Kampus sore itu ramai oleh mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kelas. Lantai koridor berderit oleh langkah kaki, suara tawa bersahut-sahutan, dan aroma kertas bercampur dengan parfum murah meriah memenuhi udara. Namun bagi Nayla, semua itu hanya latar buram.
Sejak pertemuannya dengan Elhan di lorong kemarin, bayangan lelaki itu terus menghantui pikirannya. Tatapan mata yang goyah, suara lirih yang berkata ia pun terluka—semuanya membuat Nayla semakin terjerat pada simpul yang tak bisa ia uraikan. Ia berjalan cepat, mencoba menghindari kemungkinan bertemu Elhan lagi. Tetapi setiap bayangan punggung lelaki tinggi di keramaian, setiap suara berat yang samar terdengar, selalu membuat jantungnya berdegup tak karuan. Hatinya seperti terus dipermainkan oleh ketidakpastian. “Nayla!” Dina memanggil dari arah belakang, berlari kecil menghampirinya. Nafasnya sedikit terengah. “Eh, kok buru-buru banget? Ada apa sih sama kamu akhir-akhir ini? Aku panggil berkali-kali, nggak nyaut.” Nayla berhenti sejenak, tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kekacauan di dalam dirinya. “Maaf, Din. Aku nggak denger.” “Ngaku aja, kamu lagi mikirin sesuatu, kan?” Dina menatapnya tajam, seolah berusaha membaca isi kepalanya. “Atau… seseorang?” Nayla terdiam, pandangannya segera beralih ke arah jendela di koridor, di mana sinar sore memantulkan cahaya keemasan. “Nggak ada apa-apa,” jawabnya singkat, lalu melanjutkan langkah. Tapi jelas, Dina tak percaya begitu saja. Sepanjang jalan, Dina bercerita tentang tugas kuliah, rencana akhir pekan, bahkan tentang gosip terbaru di kelas mereka. Nayla hanya mengangguk seperlunya, setengah telinga mendengar, setengah pikiran kembali ke nama yang terus berputar di kepalanya. Elhan. Nama itu bagai mantra yang tak bisa hilang. Malamnya, Nayla duduk di meja belajarnya dengan buku terbuka di depan. Namun satu halaman pun tak terbaca. Pena di tangannya hanya mencoret-coret tanpa makna. Ia menutup buku keras-keras, menunduk, lalu memejamkan mata. Pikirannya kembali pada kata-kata Elhan. “Aku juga terluka.” Kalau benar Elhan terluka, kenapa ia memilih pergi? Kenapa menyerah pada restu, padahal cinta mereka jelas masih ada? Pertanyaan itu berputar-putar, tanpa jawaban. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ardan. “Nay, kamu udah makan? Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kalau perlu temen cerita, aku ada.” Nayla menatap layar itu lama, hatinya terasa hangat tapi juga kacau. Ia mengetik balasan singkat. “Makasih, Dan. Aku baik-baik aja.” Tentu saja itu bohong. Ia sama sekali tidak baik-baik saja. Tapi ia tak mau menyeret Ardan masuk ke pusaran luka yang bahkan tak bisa ia pahami. Setelah meletakkan ponsel, Nayla berdiri dan menghampiri jendela. Angin malam masuk lewat celah, membawa aroma hujan yang tersisa siang tadi. Ia menatap langit yang kelam, bertanya pada dirinya sendiri: Sampai kapan aku harus begini? Matanya panas. Air mata menetes satu-satu, jatuh ke telapak tangannya. Nayla menggenggam erat, seolah ingin menyembunyikan kesedihannya bahkan dari dirinya sendiri. Namun air mata tak bisa berbohong. Luka itu terlalu nyata, terlalu dalam. Keesokan harinya, Nayla memutuskan datang lebih pagi ke kampus. Ia berharap bisa menghindari tatapan atau kehadiran Elhan. Namun takdir kembali mempermainkan. Di depan ruang kelas, ia melihat Elhan berdiri. Tubuhnya tegap, wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, tapi tetap menyimpan aura dingin yang selalu membuat Nayla bergetar. Langkah Nayla seketika melambat. Jantungnya berdetak liar. Ia ingin berbalik, tapi Elhan sudah lebih dulu menyadari kehadirannya. “Nayla,” panggilnya pelan. Suara itu, meski sederhana, mampu membuat seluruh pertahanan Nayla runtuh. Ia menggigit bibir, mencoba tetap tegar. “Kenapa?” tanyanya singkat, dingin. Elhan menatapnya, lama, seperti mencari kata yang tepat. “Aku cuma… pengen bilang, maaf.” Hanya satu kata, tapi dunia Nayla seakan runtuh sekali lagi. Maaf? Apa gunanya maaf ketika luka sudah begitu dalam? Apa gunanya maaf kalau cinta mereka masih terbelenggu restu yang tak pernah datang? Nayla menghela napas panjang, menahan air mata yang hampir pecah. “Maaf nggak akan bikin semua balik seperti semula, Elhan.” Suaranya bergetar, tapi