LOGINMalam itu, setelah kepergian Elhan di bawah hujan, dunia Nayla tak lagi sama. Seolah semua warna yang biasa ia lihat berubah jadi kelabu. Jalanan yang biasanya hanya sekadar jalanan, kini terasa seperti lorong panjang yang menelan langkahnya.
Setiap kali ia berjalan sendirian, bayangan percakapan terakhir mereka terus mengiang di telinganya. Kata-kata Elhan—tentang restu yang tak akan pernah datang—menghantam jantungnya berulang kali. Dan semakin ia mengingatnya, semakin kuat rasa sesak itu menjerat dada. Nayla duduk di tepi jendela kamarnya, menatap ke luar. Hujan sudah lama reda, tapi kaca jendela masih basah, menyimpan sisa-sisa pertempuran langit. Cahaya lampu jalan merembes samar, menyentuh wajahnya yang pucat. Ia memeluk lututnya sendiri, seperti ingin menyatukan kepingan-kepingan hati yang sudah mulai retak. Kenapa semua harus serumit ini? batinnya. Kenapa cinta harus berhadapan dengan tembok setinggi itu? Tangannya refleks meraih ponsel di meja. Jemarinya sempat ragu, tapi akhirnya ia mengetik pesan. “Han, kamu beneran nggak bisa ngomong sekali lagi sama mamamu? Aku… aku nggak mau kita nyerah begitu aja.” Ia menatap layar cukup lama. Hatinya berharap pesan itu bisa menjadi jembatan, meski hanya setipis benang. Tapi sebelum ia menekan tombol kirim, keraguan menyerangnya. Apa Elhan akan terganggu? Apa dia akan makin menjauh? Dengan berat hati, ia hapus kembali pesan itu. Ponselnya ia letakkan dengan kasar, lalu menarik napas panjang. Sejak awal, Nayla tahu cinta mereka bukan cinta yang sederhana. Elhan bukan hanya sekadar laki-laki yang ia temui di sebuah pertemuan biasa—ia adalah rumah, adalah angin yang menenangkan, adalah tempat di mana Nayla bisa jadi dirinya sendiri. Tapi justru karena itulah, luka ini terasa lebih dalam. Jam dinding berdetak lambat. Malam terasa panjang, seperti enggan beranjak menuju pagi. Nayla akhirnya merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit putih yang dingin. Matanya berkaca-kaca lagi. Ia tahu, sejak malam hujan itu, ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Elhan mungkin masih mencintainya, tapi cintanya sedang diuji oleh restu yang tak kunjung mereka miliki. Dan dalam kesunyian kamar itu, Nayla berbisik lirih, seolah untuk dirinya sendiri. “Kalau cinta ini cuma akan jadi angin… semoga setidaknya ia tetap singgah di antara kita.” Pagi datang, tapi tidak membawa kelegaan. Matahari memang terbit, tapi bagi Nayla, cahayanya terasa redup. Lingkar hitam tampak jelas di bawah matanya—sisa semalaman bergelut dengan pikiran yang tak mau diam. Ia duduk di meja makan, menatap roti panggang yang hampir tak tersentuh. Sendok di tangannya berulang kali ia putar, tapi tak sekalipun ia angkat ke mulut. Suara televisi yang menyala di ruang tengah pun hanya jadi gema samar, tak benar-benar ia dengar. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. “Aku jemput kamu jam sepuluh. Kita berangkat bareng, ya.” —Elhan. Jantung Nayla berdebar. Ada rasa lega—setidaknya Elhan masih menghubunginya. Tapi juga ada rasa asing, sebab pesannya singkat, dingin, berbeda dari biasanya. Jam sepuluh lewat sedikit, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Nayla melangkah keluar, menutup pintu perlahan, lalu berjalan ke arah mobil itu. Hatinya berdesir saat melihat Elhan di balik kemudi. Rambutnya masih agak basah, mungkin baru saja mandi, dan kemeja putih yang ia kenakan tampak rapi. Tapi ada sesuatu di wajahnya yang berubah—sorot matanya redup, seolah menyimpan beban yang tak terlihat. “Nay.” Suaranya pelan saat menyapa. Nayla membuka pintu dan duduk di sampingnya. Bau parfum Elhan yang familiar memenuhi ruang kabin, membuat hatinya bergetar. Namun, kehangatan yang biasanya langsung ia rasakan kini tergantikan dengan dingin yang samar. Sepanjang perjalanan, mereka lebih banyak diam. Hanya suara mesin mobil dan sesekali deru angin dari luar jendela yang mengisi ruang. Nayla beberapa kali melirik ke arah Elhan, ingin mengajaknya