28 November 2021.
Aku menghabiskan sepanjang pagi dengan berlutut pada Ratu Helva—dan benar, berlutut padanya tidak serta-merta membuatku dimaafkan.
“Kau pikir, dengan menundukkan kepalamu aku bakal memaafkanmu?”
Mungkin dia memang tidak bisa memaafkanku atau dasarnya kurang ajar, tetapi semua mulai jelas saat dia menginjak pundakku—seperti majikan.
“Apa yang terjadi setelah manusia mati?” tanyanya.
Aku punya banyak jawaban seperti: “Jangan bunuh diri!” atau “Itu bukan pengalaman indah—sepertinya kau mau?” atau “Badanmu membusuk, tapi hatimu takkan pudar. Tenanglah. Aku pasti mengingat hatimu.”
Namun, dia lebih dulu menekan pundakku. “Meninggalkan jejak. Angkat kepalamu, tahi kucing. Atau kutendang wajahmu.”
Jadi, aku mengangkat kepala, dan dia terlihat dalam campuran kesal, iseng, sekaligus bahagia. Aku mengerutkan kening, yang membuatnya berkat
Helva memberi kami waktu berdua. Saat akhirnya kami bisa berbincang dengan suasana normal—yang kurang lebih setelah Bu Hiroko memelukku seperti melakukan bear hug—aku berhasil tahu kalau belakangan ini Bu Hiroko sering mengunjungi makam kami—yang pastinya makam kakakku dan—iya, makamku. Katanya terbuat dari sisa batuan sungai. Jadi, akhirnya Bu Hiroko kembali menjadi bijak. Helva sudah menceritakan semua, bahkan sampai gangguan yang kualami. Jadi, aku merasa aneh—sekaligus malu karena ketika akhirnya kami bertemu, Bu Hiroko justru tahu soal penyakitku. “Sebenarnya aku tidak sedang sakit mental,” kataku. “Aku memang seperti ini. Aku dan Louist sudah sakit mental sejak umur dua belas. Empat tahun dan baik-baik saja. Yah, meski setiap dua malam sekali mimpi buruk.” “Itu bukan hal yang harus kau tutupi, Charlie.” Dan aku mengerutkan kening, seperti mencium bau yang sangat kuat. “Bu Hiroko bau alkohol, sungguh?” “Apa?” Bu Hiroko kaget. Dia
Sore itu juga, Helva membawaku dengan mini van. Tokio Eki Furuzawa tidak protes saat kami—lebih tepatnya, Helva—menghubunginya. Aku bilang itu bisa dilacak, dan Helva menatapku skeptis seolah orang yang dulunya tidak percaya pelacakan sekarang sangat cemas. “Itu yang membuatku tertangkap,” kataku.“Mana mungkin ada yang melacak telepon pribadi dari cewek sekolah pada paman tua.” Kami keluar kompleks rumah Tokio Eki Furuzawa, lalu masuk ke jalan utama. “Lockwood mengira kau meledak. Tidak ada yang tahu kau selamat. Kalau ada yang menggali bekas ledakan, orang-orang juga pasti curiga. Kau ingat Area 3 Distrik Lockwood hanya dipenuhi lahan kosong?”“Jadi, Bocks di sana?”“Dan tidak ada penjagaan di sana, kecuali kamera pengawas.”“Oh.” Aku mengerti sekarang. Dulu aku juga bertanya-tanya mengapa ada banyak kamera di lahan tidak terpakai seperti Area 3 Distrik Lockwood. “
Makam Louist berada di kompleks yang sama dengan makam keluargaku. Dan akhirnya Laura benar-benar percaya aku mengalami sedikit gangguan karena begitu kami memasuki makam, yang secara teknis, sudah hampir malam, tubuhku gemetar tanpa henti. Tiba-tiba aku meringkuk, gigiku gemertak, seluruh tubuhku dingin. Aku merasa sesak, dan akhirnya muntah tepat di pintu pemakaman.“Astaga!” pekik Laura. “Kita dikutuk!”“Aku tahu ini ide buruk,” kataku, setengah sadar. “Minum.”Laura menyalakan senter, mencari botol minum, dan tiba-tiba dia menjerit, yang membuatku ikut menjerit. Karena dua orang di pintu masuk makam menjerit, Kakek—penyebab Laura menjerit—kesal. “Jangan heboh di pemakaman, Nak!”“Kek,” Laura seperti dicekik. “Kukira hantu!”“Sudah gelap. Jadi, kecilkan suaramu. Ini tempat orang beristirahat.” Kakek mendapatiku berjongkok. “Nak, sung
Keesokan harinya, ketika aku sedang mencoba menghilangkan nuansa sedih yang menggantung sepanjang malam di toko kelontong—dengan duduk di hadapan batu nisan kakakku—aku memikirkan banyak hal.Aku sering menceritakan banyak hal pada batu berukiran nama kakakku ini seolah dia mendengar semua yang kukeluhkan sepanjang empat tahun terakhir. Dan kali ini bukan salah satunya karena aku tidak ingin diketahui siapa pun. Laura bilang Kawasan Normal tahu aku ditangkap, jadi kalau tiba-tiba aku berkeliaran, rasanya situasi akan semakin tidak terkendali. Jadi, dengan penyamaran tertutup ala Rena, aku hanya membisu seolah sedang bersama Kakak.Kemudian karena aku tidak ingin terlarut dalam kesedihan, aku memainkan bunga, mengayunkannya bak tongkat sihir. “Yah, andai kita bisa melakukan sihir—astaga, menyenangkan sekali mengayunkan bunga ini.” Aku tertawa seorang diri.Sensasi ini seperti menunjukkan sisi idiot di depan penghuni makamDan
