"Yeina, berhenti!"
"Jangan lari dariku, Yeina!"
"Kena kau!!"
"Jangan!"
"Hahahahahah!"
"Tidak, jangan.."
"TIDAAK!!"
Perlahan Zein membuka mata, kemudian mengatur nafasnya pelan. Kepalanya penuh dengan potongan-potongan memori yang masih saja membesit meskipun ia telah terbangun dari tidur. Serpihan cerita hidup para hantu yang ia lenyapkan selalu memenuhi mimpinya, membagi kisah yang harusnya diketahui oleh setiap orang. Namun sayangnya kisah yang mengakhiri hidup mereka itu harus terkubur dan bahkan tak disadari oleh siapapun. Hilang dan tertelan bumi begitu saja.
Zein mendengus pelan, kemudian bangkit dari posisinya. Kemeja putih yang ia kenakan nampak sedikit tersibak memperlihatkan dadanya yang bidang. Melihat langit yang masih menunjukkan malam, ia berjalan membuka daun pintu kamar yang lebar. Kakinya berhenti sebelum keluar, mendapati seseorang tengah menunggu tepat didepan pintu.
"Ada apa, Vinz?" Tanya Zein. Namun bocah yang masih berdiri dihadapannya itu tak bergeming sama sekali. Wajahnya menunduk dalam keheningan.
"Vinz?" Suara Ginna bergema seiring wanita itu muncul dari koridor kanan. "Apa yang kau lakukan tengah malam disini?" Pelayan senior itu berdiri khawatir di samping anak itu. Namun ia tak bereaksi sama sekali.
Mata Zein memicing ketika asap hitam perlahan keluar dari tubuh Vinz, membuat mata Ginna terbelalak dan terpekik terkejut. Sesaat kemudian, Vinz menengadahkan wajahnya dan menampakkan iris biru menyala. Zein yang merasakan sesuatu berbahaya akan dilakukan anak itu, dengan cepat menyentuh pundak Vinz. Dan seketika membawa mereka berteleportasi ke dalam hutan. Meninggalkan Ginna dengan kepanikan.
Dan disini mereka sekarang. Ditemani angin malam yang berhembus dingin, Zein berdiri memperhatikan bocah yang tengah mendesis geram di hadapannya. Irisnya masih menyala berkilauan ditengah kegelapan, menatap Zein bengis dengan tangan terkepal.
"Apa yang kau inginkan.." Suara Zein beralun dingin, "Derl?" Bertanya pada sosok yang kini menggeram kuat ketika namanya tersebut pelan.
Hembusan angin bertiup-tiup menerpa tubuh, menambah kebekuan yang mengunci posisi mereka. Derl membuat raga kecil itu bergetar hebat.
"Apa yang kau lakukan pada rekanku, Zein?!" Ia berteriak. Gumpalan angin melaju kencang mengiringi kemarahan yang Derl keluarkan. Zein berdiri tenang.
"Dia perlu dimusnahkan." Jawab Zein, Lagi-lagi mengundang amarah demon itu hingga membuatnya mendesis keras.
Perlahan, Derl membawa kaki kecil Vinz melompat dan berpindah secepat kilat disamping Zein. Irisnya bersitatap dengan tuannya sendiri, menatap wajah itu tajam. Dengan emosi, ia lalu melayangkan tinju ke arah wajah sang tuan muda. Sedangkan Zein tetap berdiri tenang meski melihat serangan yang diarahkan padanya. Dan sebelum tangan itu berhasil menghantam wajahnya, Zein menangkap lengan Derl, membuat sosok itu tercekat. Zein lalu menariknya cepat, menaikkan kakinya untuk menjangkau perut dan sesaat kemudian menendang Derl hingga ia terpental jauh. Menghasilkan debuman suara yang nyaring.
Derl yang berhasil menapak dengan kakinya berdiri kembali, "Kau tau apa yang sudah ia lalui, Zein. Tapi kau hanya diam saja.." Ucapnya bergetar hebat.
