyi hallo berarti belum diangkat, Bu."Akhirnya kami pun menunggu beberapa detik."Hallo." Suara Mila pun mulai terdengar di jauh sana. Aku dan suami sampai melonjak kegirangan."Ha-hallo, hallo hallo hallo Mila.""Ibu? Ini Ibu?""Iya, Nak ini Ibu, Ibu sama Bapak khawatir banget sama kamu, kamu masih di mana sekarang?" Aku langsung mencecaer karena sudah tak sabar lagi rasanya."Maksu
Mungkin saja apa yang diucapkan suamiku itu benar tapi entah kenapa lagi-lagi aku merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan Sarah.Tapi apa? Ah sudahlah, kenapa juga aku harus memikirkan masalah Sarah? Sekarang aku harus fokus pada masalah kepergian Nila yang masih banyak kejanggalan itu.Setelah Mila benar-benar datang, aku pasti akan menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat."Siapa yang berbohong, Paman?"Kaget bukan main saat kami lihat tiba-tiba Sarah sudah berdiri di belakang kami.Secepat kilat suamiku memasukan ponsel itu ke dalam saku celananya, kemudian bergegas masuk ke dalam kamar."Eh Sar, kamu kirain siapa."Sarah mendekat lalu duduk di atas dipan bersamaku."Lagi pada ngomongin apa sih, Bi? Kok serius banget."Aku mengibaskan tangan."Ah bukan apa-apa, cuma ngomongin masalah buat tahlilan nanti malam aja, Bibi bingung masih belum punya apa-apa buat jamuan yang tahlil," jawabku sekenanya."Gak usahlah dipaksain kalau gak ada Bi, mereka ikhlas mendoakan Nila."Ak
Aku menganggukan kepala."Ya udah gih Sar, Bibi kan udah bilang dari tadi, takut kamu lagi ada urusan gak apa-apa kamu gak usah bantu-bantu di sini dulu," ucapku.Sarah tersenyum."Sebenarnya bukan urusan penting sih, Bi, emang Sarah ada yang kelupaan aja, tapi nanti juga Sarah balik lagi ke sini, cuma bentar kok, ya udah bentar ya, Bi," pungkasnya.Sarah pun segera keluar lewat pintu dapur. Aku mengangkat bahu, entahlah anak itu mau ke mana dan ada urusan apa, tadi katanya gak ada kegiatan sekarang malah mendadak ada yang kelupaan. Hmm Saraah Saraah.Dia itu memang mirip sekali dengan Nila.-Malam hari ketika waktu tahlilan ketiganya Nila tiba. Para tetangga sudah berkumpul selepas isya.Sementara aku sibuk sendiri di dapur, menyiapkan berbagai macam makanan ringan untuk kuberikan setelah tahlilan selesai dilaksanakan.Tadi ada si Mae yang bantu-bantu tapi anaknya yang paling kecil malah nangis terus di rumahku, gak tahu kenapa, jadinya terpaksa Mae pulang saja."Kemana si Sarah? K
"Hah? Apa iya, Bi?" tanya Sarah tak percaya."Iya bener enggak tahu kenapa, apa mungkin karena kamu sahabatnya? kamu yang selalu bersamanya dan kamu yang selalu membantu kami selama ini? Jadi lah ia datang dengan rupa kamu."Sarah menelan salivanya."Tapi untuk apa Nila datang, Bi?" Dia bertanya lagi.Aku menggeleng kepala."Itulah Bibi juga enggak tahu, tapi kata paman mungkin Bibi hanya trauma jadi pikiran-pikiran itu memunculkan ketakutan dalam diri Bibi sendiri.""Iya bener, Bi, makanya Bibi harus ikhlaskan Nila, jangan sampai Nila gak tenang karena pikiran Bibi yang terlalu berlebihan," ucapnya sambil mengelus punggungku.Aku tertunduk lesu, mendadak aku tak berselera menyiapkan makanan untuk menyambut kedatangan Mila."Ya udahlah Bi, mendingan kita lanjutin aja persiapkan makanan buat Mbak Mila nya, yuk," ajak Sarah mencoba menghilangkan kesedihanku.Aku mengangguk dan kembali memegang sutil yang tadi kulepaskan itu.Selesai kami memasak Sarah juga sibuk membantuku menghidangkan
