"Gimana, sembuh?" tanyaku saat kulihat Satya berjalan tertatih dengan kruk di tangannya. Aku yang tengah berada di ruang pantry setengah berlari ke arah lelaki itu. "Gila sih, tinggal istirahat di rumah dulu sampai sembuh. Kau tak percaya padaku mengelola tempat ini sendiri?" Barisan gigi rapi lelaki di depanku terlihat begitu jelas. Kutarik kursi di meja sudut tempat favoritnya selama ini. Satya mengedarkan pandangannya ke penjuru tempat ini. "Mana Bintang?" tanyanya. "Baru masuk dan Bintang yang kau tanyakan?" balasku agak sewot. "Lalu kau ingin aku bertanya apa?kabarmu?" Aku memutar bola mata dengan malas. Mengapa dia bertanya demikian? "Aku rindu sekali dengan anak itu," ungkap Satya. Kuletakkan segelas air mineral di depan lelaki itu. "Minggu ini dia ada mid semester. Aku memintanya untuk istirahat di rumah. Jika dia kemari, aku khawatir tenaganya habis kesana kemari tak kenal lelah." Satya mengangguk-angguk mendengar penjelasanku. Kulihat dia cukup kekusahan membuka air
Orang-orang dari Masa LaluWanita dengan rambut sebahu dan sedikit bergelombang itu duduk di depanku. Warna bibirnya makin terlihat menyala terang berpadu dengan kulit wajahnya yang begitu terawat. Matanya sibuk menelisik setiap inci tubuhku, sesekali mengernyit keheranan saat netranya itu menangkap sesuatu yang dinilainya janggal. Seperti saat matanya itu melihat jam di pergelangan tanganku. Kuyakin dia yang paham mode akan begitu mudah menerka harga barang yang kukenakan. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Seolah tak mampu melawan takdir, sela-sela jemari yang mulai keriput itu tetap menunjukkan usia asli pemiliknya. "Kelihatannya kau hidup begitu layak di sini." Ucapan itu keluar disertai seringai intimidasinya padaku. Aku diam, mencoba mendengar alasan yang membawanya kemari, menemui seseorang yang enam tahun lalu pernah dihinanya habis-habisan. Kuredam gejolak emosiku. Benci sekali rasanya, kehidupan yang mulai tertata rapi kembali berantakan karena pertemuan dengan orang-
Sungguh, hinaan itu membuatku tak mampu berkutik. Tidak hanya menyangkal tuduhanku atas putranya, wanita angkuh itu pun menuduhkan hal yang begitu keji. Dan kedatangan wanita itu kemari mau tak mau membuka memori lama yang sejatinya sudah ingin kuhapus dari ingatanku. "Tentu saja baik. Seperti yang kau lihat," jawab ibu kandung Giandra. Aku tersenyum tanpa mengalihkan sedetik pun pandanganku dari wajahnya. Wajah yang terlihat awet muda karena perawatan ala sultan yang pasti dia lakukan hampir tiap bulan. "Ah, syukurlah. Aku lega mendengarnya," jawabku sedikit retoris. "Apakah kau berharap aku mati? Atau… hidup nelangsa setelah memberi pelajaran padamu?" Aku tergelak. "Anda lucu sekali, Bu. Lalu… Apa yang membawa Anda kemari? Sebentar, bisakah aku menebak?" kataku menggantung kalimat. "Apakah menantumu yang menyuruh ibu mertuanya kemari untuk menemuiku?" Kulihat tangan itu meremas tas warna hijau yang kuyakin sebagai tas edisi eksklusif sebuah produk impor ternama. "Apa kau yan
Mencegah PertemuanHari ini sengaja aku menjemput Bintang di sekolahnya. Bu Raya—guru kelasnya—memintaku untuk hadir karena ada hal penting yang ingin dia bicarakan. Tak masalah, mulai hari ini Satya sudah berangkat normal lagi ke restoran. Aku meminta izin padanya untuk datang telat sekaligus memberitahu alasannya. Kebetulan aku pun memiliki urusan di bagian tata usaha sekolah itu untuk membayar biaya kunjungan anak-anak TK ke sebuah gerai makanan siap saji. Acara yang rencananya akan dilaksanakan pekan depan itu cukup membuat Bintang antusias. Dengan mengenakan tunik polos warna mint dan pasmina warna senada kulangkahkan kaki di halaman sekolah yang nampak lengang. Anak tangga yang tidak terlalu tinggi pun memudahkan mereka masuk ke dalam ruangan dengan aman. Area halaman pun dilengkapi taman yang membuat suasana makin terasa segar. Kuedarkan pandangan ke sekitar bangunan. Gabungan antara warna putih yang netral serta detail batu bata pada dinding di sekitar eksteriornya mampu