Zein tak berucap, menatap mata Derl yang berkilat-kilat.
"Kau tidak memberikannya keadilan sama sekali. Dan kini kau membiarkannya mati dalam kesedihan untuk yang kedua kali!" Lagi, tubuh kecil itu kembali menerjang dari segala arah dengan kecepatan luar biasa. Ia berulang kali melayangkan pukulan kepada Zein yang hanya menangkis serangan demi serangan, tanpa ingin menyakiti jiwa itu sama sekali.
Hanya perlu menyentuh dada Vinz untuk mengeluarkan Derl yang masih dalam pengaruh amarah itu dari tubuhnya. Namun jiwa itu dengan cepat menghindar dan menapak tanah dengan terengah.
"Aku tidak bisa merubah masa lalu, Derl." Ucap Zein, berusaha menenangkan.
"Tapi kau tidak perlu sampai melenyapkan Yeina!"
"Dia adalah ancaman untuk rakyatku."
"Aaaaargh!" Jeritan itu begitu keras. Api biru berkobar memenuhi tubuhnya, membuat powernya meningkat berkali lipat.
Zein menyipitkan mata, Derl dengan jiwa yang masih belum stabil sebagai demon muda begitu berbahaya sekarang. Sedangkan kini fisiknya mulai melemah. Akan sangat beresiko bila ia menghadapinya sendiri.
"Jangan meremehkanku, Zein." Ucap Derl penuh amarah. Ia dengan cepat melompat mendekat dan menyambarkan api biru ditangannya ke arah sang tuan. Zein tak kalah sigap menghindar, ia terus membendung dan berpindah tempat meski Derl berkali-kali menyerang tanpa henti.
Merasa mulai kehilangan kekuatan, Zein memberikan jarak pada pertarungan mereka. Fisiknya hampir menyerah, nafasnya sedikit sesak.
"Pinjamkan aku kekuatanmu." Ia berbisik. Meraih atensi pada sesuatu yang mendiami tubuhnya, hingga ia mendengar sosok itu tertawa pelan.
"Ingat dengan janjimu, Zein."
"Jiwaku adalah milikmu."
Dan sesaat setelah Derl menemukan sang tuan tengah berdiri lemah, ia langsung mengejarnya. Berusaha memberikan serangan dari belakang, namun tiba-tiba Zein menangkap tangannya. Derl terkejut dan langsung menatap mata itu. Mata yang berkilat tajam. Aura hebat nampak menyelimuti Zein hingga membuatnya tak mampu bergerak. Semua kekuatan yang ia miliki bagai tak berarti ketika sorot mata itu menatapnya tajam. Perlahan namun pasti, telapak tangan Zein mulai bergerak menyentuh dadanya.
"Tenangkan dirimu, Derl." Ucap Zein.
Dan ia pun terpental keluar dari raga sang anak manusia.
Pemuda itu terduduk lemah. Iris yang semula bersinar itu perlahan redup dan kembali menjadi sehitam jelaga. Zein menyandar pada batang pohon besar dibelakangnya. Memegangi perut sembari memperhatikan tubuh kecil bocah yang baru saja menjadi wadah bagi seorang demon kuat. Meski kekuatan Derl membuat fisik Vinz kebal dengan semua luka dan rasa sakit, Zein tetap merasa iba ketika melihat anak itu harus melakukan hal bukan atas kendalinya sendiri.
Hening, suasana sepi membawa bayang-bayang ucapan Derl di tengah amarahnya.
"Kau tau apa yang sudah ia lalui, Zein. Tapi kau hanya diam saja.."
"Kau tidak memberikannya keadilan sama sekali. Dan kini kau membiarkannya mati dalam kesedihan untuk yang kedua kali!"
