Beranda / Romansa / Angin di Antara Kita / Bab 3 Bayang di Balik Restu

Share

Bab 3 Bayang di Balik Restu

Penulis: Elis Z. Faida
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-16 16:43:17

Malam itu, setelah kepergian Elhan di bawah hujan, dunia Nayla tak lagi sama. Seolah semua warna yang biasa ia lihat berubah jadi kelabu. Jalanan yang biasanya hanya sekadar jalanan, kini terasa seperti lorong panjang yang menelan langkahnya.

Setiap kali ia berjalan sendirian, bayangan percakapan terakhir mereka terus mengiang di telinganya. Kata-kata Elhan—tentang restu yang tak akan pernah datang—menghantam jantungnya berulang kali. Dan semakin ia mengingatnya, semakin kuat rasa sesak itu menjerat dada.

Nayla duduk di tepi jendela kamarnya, menatap ke luar. Hujan sudah lama reda, tapi kaca jendela masih basah, menyimpan sisa-sisa pertempuran langit. Cahaya lampu jalan merembes samar, menyentuh wajahnya yang pucat. Ia memeluk lututnya sendiri, seperti ingin menyatukan kepingan-kepingan hati yang sudah mulai retak.

Kenapa semua harus serumit ini? batinnya. Kenapa cinta harus berhadapan dengan tembok setinggi itu?

Tangannya refleks meraih ponsel di meja. Jemarinya sempat ragu, tapi akhirnya ia mengetik pesan.

“Han, kamu beneran nggak bisa ngomong sekali lagi sama mamamu? Aku… aku nggak mau kita nyerah begitu aja.”

Ia menatap layar cukup lama. Hatinya berharap pesan itu bisa menjadi jembatan, meski hanya setipis benang. Tapi sebelum ia menekan tombol kirim, keraguan menyerangnya. Apa Elhan akan terganggu? Apa dia akan makin menjauh?

Dengan berat hati, ia hapus kembali pesan itu. Ponselnya ia letakkan dengan kasar, lalu menarik napas panjang.

Sejak awal, Nayla tahu cinta mereka bukan cinta yang sederhana. Elhan bukan hanya sekadar laki-laki yang ia temui di sebuah pertemuan biasa—ia adalah rumah, adalah angin yang menenangkan, adalah tempat di mana Nayla bisa jadi dirinya sendiri. Tapi justru karena itulah, luka ini terasa lebih dalam.

Jam dinding berdetak lambat. Malam terasa panjang, seperti enggan beranjak menuju pagi. Nayla akhirnya merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit putih yang dingin.

Matanya berkaca-kaca lagi. Ia tahu, sejak malam hujan itu, ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Elhan mungkin masih mencintainya, tapi cintanya sedang diuji oleh restu yang tak kunjung mereka miliki.

Dan dalam kesunyian kamar itu, Nayla berbisik lirih, seolah untuk dirinya sendiri.

“Kalau cinta ini cuma akan jadi angin… semoga setidaknya ia tetap singgah di antara kita.”

Pagi datang, tapi tidak membawa kelegaan. Matahari memang terbit, tapi bagi Nayla, cahayanya terasa redup. Lingkar hitam tampak jelas di bawah matanya—sisa semalaman bergelut dengan pikiran yang tak mau diam.

Ia duduk di meja makan, menatap roti panggang yang hampir tak tersentuh. Sendok di tangannya berulang kali ia putar, tapi tak sekalipun ia angkat ke mulut. Suara televisi yang menyala di ruang tengah pun hanya jadi gema samar, tak benar-benar ia dengar.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

“Aku jemput kamu jam sepuluh. Kita berangkat bareng, ya.”

—Elhan.

Jantung Nayla berdebar. Ada rasa lega—setidaknya Elhan masih menghubunginya. Tapi juga ada rasa asing, sebab pesannya singkat, dingin, berbeda dari biasanya.

