Home / Romansa / Angin di Antara Kita / Bab 2 Jejak Hujan

Share

Bab 2 Jejak Hujan

Author: Elis Z. Faida
last update Last Updated: 2025-09-16 16:43:12

Pagi itu, cahaya matahari masuk malu-malu lewat celah gorden kamar Nayla. Sinar keemasan yang biasanya terasa hangat kini justru menyakitkan, seakan mengejek hati yang belum pulih dari luka semalam. Matanya masih sembab, kantuk belum sepenuhnya hilang, tapi pikirannya terus dipenuhi bayangan Elhan—wajahnya yang dingin, tatapannya yang menahan perasaan, dan kata-kata terakhirnya yang membekas seperti sayatan.

Nayla bangun dengan tubuh berat. Kakinya sempat goyah ketika menapak lantai dingin. Ia meraih ponsel di meja kecil di samping ranjang, layar itu kosong, tanpa pesan baru. Tidak ada nama Elhan. Tidak ada sapaan yang biasanya jadi penghibur setiap pagi.

“Bahkan ‘selamat pagi’ pun sudah nggak ada,” bisiknya lirih, suara seraknya masih bercampur dengan sisa tangisan.

Ia menarik napas panjang, lalu berjalan ke depan cermin. Wajahnya tampak pucat, matanya bengkak. Tangannya refleks meraih bedak tipis dan lip balm yang tersisa di meja rias, mencoba menutupi bekas luka emosional dengan lapisan tipis kosmetik. Namun, sekilas pun ia tahu, itu tidak akan cukup.

Ketukan lembut terdengar di pintu kamar.

“Nayla, sayang… sudah bangun?” suara ibunya terdengar dari luar, lembut tapi penuh kewaspadaan.

“Iya, Bu. Lagi siap-siap,” jawab Nayla singkat. Ia mencoba menguatkan nada suaranya agar terdengar normal, tapi getarannya tetap tak bisa sepenuhnya disembunyikan.

Begitu pintu dibuka, ibunya masuk sambil membawa segelas susu hangat. Mata sang ibu langsung menangkap kondisi wajah Nayla. “Kamu habis begadang, ya? Mata kamu bengkak banget, Nak.”

Nayla menunduk cepat, menyembunyikan wajahnya. “Nggak, Bu. Cuma… susah tidur aja.”

Ibunya menatapnya lekat-lekat, tapi tidak mendesak. Ia hanya meletakkan susu di meja belajar, lalu menepuk bahu putrinya pelan. “Jangan terlalu dipaksakan. Kadang, yang berat di hati butuh waktu sendiri untuk reda. Minum ini dulu, ya.”

Nayla mengangguk, meski hatinya semakin terasa sesak. Ia ingin bercerita, ingin menangis di pelukan ibunya, tapi lidahnya kelu. Bagaimana bisa ia mengungkapkan bahwa laki-laki yang begitu ia cintai kini terhalang oleh restu yang tidak pernah datang?

Sepulang kuliah, Nayla sengaja memperlambat langkahnya di koridor kampus. Suasana ramai tidak mampu mengusir kekosongan dalam dirinya. Teman-temannya sibuk bercanda, tertawa keras, tapi ia hanya merasakan jarak. Setiap suara tawa terdengar seperti gema yang asing.

Tiba-tiba, ia mendengar suara yang terlalu familiar.

“Elhan, nanti malam jadi, kan?” suara seorang teman lelaki terdengar tidak jauh.

Nayla menoleh refleks. Dan di sana, beberapa meter di depannya, ia melihat sosok yang tak pernah lepas dari pikirannya—Elhan. Ia tampak berdiri dengan postur tegap, mengenakan kemeja sederhana yang membuatnya terlihat dewasa. Namun tatapannya kini asing. Ia berbicara singkat, sekilas menoleh, lalu pandangan mereka bertemu.

Sejenak dunia berhenti.

Hanya ada dua pasang mata saling menatap, tanpa kata.

