Barisan prajurit nampak berjajar, membentuk sebuah penjagaan yang ketat. Zein berdiri bersama para warga. Menyaksikan desa yang sebelumnya begitu subur berubah kering bagaikan gurun tandus. Berpetak-petak tanah dipenuhi tanaman busuk dan membuat udara dipenuhi bau tak sedap.
Sedangkan para penduduk Yuilr hanya bisa meratapi tanaman-tanaman mereka, berkeluh kesah kepada sang tuan karena panennya gagal di musim ini.
"Kami tidak tau apa yang terjadi, tuan. Seluruh kebun kami mengering, bahkan hingga bunga yang kami tanam didepan rumahpun ikut layu. Desa Doinh yang berada disebelah kami juga mulai terdampak, tuan.." Ujar kepala desa. Wajah tuanya terlihat begitu sedih menjelaskan apa yang telah terjadi pada mereka.
Salah seorang bocah kemudian berjalan mendekat sembari membawa seekor anak domba yang tak lagi bergerak, "Dan kini ternak kamipun mulai terancam mati.." Ucap sang ayah yang mendampinginya.
Zein menatap hamparan jagung yang mengering. Semua tanaman masih utuh berdiri tanpa adanya sentuhan dari manusia ataupun hewan. Martha dan beberapa dokter yang ia tugaskanpun tidak menemukan adanya racun atau zat lain yang bisa membuat tanaman-tamanan itu mati tidak wajar.
"Semua itu jelas bukan ulah manusia." Ungkap Alexan, menatap dalam Zein.
"Apa maksudmu?" Tanya Davin, menuntut lebih lanjut.
"Jelaskan." Ucap Zein dengan serius.
"Tentunya kau tau 'tuan Zein, bila Demon mampu membuat kerusuhan dengan kekuatannya-jikalau dia memiliki power yang besar." Jelas Alexan, Zein membenarkan. Fakta yang teramat jelas, karena Alexan sendiri merupakan salah satu Demon yang pernah memporak-porandakan kota di wilayah selatan dengan angin kencang. Sebelum akhirnya tunduk dan menjadi pelayan sang tuan.
"Namun tentunya hal itu bukan tanpa alasan." Lanjut Alexan.
"Kira-kira siapa yang melakukan semua ini, dan untuk apa dia melakukan itu?" Devine bertanya sembari memangku dagunya pada jemari.
"Itulah yang harus kita cari tau." Ucap Zein, membuat mereka mengangguk setuju.
Menelusuri lahan yang terbentang, Zein memang telah menemukan tanda adanya hal yang tidak beres. Seperti pada kebun sayuran kecil di depan rumah warga yang saat ini ia pandang. Jejak kaki nampak menyebar menginjak tanaman dan membuat mereka mati.
"Apakah tuan memiliki solusi soal ini?" Tanya seorang warga.
Zein tersenyum menanggapi, "Secepatnya aku akan menyelesaikan masalah ini. Untuk sekarang kalian tidak perlu khawatir soal bahan makanan, aku akan mengirimkannya langsung hingga persoalan ini berakhir," Membuat semua warga bernafas lega.
Tentunya memberitahu mereka bahwa penyebab dari gagalnya panen ialah sesuatu diluar nalar akan membuat mereka bingung. Yang perlu ia lakukan kini adalah menenangkan dan membantu mereka selama ia mengurusi permasalahan hingga tuntas.
"Tuan, disebelah sana." Bisikan ditelinga Zein membuat ia menoleh ke arah hutan. Nampak seseorang tengah mengintip dari pepohonan, sebelum akhirnya menghilang ke dalam rimbunnya hutan.
Martin yang ikut menyadari kehadiran sosok itu melirik pada tuannya sekejap, menunggu perintah yang akan diberikan.
"Kejar."
Dan ia pun menyelinap keluar dari kerumunan.
-0-
Tungkai kurus itu terus berlari tanpa henti. Telapak kakinya yang tak dibalut dengan alas berlumur darah dan luka. Nafasnya tersengal-sengal, namun raungan sosok dibelakang terus menerus terdengar begitu keras.
"Ahh.. Hah!"
