Home / Romansa / Angin di Antara Kita / Bab 9 Di Antara Rindu dan Penolakan

Share

Bab 9 Di Antara Rindu dan Penolakan

Author: Elis Z. Faida
last update Last Updated: 2025-09-17 14:11:36

Langit sore itu terbakar jingga, awan tipis berarak pelan, dan suara burung camar terdengar samar dari kejauhan. Di tepi danau kampus, angin bertiup lembut, memantulkan riak kecil di permukaan air. Tempat itu biasanya menjadi ruang tenang bagi Nayla, tempat di mana ia bisa melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia. Namun sore itu, ketenangan justru terasa asing.

Ia duduk di bangku kayu yang sedikit berlumut, menatap air dengan tatapan kosong. Buku catatan terbuka di pangkuannya, tetapi tangannya hanya menggenggam pena tanpa menulis apapun. Pikirannya kacau, seperti pusaran air yang berputar tanpa arah.

Suara langkah mendekat membuatnya menoleh. Dan jantungnya langsung berdegup tak terkendali ketika melihat siapa yang datang. Elhan.

Lelaki itu berjalan pelan, seolah takut langkahnya akan memecah udara di sekitarnya. Matanya redup, wajahnya lebih kurus, dan ada lelah yang jelas terlihat. Namun sorot itu tetap sama: sorot yang dulu pernah membuat Nayla merasa dunia ini hanya mereka berdua.

“Elhan…” suara Nayla pecah tanpa ia sadari.

Elhan berhenti di depan bangku, menunduk sejenak, lalu duduk di sisi lain. Jarak di antara mereka hanya sejengkal, tapi terasa seperti ribuan mil.

“Boleh aku duduk di sini?” tanyanya pelan, meski ia sudah duduk.

Nayla terdiam, lalu akhirnya mengangguk lemah. “Silakan.”

Hening menyelimuti mereka beberapa saat. Hanya suara riak air dan desir angin yang terdengar. Lalu Elhan menghela napas panjang.

“Aku tahu kamu benci aku sekarang,” katanya, menatap lurus ke air. “Tapi aku nggak bisa berhenti cari cara buat deket sama kamu. Meski cuma duduk kayak gini.”

Nayla menggigit bibir. Hatanya bergejolak, antara ingin mengusirnya pergi atau justru berteriak bahwa ia masih merindukannya. Namun ia memilih diam.

“Elhan,” akhirnya Nayla membuka suara. “Kenapa kamu datang lagi? Setelah semua yang terjadi… kamu pikir aku masih bisa nerima kamu begitu aja?”

Elhan menunduk, jemarinya mengepal erat di pangkuannya. “Aku nggak datang buat minta kamu nerima aku. Aku cuma… pengen jelasin. Pengen kamu tahu kalau aku nggak ninggalin kamu karena aku berhenti sayang.”

Nayla menoleh, matanya berkaca-kaca. “Lalu kenapa, Han? Kenapa harus aku yang jadi korban dari semua itu? Kamu tahu nggak, tiap malam aku nangis? Aku ngerasa kayak orang bodoh yang nungguin sesuatu yang nggak bakal pernah balik.”

Suara Nayla bergetar, namun setiap kata keluar dengan tajam, menusuk.

Elhan menatapnya akhirnya, mata itu penuh luka. “Aku tahu. Aku bisa bayangin betapa sakitnya kamu. Dan aku benci diri aku sendiri karena bikin kamu kayak gitu. Tapi Nayla, aku terjebak. Aku nggak punya cukup kekuatan buat lawan Mamaku. Aku nggak sanggup kalau kamu sampai jadi bahan kebenciannya.”

“Apa kamu kira aku nggak sanggup?” Nayla membalas cepat. “Apa kamu kira aku lemah? Kalau kamu bener-bener percaya sama aku, harusnya kita lawan sama-sama, bukan kamu pergi sendirian!”

Kata-kata itu membuat Elhan terdiam. Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan. “Kamu bener,” gumamnya lirih. “Aku pengecut.”

Hening kembali menyergap. Hanya kali ini, hening itu dipenuhi dengan sesal yang membakar.