bicara, tapi lidahnya kelu. Ada jarak tipis di antara mereka—jarak yang bukan berasal dari kursi, melainkan dari hati. Akhirnya Nayla memberanikan diri. “Kamu baik-baik aja, Han?” tanyanya lirih. Elhan menghela napas, matanya tetap fokus ke jalan. “Aku baik,” jawabnya singkat. Jawaban itu justru menambah beban di dada Nayla. Tidak, kamu nggak baik, batinnya. Tapi ia menahan diri, takut kalau dipaksa bicara, Elhan akan semakin menutup diri. Mobil melaju terus, melewati deretan pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Nayla menatap keluar jendela, dan dalam hatinya muncul satu kesadaran: mereka masih bersama, tapi ada dinding yang perlahan tumbuh di antara mereka. Dinding yang tak terlihat, tapi nyata. Mobil berhenti di sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tempat itu dulu jadi favorit mereka; dindingnya dipenuhi tanaman rambat, aroma kopi selalu menyambut dari pintu masuk, dan ada sudut khusus di mana mereka sering menghabiskan waktu berjam-jam. Namun, kali ini suasananya berbeda. Nayla melangkah masuk lebih dulu, disusul Elhan. Senyum hangat dari barista yang mengenali mereka terasa ironis, sebab hati Nayla justru terasa dingin. Mereka duduk di meja yang sama seperti biasanya—meja dekat jendela, dengan tirai putih yang bergoyang pelan tertiup angin. “Elhan sama yang biasa, ya?” tanya barista sambil tersenyum. Elhan hanya mengangguk. Nayla pun mengangguk singkat, tak banyak bicara. Pesanan mereka segera dibuat, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang panjang. Nayla menatap jendela, mencoba mengalihkan pikirannya. Tapi bayangan Elhan di kaca jendela terus memantul, membuatnya sulit berpura-pura tak peduli. “Elhan…” akhirnya ia memecah sunyi. Suaranya pelan, tapi cukup jelas. “Kenapa akhir-akhir ini kamu berubah?” Elhan menatapnya, sejenak terdiam. Tatapannya dalam, tapi penuh keraguan. Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi, seolah ada ribuan kata yang menyesak di tenggorokannya. “Aku nggak berubah, Nay,” katanya akhirnya. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan. Nayla tersenyum miris. “Kamu selalu bilang gitu. Tapi aku bisa ngerasain, Han. Kamu bukan lagi Elhan yang biasanya.” Kopi mereka datang, uap panas mengepul dari cangkir. Aroma yang dulu menenangkan kini terasa asing. Elhan menunduk, memutar sendok kecil di dalam cangkirnya. “Kadang,” katanya perlahan, “kita nggak bisa selalu jadi orang yang sama. Ada hal-hal yang mau nggak mau bikin kita berubah.” Nayla menatapnya lekat. “Kamu ngomong seolah… kamu udah nyerah sama kita.” Elhan menegakkan tubuhnya, wajahnya tegang. “Aku nggak nyerah, Nayla. Aku cuma… nggak mau kamu terus jadi korban dari semua ini.” Kata-kata itu menghantam Nayla lebih keras daripada apa pun. Ia menggigit bibir, menahan air mata yang sudah menggenang. Tangannya meremas sisi kursi, mencoba menahan getaran tubuhnya. “Kenapa kamu selalu mikirin aku sebagai korban?” suaranya pecah. “Kenapa kamu nggak pernah percaya kalau aku cukup kuat buat hadapi ini semua sama kamu?” Pertanyaan itu menggantung di udara. Elhan terdiam, menatap ke arah kopinya yang mulai mendingin. Nayla menunduk, air matanya akhirnya jatuh. Ia berusaha tersenyum, meski hatinya retak. “Kalau cinta ini emang harus terus diukur sama restu… apa kita bisa benar-benar bertahan, Han?” Tidak ada jawaban. Hanya keheningan, yang terasa lebih menyakitkan daripada kata apa pun. Keheningan itu seperti tembok tebal yang tak bisa mereka runtuhkan. Bahkan suara sendok yang beradu dengan cangkir dari meja sebelah terdengar lebih nyaring dibandingkan suara hati mereka sendiri. Nayla menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Aku nggak butuh kafe mewah, nggak butuh jalan-jalan, bahkan nggak butuh kata-kata manis dari kamu, Han,” ujarnya lirih. “Yang aku butuh cuma satu—kamu tetap ada di sini, meskipun dunia nggak berpihak sama kita.” Elhan mendongak. Matanya memerah, seperti menahan sesuatu yang terlalu berat. Jemarinya