Zein menyadari semua itu. Jiwa Yeina telah memberitahukan semua fakta yang terjadi selama ia hidup. Kejahatan ditengah masyarakat yang sama sekali tidak dipandang dan terkubur bagai tak pernah terjadi itu terkuak lebar dihadapannya.
Namun Zein tak bisa berbuat apapun. Kisah itu telah berlalu bertahun-tahun lamanya, hilang bersama kepemimpinan Elmardillo yang kini sudah berkali-kali berganti sebelum dirinya. Yeina, ia adalah salah satu korban dalam pelecehan. Keadilan yang tertutup bertahun-tahun, membuat jiwanya melebur menjadi demon jahat. Ditambah seluruh keharmonisan dan kesejahteraan rakyat yang seakan tak peduli sama sekali dengan penderitaan yang ia alami, membuatnya murka dan berniat menghancurkan semuanya.
Tidak ada yang menyadari, kecuali Derl yang diam-diam mengerti perasaan Yeina. Demon dengan umur yang masih tergolong muda itu terlalu peduli hingga ikut terbakar amarah. Menghakimi sang tuan muda yang menghanguskan Yeina alih-alih menundukkan Demon itu menjadi pelayannya. Sayangnya ia tidak mengerti bila satu-satunya jalan untuk membuat Yeina tenang adalah membawanya ke dalam kedamaian abadi.
"Aku tidak bisa merubah masa lalu.." Zein bergumam pelan, "tapi aku bisa merubah dan menentukan masa depan."
Dua orang itu masih setia berdiri berhadapan. Berdikusi mengenai satu hal, sedangkan Harss tidak bergabung karena harus menangani Gyor yang mendadak tidak terkendali. "Sekarang apa?" Tanya Gerald. Edrich sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga masih belum menemukan solusi. "Jika berhubungan dengan medis, kita mungkin bisa membawanya pada dokter spesialis jiwa, bukan?" Benar, memang benar. Saran Gerald tidak ada salahnya sama sekali. Tapi penyembuhannya akan memakan waktu lama. "Kalau ada solusi kedua yang lebih praktis, aku akan sangat menerimanya karena waktu kita tidaklah banyak, Gerald." Ucapan Edrich membuat pria itu merenung sekian menit. Berjalan kesana kemari sembari menggaruk rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Pandangannya lalu jatuh pada Sin yang tengah berjongkok, memainkan bangkai kupu-kupu di atas tanah. "Oh," Pekikan Gerald itu menarik perhatian. "Bagaimana jika kau mencari jejak dimana hantu Kurt berada? K
"Jadi kau sudah menangkapnya?!" Harss berteriak di tengah kerumunan. Membuat orang-orang menyingkir keheranan, sedangkan Edrich mau tak mau harus berbohong agar keanehan yang ada pada Sin tidak membuat orang itu mencurigai mereka. "Ya, aku menemukannya di suatu tempat. Jadi sekarang ikutlah denganku, malam ini juga kita akan mengintrogasinya."Harss terlihat puas sekali. Berjalan mendahului Edrich dan meninggalkannya di belakang. Mengekor sembari melihat punggung itu sayu, Edrich sedikit ragu ingin menanyakan sesuatu di benaknya. Apalagi kalau bukan soal anak itu. "Tuan Harss.""Hm?" Pria itu menoleh sekejap, memperhatikan Edrich yang diam saja. "Ada apa Edrich?"Tapi nampaknya dia masih belum ingin bertanya. Urusan ini akan ia bahas nanti saja. "Tidak apa, mari bergegas." Mereka masih menghadapi kasus nyata sekarang. Jika membicarakannya saat ini, pikiran Harss akan terbagi dan mungkin mereka tidak akan fokus menyelesaikan masalah setelahnya."Sete
