Home / Romansa / Angin di Antara Kita / Bab 4 Bayangan Restu yang Hilang

Share

Bab 4 Bayangan Restu yang Hilang

Author: Elis Z. Faida
last update Huling Na-update: 2025-09-16 16:43:22

Langit sore itu berwarna kelabu, seolah ikut menanggung beban hati Nayla. Dari balik jendela kamarnya, ia menatap keluar—jalanan basah seusai hujan, pepohonan yang bergoyang pelan diterpa angin, dan langit yang tak jemu menutup sinarnya. Ada kesan muram yang menempel pada udara, membuat ruang sempit itu terasa semakin sesak.

Di meja belajarnya, buku-buku berserakan. Seharusnya ia sedang menyiapkan bahan untuk presentasi kuliah besok, tetapi konsentrasinya buyar sejak tadi. Pena hanya berputar di tangannya, meninggalkan coretan-coretan tak bermakna di pinggir kertas.

Pikirannya melayang pada pertemuan terakhirnya dengan Elhan. Tatapan mata lelaki itu masih jelas terbayang—penuh keretakan, penuh beban yang sulit diurai. Kata-katanya terngiang begitu saja, membuat Nayla berkali-kali menelan pahit: “Mamaku nggak akan pernah merestui hubungan kita.”

Seketika, Nayla menutup matanya rapat-rapat. Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia benci terlihat rapuh, bahkan oleh dirinya sendiri. Namun, semakin ia mencoba menguatkan diri, semakin nyata luka itu terasa.

Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk. Jantung Nayla berdegup lebih cepat, berharap itu dari Elhan. Namun, saat layar menyala, hanya notifikasi grup kelas. Ia menarik napas panjang, kecewa, lalu meletakkan kembali ponselnya dengan kasar.

“Kenapa semua harus serumit ini?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk. “Nayla, Mama boleh masuk?” suara ibunya terdengar lembut, tetapi justru membuat Nayla panik. Ia cepat-cepat menghapus bekas air mata di pipinya.

“Iya, Ma. Masuk aja,” jawab Nayla dengan suara yang ia paksakan agar terdengar biasa.

Pintu terbuka, dan ibunya melangkah masuk dengan senyum tipis. Di tangannya, ada secangkir teh hangat. “Mama bikinin teh, biar kamu lebih rileks. Dari tadi Mama lihat kamu murung terus. Ada apa, Nak?”

Nayla menerima teh itu, berusaha tersenyum. “Nggak apa-apa, Ma. Cuma capek aja. Banyak tugas.”

Ibunya menatap lekat, seolah tahu ada sesuatu yang lebih besar tersembunyi di balik kata-kata itu. Namun, ia tidak mendesak. Ia hanya duduk di tepi ranjang, menepuk lembut punggung tangan Nayla.

“Capek itu wajar, tapi jangan dipendam sendiri, ya. Kalau ada yang mau kamu ceritakan, Mama selalu siap dengar,” katanya lirih.

Nayla mengangguk, meski hatinya justru semakin berat. Ada dorongan besar untuk bercerita, untuk mengatakan bahwa ia sedang hancur karena restu seorang ibu—ibu dari lelaki yang begitu ia cintai—tak pernah bisa ia miliki. Namun, lidahnya kelu. Bagaimana ia harus menjelaskan semua ini tanpa membuat ibunya khawatir?

Teh hangat itu ia teguk perlahan. Rasanya manis, tetapi tak mampu mengusir getir yang bersarang di dadanya.

Di dalam hati, Nayla berdoa dalam diam. “Ya Tuhan, kalau memang cinta ini bukan untukku, kenapa Kau pertemukan aku dengannya? Kenapa Kau tanamkan rasa yang begitu dalam, kalau akhirnya harus hancur seperti ini?”

Sore itu, angin berembus dari jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma sisa hujan. Nayla memejamkan mata, membiarkan angin menyapu wajahnya. Ada perasaan aneh—seolah angin itu membawa kabar dari Elhan, kabar yang tak pernah bisa ia terima langsung.

Dan tanpa sadar, ia berbisik lirih, “Elhan…”

Ibunya menoleh heran. “Kamu bilang apa, Nay?”

