Karina sontak menutup mulutnya, nampak ia melirik ke sekeliling dimana atensi para tamu undangan berpindah ke arah meja mereka. Mereka menatap Karina dan Yudha sesaat, lalu dengan senyum penuh arti beberapa orang tampak berbisik sambil senyam-senyum, membuat Yudha reflek menepuk jidatnya dengan gemas.
"Bisa nggak sih pelanin suara kamu, Rin? Pada liatin kita nih!" Bisik Yudha gemas."Ya kan bukan salah saya! Salah Dokter kenapa tadi Do--.""Woy!! Cie pasangan penganten baru udah teriak-teriak aja pagi-pagi! Baru juga sah, Rin!"Karina melotot ketika Kelvin menepuk pundaknya keras-keras. Bukan hanya tepukannya yang keras, tetapi juga suara Kelvin menggelegar, kembali menyita perhatian para tamu undangan yang hadir. Ia buru-buru menimpuk Kelvin keras-keras, tak lupa cubitan maut Karina mendarat di lengan Kelvin sampai kakak nomor dua Karina itu menjerit kesakitan."Parah, dari dulu kenapa nggak ilang sih hobi nyubitnya? Heran aku!" GerutKarina membelalakkan mata, ia tidak salah dengar, kan? Dia harus berciuman dengan Yudha? Gila! Karina baru ingat bahwa memang resepsi ala internasional style akan ada sesi ini dalam rentetan acara resepsi. Mereka baru saja beres melakukan wedding dance, masih saling berpegangan tangan dan sekarang mereka harus ... "Dok ... Serius kita harus--."Karina terkejut hampir memekik ketika Yudha menarik tubuhnya sedikit lebih dekat. Wajah mereka jadi begitu dekat, sangat dekat sampai Karina bisa melihat dengan jelas bola mata Yudha yang hitam pekat. Alis Yudha tebal dan rapi, jangan lupa ... Bibir itu ... Bibir itu begitu .... Karina sudah tidak lagi bisa memikirkan apa-apa karena sesuai dengan aba-aba dari MC acara mereka malam ini yang merupakan seorang selebriti tersohor, Yudha tiba-tiba meraup bibirnya dengan begitu lembut tanpa meminta persetujuan lebih dulu dari Karina. Bibir itu begitu lembut, sangat lembut sekali sampai Karina yang se
Yudha tertegun di depan pintu, sementara Karina menyilangkan tangan di dada, menutupi leher dan bahu yang tidak tertutup handuk putih yang kini melilit tubuh Karina yang nampak baru selesai mandi. Sebagai lelaki normal, darah yudha berdersir hebat. Ia melihat betapa putih dan mulus kaki dan bahu Karina dengan posisi seperti ini. Terlebih mereka hanya berdua di kamar ini, dengan status yang sudah resmi dan boleh melakukan apapun kalau saja lidah Yudha tidak terlanjur mengucap janji itu. "DOK, NGAPAIN SIH? KELUAR LAH!"Yudha tersentak dari lamunannya, menarik napas dalam-dalam lalu melotot menatap Karina yang wajahnya memerah itu. "Kenapa saya harus keluar? Ini kamar saya juga, kamu lupa?" Yudha melangkah mendekat, membuat Karina yang tadinya tengah membongkar koper sontak berjalan mundur. Nampak wajah itu terkejut, wajah memerahnya berubah jadi pucat. Ia terus melangkah mundur dan itu membuat Yudha makin bernafsu untuk terus mendekati
"Hen ... Ayolah tolong, Hen!"Terdengar suara itu memohon, diiringi isak tangis yang jujur malah membuat Heni tertawa terbahak-bahak daripada prihatin dengan kondisi sahabatnya. Tawa Heni pecah, menertawakan tingkah Karina yang baginya begitu absurb. "Hen! Tega amat sih malah ngakak begitu? Tolongin aku napa? Horor banget di sini, Hen!" Tegas suara itu nampak kesal. Tawa Heni belum mau berhenti, sungguh dia tidak tahu dan tidak paham dengan apa yang ada di dalam pikiran Karina saat ini! "Rin ... Yang kau nikahi itu dokter Yudha! Bukan vampire, zombie atau genderuwo. Jadi horor macam apa yang kamu maksud?" Goda Karina sambil bersandar santai di kasur kamar hotel yang disewakan Karina khusus untuknya. Katanya sih karena Heni adalah best friend Karina, tapi kini Heni tahu tujuan Karina menyewakan satu kamar untuknya di hotel yang sama dengan dirinya itu untuk apa! Untuk bisa kabur dari dokter Yudha, kan? Seperti apa yang sekarang ini Kar
Karina tercekat. Lidahnya mendadak kelu. Mata itu masih begitu dalam menatap langsung ke matanya. Dua tangannya dikunci Yudha di atas kepala. Mereka sudah tidak lagi berjarak. Hanya terpisah piyama yang Karina kenakan. Jantung Karina berdegup 2 kali lebih cepat terlebih ketika wajah itu makin dekat. Karina memejamkan matanya rapat-rapat. Apakah semuanya akan berakhir malam ini? Apakah janji yang Yudha ucapkan kemarin hanya buaian semata? Hanya pancingan dan jebakan agar Karina mau dia nikahi? 'Ma ... Tolong!'***Jantung Yudha berdegup tak karuan. Bukan hanya dia, Karina pun sama! Tanpa perlu stetoskop, Yudha bisa merasakan dan mendengar degup itu saking dekatnya jarak mereka sekarang. Yudha yang semula sudah bisa mengendalikan diri dan hasratnya, kini kembali membara. Bukan hanya karena video yang tidak sengaja dia lihat di ponsel Karina. Video yang bahkan sampai sekarang masih ribut mengeluarkan suara-suara erotis, tetapi juga Karina yang kini pasrah di