tatapannya tegas. Elhan terdiam. Jemarinya mengepal, urat-urat tangannya menegang. Ia ingin mengatakan lebih, tapi kata-kata seolah terhenti di tenggorokan. Akhirnya, Nayla melangkah masuk ke kelas, meninggalkan Elhan berdiri sendiri di depan pintu. Hari-hari berikutnya berjalan seperti badai yang tak henti. Nayla terus mencoba menjaga jarak, membangun tembok di sekeliling dirinya. Ia menenggelamkan diri dalam tugas kuliah, menulis catatan panjang, dan bahkan sesekali ikut Dina hang out agar pikirannya teralih. Namun semua itu hanya topeng. Saat malam tiba, saat dunia hening, luka itu kembali menganga. Suatu malam, Dina yang cemas mengetuk pintu kamarnya. “Nayla, kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini. Kalau kamu butuh tempat nangis, aku ada. Jangan pura-pura kuat.” Nayla akhirnya luluh. Ia jatuh dalam pelukan sahabatnya, menangis sejadi-jadinya. Dina tak banyak bicara, hanya mengusap punggungnya pelan. “Aku capek, Din,” isaknya. “Aku capek harus pura-pura kuat.” Dina mengangguk, meski hatinya ikut teriris. “Kalau capek, berhenti pura-pura. Biarkan aku ada di sini buat kamu.” Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Nayla merasa sedikit lega. Tapi rasa lega itu hanya sementara. Karena jauh di lubuk hatinya, nama Elhan masih terus bergema, tak tergantikan oleh siapapun. Beberapa hari kemudian, Nayla duduk di perpustakaan, mencoba membaca buku tebal. Namun konsentrasinya buyar ketika tiba-tiba Elhan muncul, berdiri di seberangnya. Keduanya hanya saling menatap. Tak ada kata, tak ada senyum. Hanya tatapan yang penuh luka. Nayla buru-buru merapikan buku dan berdiri, hendak pergi. Tapi Elhan menahan dengan suara parau, “Tolong… jangan benci aku, Nayla. Aku nggak pernah berhenti sayang sama kamu. Aku cuma—” suaranya tercekat, “—aku nggak bisa melawan Mamaku.” Nayla berhenti, tubuhnya kaku. Air mata menetes tanpa bisa ia tahan. Ia tak menoleh, hanya berbisik dengan suara pecah, “Kamu nggak perlu takut aku benci. Aku cuma kecewa. Kecewa karena kamu lebih milih tunduk daripada berjuang.” Setelah itu, ia pergi, meninggalkan Elhan yang terpaku di tempatnya. Langkah Nayla bergetar, tapi ia terus maju. Di dalam hatinya, ia tahu cinta itu masih ada. Namun luka yang ditinggalkan lebih kuat dari apapun. Luka yang tak bisa dihapus oleh waktu, oleh kata maaf, bahkan oleh cinta itu sendiri. Dan sejak hari itu, ia sadar—kisah mereka tak pernah benar-benar selesai. Tapi juga tak bisa benar-benar dimulai lagi.Suara tawa dari arah kantin masih terdengar samar meski mereka sudah menjauh. Nayla berjalan di samping Elhan, menunduk, tangannya sibuk meremas-remas ujung kemeja seragamnya sendiri. Seakan ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi tersangkut di tenggorokan. Elhan di sebelahnya melangkah tenang, seolah tidak ada yang mengganggunya. Padahal, sejak tadi, hatinya gelisah. Ada jarak di antara mereka. Jarak yang bukan tercipta karena langkah kaki, tapi karena kata-kata yang tak kunjung terucap. “Han…” Nayla akhirnya membuka suara, pelan, hampir seperti bisikan. Elhan menoleh sekilas, senyumnya tipis. “Hm?” Nayla menggigit bibir. Ia ingin bertanya, apa benar ucapan teman-teman di kantin tadi? Apakah benar Elhan akan dijodohkan dengan seseorang dari keluarga sahabat mamanya? Tapi lidahnya kelu. Kata-kata itu terasa seperti duri. Salah ucap sedikit saja, bisa jadi luka. Elhan yang peka, menangkap kegelisahan itu. “Kenapa? Ada yang mau kamu bilangin ke aku?” Nayla menatap wajahnya, dalam,
Langit senja berwarna jingga pucat, memantul di kaca jendela kamar Nayla yang terbuka setengah. Angin sore berhembus lembut, membawa suara-suara samar dari jalan raya; deru kendaraan, suara anak-anak kecil bermain, bahkan riuh ayam jantan dari rumah tetangga. Semua terdengar biasa, seolah tak ada yang berubah. Namun bagi Nayla, hari-hari terakhir terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Sejak perpisahan itu, ia hidup di antara penyangkalan dan kenyataan. Setiap pagi ia berharap bangun dengan kabar bahwa semua hanya ilusi, tapi setiap kali membuka mata, ia kembali menemukan kenyataan pahit: Elhan benar-benar pergi. Di atas meja belajarnya, berserakan kertas-kertas yang penuh dengan tulisan tangan. Coretan-coretan yang lebih mirip puisi patah hati. Sebagian hanya satu kalimat pendek, seperti potongan pikiran yang tertinggal saat malam menghimpitnya. “Aku benci angin, karena ia terlalu mirip denganmu—datang tiba-tiba, pergi tanpa pamit.” “Kalau cinta ini dosa, biarlah aku me
