Beranda / Romansa / Angin di Antara Kita / Bab 10 Luka yang Membayangi

Share

Bab 10 Luka yang Membayangi

Penulis: Elis Z. Faida
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-17 14:13:56

Udara di sekitar rumah keluarga Elhan dipenuhi aroma tanah basah yang samar, bercampur dengan harum bunga melati dari pekarangan. Semuanya begitu kontras dengan apa yang sedang bergemuruh di hati Nayla—sebuah ketidakpastian yang tak berhenti mencengkeram.

Nayla menatap pintu besar bercat cokelat tua itu dengan perasaan campur aduk. Inilah rumah yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita, hanya ia bayangkan dari balik kata-kata Elhan. Rumah yang megah, berdiri kokoh dengan pilar-pilar tinggi, tapi terasa dingin… sangat dingin.

Langkah Nayla terhenti di depan gerbang. Jemarinya menggenggam erat tali tas yang ia bawa, seakan benda sederhana itu bisa menjadi penopang keberaniannya. Di sampingnya, Elhan berdiri dengan wajah tegang. Ia berusaha tersenyum, tapi senyum itu kaku, jauh dari ketulusan yang biasa Nayla lihat.

“Jangan takut,” ucap Elhan pelan, suaranya lebih terdengar seperti menenangkan dirinya sendiri ketimbang menenangkan Nayla. “Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian.”

Nayla menelan ludah. Kata-kata itu seharusnya memberi kekuatan, tapi justru membuat hatinya makin berat. Seolah kalimat sederhana itu adalah pengingat bahwa sesuatu yang besar sedang menunggu di dalam rumah.

“Aku nggak takut…” Nayla berbohong. Senyumnya tipis, hampir tak terlihat. “Cuma… aku nggak tahu harus bersikap gimana.”

Elhan menghela napas panjang, menatap gadis itu dengan mata yang dipenuhi rasa bersalah. “Kamu cuma perlu jadi diri kamu sendiri. Aku yakin… kalau Mama bisa lihat kebaikan kamu, cepat atau lambat dia akan mengerti.”

Nayla ingin percaya. Ia ingin sekali menggenggam kata-kata itu seperti doa. Namun jauh di dalam lubuk hatinya, ada sesuatu yang terus berbisik: Bagaimana kalau Mama Elhan memang tidak akan pernah merestui? Bagaimana kalau semua ini hanya akan membawa luka?

Mereka akhirnya melangkah masuk. Gerbang berderit pelan saat didorong, lalu menutup kembali di belakang mereka, meninggalkan suara dentuman kecil yang membuat dada Nayla semakin sesak.

Halaman rumah itu luas, dengan hamparan rumput hijau yang rapi. Ada pohon kamboja tua berdiri di sudut halaman, bunganya berguguran, menambah suasana yang entah mengapa terasa begitu muram.

Di ambang pintu, seorang wanita paruh baya sudah berdiri. Dialah Mama Elhan. Wajahnya tegas, dengan garis-garis halus yang memperkuat kesan dingin. Matanya tajam, menilai Nayla dari ujung kepala hingga kaki, seolah setiap detail yang ia lihat adalah sebuah kesalahan.

Nayla segera menunduk, memberi salam sopan. “Assalamu’alaikum, Tante.”

Jawaban salam itu terlontar datar, nyaris tanpa intonasi. “Wa’alaikumussalam.”

Hanya itu. Tak ada senyum, tak ada sapaan hangat.

Elhan mencoba mencairkan suasana. “Ma, ini Nayla. Dia—”

“Aku tahu siapa dia,” potong sang ibu cepat, matanya masih menatap tajam. “Masuklah. Jangan berlama-lama di luar.”

Nayla menelan ludah lagi. Langkahnya terasa berat, seperti kaki yang terikat rantai. Ia mengikuti Elhan masuk ke ruang tamu yang besar, dengan sofa empuk dan lampu gantung kristal yang berkilau. Ruangan itu mewah, tapi hawa di dalamnya dingin—dingin yang menusuk lebih dari sekadar udara.

