Lelaki Tak Tahu DiriBetapa kaget diriku saat seorang laki-laki tanpa memakai baju hingga memperlihatkan tato di punggungnya tengah tertidur di atas kasur yang tadi kugunakan. Teriakanku tak memberi reaksi apapun pada tubuh kekar di atas ranjang itu. "Kenapa? Ada apa?" Bu Solihah nampak pucat saat mendekati tubuhku. Matanya menatap ke arah yang sama denganku, dimana seorang lelaki masih terlelap dalam tidurnya. "Astaghfirullah!" Bu Solihah beranjak mendekat ke arah ranjang. Dilemparkannya kaos yang terletak di sudut ranjang ke atas tubuh lelaki itu. "Mas, Mas Satya! Bangun. Kenapa nggak bilang dulu mau kemari?" Nampak tangan Bu Sol menggoyangkan tubuh lelaki yang akhirnya kutahu bernama Satya. Lelaki itu menggeliat, hingga kemudian dia mengambil posisi duduk. Aku segera mengalihkan pandangan ke arah lain. "Pakai bajunya!" perintah Bu Sol padanya. Dengan ekor mataku kulihat Satya memakai kaos yang semula teronggok di sudut kasur. "Kenapa tiba-tiba kemari?" tanya wanita itu lagi.
"Pak Rama bilang pembangunan akan mulai dilaksanakan minggu depan," ucap Satya saat aku menyesap kopi pertamaku sambil memandang krisan warna oranye yang kuletakkan di dekat tempat cuci tangan. Kabar yang disampaikan Satya membuatku hampir berjingkat bahagia. "Dia ingin kita pun hadir di peletakan batu pertama di sana." Satya benar-benar totalitas memberikan informasi yang membahagiakan. Jika dia seorang wanita, sudah pasti kupeluk lelaki itu begitu erat karena rasa bahagiaku. "Pak Rama benar-benar serius dengan proyek kerja sama ini. Dia berharap kita pun akan total memberikan sentuhan tempat itu sesuai proposal yang sudah disepakati bersama." Aku mengangguk mantap. Rasanya ada sesuatu yang meletup-letup di dalam dadaku. "Benarkah? Kapan dia memberitahumu? Mengapa aku tak dengar langsung?" tanyaku bertubi-tubi. Satya tersenyum lebar. Dia yang mengenakan sweater warna mocca dan denim jeans terlihat begitu casual dengan tampilannya kali ini. "Kemarin dia kemari. Saat kau ke sekolah
Kedatangan Ibu Tiri "Alhamdulillah kamu sehat, Rindu!" Sebuah tangisan dari seorang wanita yang memakai gamis lusuh membuatku bergeming di tempatku berdiri. Tanpa aba-aba, wanita yang akhirnya kuketahui adalah ibu tiriku memeluk kakiku, bersimpuh dengan tangisan yang menggema di ruang tamu rumahku. Wanita yang pernah mengukir lara di masa laluku itu meraung seolah tengah menumpahkan duka yang tak mampu ditahan dadanya. "Rindu, ibu khawatir sekali dengan kehidupanmu setelah kau pergi dari rumah," ucapnya di sela tangisan. Aku masih diam, mencoba menyadarkan diri pada keadaan di depanku. "Maaf, Rindu. Ibu tak bisa mencegah ayahmu mengusirmu dari rumah. Ya Allah… tiap malam aku menangis memikirkan kehidupan yang kau jalani di luar sana. Maaf Rindu… aku sangat menyesal tak mampu membelamu… ." Tangisan kembali kencang, dan justru membuatku muak. Mana mungkin aku percaya dengan apa yang dia katakan? Bahkan aku pun tahu dia bekerja sama dengan Aluna untuk memfitnahku. Dia memotretku dia
"Dan satu lagi, kalau Ibu bukan orang lain, mengapa dengan tega kau membuat persekongkolan jahat dengan Aluna?!" Wanita itu makin pucat pasi mendengar kalimatku yang pasti amat memojokkannya. Dia tertunduk, entah karena marah atau malu bahwa kebobrokannya berhasil kukuliti bersih. Hei, apa dia kira aku sudah melupakan segalanya? Dia kira aku sudah memaafkan kejahatannya? "Maaf, Rindu. Ibu terpaksa. Aluna memberi iming-iming uang saat itu." Jawabannya memang sesuai dugaanku. Segala kecurangan wanita bergelar ibu tiriku itu tak jauh-jauh dari persoalan uang. Entah setan apa yang bersemayam di otaknya hingga rasa kemanusiannya terpangkas habis demi lembaran-lembaran rupiah. Sungguh, dadaku hampir meledak saat ini. Apalagi melihatnya yang mulai berkaca-kaca saat menatapku. Aku terenyuh? Jangan harap. Hatiku kebas, tak mampu lagi menerima segala bentuk permintaan maaf bahkan sekadar penyesalan sekalipun! "Kau sungguh berubah, Rindu." "Ibu adalah salah satu orang yang berhasil meng
Sekalian saja kucecar wanita di depanku ini. Tak kupedulikan wajahnya yang mulai merah paham khasnya saat tengah emosi. Kurasa kalimatku cukup memberi pukulan-pukulan telak pada dirinya. "Tentu saja Ibu tak puas jika tak melihat langsung sendiri." Ucapannya membuatku pura-pura mengerti dan percaya dengan apa yang dia katakan. Bukan aku bodoh, aku mampu menebak tujuan apa yang membuat lintah ini mendekat pada daging segar yang kini tersedia begitu mudah di rumahku. Aku tahu kemana pikirannya berlabuh. Aku tersenyum licik. Aku tidak ingin kalah dengan wanita ini. Dia yang dulu memperlakukanku bak binatang tak akan mendapatkan penghormatan apapun di rumahku. Aku tak bodoh, tak mungkin lupa juga dengan tiap detil perlakuannya padaku. "Apakah sang pemberi info tak menjelaskan pekerjaan apa yang kutekuni akhir-akhir ini?" Sengaja kutekan kata sang pemberi info pada kalimatku. Aku hanya mengarah pada dua orang itu yang telah memberi info padanya. "Rindu, kau… kau… tidak melakoni perkerja
Perdebatan Rindu dan Satya "Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana." Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku. Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung? "Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku. "Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku. "Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku." "Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m
Perdebatan Rindu dan Satya "Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana." Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku. Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung? "Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku. "Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku. "Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku." "Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m
Perdebatan Rindu dan Satya "Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana." Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku. Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung? "Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku. "Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku. "Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku." "Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m