Jam sepuluh lewat sedikit, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Nayla melangkah keluar, menutup pintu perlahan, lalu berjalan ke arah mobil itu. Hatinya berdesir saat melihat Elhan di balik kemudi. Rambutnya masih agak basah, mungkin baru saja mandi, dan kemeja putih yang ia kenakan tampak rapi. Tapi ada sesuatu di wajahnya yang berubah—sorot matanya redup, seolah menyimpan beban yang tak terlihat.

“Nay.” Suaranya pelan saat menyapa.

Nayla membuka pintu dan duduk di sampingnya. Bau parfum Elhan yang familiar memenuhi ruang kabin, membuat hatinya bergetar. Namun, kehangatan yang biasanya langsung ia rasakan kini tergantikan dengan dingin yang samar.

Sepanjang perjalanan, mereka lebih banyak diam. Hanya suara mesin mobil dan sesekali deru angin dari luar jendela yang mengisi ruang. Nayla beberapa kali melirik ke arah Elhan, ingin mengajaknya bicara, tapi lidahnya kelu. Ada jarak tipis di antara mereka—jarak yang bukan berasal dari kursi, melainkan dari hati.

Akhirnya Nayla memberanikan diri.

“Kamu baik-baik aja, Han?” tanyanya lirih.

Elhan menghela napas, matanya tetap fokus ke jalan. “Aku baik,” jawabnya singkat.

Jawaban itu justru menambah beban di dada Nayla. Tidak, kamu nggak baik, batinnya. Tapi ia menahan diri, takut kalau dipaksa bicara, Elhan akan semakin menutup diri.

Mobil melaju terus, melewati deretan pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Nayla menatap keluar jendela, dan dalam hatinya muncul satu kesadaran: mereka masih bersama, tapi ada dinding yang perlahan tumbuh di antara mereka. Dinding yang tak terlihat, tapi nyata.

Mobil berhenti di sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tempat itu dulu jadi favorit mereka; dindingnya dipenuhi tanaman rambat, aroma kopi selalu menyambut dari pintu masuk, dan ada sudut khusus di mana mereka sering menghabiskan waktu berjam-jam.

Namun, kali ini suasananya berbeda.

Nayla melangkah masuk lebih dulu, disusul Elhan. Senyum hangat dari barista yang mengenali mereka terasa ironis, sebab hati Nayla justru terasa dingin. Mereka duduk di meja yang sama seperti biasanya—meja dekat jendela, dengan tirai putih yang bergoyang pelan tertiup angin.

“Elhan sama yang biasa, ya?” tanya barista sambil tersenyum.

Elhan hanya mengangguk. Nayla pun mengangguk singkat, tak banyak bicara. Pesanan mereka segera dibuat, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang panjang.

Nayla menatap jendela, mencoba mengalihkan pikirannya. Tapi bayangan Elhan di kaca jendela terus memantul, membuatnya sulit berpura-pura tak peduli.

“Elhan…” akhirnya ia memecah sunyi. Suaranya pelan, tapi cukup jelas. “Kenapa akhir-akhir ini kamu berubah?”

Elhan menatapnya, sejenak terdiam. Tatapannya dalam, tapi penuh keraguan. Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi, seolah ada ribuan kata yang menyesak di tenggorokannya.

“Aku nggak berubah, Nay,” katanya akhirnya. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan.

Nayla tersenyum miris. “Kamu selalu bilang gitu. Tapi aku bisa ngerasain, Han. Kamu bukan lagi Elhan yang biasanya.”

Kopi mereka datang, uap panas mengepul dari cangkir. Aroma yang dulu menenangkan kini terasa asing. Elhan menunduk, memutar sendok kecil di dalam cangkirnya.

“Kadang,” katanya perlahan, “kita nggak bisa selalu jadi orang yang sama. Ada hal-hal yang mau nggak mau bikin kita berubah.”

Nayla menatapnya lekat. “Kamu ngomong seolah… kamu udah nyerah sama kita.”

Elhan menegakkan tubuhnya, wajahnya tegang. “Aku nggak nyerah, Nayla. Aku cuma… nggak mau kamu terus jadi korban dari semua ini.”

Kata-kata itu menghantam Nayla lebih keras daripada apa pun. Ia menggigit bibir, menahan air mata yang sudah menggenang. Tangannya meremas sisi kursi, mencoba menahan getaran tubuhnya.