Nayla merasakan dadanya kembali bergetar. Ada luka yang mendesak keluar, tapi juga kerinduan yang terlalu besar untuk disangkal. Elhan mengalihkan pandangan lebih dulu, berpura-pura sibuk dengan percakapan. Itu lebih menyakitkan daripada jika ia benar-benar mengabaikan Nayla sejak awal.

Langkah Nayla melemah. Ingin rasanya ia berlari menghampiri, bertanya kenapa mereka harus sejauh ini hanya karena satu kata: restu. Namun, tubuhnya seakan terkunci, dan hatinya dipaksa belajar menahan diri.

Di kamar malam itu, Nayla kembali duduk di meja belajarnya, menatap kosong buku catatan terbuka. Pena di tangannya berhenti, hanya mencoret kata-kata tanpa makna. Namun akhirnya, satu kalimat lahir, tertulis di kertas dengan tulisan yang bergetar:

“Kenapa cinta harus kalah sebelum sempat berjuang?”

Tangannya berhenti. Air mata menetes, membasahi tinta yang belum kering. Ia menutup buku itu cepat-cepat, menyembunyikan kepedihan yang semakin tak tertahankan.

Namun jauh di lubuk hatinya, ada bisikan lirih:

Cinta ini belum selesai. Tidak akan pernah benar-benar selesai.

Hari-hari berikutnya terasa berjalan lambat, seperti waktu sengaja mempermainkan Nayla. Di setiap sudut kampus, seolah ada bayangan Elhan. Di koridor, di kantin, bahkan di perpustakaan yang biasanya jadi tempat tenangnya. Namun kini, tempat itu terasa asing.

Sore itu, ia duduk di antara deretan rak buku, mencoba menenangkan hati dengan membaca. Buku di tangannya terbuka, tapi matanya hanya terpaku pada halaman kosong. Kata-kata tak lagi bermakna, karena pikirannya terus kembali pada tatapan Elhan yang dingin tempo hari.

Suara langkah mendekat. Nayla terkejut ketika melihat Raka—teman sekelasnya yang cukup dekat—tiba-tiba ikut duduk di hadapannya.

“Kamu kenapa, Nay?” Raka bertanya dengan suara tenang, sambil menaruh beberapa buku tebal di meja. “Akhir-akhir ini kamu kayak… hilang. Beda banget.”

Nayla buru-buru menggeleng. “Nggak apa-apa. Cuma capek kuliah.”

Raka menatapnya tak percaya. “Aku tahu kamu bukan tipe yang gampang down karena tugas. Kamu kelihatan… sedih. Ada masalah, ya?”

Nayla terdiam. Ia ingin bercerita, tapi kata-kata seperti terhenti di tenggorokan. Bagaimana bisa ia menjelaskan, ketika luka itu terlalu pribadi, terlalu rumit?

“Kalau kamu butuh teman cerita, aku ada,” lanjut Raka dengan tulus. “Nggak usah dipendam sendiri. Kadang, ngomong aja bisa bikin hati lebih ringan.”

Ucapan itu membuat dada Nayla sedikit hangat. Namun sebelum ia sempat menjawab, matanya tanpa sengaja menoleh ke arah pintu perpustakaan. Elhan berdiri di sana, seolah mencari sesuatu. Tatapan mereka kembali bertemu. Tapi kali ini berbeda—ada seberkas luka di mata Elhan, walau ia cepat-cepat menunduk.

Nayla refleks menarik napas panjang, tangannya bergetar. Raka menyadari perubahan itu. Ia mengikuti arah pandangan Nayla, dan matanya sempat menangkap sosok Elhan yang berjalan pergi dengan cepat.

“Oh…” Raka bergumam pelan. Seperti menemukan jawaban dari teka-teki yang sejak tadi ia pertanyakan.

Malam harinya, Nayla berbaring di ranjang, lampu kamar sudah dipadamkan. Tapi matanya tak juga terpejam. Bayangan siang tadi masih jelas: Elhan yang hanya berani menatap sekilas, lalu menghilang. Seakan jarak di antara mereka bukan sekadar ruang, tapi tembok yang tak bisa ditembus.