Nayla tersentak, buru-buru menggeleng. “Nggak, Ma. Cuma… ngomong sendiri.” Ia tersenyum kaku, berusaha menutupi kegugupannya.

Ibunya menghela napas, seakan ingin menanyakan lebih jauh, tetapi memilih untuk tidak melanjutkan. Ia hanya berdiri, merapikan sedikit buku-buku di meja, lalu berkata pelan, “Ya sudah, kalau butuh Mama, panggil aja. Jangan terlalu keras sama diri sendiri, Nak.”

Setelah ibunya keluar, Nayla menatap cangkir tehnya yang masih mengepul. Hatinya semakin bergetar. Malam ini, ia tahu, tidur tidak akan datang dengan mudah. Sebab bayangan Elhan selalu hadir, bersama restu yang hilang di antara mereka.

Malam turun perlahan, membawa gelap yang dingin. Kota kecil itu terbungkus dalam hening, hanya sesekali terdengar deru kendaraan yang melintas. Di kamar Nayla, lampu meja belajar menyala temaram. Buku-buku tetap terbuka, tetapi tak satu pun yang benar-benar ia baca.

Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lutut. Pikirannya berkelana jauh, kembali pada semua momen bersama Elhan. Senyumnya, caranya berbicara, bahkan nada suaranya saat memanggil namanya—semua itu terus berulang, seperti rekaman yang tak mau berhenti.

Nayla menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. Ia benci merasa selemah ini. Namun, bagaimana bisa ia tidak hancur, ketika orang yang paling ia percaya, yang paling ia cintai, justru harus menjauh bukan karena tak lagi cinta, melainkan karena restu yang tak pernah ada?

Di meja, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, ia tak berani langsung melihat. Hatinya terlalu lelah berharap. Tapi dorongan itu terlalu kuat—akhirnya ia meraih ponsel dan membuka layar.

Sebuah pesan singkat.

Dari Elhan.

“Maaf, Nay. Aku butuh waktu.”

Hanya itu. Empat kata yang terasa seperti palu besar menghantam dadanya. Tangannya gemetar, matanya panas. Ia membaca ulang pesan itu berkali-kali, berharap ada kata lain yang terlewat. Namun tidak. Hanya empat kata yang dingin, yang mengiris lebih tajam dari pisau.

Nayla menarik napas panjang, mencoba membalas, tapi jemarinya ragu di atas layar. Apa yang harus ia tulis? “Jangan pergi”? “Aku butuh kamu”? Semua kata terasa sia-sia. Pada akhirnya, ia hanya mengetik satu kalimat pendek:

“Aku tunggu.”

Jempolnya ragu sebelum menekan tombol kirim. Tapi ia tahu, itu satu-satunya kalimat yang bisa ia sampaikan tanpa terdengar memaksa.

Ponsel kembali ia letakkan di meja. Tubuhnya ia rebahkan di ranjang, menatap langit-langit kamar yang redup. Air mata akhirnya jatuh, satu per satu, tanpa bisa ia cegah.

Dalam keheningan itu, ia mendengar suara hatinya sendiri: “Kalau cinta ini hanya akan jadi angin… semoga ia tetap singgah di antara kita.”

Di sisi lain kota, Elhan duduk di dalam mobilnya yang terparkir di tepi jalan. Lampu-lampu kota berkilau di kejauhan, tetapi hatinya terasa gelap. Ponselnya tergeletak di kursi samping, masih menampilkan pesan balasan Nayla: Aku tunggu.

Matanya memanas. Jemarinya mengetuk setir berulang kali, mencoba mengalihkan gejolak dalam dadanya. Ia ingin membalas lebih banyak, ingin berkata jujur bahwa ia pun hancur dengan semua ini. Tapi bayangan wajah ibunya kembali hadir—wajah keras yang tak pernah memberi ruang sedikit pun untuk kelembutan.

“Kenapa harus serumit ini…” gumamnya lirih.

Ia bersandar, menutup mata. Kepalanya penuh suara-suara: suara Nayla, suara ibunya, dan suara hatinya sendiri yang terus bertarung.

Andai saja restu itu ada, mereka tak perlu seperti ini. Andai saja cinta cukup, mereka tak perlu mengalah pada keadaan. Tapi kenyataan tak bisa diubah hanya dengan “andai.”