“Kenapa kamu selalu mikirin aku sebagai korban?” suaranya pecah. “Kenapa kamu nggak pernah percaya kalau aku cukup kuat buat hadapi ini semua sama kamu?”

Pertanyaan itu menggantung di udara. Elhan terdiam, menatap ke arah kopinya yang mulai mendingin.

Nayla menunduk, air matanya akhirnya jatuh. Ia berusaha tersenyum, meski hatinya retak. “Kalau cinta ini emang harus terus diukur sama restu… apa kita bisa benar-benar bertahan, Han?”

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan, yang terasa lebih menyakitkan daripada kata apa pun.

Keheningan itu seperti tembok tebal yang tak bisa mereka runtuhkan. Bahkan suara sendok yang beradu dengan cangkir dari meja sebelah terdengar lebih nyaring dibandingkan suara hati mereka sendiri.

Nayla menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Aku nggak butuh kafe mewah, nggak butuh jalan-jalan, bahkan nggak butuh kata-kata manis dari kamu, Han,” ujarnya lirih. “Yang aku butuh cuma satu—kamu tetap ada di sini, meskipun dunia nggak berpihak sama kita.”

Elhan mendongak. Matanya memerah, seperti menahan sesuatu yang terlalu berat. Jemarinya mengetuk meja, gelisah, seolah sedang mencari cara untuk mengeluarkan kata yang tak sanggup ia ucapkan.

“Nayla…” suaranya pecah. “Kamu tahu aku cinta sama kamu. Tapi setiap kali aku lihat tatapan Mama… tatapan yang penuh kebencian ke arahmu—aku ngerasa aku egois kalau terus maksa kamu ada di sisiku.”

Nayla tercekat. Ucapannya menancap dalam, lebih perih daripada pisau yang menoreh.

“Jadi,” ia berusaha tersenyum getir, “kamu lebih takut sama tatapan Mamamu… daripada kehilangan aku?”

Pertanyaan itu membuat Elhan membeku. Wajahnya pucat, napasnya berat. Ia tak bisa menjawab, karena apa pun jawabannya akan tetap melukai.

Air mata Nayla kembali jatuh. Ia buru-buru mengusapnya, berusaha tetap terlihat kuat. “Kamu nggak sadar, Han… dengan cara kamu ‘melindungi’ aku, kamu justru bikin aku hancur. Kamu pikir aku bahagia kalau kamu mundur pelan-pelan gini?”

Elhan mengalihkan pandangan. Dadanya naik turun, jelas ia sedang berperang dengan dirinya sendiri.

Suasana kafe mendadak terasa asing. Suara musik lembut yang biasanya jadi latar kebersamaan mereka kini terdengar seperti ironi. Seolah-olah lagu itu sedang menertawakan betapa rapuhnya mereka sekarang.

Setelah lama terdiam, Elhan akhirnya berkata pelan, “Mungkin… cinta aja nggak cukup.”

Kalimat itu membuat Nayla merasakan bumi seakan runtuh. Ia menggenggam tangannya sendiri, kukunya hampir menancap ke kulit.

“Nggak cukup?” suaranya parau. “Kalau cinta nggak cukup, lalu apa lagi yang bisa bikin kita bertahan?”

Elhan menutup mata. Di dalam dirinya, ia ingin berteriak bahwa cinta mereka cukup. Bahwa ia ingin terus bersamanya, apapun yang terjadi. Tapi bayangan wajah mamanya—penuh penolakan dan dingin—selalu muncul, menekan hatinya.

Nayla akhirnya berdiri. Kursi bergeser, menimbulkan suara nyaring yang menarik perhatian beberapa pengunjung. Tapi ia tak peduli.

“Kalau menurutmu cinta nggak cukup, berarti aku harus belajar hidup tanpa kamu.”

Elhan sontak mendongak, wajahnya panik. “Nayla—”

Namun Nayla sudah melangkah pergi. Punggungnya tegak, tapi langkahnya guncang. Air mata menetes satu per satu, meninggalkan jejak di pipinya.