"APA? JADI SEMALAM KALIAN NGGAK ENA-ENA, RIN?!"Suara itu terdengar begitu menggelegar di telinga Karina. Seolah-olah dia mengatakan pada Heni bahwa dia baru saja bergabung dengan ISIS dan Taliban. Karina sampai melonjak kaget. Memang setelah peristiwa kemarin tidak ada lagi yang terjadi kecuali Karina yang tidak bisa tidur semalaman. Dia baru bisa tidur sekitar pukul 3 pagi dan pagi ini, dia mendapati sisi kasur di sebelahnya kosong. Padahal baru pukul 7 pagi kemana sosok suaminya itu pergi? Ah ... sebodoh amat deh! Yang jelas dia benar-benar menepati janjinya dan Karina tetap aman! Mendadak Karina kembali terbayang dekapan erat Yudha sesaat setelah bibir mereka berpagut. Kenapa tubuhnya seolah begitu nyaman dengan dekapan hangat itu? Kenapa rasanya .... "Woy, Rin! Kamu nggak mendadak budek, kan?" Kembali Heni memekik, membuat Karina terkejut dari lamunannya akan pelukan sang suami kemarin malam. "Nggak lah! Gila aja!" Karina balas b
"Sini biar saja bawa koper kamu, Rin!"Karina tersenyum dan mengangguk, membiarkan Yudha membawa kopernya. Sementara dia mengekor di belakang lelaki itu. Ini sudah waktunya mereka check out dari kamar hotel. Mereka harus pulang sejenak ke rumah Ahmad, kemudian berangkat bersama-sama ke Madiun, kampung halaman Yudha. Akan ada acara ngunduh mantu di sana. Karina tersenyum menatap Yudha dari tempatnya melangkah. Komen di mana dia jatuh dalam pelukan Yudha esok tadi belum mau pergi ingatan Karin. Bagaimana tangan itu begitu erat mendekap tubuhnya. Mengelus kepalanya dengan lembut. Rasanya sama seperti ketika Ahmad memeluk dan menenangkan dirinya saat Karina sedih. Kok bisa? Entah bagaimana teorinya, Karina sendiri juga tidak tahu. "Heni sudah pulang, Rin?" Tanya Yudha ketika berdiri di depan pintu lift. Tentu Yudha tahu Heni juga menginap di sini, sejak a wal pembahasan venue pernikahan, Karina sudah mengusulkan satu kamar khusu
Yudha menekan knop pintu, mendapati sosok itu tengah tengkurap di atas kasur yang ada di dalam kamar bernuansa pink pastel milik Karina. Ah ... Cewek banget, ya? Semuanya bernuansa pink pastel dan putih. Yudha tersenyum, masuk perlahan sambil membawa koper yang mana satu di antara dua koper tadi papa mertuanya yang bantu naik. "Rin ... Kenapa sih? Saya nggak enak sama papa loh kamu pulang-pulang manyun gitu wajahnya." Yudha melangkah menghampiri ranjang, duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan Karina yang tengkurap membenamkan wajah di bantal. Tidak ada jawaban. Membuat Yudha lantas memberanikan diri menepuk bahu Karina, mengguncang bahu itu perlahan berharap Karina mau bangun dan bicara padanya. "Rin ... Kamu marah sama saya? Saya salah apa lagi sih, Rin?" Tanya Yudha nelangsa, membuat siapa saja yang mendengar kalimat tanya itu sontak prihatin dengan sosoknya. Karina mengangkat wajah, menoleh dan segera bangun dari posisinya. Mata itu ber
"Orang kok kalo ngibul sukanya nggak nanggung-nanggung!" Gerutu Karina ketika ia dan Yudha kembali masuk ke dalam kamar. Pesawat akan take off beberapa jam lagi, jadi mereka harus kejar waktu agar bisa datang tepat waktu. Sungguh bermain kejar-kejaran dengan waktu itu sama sekali tidak enak! "Astaga, yang ngibul siapa sih, Rin?" Yudha membelalak gemas, dia ngibul apa memangnya?Karina menghela napas panjang, menatap Yudha dengan tatapan gemas. Hal yang makin membuat Yudha tidak mengerti, dia salah apa lagi memangnya? "Tadi itu loh, Dok! Pakai di depan papa sama Bangke lagi ngomongnya!" wajah itu nampak bersungut-sungut, wajah yang jujur malah membuat Yudha gemas setengah mati.Yudha mengerutkan kening, mencoba berpikir dan mengingat apakah ada kebohongan yang dia ucap ketika sedang bersama papa mertua dan kakak iparnya tadi. Sekian detik membongkar memori, Yudha tidak menemukan kebohongan yang dia katakan tadi. Dia memang bohong soal a