Elhan membuka matanya, menatap layar ponsel sekali lagi. Pesan Nayla yang sederhana justru membuat hatinya semakin sakit. Karena ia tahu, selama Nayla menunggu, semakin besar luka yang akan ditorehkan waktu.

“Maafkan aku, Nayla…” bisiknya, hampir tak terdengar.

Ia memutar kunci mobil, mesin menyala, dan roda mulai bergerak. Namun ke mana pun ia pergi malam itu, satu hal pasti hatinya tertinggal pada seseorang yang sedang menangis di kamarnya.

Rumah itu sunyi, hanya terdengar detik jam dinding yang berdetak lambat. Elhan melangkah masuk pelan, melepas sepatunya dengan hati-hati. Namun ia tahu, sepelan apa pun gerakannya, ibunya selalu bisa merasakan kehadirannya.

Dan benar saja—belum sempat ia menaruh tas, suara tegas itu terdengar dari ruang keluarga.

“Elhan, kamu dari mana?”

Elhan terdiam sejenak, menarik napas, lalu berjalan masuk. Ibunya duduk di sofa, dengan sikap anggun dan wajah dingin yang nyaris tak pernah berubah. Matanya tajam, seolah bisa menembus lapisan apa pun yang coba disembunyikan Elhan.

“Baru pulang, Ma,” jawabnya singkat.

“Pulang dari mana?” Nada ibunya meninggi sedikit. “Jangan bilang kamu habis ketemu… dia.”

Ada jeda panjang sebelum Elhan menjawab. Tatapan ibunya menusuk, membuat kata-kata tercekat di tenggorokan. Akhirnya, ia hanya mengangguk kecil.

Ibunya menghela napas kasar, lalu menegakkan tubuh. “Berapa kali Mama bilang, perempuan itu bukan untuk kamu. Dia tidak selevel dengan kita, Han. Kamu masa depan keluarga ini. Jangan buang waktu untuk sesuatu yang nggak mungkin.”

Elhan mengepalkan tangan. Kata-kata itu sudah terlalu sering ia dengar, tapi setiap kali diucapkan, luka yang ditorehkan tetap terasa baru. “Ma, Nayla bukan ‘sesuatu yang nggak mungkin’. Dia nyata. Dia… satu-satunya yang bikin aku merasa hidup.”

“Cukup, Elhan!” suara ibunya menggema di ruang keluarga, tajam seperti cambuk. “Kamu buta. Mama nggak akan pernah izinkan hubungan itu. Titik.”

Elhan menatap ibunya lama, matanya berkaca-kaca tapi penuh perlawanan. “Kenapa, Ma? Karena status? Karena keluarga? Apa semua itu lebih penting daripada kebahagiaan anakmu sendiri?”

“Mama tahu yang terbaik,” jawab ibunya datar, tanpa ragu. “Dan yang terbaik bukan dia.”

Hening. Hanya ada suara detik jam yang kembali terdengar, seolah ikut menekan dada Elhan. Ia ingin berteriak, ingin melawan, tapi suaranya seakan hilang.

Akhirnya ia hanya berkata pelan, hampir seperti bisikan, “Kalau begitu… izinkan aku memilih jalanku sendiri.”

Ibunya mendengus, menatapnya tajam, lalu berdiri. “Selama kamu masih anak Mama, kamu harus ikut aturan Mama. Ingat itu.”

Langkah ibunya meninggalkan ruang keluarga, meninggalkan Elhan yang berdiri sendiri dengan napas berat dan hati yang remuk.

Ia duduk, menunduk, menekan wajahnya dengan kedua tangan. Dunia terasa semakin sempit, semakin sesak. Cinta di satu sisi, restu di sisi lain. Dan keduanya, seolah mustahil dipertemukan.

Malam itu Elhan tak bisa tidur. Ia berulang kali berguling di ranjang, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin menekan. Bayangan wajah Nayla terus muncul di pikirannya—senyumnya, matanya yang bening, juga suara rapuhnya yang memohon agar ia jangan pergi.

Tapi di sisi lain, suara ibunya pun masih menggema, dingin dan tegas, seakan tak memberi celah sedikit pun untuk bernegosiasi.

Elhan bangkit, duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Jemarinya bergetar ketika ia meraih ponsel. Sudah hampir tengah malam, tapi ia tahu Nayla pasti masih terjaga.