Elhan bangkit, hampir mengejarnya, tapi tubuhnya kaku. Seakan ada rantai tak kasat mata yang mengikat kakinya ke lantai. Ia hanya bisa menatap Nayla pergi, sementara hatinya ikut hancur bersama langkah itu.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, meja favorit mereka di kafe itu menjadi saksi—bahwa cinta, sekuat apapun, bisa goyah ketika restu berubah menjadi dinding tak terlihat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Angin di Antara Kita    Bab 14 Retakan yang Tak Terucap

    Suara tawa dari arah kantin masih terdengar samar meski mereka sudah menjauh. Nayla berjalan di samping Elhan, menunduk, tangannya sibuk meremas-remas ujung kemeja seragamnya sendiri. Seakan ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi tersangkut di tenggorokan. Elhan di sebelahnya melangkah tenang, seolah tidak ada yang mengganggunya. Padahal, sejak tadi, hatinya gelisah. Ada jarak di antara mereka. Jarak yang bukan tercipta karena langkah kaki, tapi karena kata-kata yang tak kunjung terucap. “Han…” Nayla akhirnya membuka suara, pelan, hampir seperti bisikan. Elhan menoleh sekilas, senyumnya tipis. “Hm?” Nayla menggigit bibir. Ia ingin bertanya, apa benar ucapan teman-teman di kantin tadi? Apakah benar Elhan akan dijodohkan dengan seseorang dari keluarga sahabat mamanya? Tapi lidahnya kelu. Kata-kata itu terasa seperti duri. Salah ucap sedikit saja, bisa jadi luka. Elhan yang peka, menangkap kegelisahan itu. “Kenapa? Ada yang mau kamu bilangin ke aku?” Nayla menatap wajahnya, dalam,

  • Angin di Antara Kita    Bab 13 Di Balik Restu yang Tak Pernah Datang

    Langit senja berwarna jingga pucat, memantul di kaca jendela kamar Nayla yang terbuka setengah. Angin sore berhembus lembut, membawa suara-suara samar dari jalan raya; deru kendaraan, suara anak-anak kecil bermain, bahkan riuh ayam jantan dari rumah tetangga. Semua terdengar biasa, seolah tak ada yang berubah. Namun bagi Nayla, hari-hari terakhir terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Sejak perpisahan itu, ia hidup di antara penyangkalan dan kenyataan. Setiap pagi ia berharap bangun dengan kabar bahwa semua hanya ilusi, tapi setiap kali membuka mata, ia kembali menemukan kenyataan pahit: Elhan benar-benar pergi. Di atas meja belajarnya, berserakan kertas-kertas yang penuh dengan tulisan tangan. Coretan-coretan yang lebih mirip puisi patah hati. Sebagian hanya satu kalimat pendek, seperti potongan pikiran yang tertinggal saat malam menghimpitnya. “Aku benci angin, karena ia terlalu mirip denganmu—datang tiba-tiba, pergi tanpa pamit.” “Kalau cinta ini dosa, biarlah aku me

  • Angin di Antara Kita    Bab 12 Luka yang Tak Terucap

    Pagi itu, ruang kelas terasa bising. Suara tawa mahasiswa bercampur dengan bunyi kursi yang digeser, kertas yang dibolak-balik, dan langkah kaki yang lalu-lalang. Semua tampak biasa—kecuali bagi Nayla. Ia duduk di bangku dekat jendela, menatap keluar. Matanya sembab, kantung matanya jelas terlihat. Ia mencoba tersenyum ketika Rani menepuk bahunya, tapi senyum itu hanya sekilas, lalu menghilang seperti asap. “Nay, kamu nggak apa-apa?” Rani berbisik, menyodorkan botol air mineral. “Muka kamu pucet banget.” Nayla menggeleng, menerima botol itu dengan tangan gemetar. “Aku cuma kurang tidur.” Rani menatapnya lama. Ia tahu sahabatnya sedang bohong. Tapi Rani memilih tidak mendesak. Hanya mengusap punggung Nayla pelan, seakan memberi kekuatan diam-diam. Di sudut lain kelas, Elhan duduk kaku. Ia mencoba menatap papan tulis, tapi matanya sesekali melirik ke arah Nayla. Dan setiap kali pandangan itu bertemu, Nayla buru-buru menunduk. Ada jarak aneh di antara mereka, jarak yang lebih tajam