Hari-hari setelah pertemuan itu, Nayla semakin sering menghindari Elhan. Ia tenggelam dalam rutinitas kuliah, mencoba mengisi waktunya agar tak ada celah untuk kembali memikirkan lelaki itu. Namun semakin ia berusaha, semakin kuat pula bayangan Elhan menghantuinya.

Ardan, yang sejak lama diam-diam menyimpan perasaan, mulai melihat betapa rapuhnya Nayla. Ia selalu ada, menjemput ketika hujan turun, membawakan makanan ketika Nayla lupa makan, atau sekadar menemani di perpustakaan. Senyumnya tulus, hangat, seperti pelukan yang tak pernah diminta tapi selalu tersedia.

“Nay,” kata Ardan suatu sore saat mereka duduk di kafe kecil dekat kampus, “aku nggak minta kamu cerita kalau kamu belum siap. Tapi aku pengen kamu tahu… aku ada buat kamu. Selalu.”

Nayla menatap wajahnya lama. Ada ketenangan yang ditawarkan di sana, ketenangan yang berbeda dari badai yang selalu hadir bersama Elhan.

Namun hatinya menolak. Bukan karena Ardan kurang, tapi karena cinta itu masih tertambat pada seseorang yang telah pergi.

“Terima kasih, Dan,” jawabnya lirih. “Kamu baik banget. Mungkin terlalu baik buat aku.”

Ardan hanya tersenyum, meski hatinya perih. Ia tahu dirinya sedang berperang melawan bayangan seseorang yang tak bisa ia kalahkan.

Malam itu, Nayla kembali mendapati dirinya tak bisa tidur. Ia berjalan ke balkon kecil kamar kosnya, menatap langit malam yang penuh bintang. Angin membawa dingin yang menusuk, tetapi pikirannya jauh lebih gaduh.

Ia merindukan Elhan. Rindu yang menyakitkan, rindu yang membuatnya ingin berlari menemuinya saat itu juga. Namun di sisi lain, ada penolakan yang keras. Ia tak ingin kembali jatuh pada luka yang sama.

Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk. Dari Elhan.

“Aku di depan kos kamu. Cuma sebentar. Kalau kamu nggak mau ketemu, aku pergi.”

Dada Nayla berdegup kencang. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, bingung harus bagaimana. Akhirnya, dengan langkah ragu, ia turun.

Dan benar. Elhan berdiri di sana, mengenakan jaket hitam, wajahnya tampak letih. Begitu melihat Nayla, ia tersenyum tipis, senyum yang penuh getir.

“Aku janji nggak lama,” katanya. “Aku cuma mau kasih ini.”

Ia mengulurkan sebuah buku catatan lusuh. Nayla menerimanya dengan tangan gemetar. Begitu membukanya, ia terperanjat. Isinya penuh tulisan tangan Elhan—puisi, catatan, ungkapan hati yang semuanya tentang Nayla.

Air mata langsung tumpah. “Kenapa kamu kasih ini sekarang?” suaranya bergetar.

“Karena aku nggak tahu cara lain buat kamu ngerti,” jawab Elhan lirih. “Kalau aku masih cinta. Selalu.”

Nayla menggenggam buku itu erat. Hatinya berperang, antara ingin memeluk lelaki itu dan ingin berteriak menyuruhnya pergi.

“Aku benci kamu, Han,” isaknya. “Aku benci karena kamu bikin aku nggak bisa berhenti sayang.”

Elhan menunduk, bahunya bergetar. Ia menahan diri, tidak mendekat. “Aku terima kalau kamu benci. Tapi jangan pernah ragukan satu hal: aku nggak pernah berhenti mencintai kamu.”

Malam itu, mereka berdiri di bawah cahaya lampu jalan yang temaram. Dua hati yang saling merindukan, tapi terbelenggu oleh luka dan ketidakberdayaan.

Hari-hari berikutnya berjalan dengan ironi. Nayla mencoba melanjutkan hidup, mencoba menerima perhatian Ardan, mencoba tertawa bersama Dina. Tapi hatinya tetap tertambat pada lelaki yang memberinya luka.