Tangannya meraih ponsel, membuka kotak pesan yang kosong. Berulang kali ia mengetik kata “Aku kangen”, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Hingga akhirnya, layar hanya menampilkan cahaya redup, tanpa keberanian untuk benar-benar mengirim.

Air mata kembali mengalir, jatuh membasahi bantal. Hatinya terasa terhimpit, tapi ia masih menolak untuk menyerah. Dalam hatinya, Nayla berbisik:

“Elhan… meskipun kamu menjauh, aku tetap percaya, cinta ini nggak mungkin benar-benar mati. Suatu hari, entah kapan, entah bagaimana, aku yakin kita bakal menemukan jalan.”

Di luar jendela, angin kembali berembus. Lembut, namun membawa dingin. Seakan semesta sengaja memperdengarkan suara yang sama—suara perpisahan yang belum selesai.

Keesokan harinya, hujan turun sejak pagi. Butiran air menempel di kaca jendela kelas, membentuk pola tak beraturan. Suara rintiknya seperti musik melankolis yang seolah diciptakan khusus untuk hati Nayla.

Ia duduk di bangku belakang, kepalanya bersandar pada telapak tangan. Matanya kosong menatap keluar jendela, mengikuti jejak air yang berlomba jatuh.

“Lagi-lagi melamun,” suara Arini, sahabatnya, memecah sepi. Ia duduk di sebelah Nayla, lalu menyikut pelan lengannya. “Sejak kapan kamu suka banget mandangin hujan gini? Biasanya kamu paling semangat ngajakin aku ngobrol pas kelas bosenin begini.”

Nayla tersenyum tipis, tapi jelas dipaksakan. “Aku cuma capek.”

“Capek?” Arini mengangkat alis. “Atau… patah hati?”

Ucapan itu membuat Nayla menoleh cepat. Jantungnya berdegup kencang. Namun Arini hanya menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, tanpa maksud mengejek.

“Aku sahabatmu, Nay. Kamu nggak perlu pura-pura kuat kalau lagi rapuh,” ujar Arini lembut.

Nayla membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Ia menunduk, menahan gejolak yang tiba-tiba muncul. Rasanya ingin menangis, tapi ia takut runtuh di depan orang banyak.

Sementara itu, dari pintu kelas, Elhan masuk dengan langkah tenang. Seragamnya basah di bagian bahu, entah karena lupa bawa payung atau sengaja membiarkan dirinya diguyur hujan.

Seisi kelas menoleh. Tapi Nayla menunduk semakin dalam, pura-pura sibuk menulis catatan di buku. Ia bisa merasakan detak jantungnya makin kencang, seolah ingin melompat keluar.

Elhan duduk di bangku yang tak jauh dari mereka. Tatapannya sekilas melirik ke arah Nayla—singkat, cepat, tapi cukup untuk membuat Nayla kembali sesak.

Arini yang jeli segera menangkap perubahan itu. Matanya bergeser dari Nayla ke Elhan, lalu kembali lagi ke Nayla. Ada pertanyaan yang tak terucap di matanya, tapi Nayla tak sanggup menjawab.

Saat bel istirahat berbunyi, kelas riuh dengan suara kursi yang bergeser. Arini beranjak lebih dulu, menawarkan untuk menemani Nayla ke kantin. Namun Nayla menolak dengan alasan ingin tetap di kelas.

Begitu kelas sepi, Nayla berdiri, berjalan ke jendela, dan kembali menatap hujan. Ada perasaan aneh—seperti dirinya terjebak di antara dua dunia: satu yang ingin tetap bertahan, dan satu lagi yang dipaksa melepaskan.

Suara langkah mendekat. Nayla tersentak ketika menyadari Elhan kini berdiri tak jauh darinya. Udara seketika berubah—hening, tapi penuh ketegangan yang tak terlihat.