Gyor berhenti di sebuah bangku kecil. Menarik nafas dalam-dalam dan beristirahat di bawah pohon rindang setelah berlari dari orang-orang yang sebenarnya tidak mengejar. Dia takut mereka akan menanyainya mengenai Kurt ataupun mengenai kekasihnya. Dia memiliki janji dengan Kurt, dan sampai kapanpun dia tidak akan mengingkari janjinya."Hah.. Huufft.."Sin duduk diantara batang pohon. Memperhatikan Gyor dari atas kemudian turun dan duduk di sampingnya tanpa pria itu sadari. "Hei.""Huaaaargh!!" Gyor terlonjak, menjerit kaget dan seketika berdiri menjauh dari sana. "K-kau! Kau anak yang tadi!"Gyor menunjuk anak yang berjongkok di atas bangku itu dengan tangan gemetaran, sedangkan mata bulat Sin menatap tanpa ekspresi ke lawan bicaranya. "Sejak kapan kau mengikutiku, hah?!"Bocah itu perlahan berdiri. "Kenapa kau kabur, Gyorgie?" Matanya yang tidak berkedip itu membuat Gyor bergidik."N-namaku Gyor bukan Gyorgie! Kemana ayahmu
Sin menghela nafas lelah. Seharian dia memutari banyak desa untuk mencari pos-pos surat bersama pria besar bernama Gerald ini. Meskipun juga sedikit bersyukur setidaknya dia tidak disandingkan dengan pak tua Harss yang mengerikan. Omong-omong soal kantor pos, Edrich berencana untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai orang bernama Kurt dan kekasihnya itu. Katanya jika dia bisa menemukan alamat Elena, dia bisa menginvestigasi lebih lanjut atau apalah itu - ke tempat dimana pelaku utama berada. Sebenarnya dia tidak mau ikut melakukan hal rumit seperti ini. Dengan sekali jentik jaripun, sebenarnya dia bisa mengetahui apapun jika sang tuan mau. Tapi seperti yang pernah ia katakan dulu, Edrich belum memberinya sesuatu paling penting untuk membayar dirinya. Apa itu? Tentu saja sebuah kontrak. Selain kontrak apalagi? Tubuhnya. Ya, Sin butuh tubuh pria itu. Namun bukan fisiknya yang payah itu, tapi inti dari tubuhnya. Dia punya kekuata
Harss melangkah ke arah rumah Edrich. Rekannya Gerald itu memberitahu kalau Edrich ingin membicarakan sesuatu ketika mereka bertemu di pasar. Sekarang dia bergegas kesana sembari berdoa semoga pemuda itu mendapat informasi yang membantu kasus mereka.Tok tok tokk!! "Edrich!"Tak lama setelah diketuk, pintu terbuka perlahan tanpa seorangpun yang terlihat. Harss melirik keheranan sebelum suara mencicit di bawah membuat pria tua itu menunduk. "Kau siapa ya?"Bocah tidak sopan. Tapi bukan itu yang membuat Harss terdiam. Namun wajah anak itu yang sekejap membuat bulu kuduknya meremang. Apakah itu dia? Tapi tidak mungkin karena anak itu sudah lama mati. Jadi Harss putuskan menatapnya cermat, memastikan apakah benar dia sosok yang pernah hidup itu atau hanya mirip saja."E-eh..." Sin beringsut menempel tembok, keringat dingin bercucuran saat pria berjenggot tebal memelototinya lekat-lekat sampai membuat jantungny