Elhan, di sisi lain, terus berusaha mendekat, meski dengan cara sederhana: menitipkan buku, meninggalkan catatan kecil, atau sekadar memastikan Nayla baik-baik saja dari kejauhan. Ia tahu dirinya tak pantas, tapi cinta itu terlalu kuat untuk dihapus.

Di kelas, tatapan mereka sering bertemu. Tak ada kata yang terucap, tapi ada ribuan kalimat yang berteriak di balik mata itu. Dunia di sekitar mereka berjalan, tapi seolah tak ada yang benar-benar mereka dengar selain degup jantung masing-masing.

Suatu sore, Nayla menulis di buku catatan barunya:

“Aku ingin berhenti mencintaimu, tapi setiap kali aku mencoba, aku justru jatuh lebih dalam. Mungkin cinta ini kutukan. Mungkin cinta ini anugerah. Aku tak tahu. Yang aku tahu, aku masih di sini—meski kamu tak lagi bisa sepenuhnya kumiliki.”

Ia menutup buku itu dengan tangan bergetar. Air matanya jatuh, tapi senyum samar muncul di bibirnya. Karena ia sadar, meski luka tak kunjung sembuh, meski restu tak kunjung datang, cinta itu tak pernah benar-benar mati.

Dan mungkin, suatu hari nanti, angin yang dulu membawa pergi Elhan… akan kembali membawa mereka ke pelukan yang sama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Angin di Antara Kita    Bab 57 Tangisan Dalam Sunyi

    Sudah berbulan-bulan berlalu sejak terakhir kali Nayla dan Elhan saling bicara. Waktu terus berjalan, tapi rasanya dunia mereka berhenti di titik yang sama — di antara yang masih ingin bertahan dan yang pura-pura kuat untuk melepaskan. Hari-hari Nayla kini terasa sunyi, bukan karena tak ada suara, tapi karena tak ada yang benar-benar didengarnya. Semua berjalan otomatis: bangun, kuliah, pulang, membaca, menatap langit, lalu menangis tanpa suara di dalam kamar. Tangis yang tidak lagi berisik, tapi semakin dalam. Tangis yang tak butuh alasan karena hatinya sendiri sudah cukup jadi luka. “Ra, kamu pernah ngerasa kehilangan sesuatu yang masih ada?” Suatu sore Nayla bertanya begitu pada Rara, tanpa menatapnya. Rara menoleh, terdiam sesaat sebelum menjawab. “Maksud kamu?” “Kayak… seseorang itu masih hidup, masih bisa aku lihat, tapi rasanya udah nggak bisa kugapai lagi. Padahal dia ngg

  • Angin di Antara Kita    Bab 56 Hati yang Remuk

    Tak ada yang lebih sunyi dari seseorang yang berusaha terlihat tegar, sementara dalam dirinya sudah berkeping-keping. Dan itulah Nayla. Hari-hari setelah perpisahannya dengan Elhan terasa panjang dan asing. Ia masih datang ke kampus, masih tersenyum pada dosen, masih menjawab sapaan teman-temannya — tapi di dalam hatinya, ia sudah bukan Nayla yang sama. Semua yang dulu terasa hidup kini kehilangan warna. Setiap kali lewat di lorong tempat dulu mereka sering menunggu hujan reda, ingatannya menolak diam. Ia masih bisa mendengar suara tawa Elhan di telinganya — suara yang kini tinggal gema samar. Bahkan aroma kopi hitam dari kantin belakang kampus saja bisa membuat dadanya sesak. Dulu Elhan selalu membelinya untuk mereka berdua. Sekarang? Ia bahkan tak tahu apakah Elhan masih datang ke tempat itu atau tidak. “Udah dua minggu, La,” ucap Rara pelan suatu sore. “Kamu nggak bisa t