mengetuk meja, gelisah, seolah sedang mencari cara untuk mengeluarkan kata yang tak sanggup ia ucapkan. “Nayla…” suaranya pecah. “Kamu tahu aku cinta sama kamu. Tapi setiap kali aku lihat tatapan Mama… tatapan yang penuh kebencian ke arahmu—aku ngerasa aku egois kalau terus maksa kamu ada di sisiku.” Nayla tercekat. Ucapannya menancap dalam, lebih perih daripada pisau yang menoreh. “Jadi,” ia berusaha tersenyum getir, “kamu lebih takut sama tatapan Mamamu… daripada kehilangan aku?” Pertanyaan itu membuat Elhan membeku. Wajahnya pucat, napasnya berat. Ia tak bisa menjawab, karena apa pun jawabannya akan tetap melukai. Air mata Nayla kembali jatuh. Ia buru-buru mengusapnya, berusaha tetap terlihat kuat. “Kamu nggak sadar, Han… dengan cara kamu ‘melindungi’ aku, kamu justru bikin aku hancur. Kamu pikir aku bahagia kalau kamu mundur pelan-pelan gini?” Elhan mengalihkan pandangan. Dadanya naik turun, jelas ia sedang berperang dengan dirinya sendiri. Suasana kafe mendadak terasa asing. Suara musik lembut yang biasanya jadi latar kebersamaan mereka kini terdengar seperti ironi. Seolah-olah lagu itu sedang menertawakan betapa rapuhnya mereka sekarang. Setelah lama terdiam, Elhan akhirnya berkata pelan, “Mungkin… cinta aja nggak cukup.” Kalimat itu membuat Nayla merasakan bumi seakan runtuh. Ia menggenggam tangannya sendiri, kukunya hampir menancap ke kulit. “Nggak cukup?” suaranya parau. “Kalau cinta nggak cukup, lalu apa lagi yang bisa bikin kita bertahan?” Elhan menutup mata. Di dalam dirinya, ia ingin berteriak bahwa cinta mereka cukup. Bahwa ia ingin terus bersamanya, apapun yang terjadi. Tapi bayangan wajah mamanya—penuh penolakan dan dingin—selalu muncul, menekan hatinya. Nayla akhirnya berdiri. Kursi bergeser, menimbulkan suara nyaring yang menarik perhatian beberapa pengunjung. Tapi ia tak peduli. “Kalau menurutmu cinta nggak cukup, berarti aku harus belajar hidup tanpa kamu.” Elhan sontak mendongak, wajahnya panik. “Nayla—” Namun Nayla sudah melangkah pergi. Punggungnya tegak, tapi langkahnya guncang. Air mata menetes satu per satu, meninggalkan jejak di pipinya. Elhan bangkit, hampir mengejarnya, tapi tubuhnya kaku. Seakan ada rantai tak kasat mata yang mengikat kakinya ke lantai. Ia hanya bisa menatap Nayla pergi, sementara hatinya ikut hancur bersama langkah itu. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, meja favorit mereka di kafe itu menjadi saksi—bahwa cinta, sekuat apapun, bisa goyah ketika restu berubah menjadi dinding tak terlihat.Sudah berbulan-bulan berlalu sejak terakhir kali Nayla dan Elhan saling bicara. Waktu terus berjalan, tapi rasanya dunia mereka berhenti di titik yang sama — di antara yang masih ingin bertahan dan yang pura-pura kuat untuk melepaskan. Hari-hari Nayla kini terasa sunyi, bukan karena tak ada suara, tapi karena tak ada yang benar-benar didengarnya. Semua berjalan otomatis: bangun, kuliah, pulang, membaca, menatap langit, lalu menangis tanpa suara di dalam kamar. Tangis yang tidak lagi berisik, tapi semakin dalam. Tangis yang tak butuh alasan karena hatinya sendiri sudah cukup jadi luka. “Ra, kamu pernah ngerasa kehilangan sesuatu yang masih ada?” Suatu sore Nayla bertanya begitu pada Rara, tanpa menatapnya. Rara menoleh, terdiam sesaat sebelum menjawab. “Maksud kamu?” “Kayak… seseorang itu masih hidup, masih bisa aku lihat, tapi rasanya udah nggak bisa kugapai lagi. Padahal dia ngg
Tak ada yang lebih sunyi dari seseorang yang berusaha terlihat tegar, sementara dalam dirinya sudah berkeping-keping. Dan itulah Nayla. Hari-hari setelah perpisahannya dengan Elhan terasa panjang dan asing. Ia masih datang ke kampus, masih tersenyum pada dosen, masih menjawab sapaan teman-temannya — tapi di dalam hatinya, ia sudah bukan Nayla yang sama. Semua yang dulu terasa hidup kini kehilangan warna. Setiap kali lewat di lorong tempat dulu mereka sering menunggu hujan reda, ingatannya menolak diam. Ia masih bisa mendengar suara tawa Elhan di telinganya — suara yang kini tinggal gema samar. Bahkan aroma kopi hitam dari kantin belakang kampus saja bisa membuat dadanya sesak. Dulu Elhan selalu membelinya untuk mereka berdua. Sekarang? Ia bahkan tak tahu apakah Elhan masih datang ke tempat itu atau tidak. “Udah dua minggu, La,” ucap Rara pelan suatu sore. “Kamu nggak bisa t