[Aku percaya Alicia Redrich meninggalkan sesuatu. Dia perencana hebat. Jadi, aku yakin, atau setidaknya aku berharap Alicia Redrich meninggalkan suatu informasi di suatu tempat. Aku tahu Rumah Pohon peninggalan ayahku, tapi rumah itu diberikan pada Charlie Redrich, bukan padaku. Brengsek memang. Tapi ayahku bukan tipe yang melakukan itu tanpa alasan. Ada sesuatu di balik ini yang kurasa tidak bisa dimengerti banyak orang. Termasuk aku.][Aku tahu kalau sejak awal di luar garis. Alicia Redrich sadar kalau ayahku sengaja tidak memberikan kode akses itu padaku, padanya, atau tidak dibuang. Dia mewariskannya pada orang yang dia percaya sebagai pemegang obor pergolakan terakhir. Erwin Hood percaya Charlie Redrich menjadi pelari terakhir dari estafet obor pergolakan mengerikan ini. Bahkan sebelum dia meninggal.][Jadi, aku memikirkan ini. Bagaimana kalau Rumah Pohon ternyata salah satu kunci menemukan peninggalan Alicia Redrich? Dia tahu pola ayahku, ja
Kalau aku mengingat rekam jejak kakakku di Akademi Grinover, aku yakin dia sudah melakukan banyak hal lebih dari kata luar biasa. Daya tangkapnya bisa melebihi logika normal. Kecerdasannya tidak bisa diukur—secara teknis, dia sudah menjadi idola, bahkan bagi orang-orang Distrik Lockwood itu sendiri.Di Akademi Grinover, terdapat satu sistem yang dapat diduduki oleh orang-orang tertentu. Mereka bisa menggerakkan suara mayoritas dan berhak memerintah sebagai eksistensi tertinggi kedua setelah kepala sekolah. Sistem itu bernama OSIS, yang dipimpin Ketua OSIS—yang dalam artian lain, Ketua OSIS adalah eksistensi tertinggi dari pihak siswa yang bisa menggerakkan suara satu sekolah.Hal tergila yang dilakukan kakakku pada sistem itu: dia mengukir sejarah.Secara teknis, kakakku diawasi Lockwood, bahkan secara terang-terangan. Dia menerima beasiswa penuh di Akademi Grinover—sejak tahun pertama, beda denganku yang dari tahun kedua—dan hidup dengan
4 Desember 2021.Aku terdiam di ruangan seorang diri. Tengah malam.Aku berniat menghubungi Helva. Biasanya dia tiba-tiba tahu, tetapi Tokio Eki Furuzawa bilang itu mustahil. Jadi, aku berusaha keras menghubunginya, dan setelah delapan kali mencoba, akhirnya Helva mengangkat.“Sebaiknya kau meneleponku bukan karena tidak bisa tidur dan meminta sang Ratu Helva bercerita dongeng kancil karena ada teknologi canggih bernama kotak suara. KAU PIKIR INI JAM BERAPA?”Aku melirik jam. “02.53.”“02.23,” koreksinya. “Dari mana kau tahu nomorku?”“Ada sistem canggih bernama buku tahunan sekolah yang secara insidental berhasil kudapatkan setelah memeras Bu Hiroko. Kebetulan aku melihat foto Rena dan kau tahu—wow, di sini wajahnya tersenyum lebar dan aku—”“Seperti ikan mati,” potongnya. “Paman Tokio punya nomorku.”“Aku tahu itu. Tapi tadi
Ada banyak desakan aneh menguasai kepalaku.Rasanya seperti akan muntah. Tokio Eki Furuzawa mematung. Helva juga berusaha meyakinkan dirinya. Dia mengerjapkan mata berulang kali.Dan kakakku tertawa. [Charlie. Aku di sini.]Aku mengedarkan pandangan. Tidak ada siapa pun. Aku menatap layar lagi, dan—tidak. Dia sudah meninggal. Tidak seharusnya dia memasang ekspresi itu.“Dia belum meninggal?” tanya Tokio Eki Furuzawa.[Tapi aku tidak di sana.] Kakak tersenyum, tetapi seperti tidak tersenyum. [Kuharap yang menonton ini Charlie karena ini pesan untuknya. Kau di sana?]Aku menggeleng, mencoba menerima itu.Dan, ya, sepintas aku berharap kecil. Barangkali dia memang tidak pernah meninggal. Dia hanya memalsukan kematian, bersembunyi layaknya gerakan tidak terduganya—aku berharap khayalan fiktif itu terjadi.[Ini pertama kali untukku.] Kakak duduk, memikirkan kata-kata. [