“Kamu masih suka hujan, ya?” Elhan membuka suara. Suaranya rendah, hampir tertelan oleh gemericik di luar sana.

Nayla menggigit bibir, menahan tangis yang hampir pecah. “Kenapa kamu harus ngomong ke aku seolah nggak ada yang berubah?”

Elhan terdiam. Sorot matanya bergetar, seakan ada banyak kata yang ingin ia ucapkan tapi tertahan. “Karena sebenarnya… buat aku, nggak ada yang berubah.”

Nayla menoleh, matanya berkaca-kaca. “Tapi kamu ninggalin aku.”

Elhan menarik napas panjang, tangannya mengepal. “Kadang, mencintai berarti harus pergi… demi orang yang kita cintai.”

Kata-kata itu membuat Nayla hampir runtuh. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin memaksa Elhan untuk tetap tinggal. Tapi lidahnya kelu, kakinya gemetar.

Hening itu hanya bertahan sebentar sebelum Elhan melangkah pergi lagi. Menyisakan Nayla sendirian, dengan hati yang kembali digerus angin.

Dan di luar sana, hujan turun lebih deras—seperti ikut menangis bersama mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Angin di Antara Kita    Bab 57 Tangisan Dalam Sunyi

    Sudah berbulan-bulan berlalu sejak terakhir kali Nayla dan Elhan saling bicara. Waktu terus berjalan, tapi rasanya dunia mereka berhenti di titik yang sama — di antara yang masih ingin bertahan dan yang pura-pura kuat untuk melepaskan. Hari-hari Nayla kini terasa sunyi, bukan karena tak ada suara, tapi karena tak ada yang benar-benar didengarnya. Semua berjalan otomatis: bangun, kuliah, pulang, membaca, menatap langit, lalu menangis tanpa suara di dalam kamar. Tangis yang tidak lagi berisik, tapi semakin dalam. Tangis yang tak butuh alasan karena hatinya sendiri sudah cukup jadi luka. “Ra, kamu pernah ngerasa kehilangan sesuatu yang masih ada?” Suatu sore Nayla bertanya begitu pada Rara, tanpa menatapnya. Rara menoleh, terdiam sesaat sebelum menjawab. “Maksud kamu?” “Kayak… seseorang itu masih hidup, masih bisa aku lihat, tapi rasanya udah nggak bisa kugapai lagi. Padahal dia ngg

  • Angin di Antara Kita    Bab 56 Hati yang Remuk

    Tak ada yang lebih sunyi dari seseorang yang berusaha terlihat tegar, sementara dalam dirinya sudah berkeping-keping. Dan itulah Nayla. Hari-hari setelah perpisahannya dengan Elhan terasa panjang dan asing. Ia masih datang ke kampus, masih tersenyum pada dosen, masih menjawab sapaan teman-temannya — tapi di dalam hatinya, ia sudah bukan Nayla yang sama. Semua yang dulu terasa hidup kini kehilangan warna. Setiap kali lewat di lorong tempat dulu mereka sering menunggu hujan reda, ingatannya menolak diam. Ia masih bisa mendengar suara tawa Elhan di telinganya — suara yang kini tinggal gema samar. Bahkan aroma kopi hitam dari kantin belakang kampus saja bisa membuat dadanya sesak. Dulu Elhan selalu membelinya untuk mereka berdua. Sekarang? Ia bahkan tak tahu apakah Elhan masih datang ke tempat itu atau tidak. “Udah dua minggu, La,” ucap Rara pelan suatu sore. “Kamu nggak bisa t