  • Angin di Antara Kita    Bab 11 Jika Angin Membawa

    Malam itu kota seolah menutup dirinya dalam kabut tipis. Lampu jalan berpendar sayu, memantulkan cahaya kuning yang rapuh di atas aspal yang mulai lembap. Angin berembus dari arah utara, dingin menusuk, membawa sisa aroma hujan yang belum sepenuhnya sirna. Nayla duduk di tepi jendela kamarnya, menatap kosong ke luar. Dari tempatnya, ia bisa melihat jalanan sepi dengan sesekali suara kendaraan lewat, hanya menimbulkan jejak cahaya sebentar sebelum hilang ditelan gelap. Tangannya menggenggam sebuah cangkir berisi teh yang sudah lama mendingin. Uapnya tak lagi mengepul, sama seperti hangat di hatinya yang kian memudar. Ia menghela napas panjang. Sudah berhari-hari sejak percakapan terakhirnya dengan Elhan, tapi setiap detail kejadian itu masih membekas jelas. Bayangan punggung Elhan yang menjauh, suara parau yang pecah ketika ia berkata harus pergi—semuanya terasa masih hidup dalam kepalanya. Setiap kali mengingatnya, dadanya kembali sesak. “Kenapa harus berakhir begini…” gumamnya lir

  • Angin di Antara Kita    Bab 10 Luka yang Membayangi

    Udara di sekitar rumah keluarga Elhan dipenuhi aroma tanah basah yang samar, bercampur dengan harum bunga melati dari pekarangan. Semuanya begitu kontras dengan apa yang sedang bergemuruh di hati Nayla—sebuah ketidakpastian yang tak berhenti mencengkeram. Nayla menatap pintu besar bercat cokelat tua itu dengan perasaan campur aduk. Inilah rumah yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita, hanya ia bayangkan dari balik kata-kata Elhan. Rumah yang megah, berdiri kokoh dengan pilar-pilar tinggi, tapi terasa dingin… sangat dingin. Langkah Nayla terhenti di depan gerbang. Jemarinya menggenggam erat tali tas yang ia bawa, seakan benda sederhana itu bisa menjadi penopang keberaniannya. Di sampingnya, Elhan berdiri dengan wajah tegang. Ia berusaha tersenyum, tapi senyum itu kaku, jauh dari ketulusan yang biasa Nayla lihat. “Jangan takut,” ucap Elhan pelan, suaranya lebih terdengar seperti menenangkan dirinya sendiri ketimbang menenangkan Nayla. “Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian.” N

  • Angin di Antara Kita    Bab 9 Di Antara Rindu dan Penolakan

    Langit sore itu terbakar jingga, awan tipis berarak pelan, dan suara burung camar terdengar samar dari kejauhan. Di tepi danau kampus, angin bertiup lembut, memantulkan riak kecil di permukaan air. Tempat itu biasanya menjadi ruang tenang bagi Nayla, tempat di mana ia bisa melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia. Namun sore itu, ketenangan justru terasa asing. Ia duduk di bangku kayu yang sedikit berlumut, menatap air dengan tatapan kosong. Buku catatan terbuka di pangkuannya, tetapi tangannya hanya menggenggam pena tanpa menulis apapun. Pikirannya kacau, seperti pusaran air yang berputar tanpa arah. Suara langkah mendekat membuatnya menoleh. Dan jantungnya langsung berdegup tak terkendali ketika melihat siapa yang datang. Elhan. Lelaki itu berjalan pelan, seolah takut langkahnya akan memecah udara di sekitarnya. Matanya redup, wajahnya lebih kurus, dan ada lelah yang jelas terlihat. Namun sorot itu tetap sama: sorot yang dulu pernah membuat Nayla merasa dunia ini hanya mereka berdua

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status