Mereka duduk. Mama Elhan di kursi utama, sementara Nayla dan Elhan bersebelahan di sofa lain. Hening sejenak. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak lambat tapi menegangkan.

“Nayla, kan?” suara Mama Elhan akhirnya terdengar lagi. Kali ini lebih tajam, seperti ujung pisau yang baru diasah.

Nayla mengangguk cepat. “Iya, Tante.”

“Umurmu berapa sekarang?”

“Dua puluh dua, Tante.”

“Hm.” Sebuah gumaman singkat, dingin. “Keluarga kamu… apa pekerjaan orang tua kamu?”

Pertanyaan itu terdengar biasa, tapi intonasinya membuat Nayla merasa seperti sedang diinterogasi. Ia menjawab dengan hati-hati, menyebutkan pekerjaan ayahnya sebagai pegawai biasa dan ibunya yang membuka usaha kecil-kecilan di rumah.

“Hm,” gumam itu terdengar lagi, kali ini diiringi helaan napas pendek. “Keluarga sederhana, ya.”

Nada itu membuat wajah Nayla panas. Ia bisa merasakan ada penilaian yang tidak diucapkan, sebuah jarak yang semakin nyata.

Elhan segera angkat bicara, mencoba mengalihkan. “Ma, Nayla orangnya baik. Dia—”

“Elhan.” Suara itu tegas, cukup untuk membuat putranya terdiam. Tatapan Mama Elhan beralih penuh pada Nayla. “Kamu tahu kan, keluarga kami punya aturan. Kami menjaga nama baik, menjaga kehormatan. Bukan sembarang orang bisa masuk ke dalam lingkaran ini.”

Nayla merasakan jantungnya mencelos. Kata-kata itu jelas ditujukan padanya. Ia mencoba menahan napas agar tidak terlihat goyah.

Dengan suara bergetar, Nayla memberanikan diri. “Tante… saya mungkin bukan dari keluarga kaya. Tapi saya benar-benar tulus sama Elhan. Saya—”

“Cukup.” Sang ibu mengangkat tangan, menghentikan kalimat Nayla. “Tulus saja tidak cukup. Dunia ini tidak berjalan dengan rasa. Ada hal-hal lain yang harus dipertimbangkan. Dan menurutku, kamu tidak memenuhi itu.”

Seperti ada palu besar menghantam dadanya. Nayla menunduk, menatap jemari yang saling meremas di pangkuannya. Suara itu terlalu tajam, terlalu jelas menolak.

Elhan mencoba menahan, suaranya meninggi. “Ma! Jangan bicara begitu di depan Nayla! Dia sudah berusaha datang dengan sopan—”

“Elhan!” tegur sang ibu, tatapannya mengeras. “Kamu tahu posisimu. Kamu anakku, dan kamu tahu apa yang sudah aku perjuangkan untuk keluarga ini. Jangan buat aku kecewa lebih jauh.”

Suasana ruangan membeku. Nayla bisa merasakan ketegangan yang begitu kental, menyesakkan dada.

Air matanya hampir jatuh, tapi ia menahan dengan sekuat tenaga. Ia tahu, menangis di depan wanita itu hanya akan membuatnya terlihat lemah.

“Elhan,” suara ibunya kembali, kali ini lebih rendah tapi tak kalah tajam, “kamu harus memilih dengan bijak. Jangan sampai cinta membutakanmu.”

Kata-kata itu menancap dalam, bukan hanya pada Elhan, tapi juga pada Nayla. Dan di detik itu, Nayla tahu—perjalanan mereka tidak akan pernah mudah.

Angin sore berhembus lebih pelan saat Nayla melangkah meninggalkan kampus. Langkahnya ringan, tapi hati dan pikirannya terasa penuh. Kata-kata Elhan tadi siang masih berputar di kepalanya, seperti gema yang tak kunjung reda. Senyum Elhan, tatapannya, bahkan nada suaranya—semuanya terpatri jelas, seolah baru saja terjadi beberapa detik yang lalu.