Waktu ternyata tak benar-benar menghapus segalanya. Ia hanya menyamarkan luka di balik rutinitas, menyembunyikan kenangan di sela-sela napas yang berulang. Namun, ada hal-hal yang tetap bertahan — seperti nama yang diam-diam masih disebut dalam doa, atau tatapan yang terus terbayang meski tak lagi bertemu. Sudah dua tahun sejak Nayla dan Elhan memilih jalan masing-masing. Dua tahun tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara. Tapi di dalam sunyi yang panjang itu, hati mereka tak pernah benar-benar berhenti saling memanggil. Pagi itu, Nayla duduk di taman belakang perpustakaan kampus lama mereka. Tempat yang dulu menjadi saksi setiap tawa, perdebatan, dan janji yang tak sempat ditepati. Ia datang bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena ingin berdamai. Rambutnya kini lebih panjang, wajahnya terlihat lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan sesuatu — sisa-sisa dari cinta yang pernah ia simpan terlalu dalam. I
Waktu akhirnya sampai di titik tenang. Bukan karena segalanya mudah, tapi karena semua yang berat sudah diterima dengan lapang dada. Pagi itu, udara Bandung terasa berbeda. Tidak terlalu dingin, tapi masih cukup lembut untuk mengajak seseorang mengenang tanpa sakit lagi. Nayla melangkah keluar rumah, membawa satu tas kecil dan naskah buku keduanya. Di dalam tas itu juga terselip surat—bukan untuk Damar, bukan untuk siapa pun—melainkan untuk dirinya sendiri. Ia menatap jalan kecil di depan rumahnya. Jalan yang dulu sering ia lewati sambil menangis diam-diam, tempat di mana setiap langkah terasa seperti memikul seluruh dunia. Sekarang, langkah yang sama terasa ringan, bahkan menyenangkan. Di halte dekat taman, seseorang sudah menunggunya. “Pagi, Nay,” sapa Rara, tersenyum lebar. “Pagi. Udah lama?” “Baru aja. Kamu beneran mau berangkat sendirian?” Nayla mengangguk. “I
Beberapa hari terakhir, meja kerja Nayla dipenuhi catatan berserakan. Di antaranya, ada potongan dialog lama, surat tak terkirim, dan halaman-halaman jurnal yang sudah menguning. Semua terasa seperti kepingan hidup yang menunggu untuk disatukan. Ia menatap layar laptop yang menampilkan satu baris judul: “Langkah di Balik Gelap – Sebuah Kisah Tentang Bertahan dan Melepaskan.” Judul itu membuatnya terdiam lama. Itu bukan sekadar judul, tapi napas dari seluruh perjalanan yang telah ia lewati — cinta, kehilangan, perjuangan, dan semua yang tak sempat ia ucapkan. ⸻ Nayla mulai mengetik perlahan. Kata demi kata mengalir, bukan dari pikirannya, tapi dari tempat yang lebih dalam — hatinya sendiri. Ia menulis tentang seorang gadis yang mencintai dengan cara sederhana, tentang laki-laki yang memilih pergi demi menjaga yang dicintainya, tentang waktu yang mem
Sudah hampir satu tahun sejak pertemuan Nayla dan Damar di pameran buku itu. Kehidupan Nayla kini berubah begitu cepat. Buku-bukunya mulai dikenal, undangan wawancara datang silih berganti, dan kelas menulisnya makin ramai. Namun di tengah segala kesibukan dan tepuk tangan, ada satu ruang kecil dalam dirinya yang tetap hening — ruang yang dulu diisi Damar. Bukan berarti ia masih terjebak pada masa lalu. Tidak. Ia sudah berdamai. Tapi kedamaian itu menyisakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi: janji yang tertinggal. ⸻ Suatu pagi, Nayla duduk di teras rumah sambil menatap kebun kecil di depannya. Kopi hangat mengepul di genggaman, aroma melati dari pot bunga menyatu dengan udara. Pagi itu damai — sampai notifikasi di ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor yang lama tak aktif. “Hai, Nay. Aku di kota. Bisa ketemu?” – Damar. Nayla menatap layar l