Kulihat Bu Raya mulai bereaksi. Dia mengangguk perlahan yang sontak membuat hatiku memanas. Kupalingkan wajah ke arah lain. Tak mungkin kulampiaskan kekesalanku pada wanita lembut di depanku. Semarahnya diriku, aku tak mungkin mempermalukan diriku sendiri dengan berbuat amoral. "Setelah kejadian itu, tiap Rabu dan Jumat Pak Giandra selalu kemari. Kami tak menaruh curiga, hingga sebuah pertanyaan terlontar dari anak-anak untuk Bintang." Bu Raya sedikit tertunduk sebelum melanjutkan kalimatnya. "Anak-anak bertanya, apakah Pak dokter adalah ayah Bintang? Mereka berdua sangat mirip. Dan Bintang… dia terlihat terpukul sekali." AstaghfirullahItukah yang membuat Bintang akhir-akhir ini sering menanyakan soal kepergian ayahnya? Hingga membahas soal perkiraannya bahwa aku dan Satya akan menikah? Gusti, berapa berat kerja kepala anak sekecil itu menanggung pemikiran seperti orang dewasa? Aku bodoh, aku terlalu terhanyut dengan pekerjaanku hingga membuat Bintang sedikit terabaikan. Tak hanya
Bidadari Tanpa Sayap Mataku tiba-tiba mengabur memandang jalanan sempit yang pernah menjadi saksi perjuanganku sekadar untuk menegakkan tubuh. Warteg tempat Bu Solihah itu kini sudah diambil alih keponakannya setelah wanita berhati mulia itu meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Tepatnya seminggu sebelum Bintang lahir. Sungguh aku kehilangan bidadari nyata dalam dunia ini. Ingatanku bergerak cepat ke masa-masa itu. Aku yang kalut karena diusir Ayah dari rumah hanya mendekap tas gendong dengan beberapa potong baju di sebuah sudut terminal. Entah mengapa kakiku melangkah ke sana. Rasanya aku hampir putus asa saat itu. Uang yang kupegang tak lebih dari seratus ribu karena sudah kugunakan untuk mengangkot ke rumah Giandra yang akhirnya hanya berakhir kekecewaan. Bayangan bunuh diri sempat melintas beberapa kali. Namun kesadaran akan adanya kehidupan di rahimku membuatku segera menepis pikiran buruk itu. Tak mungkin membawanya mati dalam keadaan sehina itu. Tak mungkin pula aku haru
Lamat-lamat kudengar suara berisik dari arah depan rumah. Aku terkejut saat melihat jam dinding yang menunjuk angka setengah enam pagi. Astaga! Aku hampir melewatkan waktu sholatku. Tanpa berpikir dua kali aku segera ke kamar mandi untuk mengambil wudu kemudian sholat dengan sedikit tergesa. Kurasa efek teramat lelah membuatku tak mampu mendengar suara adzan subuh. Tiba-tiba hatiku kembali gerimis. Bayangan wajah Ayah dangan kopyah usangnya melintas di kepalaku. Baju koko putih entah dari lebaran berapa tahun yang lalu selalu setia menemani langkah lelaki itu menunaikan kewajibannya. Sungguh aku merasa sangat kecewa pada diriku sendiri. Demi mewujudkan cita-citaku entah harus berapa ratus kali dia selalu mengabaikan kepentingannya. Tak pernah kulihat ada baju baru yang melekat di tubuh tuanya. Uang pensiunan yang tak seberapa didekap erat ibu tiriku tanpa bisa disentuh oleh tangan lelaki itu. Untuk menyekolahkanku Ayah mengandalkan tenaganya yang sudah ringkih itu menjadi buruh k
Lelaki Tak Tahu DiriBetapa kaget diriku saat seorang laki-laki tanpa memakai baju hingga memperlihatkan tato di punggungnya tengah tertidur di atas kasur yang tadi kugunakan. Teriakanku tak memberi reaksi apapun pada tubuh kekar di atas ranjang itu. "Kenapa? Ada apa?" Bu Solihah nampak pucat saat mendekati tubuhku. Matanya menatap ke arah yang sama denganku, dimana seorang lelaki masih terlelap dalam tidurnya. "Astaghfirullah!" Bu Solihah beranjak mendekat ke arah ranjang. Dilemparkannya kaos yang terletak di sudut ranjang ke atas tubuh lelaki itu. "Mas, Mas Satya! Bangun. Kenapa nggak bilang dulu mau kemari?" Nampak tangan Bu Sol menggoyangkan tubuh lelaki yang akhirnya kutahu bernama Satya. Lelaki itu menggeliat, hingga kemudian dia mengambil posisi duduk. Aku segera mengalihkan pandangan ke arah lain. "Pakai bajunya!" perintah Bu Sol padanya. Dengan ekor mataku kulihat Satya memakai kaos yang semula teronggok di sudut kasur. "Kenapa tiba-tiba kemari?" tanya wanita itu lagi.