Namun, di balik itu semua, ada bayangan resah yang tak bisa ia abaikan. Sesuatu dalam diri Elhan terasa berbeda. Bukan hanya tentang tatapan matanya yang sesekali tampak jauh, melainkan juga bagaimana ia menahan kata-kata, seperti ada beban yang sengaja ia sembunyikan. Nayla bukan tipe orang yang cepat menaruh curiga, tapi kali ini hatinya seperti menolak untuk tenang.

Nayla menengadah ke langit. Awan sore perlahan berarak, meninggalkan semburat jingga yang memantul di kaca-kaca gedung tinggi. Indah, tapi entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang menggantung, seperti langit yang menahan hujan namun tak pernah benar-benar jatuh.

“Kenapa aku malah jadi kepikiran terus, sih…” gumamnya lirih.

Tas ransel ia geser ke bahu sebelah kanan. Jemarinya memainkan resleting kecil, pertanda pikirannya benar-benar tak fokus. Sepanjang perjalanan menuju halte, ia hanya mendengar bunyi langkah kakinya sendiri, ditambah sesekali suara kendaraan yang melintas. Dunia seakan berjalan lambat, memberi ruang bagi pikirannya untuk menelusuri berbagai kemungkinan yang tak ia mengerti.

Bus kota tiba, pintunya terbuka dengan bunyi berderit kecil. Nayla naik dan memilih duduk dekat jendela. Pemandangan kota berlari mundur di balik kaca, namun matanya kosong, pikirannya tetap terpaku pada sosok yang terus mengusik hatinya: Elhan.

“Apa benar semuanya baik-baik aja?” batinnya.

Ia mengingat momen siang tadi ketika Elhan menemaninya ke perpustakaan. Elhan masih tersenyum, masih bercanda seperti biasanya, tapi senyumnya… berbeda. Ada getir samar yang tidak bisa ia jelaskan. Senyum itu seperti tirai tipis, menutupi sesuatu yang lebih gelap di baliknya.

Nayla menggigit bibir bawahnya. “Jangan-jangan aku yang terlalu berlebihan?” pikirnya. Namun, semakin ia mencoba menepis, semakin kuat rasa itu menjerat. Seperti benang halus yang membelit pelan tapi pasti, tak memberinya ruang untuk bebas.

Di kursi seberang, seorang ibu muda dengan anak kecil duduk tenang. Si kecil tertawa riang, memainkan boneka kecil di tangannya. Adegan sederhana itu membuat hati Nayla semakin perih. Bukankah seharusnya ia juga bisa tertawa lepas begitu, tanpa beban, tanpa pikiran yang menyesakkan?

Bus berhenti di depan kompleks rumahnya. Nayla turun, lalu berjalan melewati gang kecil yang sudah mulai sepi. Lampu jalan menyala satu per satu, meninggalkan cahaya kekuningan yang lembut. Semilir angin menyapu wajahnya, membawa bau tanah yang dingin setelah siang yang panjang.

Sesampainya di rumah, Nayla meletakkan tas dengan kasar di meja belajar. Tubuhnya ambruk di kasur, menatap langit-langit kamar yang kosong. Ia menarik napas panjang, menutup mata, dan berbisik lirih:

“Elhan… sebenarnya apa yang kamu sembunyikan?”

Pertanyaan itu menggantung, tanpa jawaban. Hanya keheningan yang menjawabnya, ditemani suara jarum jam yang berdetak lambat.

Sementara itu, di sudut lain kota, Elhan duduk sendirian di teras rumahnya. Malam sudah turun, tapi pikirannya masih terang benderang oleh kegelisahan. Di tangannya, ponsel menyala, layar menampilkan pesan singkat dari Nayla yang belum ia balas:

“Hati-hati pulangnya ya. Jangan lupa makan malam.”