"Mbak Mila? Ya Allah Mbak apa kabar? Kapan datang?" Ia berbasa-basi."Baik, ini baru aja datang Sar." Mereka pun cipika-cipiki seperti biasanya."Ya ampun, Mbak Mila makin putih aja, makin cantik pula, hebatlah pokoknya Mbak Mila ini," kata si Sarah terkagum-kagum seraya meneliti diri Mila."Kamu ini bisa aja, padahal lebih cantikan kamu kemana-mana," balas Mila seraya mengibaskan tangannya.Kalau soal wajah aku setuju Sarah memang jauh lebih cantik, mirip bule tapi kalau soal penampian dan kebersihannya, sekarang anakku yang menang, ya maklum sih mungkin karena si Mila itu sering perawatan di sana."Mbak yang bisa aja, mana ada gadis kampung kayak Sarah ini cantik, jauh lah Mbak."Sarah dan Mila pun lanjut mengobrol, layaknya dua orang sahabat yang saling merindukan setelah sekian lama mereka bicara heboh sekali entah membicarakan apa, tapi kemudian ada juga saat mereka terisak-isak ketika membicarakan Nila."Dulu ... Nila suka menimbrung kalau kita lagi mengobrol begini ya, Mbak."
"Enggak ada gimana maksud kamu?" tanyaku setengah menaikan oktaf."Coba Bibi dan Paman ke sini, lihat sendiri saja," balas si Parman.Aku pun segera mendekat dan melihat sendiri lubang makam itu."Astaghfirullah al'adzim." Aku kembali ambruk di dekat gundukan tanah bekas kuburan Nila yang sudah dibongkar habis itu."Apa yang terjadi sama kamu, Nak?" jeritku lagi."Parman apa kamu yakin jenazah Nila gak ada?" tanya suamiku."Lihat sendiri saja, Paman."Dengan kaki bergetar suami melangkah ke dekatku."Gustiii bagaimana bisa jenazah anakku hilang? Kemana dia sekarang?" Suami ikut ambruk di sampingku, dengan wajah frustasi dan kacau ia memegangi kepalanya."Apa mungkin jenazah Nila dibawa binatang buas?" tanya seorang warga yang ikut menggali."Gak mungkin, gak mungkin binatang buas membawanya atau kalaupun dirusak pasti ada bekasnya." Suamiku menyahut dengan terus menggelengkan kepala. Ia tampaknya terpukul sekali melihat kondisi makam Nila."Bang, Parman coba periksa sekali lagi, mungk
Aku paham maksud suamiku, mungkin dia tidak ingin merepotkan Mila soal biaya yang akan Mila keluarkan jika melaporkan kasus ini ke polisi, aku juga paham suamiku tidak ingin kabar menghilangnya jenazah anakku sampai tersebar luas dan menjadi bahan tontonan masyarakat luas.Aku paham betul suamiku adalah orang yang tertutup, dia sangat menjaga nama baik keluarga kami."Bapak tenang aja, enggak usah khawatir, berita menghilangnya jenazah anak kita Ibu pastikan gak akan sampai bocor ke media, apalagi sampai tersebar luas, Ibu juga tahu bagaimana rasanya malu, Pak, kasihan juga anak kita. Karena itu Ibu pastikan hanya orang-orang tertentu saja yang akan mengetahui hal ini," ujarku panjang lebar.Akhirnya suamiku pun mulai mereda dan kembali menimbang-nimbang ucapanku."Ya sudah kalau begitu Bapak dukung kalian, semoga jenazah anak kita cepat ditemukan," ucapnya. Aku mengangguk pelan.Saat sedang mengobrol tiba-tiba terdengar bunyi sirine mobil ambulans di pekarangan rumah.Bergegas aku