Hingga akhirnya sebuah akar pohon membuatnya terjatuh. Perlahan tapi pasti, sosok itupun sampai dihadapannya. Monster berbentuk kuda itu menatapnya dengan mata merah menyala, tersenyuman lebar menunjukkan barisan gigi taring diseluruh mulutnya.
Ia ketakutan, namun pergelangan kakinya tak mampu ia bawa untuk berlari lagi. Monster itu terus mendekat. Tubuhnya yang kurus beringsut mundur dan membuat gaun panjangnya semakin kotor oleh tanah.
Disaat yang begitu genting, seorang lelaki datang bersama beberapa orang prajurit. Mereka berdiri mengelilingi sang monster, tanpa rasa takut sedikitpun. Ia merasa begitu lega karena terselamatkan, hingga sebuah kalimat terlontar dari bibir pria itu membuatnya terkejut.
"Musnahkan wanita itu."
"Tidak! Kumohon, jangan!" Teriakan kuat itu memenuhi seisi hutan. Bibir sang monster yang dipenuhi liur semakin tersenyum lebar. Kakinya perlahan mendekati sang wanita.
"MARTIN!"
Sebuah panggilan tiba-tiba menghentikan kegiatan monster yang sebentar lagi akan memakan mangsanya. Semua orang menoleh ke asal suara, menemukan Martha dengan dada naik-turun berdiri murka menatap mereka. Martin dan Zein terkejut karena ternyata gadis itu mengikuti mereka ke dalam hutan. Seharusnya ia kembali ke castil bersama yang lain, namun ia menyelinap keluar tanpa sepengetahuan siapapun.
Gadis itu kemudian berlari menerobos dan menghampiri wanita yang tengah terduduk tak berdaya di bawah pohon, lalu seketika memeluknya erat.
"Apa yang kau lakukan, hah?!" Bentaknya kepada Martin, atau lebih tepatnya kepada Zein dan beberapa tentaranya juga karena mereka hanya diam saat melihat Martin hendak ngeksekusi wanita lemah ini, tanpa berniat menolongnya sama sekali.
Martin mengibaskan rambutnya, jengah. Ia lalu menepukkan ke empat kakinya untuk berbalik, meninggalkan buronan yang kini tak akan mungkin ia lahap dan berjalan menuju sang tuan. Menyerahkan seluruh urusan selanjutnya kepada Zein, termasuk menghadapi Martha.
"Kenapa kalian hanya diam saja?!" Gadis itu masih saja berapi-api, menatap seluruh orang dengan pandangan menuduh, "Tega sekali kalian membiarkan Martin menyakiti wanita selemah ini!", teriak Martha. Lengannya begitu erat melingkupi tubuh sosok di dekapannya, seakan berniat membunuh siapapun yang menyentuh wanita itu.
"Martha," Panggil Zein pelan. Namun ia tak bergeming, matanya bercucuran tangis meratapi luka-luka yang membalut wanita lemah itu.
"Tidak, aku akan melindunginya, tuan.. Aku tidak akan membiarkan kalian menyakitinya sama sekali," Ucap Martha, tanpa menyadari sebuah senyum tergaris di bibir wanita dipelukannya.
"Martha, dia bukan manusia."
"Haha.." Seiring dengan fakta yang diucapkan sang tuan, sebuah tawa tiba-tiba terdengar lirih dari arah wanita yang tengah ia dekap. Martha terdiam seketika.
"Hahaha!" Tawanya semakin keras. Martha langsung melepaskan lengannya, irisnya terbuka lebar saat wanita itu perlahan mengeluarkan aura hitam. Hendak lari, sayangnya lengan dingin wanita itu berganti mendekapnya.
"Apa yang akan kau lakukan, Zein? Kau tidak akan bisa mengikatku seperti makhluk-makhluk bodoh itu!" Tubuhnya membesar, rupa secantik bidadari itu berubah menjadi monster wanita besar dengan wajah buruk rupa. Mewujud seperti aslinya. Martin dan para demon lain yang mendengar cemoohan itu hanya meringis. Pasalnya orang yang ia maksud sama sekali tidak bisa diremehkan.
Tepat setelah Martha mulai kehabisan nafas karena tercekik, dua buah besi besar tiba-tiba muncul dan mengikat monster itu. Membuatnya mengangkat tangan dengan paksa hingga menjepit kepalanya sendiri.
"APA INI?! LEPASKAN AKU!"