Pagi itu, ruang kelas terasa bising. Suara tawa mahasiswa bercampur dengan bunyi kursi yang digeser, kertas yang dibolak-balik, dan langkah kaki yang lalu-lalang. Semua tampak biasa—kecuali bagi Nayla. Ia duduk di bangku dekat jendela, menatap keluar. Matanya sembab, kantung matanya jelas terlihat. Ia mencoba tersenyum ketika Rani menepuk bahunya, tapi senyum itu hanya sekilas, lalu menghilang seperti asap. “Nay, kamu nggak apa-apa?” Rani berbisik, menyodorkan botol air mineral. “Muka kamu pucet banget.” Nayla menggeleng, menerima botol itu dengan tangan gemetar. “Aku cuma kurang tidur.” Rani menatapnya lama. Ia tahu sahabatnya sedang bohong. Tapi Rani memilih tidak mendesak. Hanya mengusap punggung Nayla pelan, seakan memberi kekuatan diam-diam. Di sudut lain kelas, Elhan duduk kaku. Ia mencoba menatap papan tulis, tapi matanya sesekali melirik ke arah Nayla. Dan setiap kali pandangan itu bertemu, Nayla buru-buru menunduk. Ada jarak aneh di antara mereka, jarak yang lebih tajam
Malam itu kota seolah menutup dirinya dalam kabut tipis. Lampu jalan berpendar sayu, memantulkan cahaya kuning yang rapuh di atas aspal yang mulai lembap. Angin berembus dari arah utara, dingin menusuk, membawa sisa aroma hujan yang belum sepenuhnya sirna. Nayla duduk di tepi jendela kamarnya, menatap kosong ke luar. Dari tempatnya, ia bisa melihat jalanan sepi dengan sesekali suara kendaraan lewat, hanya menimbulkan jejak cahaya sebentar sebelum hilang ditelan gelap. Tangannya menggenggam sebuah cangkir berisi teh yang sudah lama mendingin. Uapnya tak lagi mengepul, sama seperti hangat di hatinya yang kian memudar. Ia menghela napas panjang. Sudah berhari-hari sejak percakapan terakhirnya dengan Elhan, tapi setiap detail kejadian itu masih membekas jelas. Bayangan punggung Elhan yang menjauh, suara parau yang pecah ketika ia berkata harus pergi—semuanya terasa masih hidup dalam kepalanya. Setiap kali mengingatnya, dadanya kembali sesak. “Kenapa harus berakhir begini…” gumamnya lir
Udara di sekitar rumah keluarga Elhan dipenuhi aroma tanah basah yang samar, bercampur dengan harum bunga melati dari pekarangan. Semuanya begitu kontras dengan apa yang sedang bergemuruh di hati Nayla—sebuah ketidakpastian yang tak berhenti mencengkeram. Nayla menatap pintu besar bercat cokelat tua itu dengan perasaan campur aduk. Inilah rumah yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita, hanya ia bayangkan dari balik kata-kata Elhan. Rumah yang megah, berdiri kokoh dengan pilar-pilar tinggi, tapi terasa dingin… sangat dingin. Langkah Nayla terhenti di depan gerbang. Jemarinya menggenggam erat tali tas yang ia bawa, seakan benda sederhana itu bisa menjadi penopang keberaniannya. Di sampingnya, Elhan berdiri dengan wajah tegang. Ia berusaha tersenyum, tapi senyum itu kaku, jauh dari ketulusan yang biasa Nayla lihat. “Jangan takut,” ucap Elhan pelan, suaranya lebih terdengar seperti menenangkan dirinya sendiri ketimbang menenangkan Nayla. “Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian.” N
Langit sore itu terbakar jingga, awan tipis berarak pelan, dan suara burung camar terdengar samar dari kejauhan. Di tepi danau kampus, angin bertiup lembut, memantulkan riak kecil di permukaan air. Tempat itu biasanya menjadi ruang tenang bagi Nayla, tempat di mana ia bisa melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia. Namun sore itu, ketenangan justru terasa asing. Ia duduk di bangku kayu yang sedikit berlumut, menatap air dengan tatapan kosong. Buku catatan terbuka di pangkuannya, tetapi tangannya hanya menggenggam pena tanpa menulis apapun. Pikirannya kacau, seperti pusaran air yang berputar tanpa arah. Suara langkah mendekat membuatnya menoleh. Dan jantungnya langsung berdegup tak terkendali ketika melihat siapa yang datang. Elhan. Lelaki itu berjalan pelan, seolah takut langkahnya akan memecah udara di sekitarnya. Matanya redup, wajahnya lebih kurus, dan ada lelah yang jelas terlihat. Namun sorot itu tetap sama: sorot yang dulu pernah membuat Nayla merasa dunia ini hanya mereka berdua