Pesan-pesan di layar membuat dadanya makin sesak:

“Han, aku takut ini semua benar-benar berakhir.”

“Kamu masih milih aku kan, Han? Katakan iya, walaupun cuma sekali lagi.”

Elhan menutup mata, menahan gejolak yang membuat dadanya bergetar hebat. Ia ingin membalas, ingin menenangkan, tapi jemarinya ragu di atas papan ketik. Kata-kata yang ingin ia tulis terasa sia-sia, karena kenyataan tetap akan memisahkan mereka.

Akhirnya ia hanya mengetik singkat:

“Aku sayang kamu.”

Hanya itu. Sederhana, tapi penuh luka.

Pesan terkirim, dan ia meletakkan ponsel di meja.

Elhan menengadah, menatap langit-langit sekali lagi. “Kalau cinta ini memang harus berakhir sekarang… semoga angin masih bisa membawaku kembali padanya suatu hari.”

Suara angin di luar jendela berembus lembut, seakan menjawab doa yang ia titipkan. Namun Elhan tahu, esok pagi, ia harus kembali menjalani peran: menjadi anak yang taat, menyembunyikan cintanya, dan menanggung luka sendirian.

Dan di sudut kota lain, Nayla pun memandang layar ponselnya dengan air mata. Pesan singkat itu baginya bukan jawaban, melainkan janji samar—janji yang mungkin bisa ia pegang, atau justru hancur bersama waktu.

Malam pun semakin larut, meninggalkan dua hati yang saling mencinta, tapi dipaksa berjauhan oleh restu yang tak kunjung datang.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Angin di Antara Kita    Bab 57 Tangisan Dalam Sunyi

    Sudah berbulan-bulan berlalu sejak terakhir kali Nayla dan Elhan saling bicara. Waktu terus berjalan, tapi rasanya dunia mereka berhenti di titik yang sama — di antara yang masih ingin bertahan dan yang pura-pura kuat untuk melepaskan. Hari-hari Nayla kini terasa sunyi, bukan karena tak ada suara, tapi karena tak ada yang benar-benar didengarnya. Semua berjalan otomatis: bangun, kuliah, pulang, membaca, menatap langit, lalu menangis tanpa suara di dalam kamar. Tangis yang tidak lagi berisik, tapi semakin dalam. Tangis yang tak butuh alasan karena hatinya sendiri sudah cukup jadi luka. “Ra, kamu pernah ngerasa kehilangan sesuatu yang masih ada?” Suatu sore Nayla bertanya begitu pada Rara, tanpa menatapnya. Rara menoleh, terdiam sesaat sebelum menjawab. “Maksud kamu?” “Kayak… seseorang itu masih hidup, masih bisa aku lihat, tapi rasanya udah nggak bisa kugapai lagi. Padahal dia ngg

  • Angin di Antara Kita    Bab 56 Hati yang Remuk

    Tak ada yang lebih sunyi dari seseorang yang berusaha terlihat tegar, sementara dalam dirinya sudah berkeping-keping. Dan itulah Nayla. Hari-hari setelah perpisahannya dengan Elhan terasa panjang dan asing. Ia masih datang ke kampus, masih tersenyum pada dosen, masih menjawab sapaan teman-temannya — tapi di dalam hatinya, ia sudah bukan Nayla yang sama. Semua yang dulu terasa hidup kini kehilangan warna. Setiap kali lewat di lorong tempat dulu mereka sering menunggu hujan reda, ingatannya menolak diam. Ia masih bisa mendengar suara tawa Elhan di telinganya — suara yang kini tinggal gema samar. Bahkan aroma kopi hitam dari kantin belakang kampus saja bisa membuat dadanya sesak. Dulu Elhan selalu membelinya untuk mereka berdua. Sekarang? Ia bahkan tak tahu apakah Elhan masih datang ke tempat itu atau tidak. “Udah dua minggu, La,” ucap Rara pelan suatu sore. “Kamu nggak bisa t