Ia terus menjerit. Sedangkan Zein masih belum beranjak dari tempatnya berdiri sama sekali. Tangan kanannya terulur perlahan, dan iris sehitam jelaga itu seketika menyala. Jari jemarinya bergerak menunjuk sang iblis wanita, menuntun ribuan bayangan hitam menusuk-nusuk tanpa memberinya kesempatan untuk bergerak lagi.
"Beritahu aku, apa yang membuatmu merusak tanaman rakyatku." Bisik Zein. Aura hitam memenuhi tubuhnya.
Ia membenci pria itu, orang yang telah mengacaukan semuanya. Namun ia hanya bisa terkunci pada iris menyala yang sama yang pernah melenyapkan demon lainnya. Sebuah bayangan tiba-tiba merupa bagai sebilah pedang di depan lehernya, hanya butuh sedikit gerakan untuk membuat dirinya menghilang dari dunia.
"Aku tidak suka kedamaian ini! Aku ingin membuat kalian mati!" Ucapnya, tiada keraguan disetiap kata. Namun itulah yang menyulut amarah sang tuan muda.
JRASSS!
Pedang hitam itu menusuk tepat di lehernya, sesaat kemudian ia melebur menjadi kepulan bayangan, dan iapun musnah. Martha yang duduk lemah diantara asap itu perlahan limbung, kesadarannya mulai terenggut ditelan takut dan bingung.
"Tidak ada yang bisa kau percayai di dunia ini, Martha. Bahkan wajah yang seelok bulanpun tidak bisa menjadi tumpuan, bila hatinya merupa bagaikan iblis."
Dan iapun jatuh tak sadarkan diri.
Dua orang itu masih setia berdiri berhadapan. Berdikusi mengenai satu hal, sedangkan Harss tidak bergabung karena harus menangani Gyor yang mendadak tidak terkendali. "Sekarang apa?" Tanya Gerald. Edrich sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga masih belum menemukan solusi. "Jika berhubungan dengan medis, kita mungkin bisa membawanya pada dokter spesialis jiwa, bukan?" Benar, memang benar. Saran Gerald tidak ada salahnya sama sekali. Tapi penyembuhannya akan memakan waktu lama. "Kalau ada solusi kedua yang lebih praktis, aku akan sangat menerimanya karena waktu kita tidaklah banyak, Gerald." Ucapan Edrich membuat pria itu merenung sekian menit. Berjalan kesana kemari sembari menggaruk rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Pandangannya lalu jatuh pada Sin yang tengah berjongkok, memainkan bangkai kupu-kupu di atas tanah. "Oh," Pekikan Gerald itu menarik perhatian. "Bagaimana jika kau mencari jejak dimana hantu Kurt berada? K
"Jadi kau sudah menangkapnya?!" Harss berteriak di tengah kerumunan. Membuat orang-orang menyingkir keheranan, sedangkan Edrich mau tak mau harus berbohong agar keanehan yang ada pada Sin tidak membuat orang itu mencurigai mereka. "Ya, aku menemukannya di suatu tempat. Jadi sekarang ikutlah denganku, malam ini juga kita akan mengintrogasinya."Harss terlihat puas sekali. Berjalan mendahului Edrich dan meninggalkannya di belakang. Mengekor sembari melihat punggung itu sayu, Edrich sedikit ragu ingin menanyakan sesuatu di benaknya. Apalagi kalau bukan soal anak itu. "Tuan Harss.""Hm?" Pria itu menoleh sekejap, memperhatikan Edrich yang diam saja. "Ada apa Edrich?"Tapi nampaknya dia masih belum ingin bertanya. Urusan ini akan ia bahas nanti saja. "Tidak apa, mari bergegas." Mereka masih menghadapi kasus nyata sekarang. Jika membicarakannya saat ini, pikiran Harss akan terbagi dan mungkin mereka tidak akan fokus menyelesaikan masalah setelahnya."Sete