  • Angin di Antara Kita    Bab 55 Langkah yang Kembali

    Waktu ternyata tak benar-benar menghapus segalanya. Ia hanya menyamarkan luka di balik rutinitas, menyembunyikan kenangan di sela-sela napas yang berulang. Namun, ada hal-hal yang tetap bertahan — seperti nama yang diam-diam masih disebut dalam doa, atau tatapan yang terus terbayang meski tak lagi bertemu. Sudah dua tahun sejak Nayla dan Elhan memilih jalan masing-masing. Dua tahun tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara. Tapi di dalam sunyi yang panjang itu, hati mereka tak pernah benar-benar berhenti saling memanggil. Pagi itu, Nayla duduk di taman belakang perpustakaan kampus lama mereka. Tempat yang dulu menjadi saksi setiap tawa, perdebatan, dan janji yang tak sempat ditepati. Ia datang bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena ingin berdamai. Rambutnya kini lebih panjang, wajahnya terlihat lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan sesuatu — sisa-sisa dari cinta yang pernah ia simpan terlalu dalam. I

  • Angin di Antara Kita    Bab 54 Langkah yang Pulang

    Waktu akhirnya sampai di titik tenang. Bukan karena segalanya mudah, tapi karena semua yang berat sudah diterima dengan lapang dada. Pagi itu, udara Bandung terasa berbeda. Tidak terlalu dingin, tapi masih cukup lembut untuk mengajak seseorang mengenang tanpa sakit lagi. Nayla melangkah keluar rumah, membawa satu tas kecil dan naskah buku keduanya. Di dalam tas itu juga terselip surat—bukan untuk Damar, bukan untuk siapa pun—melainkan untuk dirinya sendiri. Ia menatap jalan kecil di depan rumahnya. Jalan yang dulu sering ia lewati sambil menangis diam-diam, tempat di mana setiap langkah terasa seperti memikul seluruh dunia. Sekarang, langkah yang sama terasa ringan, bahkan menyenangkan. Di halte dekat taman, seseorang sudah menunggunya. “Pagi, Nay,” sapa Rara, tersenyum lebar. “Pagi. Udah lama?” “Baru aja. Kamu beneran mau berangkat sendirian?” Nayla mengangguk. “I

  • Angin di Antara Kita    Bab 53 Menulis untuk yang Tak Tertulis

    Beberapa hari terakhir, meja kerja Nayla dipenuhi catatan berserakan. Di antaranya, ada potongan dialog lama, surat tak terkirim, dan halaman-halaman jurnal yang sudah menguning. Semua terasa seperti kepingan hidup yang menunggu untuk disatukan. Ia menatap layar laptop yang menampilkan satu baris judul: “Langkah di Balik Gelap – Sebuah Kisah Tentang Bertahan dan Melepaskan.” Judul itu membuatnya terdiam lama. Itu bukan sekadar judul, tapi napas dari seluruh perjalanan yang telah ia lewati — cinta, kehilangan, perjuangan, dan semua yang tak sempat ia ucapkan. ⸻ Nayla mulai mengetik perlahan. Kata demi kata mengalir, bukan dari pikirannya, tapi dari tempat yang lebih dalam — hatinya sendiri. Ia menulis tentang seorang gadis yang mencintai dengan cara sederhana, tentang laki-laki yang memilih pergi demi menjaga yang dicintainya, tentang waktu yang mem

  • Angin di Antara Kita    Bab 52 Janji yang Tertinggal

    Sudah hampir satu tahun sejak pertemuan Nayla dan Damar di pameran buku itu. Kehidupan Nayla kini berubah begitu cepat. Buku-bukunya mulai dikenal, undangan wawancara datang silih berganti, dan kelas menulisnya makin ramai. Namun di tengah segala kesibukan dan tepuk tangan, ada satu ruang kecil dalam dirinya yang tetap hening — ruang yang dulu diisi Damar. Bukan berarti ia masih terjebak pada masa lalu. Tidak. Ia sudah berdamai. Tapi kedamaian itu menyisakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi: janji yang tertinggal. ⸻ Suatu pagi, Nayla duduk di teras rumah sambil menatap kebun kecil di depannya. Kopi hangat mengepul di genggaman, aroma melati dari pot bunga menyatu dengan udara. Pagi itu damai — sampai notifikasi di ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor yang lama tak aktif. “Hai, Nay. Aku di kota. Bisa ketemu?” – Damar. Nayla menatap layar l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status