Pesan sederhana, penuh perhatian, tapi justru membuat dadanya semakin sesak. Jemarinya bergetar saat hendak mengetik balasan, tapi ia mengurungkan niat. Ia tahu, sekali ia mengetik kata-kata itu, ia harus berpura-pura baik-baik saja, sementara kenyataannya jauh berbeda.

Ia memejamkan mata, menahan berat yang menekan dadanya. Suara ibunya kembali terngiang di telinga, kata-kata yang menusuk lebih tajam dari pisau:

“Kamu nggak usah dekat-dekat lagi sama dia. Ibu nggak akan pernah terima.”

Elhan mengepalkan tangan. Rasa marah, sakit, dan kecewa bercampur jadi satu. Ia tahu Nayla berhak tahu, berhak mengerti alasan di balik sikapnya. Tapi bagaimana bisa ia menceritakan semuanya, sementara ia sendiri tak sanggup menghadapi luka itu?

Malam semakin larut. Elhan menatap layar ponsel untuk terakhir kalinya, lalu mematikan lampu kamar. Dalam gelap, ia berbisik, seolah hanya angin yang bisa mendengar:

“Maaf, Nay… aku nggak bisa kasih semua jawaban sekarang.”

Oke bestii 🤍 ini aku terusin Bab 10 – Bagian 3. Panjang, detail, dan nyambung dari bagian sebelumnya.

Malam itu, kamar Nayla terasa terlalu luas untuk seorang diri. Lampu meja di sudut hanya menyala temaram, menyorot buku-buku yang berserakan di atas meja belajar. Kertas catatan kuliahnya menumpuk, tapi matanya bahkan tak sanggup membaca satu baris pun. Tangannya sibuk menggenggam ponsel, layar berkedip menampilkan nama Elhan yang tak kunjung muncul di daftar pesan baru. Sunyi.

Ia sudah menunggu, berharap, bahkan berulang kali membuka percakapan terakhir mereka. Namun, yang tersisa hanyalah kata-kata singkat Elhan sore tadi—kata-kata yang menggantung, seakan ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Nayla memeluk lututnya, bersandar di sudut ranjang. “Apa aku salah? Atau memang… semuanya udah nggak bisa dipertahankan?” gumamnya, nyaris hanya terdengar oleh dirinya sendiri.

Hatinya dipenuhi tanda tanya. Sejak awal, ia sudah tahu restu ibu Elhan adalah tembok besar yang sulit ditembus. Tapi, bukankah mereka sudah berjanji untuk bertahan? Bukankah cinta seharusnya cukup kuat untuk melawan apa pun?

Pintu kamar diketuk pelan. Suara lembut ibunya terdengar.

“Nayla, sudah malam. Tidurlah, Nak. Besok kamu ada kelas pagi.”

Nayla cepat-cepat menghapus air matanya, lalu menjawab, “Iya, Bu.”

Ketika pintu tertutup kembali, sesak di dadanya makin menjadi-jadi. Andai ibunya tahu betapa kusutnya pikirannya saat ini. Andai ia bisa menceritakan semuanya—tentang Elhan, tentang restu yang tak kunjung datang, tentang hatinya yang setengah mati menahan luka. Tapi Nayla tahu, ibunya akan cemas. Dan ia tak ingin menambah beban keluarga dengan kisah cintanya yang tak pasti.

Di sisi lain, pada waktu yang hampir bersamaan, Elhan berdiri di ruang tamu rumahnya. Ponsel di tangannya bergetar pelan, tanda pesan baru dari Nayla. Tapi ia tak sanggup membukanya. Matanya terpaku pada sosok yang duduk di hadapannya: ibunya.

Perempuan paruh baya itu mengenakan daster sederhana, namun sorot matanya tajam seperti belati. Sejak beberapa jam lalu, mereka terjebak dalam percakapan yang tak pernah benar-benar berakhir.

