"Apa ini?!" Fajar melempar kertas hasil pemeriksaan Keyra. Di sana ada penjelasan kalau rahim Keyra tidak baik-baik saja karena pernah menjalani aborsi. Sungguh Fajar merasa dibohongi oleh Keyra. "Kapan kamu melakukannya?" Suara Fajar bergetar, matanya memanas dan dadanya sesak. Sekelebat bayangan wanita yang selama ini dia abaikan muncul bersama kata-kata menyakitkan yang pernah dia lontarkan kembali terngiang di telinga. "Lihat dirimu, kamu tidak seperti Keyra dan tidak akan pernah bisa menggantikannya." Ucapan itu dia katakan tidak sekali, tapi berkali-kali dia katakan agar Anin menyerah. Namun, entah terbuat dari apa perasaan wanita itu hingga bisa bertahan menjalani siksaan batin selama 10 tahun. Mata Fajar memanas, rasa bersalah semakin menyeruak menyesakkan dadanya. Wajah tulus Anin waktu melayaninya, tatapan mata memohon saat Fajar berkali-kali menolak Anin. Sungguh, dia telah berdosa selama ini. Dia pikir, Keyra adalah wanita paling sempurna, Keyra sangat cantik, manja d
Sebenarnya aku malas sekali berhubungan dengan mereka, aku mau fokus sama diriku sendiri. Saat anniversary terakhirku bersama mas Fajar, aku sudah berjanji tidak lagi mengalah pada keadaan, tidak lagi menjadi Anin yang dulu yang hanya memikirkan kebahagiaan orang lain. Ini semua gara-gara Andika yang akhirnya memberiku masalah setelah sekian bulan merasa hidupku tenang.Andai Syifa tidak datang dan merayuku agar membantu mereka, mungkin aku memilih tidak peduli. Lagi pula aku dan Andika tidak ada ikatan apa-apa, dia mungkin hanya terjebak orang tuanya harus segera menikah waktu melamarku.“Terima kasih, Mbak Anin.” Sofia terus saja memegang tanganku dalam pernjalan menuju rumah sakit.“Aku nggak jaji bisa membuat keadaan Dika membaik, lagian kamu aneh-aneh saja, aku bukan dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit.” “Mbak kan punya hubungan sama Mas Dika, siapa tahu setelah ketemu sama Mbak Anin mas Dika sembuh.”“Kami nggak ada hubungan apa-apa.” Aku menegaskan itu berkali-kali agar
“Sudah temui wanita itu?” tanya ibu Andika pada kedua anak perempuannya.“Sudah, Bu. Dia tidak akan temui Mas Dika lagi.” Dinda menjawab, wanita itu menatap kondisi kakaknya yang masih belum sadar.Setelah Syifa datang dan menjelaskan kalau dialah yang mendekatkan Andika dengan Anin, mereka marah besar, mereka mengira kalau Aninlah yang memang suka pada Andika. Sebagai seorang ibu pasti ingin melihat anak lelakinya menikah dengan wanita yang masih gadis, apalagi Andika pria yang sudah punya pekerjaan mapan, tinggal tunjuk saja para perempuan akan mau menikah dengan Andika. Meksi mereka tahu siapa Anindya, wanita yang terbilang cukup sukses dengan usahanya, tapi statusnya yang sebagai janda beranak satu tentu saja menjadi alasan bagi keluarga Andika menolak.“Kalau Anin tidak punya anak dari suaminya yang dulu, mungkin bisa dipertimbangkan,” kata wanita itu. “Sebenarnya tidak apa-apa menikahi janda. Anin memang janda, tapi mandiri, dia tidak akan menyusahkan Dika, Bu.” Sofia menat
“Serem ibunya Mas Dika. Mirip mertua di senetron ikan terbang.”Aku memijat kepala yang rasanya berdenyut karena kurang tidur dan juga memikirkan ucapan ibunya Andika tadi. Gara-gara Andika, orang tuanya berpikir yang tidak-tidak tentangku. "Ibunya Mas Dika itu mirip mertua di sinetron ikan terbang yang biasanya ditonton ibu. "Ibu itu kalau nonton sinetron, suka marah-marah di depan tivi. Ibu malah ngajari pemainnya buat lawan mertuanya yang jahat."Aku menyimak Dwi yang masih betah ngoceh sepanjang perjalanan kami pulang. "Kasih racun aja mertua seperti itu. Ibu sambil marah-marah bilang gitu. Terus aku jawab, nanti kalau aku punya istri, ibu cerewet kayak gitu, aku suruh istriku kasih racun. Eh, ibu marah, aku dipukul pakai kemoceng. Memangnya aku salah."Tawa kami pun menyembur keluar. Anak ini memang selalu bisa membuatku tertawa ditengah kegalauan hatiku. Pertemuanku dengan Dwi waktu itu karena dia sering sekali mampir di rumah makan, kadang cuma beli lauk saja, kadang minta
Aku diantar Dwi menuju rumah sakit. Berkali-kali mencoba menghubungi Syifa, tapi nomornya tidak aktif. Aku tidak tahu keluarga Andika, jadi aku harus ke sana untuk memastikan.“Kenapa bisa kecelakaan, Mbak? Apa patah hati ditolak Mbak Anin?” “Hus, ngawur aja kamu.”Sepanjang perjalanan pikiranku menduga-duga kenapa Andika bisa kecelakaan, apa setelah mengantarku semalam dia kecelakaan? Ah, aku jadi merasa bersalah andai gara-gara aku dia kecelakaan.Kami pun sampai di rumah sakit kota, lumayan jauh dari tempat kami, aku membutuhkan perjalanan 45 menit ngebut. Bocah di sebelahku yang sebenarnya belum punya sim itu nekat membawa mobil walau sering aku memintanya mengantar barang naik mobil, tapi hanya di area komplek saja.Dwi memarkir mobil setelah aku turun di depan. Aku langsung menuju meja resepsionis menanyakan korban kecelakaan bernama Andika. “Masih di IGD,” kata resepsionis itu.Aku menunggu Dwi, remaja itu berlari ke arahku lalu mengantarku ke IGD. Kami melangkah cepat, taku
“Nin, jangan salah paham.” “Salah paham apa, Mas.” Aku masih berusaha menekan kekesalanku padanya. Malam ini benar-benar buruk, tiba-tiba dilamar Andika lalu mas Fajar mendatangiku hanya ingin mengajakku ke acara Bani, padahal selama ini dia tidak pernah mau jika aku ajak bersama.“Keyra yang mempengaruhiku. Aku tidak pernah menolakmu, aku hanya ….”“Hanya malu karena punya istri jelek.”Aku tidak pernah lupa segala macam hinaannya, katanya aku tidak menarik, tidak modis, kuno dan tidak enak di ranjang makanya dia sangat jarang meminta jatah dariku.“Bukan begitu. Nin. Aku tidak pernah malu punya istri kamu, justru aku bangga punya istri kamu.”“Sudahlah, Mas, jangan membual. Aku lebih percaya ucapanmu yang dulu dari pada sekarang. Pulanglah, besok pagi aku minta kamu ambil barang di gudang.” Aku mengusirnya, tapi Mas Fajar masih tetap mematung seolah tidak mengerti kalau aku muak melihatnya.“Nin, ini demi Bani. Aku mohon sekali ini saja kita datang berdua.”“Bani sudah biasa meliha