  • Angin di Antara Kita    Bab 55 Langkah yang Kembali

    Waktu ternyata tak benar-benar menghapus segalanya. Ia hanya menyamarkan luka di balik rutinitas, menyembunyikan kenangan di sela-sela napas yang berulang. Namun, ada hal-hal yang tetap bertahan — seperti nama yang diam-diam masih disebut dalam doa, atau tatapan yang terus terbayang meski tak lagi bertemu. Sudah dua tahun sejak Nayla dan Elhan memilih jalan masing-masing. Dua tahun tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara. Tapi di dalam sunyi yang panjang itu, hati mereka tak pernah benar-benar berhenti saling memanggil. Pagi itu, Nayla duduk di taman belakang perpustakaan kampus lama mereka. Tempat yang dulu menjadi saksi setiap tawa, perdebatan, dan janji yang tak sempat ditepati. Ia datang bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena ingin berdamai. Rambutnya kini lebih panjang, wajahnya terlihat lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan sesuatu — sisa-sisa dari cinta yang pernah ia simpan terlalu dalam. I

  • Angin di Antara Kita    Bab 54 Langkah yang Pulang

    Waktu akhirnya sampai di titik tenang. Bukan karena segalanya mudah, tapi karena semua yang berat sudah diterima dengan lapang dada. Pagi itu, udara Bandung terasa berbeda. Tidak terlalu dingin, tapi masih cukup lembut untuk mengajak seseorang mengenang tanpa sakit lagi. Nayla melangkah keluar rumah, membawa satu tas kecil dan naskah buku keduanya. Di dalam tas itu juga terselip surat—bukan untuk Damar, bukan untuk siapa pun—melainkan untuk dirinya sendiri. Ia menatap jalan kecil di depan rumahnya. Jalan yang dulu sering ia lewati sambil menangis diam-diam, tempat di mana setiap langkah terasa seperti memikul seluruh dunia. Sekarang, langkah yang sama terasa ringan, bahkan menyenangkan. Di halte dekat taman, seseorang sudah menunggunya. “Pagi, Nay,” sapa Rara, tersenyum lebar. “Pagi. Udah lama?” “Baru aja. Kamu beneran mau berangkat sendirian?” Nayla mengangguk. “I

  • Angin di Antara Kita    Bab 53 Menulis untuk yang Tak Tertulis

    Beberapa hari terakhir, meja kerja Nayla dipenuhi catatan berserakan. Di antaranya, ada potongan dialog lama, surat tak terkirim, dan halaman-halaman jurnal yang sudah menguning. Semua terasa seperti kepingan hidup yang menunggu untuk disatukan. Ia menatap layar laptop yang menampilkan satu baris judul: “Langkah di Balik Gelap – Sebuah Kisah Tentang Bertahan dan Melepaskan.” Judul itu membuatnya terdiam lama. Itu bukan sekadar judul, tapi napas dari seluruh perjalanan yang telah ia lewati — cinta, kehilangan, perjuangan, dan semua yang tak sempat ia ucapkan. ⸻ Nayla mulai mengetik perlahan. Kata demi kata mengalir, bukan dari pikirannya, tapi dari tempat yang lebih dalam — hatinya sendiri. Ia menulis tentang seorang gadis yang mencintai dengan cara sederhana, tentang laki-laki yang memilih pergi demi menjaga yang dicintainya, tentang waktu yang mem

  • Angin di Antara Kita    Bab 52 Janji yang Tertinggal

    Sudah hampir satu tahun sejak pertemuan Nayla dan Damar di pameran buku itu. Kehidupan Nayla kini berubah begitu cepat. Buku-bukunya mulai dikenal, undangan wawancara datang silih berganti, dan kelas menulisnya makin ramai. Namun di tengah segala kesibukan dan tepuk tangan, ada satu ruang kecil dalam dirinya yang tetap hening — ruang yang dulu diisi Damar. Bukan berarti ia masih terjebak pada masa lalu. Tidak. Ia sudah berdamai. Tapi kedamaian itu menyisakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi: janji yang tertinggal. ⸻ Suatu pagi, Nayla duduk di teras rumah sambil menatap kebun kecil di depannya. Kopi hangat mengepul di genggaman, aroma melati dari pot bunga menyatu dengan udara. Pagi itu damai — sampai notifikasi di ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor yang lama tak aktif. “Hai, Nay. Aku di kota. Bisa ketemu?” – Damar. Nayla menatap layar l

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status