“Kamu harus ngerti, Han,” suara ibunya tegas, dingin, tapi penuh tekanan emosional. “Mama nggak bisa terima anak Mama sama perempuan itu. Bukan karena Mama nggak suka dia, tapi karena Mama tahu—hidup kamu nggak akan tenang kalau nekat sama pilihanmu sekarang.”

Elhan mengepalkan tangannya. “Tapi Ma, Nayla bukan perempuan sembarangan. Dia baik, dia tulus. Aku bahagia sama dia.”

“Bahagia?” Ibunya menyeringai getir. “Bahagia sesaat itu gampang, Han. Tapi apa kamu pikir keluarga kita bisa menerima? Apa kamu pikir semua masalah akan selesai cuma karena kamu bilang ‘dia baik’? Hidup itu bukan sekadar cinta. Ada harga diri, ada kehormatan keluarga, ada masa depan yang harus Mama jaga buat kamu.”

Elhan terdiam, dadanya panas. Kata-kata itu terus menusuk, tapi ia tak bisa membantah. Ia tahu ibunya keras kepala, dan perdebatan hanya akan membuat semuanya semakin runyam.

Dalam hati, ia ingin berteriak: Kenapa Mama nggak bisa lihat Nayla sebagaimana aku melihatnya? Kenapa restu itu harus jadi penjara yang memisahkan aku dari satu-satunya orang yang benar-benar mengerti aku?

Namun bibirnya kelu. Yang keluar hanyalah helaan napas berat.

“Han,” ibunya menatap dalam, suaranya lebih pelan namun tetap tajam. “Kamu anak Mama satu-satunya. Mama cuma mau yang terbaik buat kamu. Percayalah, perempuan itu… bukan jalannya.”

Ponsel Elhan bergetar lagi. Kali ini lebih lama, tanda telepon masuk. Nama Nayla terpampang jelas di layar. Hatinya bergetar, jemarinya hampir menyentuh ikon hijau.

Namun tatapan ibunya menusuk, membuat tangannya kaku.

“Jangan angkat,” suara ibunya tegas, dingin. “Buktikan kalau kamu bisa nurut sama Mama.”

Detik itu juga, Elhan merasa seperti dihadapkan pada jurang dalam. Satu sisi adalah cintanya pada Nayla—hangat, penuh janji, dan hidup. Sisi lain adalah restu ibunya—keras, penuh aturan, tapi tak bisa ia abaikan.

Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol merah. Panggilan terputus.

Di kamar Nayla, suara nada terputus membuat jantungnya runtuh. Ia menatap layar ponsel yang kini gelap, matanya berkaca-kaca. Satu kalimat berputar di kepalanya: Elhan nggak mau angkat teleponku.

Dadanya serasa diremukkan. Untuk pertama kalinya, ia merasakan jarak yang benar-benar nyata—jarak yang bukan sekadar kilometer, tapi dinding tak kasat mata yang diciptakan oleh restu seorang ibu.

Air matanya jatuh semakin deras. Malam itu, untuk pertama kalinya, Nayla merasa dirinya mungkin benar-benar sendirian.

Nayla duduk di tepi ranjangnya, ponsel masih tergenggam erat seakan itu satu-satunya tali yang menghubungkannya dengan Elhan. Layar gelap setelah panggilan terputus terasa seperti jurang besar yang menelan habis harapan kecil di hatinya. Ia menatap kosong ke dinding, tapi pikirannya sibuk memutar kenangan—semua tawa, janji, dan kehangatan yang pernah mereka lalui.

Kenangan itu datang silih berganti Elhan yang menjemputnya di depan kampus dengan senyum sederhana Elhan yang rela menunggu berjam-jam hanya untuk memastikan Nayla pulang dengan selamat Elhan yang selalu tahu kapan harus diam dan kapan harus membuatnya tertawa. Semua itu kini terasa jauh, seolah terhapus hanya karena satu restu yang tak pernah ia dapatkan.