Gyor berhenti di sebuah bangku kecil. Menarik nafas dalam-dalam dan beristirahat di bawah pohon rindang setelah berlari dari orang-orang yang sebenarnya tidak mengejar. Dia takut mereka akan menanyainya mengenai Kurt ataupun mengenai kekasihnya. Dia memiliki janji dengan Kurt, dan sampai kapanpun dia tidak akan mengingkari janjinya."Hah.. Huufft.."Sin duduk diantara batang pohon. Memperhatikan Gyor dari atas kemudian turun dan duduk di sampingnya tanpa pria itu sadari. "Hei.""Huaaaargh!!" Gyor terlonjak, menjerit kaget dan seketika berdiri menjauh dari sana. "K-kau! Kau anak yang tadi!"Gyor menunjuk anak yang berjongkok di atas bangku itu dengan tangan gemetaran, sedangkan mata bulat Sin menatap tanpa ekspresi ke lawan bicaranya. "Sejak kapan kau mengikutiku, hah?!"Bocah itu perlahan berdiri. "Kenapa kau kabur, Gyorgie?" Matanya yang tidak berkedip itu membuat Gyor bergidik."N-namaku Gyor bukan Gyorgie! Kemana ayahmu
Sin menghela nafas lelah. Seharian dia memutari banyak desa untuk mencari pos-pos surat bersama pria besar bernama Gerald ini. Meskipun juga sedikit bersyukur setidaknya dia tidak disandingkan dengan pak tua Harss yang mengerikan. Omong-omong soal kantor pos, Edrich berencana untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai orang bernama Kurt dan kekasihnya itu. Katanya jika dia bisa menemukan alamat Elena, dia bisa menginvestigasi lebih lanjut atau apalah itu - ke tempat dimana pelaku utama berada. Sebenarnya dia tidak mau ikut melakukan hal rumit seperti ini. Dengan sekali jentik jaripun, sebenarnya dia bisa mengetahui apapun jika sang tuan mau. Tapi seperti yang pernah ia katakan dulu, Edrich belum memberinya sesuatu paling penting untuk membayar dirinya. Apa itu? Tentu saja sebuah kontrak. Selain kontrak apalagi? Tubuhnya. Ya, Sin butuh tubuh pria itu. Namun bukan fisiknya yang payah itu, tapi inti dari tubuhnya. Dia punya kekuata
Harss melangkah ke arah rumah Edrich. Rekannya Gerald itu memberitahu kalau Edrich ingin membicarakan sesuatu ketika mereka bertemu di pasar. Sekarang dia bergegas kesana sembari berdoa semoga pemuda itu mendapat informasi yang membantu kasus mereka.Tok tok tokk!! "Edrich!"Tak lama setelah diketuk, pintu terbuka perlahan tanpa seorangpun yang terlihat. Harss melirik keheranan sebelum suara mencicit di bawah membuat pria tua itu menunduk. "Kau siapa ya?"Bocah tidak sopan. Tapi bukan itu yang membuat Harss terdiam. Namun wajah anak itu yang sekejap membuat bulu kuduknya meremang. Apakah itu dia? Tapi tidak mungkin karena anak itu sudah lama mati. Jadi Harss putuskan menatapnya cermat, memastikan apakah benar dia sosok yang pernah hidup itu atau hanya mirip saja."E-eh..." Sin beringsut menempel tembok, keringat dingin bercucuran saat pria berjenggot tebal memelototinya lekat-lekat sampai membuat jantungny
"Keith, Chloe, makan malam sudah siap!"Sosok perempuan yang sudah memiliki banyak uban di rambutnya itu berjalan ke luar dapur sembari mengelap tangan di celemek yang ia kenakan. Namun sampai beberapa kali panggilan, kedua putranya itu tidak juga muncul seperti biasanya. "Chloe? Kurt?" Tangannya yang penuh dengan piring saji terpaksa menaruh makanan itu kembali. Dahinya mulai mengkerut curiga saat tak mendengar suara apapun dari kedua kamar anak-anaknya.Akhirnya wanita itu berjalan ke kamar mereka satu persatu. Kakinya bergegas berjalan ke kamar Kurt, namun yang ia temukan malah anak itu tengah tertidur di atas nakasnya sendiri. Tangannya menggelantung bersama pena yang sudah terjatuh di lantai. Mungkin dia kelelahan karena belajar."Kurt.. Apa kau tertid-" Kelopak mata Rose tiba-tiba melebar. Seluruh tubuhnya bagai membeku di tempat kala menemukan remaja lelaki itu telah sekarat dengan busa yang mengalir di sela