"Keith, Chloe, makan malam sudah siap!"Sosok perempuan yang sudah memiliki banyak uban di rambutnya itu berjalan ke luar dapur sembari mengelap tangan di celemek yang ia kenakan. Namun sampai beberapa kali panggilan, kedua putranya itu tidak juga muncul seperti biasanya. "Chloe? Kurt?" Tangannya yang penuh dengan piring saji terpaksa menaruh makanan itu kembali. Dahinya mulai mengkerut curiga saat tak mendengar suara apapun dari kedua kamar anak-anaknya.Akhirnya wanita itu berjalan ke kamar mereka satu persatu. Kakinya bergegas berjalan ke kamar Kurt, namun yang ia temukan malah anak itu tengah tertidur di atas nakasnya sendiri. Tangannya menggelantung bersama pena yang sudah terjatuh di lantai. Mungkin dia kelelahan karena belajar."Kurt.. Apa kau tertid-" Kelopak mata Rose tiba-tiba melebar. Seluruh tubuhnya bagai membeku di tempat kala menemukan remaja lelaki itu telah sekarat dengan busa yang mengalir di sela
Malam ini juga Edrich menyelinap ke pos tahanan. Bersama Harss yang sedang dalam jam jaga, dia mengintip diam-diam bagaimana Chloe tidur di dalam selnya."Kau yakin hari ini dia akan mengigau lagi?""Tiap malam dia begitu," Harss duduk di bangkunya, mempersilahkan Edrich memperhatikan pemuda itu langsung saja. "Lihat saja sendiri."Edrich kemudian berjongkok di depan sel. Melihat Chloe yang tertidur di dalam sana. Remaja itu terlihat kurus dan sangat kecil, wajahnya tenang dengan mata terpejam. Namun tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada di kepalanya. Mengigau sebetulnya hanya peristiwa biasa, tapi tidak akan terjadi jika tidak didasari oleh sesuatu. Sedangkan Rose bilang, putranya itu tidak memiliki kebiasaan tersebut."Ngg.." Beberapa menit berlalu hingga kemudian tubuh pemuda itu mulai bergerak di sela tidur. Edrich menyimak perubahan ekspresi wajah Chloe dengan saksama. Memegangi sel agar ia bisa dengan jelas mendengar gumamannya. Tapi yan
"Aku tidak mengerti denganmu." Sepanjang jalan Harss menggelengkan kepala. Keheranan dengan pria kurus yang berjalan di sampingnya. Sedangkan Edrich terus berjalan lurus tanpa menghiraukan polisi berbadan kekar itu. "Untuk apa kau membawa pulang abu itu?"Berisik sekali, Edrich tidak bisa tenang berpikir. "Tentu saja ini akan membantu kita mengungkap teka-teki selanjutnya, tuan Harss. Kau juga bingung kan kenapa Kurt menghilangkan surat-surat yang ia terima seakan takut bersalah?"Ya, benar. Harss memang turut penasaran dengan itu. Tapi kenapa harus abu? Namun biarlah, Edrich terlalu rumit untuk dimengerti. Biasanya dia akan bergerak sendiri lalu dengan mengejutkannya memberikan sebuah pemikiran aneh yang ntah mengapa bisa menjadi fakta mencengangkan.-0-Rumah kembali berada dalam keadaan sunyi. Gerald seperti pernah mengalami situasi seperti ini. Hal ya
"Tidak bisa." "Apa??" Edrich berjengit, Sin seakan menghiraukan perintahnya seperti angin lalu. Terus mengodek telinganya bagaikan suara Edrich hanya benalu. "Apa maksudmu tidak bisa?!" Sin kemudian berdiri bersedekap di hadapan pria itu. Meski badannya lebih besar, sepertinya Edrich merasa lebih berkuasa disini. "Bukankah aku tuanmu?!" Benarkan? "Kau belum sepenuhnya jadi tuanku, lagipula urusan manusia bukan urusanku." Pria berkuncir yang semula terbakar api amarah itu berubah menyipitkan mata. Menatap Sin lekat. "Apa maksudmu aku belum sepenuhnya jadi tuanmu?" Terlihat seperti dia ingin segera memanfaatkan kesempatan memerintahnya itu. "Dengar, tuan Edrich." Sin mulai memasang wajah serius. "Bagaimanapun juga aku ini seperti hewan buas yang baru saja masuk rumahmu. Apakah kau bisa langsung memegang dan mengelusku seperti anak kucing? Meskipun aku tidak akan menelanmu hidup-hidup, a