“Kenapa harus begini, Han?” lirihnya, nyaris tak terdengar. Suaranya pecah, seakan ia bicara kepada bayangan di dalam kamar. “Kenapa kamu nggak bisa lawan semua ini? Bukankah kamu yang dulu bilang kita bisa hadapi apa pun… asal sama-sama?”

Air matanya kembali jatuh, membasahi pipi. Ia mencoba menahan dengan punggung tangannya, tapi semakin ia menolak, semakin deras tangis itu mengalir.

Sementara itu, di kamarnya sendiri, Elhan duduk terpaku di kursi dekat jendela. Lampu kota dari kejauhan terlihat berkelip, tapi baginya semua itu tak lebih dari bintik cahaya yang hambar. Tangannya masih memegang ponsel—nama Nayla masih tertulis jelas di layar riwayat panggilan. Hatinya seperti diremas setiap kali ia menatap itu.

Ia ingin sekali menekan nomor itu kembali, mendengar suara Nayla, menenangkan tangisnya. Tapi suara ibunya masih terngiang: “Buktikan kalau kamu bisa nurut sama Mama.”

Elhan menunduk, menekan keningnya dengan jemari. “Kenapa semua harus serumit ini?” bisiknya.

Ia teringat bagaimana pertemuan pertama mereka terjadi secara tidak sengaja di perpustakaan kampus. Bagaimana mata Nayla yang jernih membuatnya berhenti membaca buku. Bagaimana sejak hari itu, ia tahu ada sesuatu yang berbeda. Nayla bukan sekadar seseorang yang lewat dalam hidupnya—ia adalah rumah, tempat yang selalu ia cari.

Tapi kini rumah itu terasa semakin jauh. Dan ia sendirilah yang dipaksa untuk menutup pintunya.

Pagi tiba, tapi tak membawa cahaya bagi Nayla. Ia bangun dengan mata sembab, tubuh lelah, dan hati yang lebih kosong dari malam sebelumnya. Saat berdiri di depan cermin, ia hampir tak mengenali wajahnya sendiri—mata merah, bibir pucat, senyum yang tak pernah sempat muncul.

Di kampus, langkah kakinya terasa berat. Ia melewati koridor yang biasanya penuh tawa, tapi kini setiap suara terdengar asing. Teman-temannya menyapa, tapi ia hanya membalas dengan anggukan singkat. Ia tak sanggup berpura-pura baik-baik saja.

Ketika duduk di bangku kelas, pikirannya melayang. Kata dosen hanya lewat begitu saja, tak satu pun masuk ke kepalanya. Yang ada hanyalah bayangan Elhan—tatapan matanya, suara beratnya, dan kalimat terakhir yang begitu menohok: “Aku harus pergi.”

Sementara itu, Elhan sendiri melewati paginya dengan hati yang tak kalah kacau. Ia berangkat ke kampus dengan kepala penuh pikiran. Jalanan yang biasanya ia nikmati kini hanya terasa seperti rute panjang tanpa arti. Bahkan musik di mobilnya pun tak mampu mengusir sunyi di dalam dada.

Sesampainya di kampus, matanya secara refleks mencari sosok Nayla. Tapi ketika ia melihat gadis itu duduk termenung di bangkunya, wajahnya muram, ia justru memilih mengalihkan pandangan. Ada dorongan kuat untuk mendekat, tapi ada suara lain yang menahannya: suara ibunya, restu yang tak pernah ia dapatkan, dan ketakutan yang kian menjerat.

Hari demi hari berjalan, dan jarak di antara mereka semakin terasa. Nayla berhenti menghubungi Elhan sebanyak dulu. Ia mulai belajar menahan rindu, meski seringkali gagal. Di malam-malam tertentu, ia masih menatap layar ponselnya, berharap nama itu muncul. Namun, semakin ia menunggu, semakin ia sadar—mungkin semua ini benar-benar akan berakhir.