  • Angin di Antara Kita    Bab 55 Langkah yang Kembali

    Waktu ternyata tak benar-benar menghapus segalanya. Ia hanya menyamarkan luka di balik rutinitas, menyembunyikan kenangan di sela-sela napas yang berulang. Namun, ada hal-hal yang tetap bertahan — seperti nama yang diam-diam masih disebut dalam doa, atau tatapan yang terus terbayang meski tak lagi bertemu. Sudah dua tahun sejak Nayla dan Elhan memilih jalan masing-masing. Dua tahun tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara. Tapi di dalam sunyi yang panjang itu, hati mereka tak pernah benar-benar berhenti saling memanggil. Pagi itu, Nayla duduk di taman belakang perpustakaan kampus lama mereka. Tempat yang dulu menjadi saksi setiap tawa, perdebatan, dan janji yang tak sempat ditepati. Ia datang bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena ingin berdamai. Rambutnya kini lebih panjang, wajahnya terlihat lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan sesuatu — sisa-sisa dari cinta yang pernah ia simpan terlalu dalam. I

  • Angin di Antara Kita    Bab 54 Langkah yang Pulang

    Waktu akhirnya sampai di titik tenang. Bukan karena segalanya mudah, tapi karena semua yang berat sudah diterima dengan lapang dada. Pagi itu, udara Bandung terasa berbeda. Tidak terlalu dingin, tapi masih cukup lembut untuk mengajak seseorang mengenang tanpa sakit lagi. Nayla melangkah keluar rumah, membawa satu tas kecil dan naskah buku keduanya. Di dalam tas itu juga terselip surat—bukan untuk Damar, bukan untuk siapa pun—melainkan untuk dirinya sendiri. Ia menatap jalan kecil di depan rumahnya. Jalan yang dulu sering ia lewati sambil menangis diam-diam, tempat di mana setiap langkah terasa seperti memikul seluruh dunia. Sekarang, langkah yang sama terasa ringan, bahkan menyenangkan. Di halte dekat taman, seseorang sudah menunggunya. “Pagi, Nay,” sapa Rara, tersenyum lebar. “Pagi. Udah lama?” “Baru aja. Kamu beneran mau berangkat sendirian?” Nayla mengangguk. “I

  • Angin di Antara Kita    Bab 53 Menulis untuk yang Tak Tertulis

    Beberapa hari terakhir, meja kerja Nayla dipenuhi catatan berserakan. Di antaranya, ada potongan dialog lama, surat tak terkirim, dan halaman-halaman jurnal yang sudah menguning. Semua terasa seperti kepingan hidup yang menunggu untuk disatukan. Ia menatap layar laptop yang menampilkan satu baris judul: “Langkah di Balik Gelap – Sebuah Kisah Tentang Bertahan dan Melepaskan.” Judul itu membuatnya terdiam lama. Itu bukan sekadar judul, tapi napas dari seluruh perjalanan yang telah ia lewati — cinta, kehilangan, perjuangan, dan semua yang tak sempat ia ucapkan. ⸻ Nayla mulai mengetik perlahan. Kata demi kata mengalir, bukan dari pikirannya, tapi dari tempat yang lebih dalam — hatinya sendiri. Ia menulis tentang seorang gadis yang mencintai dengan cara sederhana, tentang laki-laki yang memilih pergi demi menjaga yang dicintainya, tentang waktu yang mem

  • Angin di Antara Kita    Bab 52 Janji yang Tertinggal

    Sudah hampir satu tahun sejak pertemuan Nayla dan Damar di pameran buku itu. Kehidupan Nayla kini berubah begitu cepat. Buku-bukunya mulai dikenal, undangan wawancara datang silih berganti, dan kelas menulisnya makin ramai. Namun di tengah segala kesibukan dan tepuk tangan, ada satu ruang kecil dalam dirinya yang tetap hening — ruang yang dulu diisi Damar. Bukan berarti ia masih terjebak pada masa lalu. Tidak. Ia sudah berdamai. Tapi kedamaian itu menyisakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi: janji yang tertinggal. ⸻ Suatu pagi, Nayla duduk di teras rumah sambil menatap kebun kecil di depannya. Kopi hangat mengepul di genggaman, aroma melati dari pot bunga menyatu dengan udara. Pagi itu damai — sampai notifikasi di ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor yang lama tak aktif. “Hai, Nay. Aku di kota. Bisa ketemu?” – Damar. Nayla menatap layar l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status