Elhan pun tak kalah tersiksa. Setiap kali ia melihat Nayla berjalan melewati koridor kampus, hatinya seakan ditarik paksa ke dua arah: keinginan untuk meraih tangan Nayla, dan kewajiban untuk menuruti ibunya. Konflik itu membunuhnya perlahan.

Di satu sisi, cinta membuatnya ingin melawan dunia. Tapi di sisi lain, ia adalah anak yang tak pernah sanggup mengecewakan ibunya.

Dan pada akhirnya, malam kembali menjadi saksi.

Nayla berdiri di balkon rumahnya, memandang langit yang dipenuhi bintang. Ia berbisik, seolah kepada angin:

“Kalau cinta ini cuma jadi angin… semoga ia tetap singgah di antara kita. Meskipun sebentar. Meskipun sakit.”

Sementara itu, di kamar lain yang tak begitu jauh, Elhan menatap bintang yang sama. Dalam hati ia berdoa, meski tak pernah terucap:

Andai angin bisa membawa cintaku padamu tanpa harus melawan restu… aku rela menunggu seumur hidup.

Namun, malam tetaplah malam—hanya membawa dingin, bukan jawaban.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Angin di Antara Kita    Bab 57 Tangisan Dalam Sunyi

    Sudah berbulan-bulan berlalu sejak terakhir kali Nayla dan Elhan saling bicara. Waktu terus berjalan, tapi rasanya dunia mereka berhenti di titik yang sama — di antara yang masih ingin bertahan dan yang pura-pura kuat untuk melepaskan. Hari-hari Nayla kini terasa sunyi, bukan karena tak ada suara, tapi karena tak ada yang benar-benar didengarnya. Semua berjalan otomatis: bangun, kuliah, pulang, membaca, menatap langit, lalu menangis tanpa suara di dalam kamar. Tangis yang tidak lagi berisik, tapi semakin dalam. Tangis yang tak butuh alasan karena hatinya sendiri sudah cukup jadi luka. “Ra, kamu pernah ngerasa kehilangan sesuatu yang masih ada?” Suatu sore Nayla bertanya begitu pada Rara, tanpa menatapnya. Rara menoleh, terdiam sesaat sebelum menjawab. “Maksud kamu?” “Kayak… seseorang itu masih hidup, masih bisa aku lihat, tapi rasanya udah nggak bisa kugapai lagi. Padahal dia ngg

  • Angin di Antara Kita    Bab 56 Hati yang Remuk

    Tak ada yang lebih sunyi dari seseorang yang berusaha terlihat tegar, sementara dalam dirinya sudah berkeping-keping. Dan itulah Nayla. Hari-hari setelah perpisahannya dengan Elhan terasa panjang dan asing. Ia masih datang ke kampus, masih tersenyum pada dosen, masih menjawab sapaan teman-temannya — tapi di dalam hatinya, ia sudah bukan Nayla yang sama. Semua yang dulu terasa hidup kini kehilangan warna. Setiap kali lewat di lorong tempat dulu mereka sering menunggu hujan reda, ingatannya menolak diam. Ia masih bisa mendengar suara tawa Elhan di telinganya — suara yang kini tinggal gema samar. Bahkan aroma kopi hitam dari kantin belakang kampus saja bisa membuat dadanya sesak. Dulu Elhan selalu membelinya untuk mereka berdua. Sekarang? Ia bahkan tak tahu apakah Elhan masih datang ke tempat itu atau tidak. “Udah dua minggu, La,” ucap Rara pelan suatu sore. “Kamu nggak bisa t

  • Angin di Antara Kita    Bab 55 Langkah yang Kembali

    Waktu ternyata tak benar-benar menghapus segalanya. Ia hanya menyamarkan luka di balik rutinitas, menyembunyikan kenangan di sela-sela napas yang berulang. Namun, ada hal-hal yang tetap bertahan — seperti nama yang diam-diam masih disebut dalam doa, atau tatapan yang terus terbayang meski tak lagi bertemu. Sudah dua tahun sejak Nayla dan Elhan memilih jalan masing-masing. Dua tahun tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara. Tapi di dalam sunyi yang panjang itu, hati mereka tak pernah benar-benar berhenti saling memanggil. Pagi itu, Nayla duduk di taman belakang perpustakaan kampus lama mereka. Tempat yang dulu menjadi saksi setiap tawa, perdebatan, dan janji yang tak sempat ditepati. Ia datang bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena ingin berdamai. Rambutnya kini lebih panjang, wajahnya terlihat lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan sesuatu — sisa-sisa dari cinta yang pernah ia simpan terlalu dalam. I

  • Angin di Antara Kita    Bab 54 Langkah yang Pulang

    Waktu akhirnya sampai di titik tenang. Bukan karena segalanya mudah, tapi karena semua yang berat sudah diterima dengan lapang dada. Pagi itu, udara Bandung terasa berbeda. Tidak terlalu dingin, tapi masih cukup lembut untuk mengajak seseorang mengenang tanpa sakit lagi. Nayla melangkah keluar rumah, membawa satu tas kecil dan naskah buku keduanya. Di dalam tas itu juga terselip surat—bukan untuk Damar, bukan untuk siapa pun—melainkan untuk dirinya sendiri. Ia menatap jalan kecil di depan rumahnya. Jalan yang dulu sering ia lewati sambil menangis diam-diam, tempat di mana setiap langkah terasa seperti memikul seluruh dunia. Sekarang, langkah yang sama terasa ringan, bahkan menyenangkan. Di halte dekat taman, seseorang sudah menunggunya. “Pagi, Nay,” sapa Rara, tersenyum lebar. “Pagi. Udah lama?” “Baru aja. Kamu beneran mau berangkat sendirian?” Nayla mengangguk. “I

  • Angin di Antara Kita    Bab 53 Menulis untuk yang Tak Tertulis

    Beberapa hari terakhir, meja kerja Nayla dipenuhi catatan berserakan. Di antaranya, ada potongan dialog lama, surat tak terkirim, dan halaman-halaman jurnal yang sudah menguning. Semua terasa seperti kepingan hidup yang menunggu untuk disatukan. Ia menatap layar laptop yang menampilkan satu baris judul: “Langkah di Balik Gelap – Sebuah Kisah Tentang Bertahan dan Melepaskan.” Judul itu membuatnya terdiam lama. Itu bukan sekadar judul, tapi napas dari seluruh perjalanan yang telah ia lewati — cinta, kehilangan, perjuangan, dan semua yang tak sempat ia ucapkan. ⸻ Nayla mulai mengetik perlahan. Kata demi kata mengalir, bukan dari pikirannya, tapi dari tempat yang lebih dalam — hatinya sendiri. Ia menulis tentang seorang gadis yang mencintai dengan cara sederhana, tentang laki-laki yang memilih pergi demi menjaga yang dicintainya, tentang waktu yang mem

  • Angin di Antara Kita    Bab 52 Janji yang Tertinggal

    Sudah hampir satu tahun sejak pertemuan Nayla dan Damar di pameran buku itu. Kehidupan Nayla kini berubah begitu cepat. Buku-bukunya mulai dikenal, undangan wawancara datang silih berganti, dan kelas menulisnya makin ramai. Namun di tengah segala kesibukan dan tepuk tangan, ada satu ruang kecil dalam dirinya yang tetap hening — ruang yang dulu diisi Damar. Bukan berarti ia masih terjebak pada masa lalu. Tidak. Ia sudah berdamai. Tapi kedamaian itu menyisakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi: janji yang tertinggal. ⸻ Suatu pagi, Nayla duduk di teras rumah sambil menatap kebun kecil di depannya. Kopi hangat mengepul di genggaman, aroma melati dari pot bunga menyatu dengan udara. Pagi itu damai — sampai notifikasi di ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor yang lama tak aktif. “Hai, Nay. Aku di kota. Bisa ketemu?” – Damar. Nayla menatap layar l

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status