“Gerald, kemana dia pergi sekarang?”
Leher pria berkuncir itu tak bisa berhenti meliuk ke sana kemari, berjalan ke segala arah sembari memegangi kepalanya seakan bagian tubuh itu akan hilang bila dilepaskan. “Kenapa kau diam saja? Bantu aku mencarinya, Gerald!”
Sedangkan pria berambut acak yang sedari tadi memperhatikannya menghela nafas lelah, “Bagaimana caraku membantu, Edrich? Aku bahkan tidak bisa melihatnya sama sekali.”Edrich spontan menepuk jidat. “Ah, aku lupa soal itu.”Disini mereka sekarang. Berdiri diantara hutan pinus yang mulai dipenuhi salju yang berguguran, memutihkan dedaunan. Setelah mengikuti langkah Edrich yang tak menentu, akhirnya kini mereka tersesat di hutan dengan subjek yang menghilang dari kejaran. Jalanan terlihat mulai licin, suhu dingin membuat nafas Gerald berembun di udara. Ditambah mereka yang hanya mengenakan mantel dan jas yang tidak cukup tebal, tak bisa menghalau tubuh GerAlexan melesat. Membawa Edrich bersama dirinya, sengaja membuat Odien terpancing. Sedangkan pemilik hadiah festival itu mulai beranjak dari tempatnya berdiri, mengumpulkan semua kekuatannya untuk mengucapkan mantra sekali lagi meskipun ia tau usahanya tak akan berhasil."Padamu pemilik kekuatan ini, berikan kuasa padaku untuk menjadikan Demon itu menjadi pemujaku.. Berikan aku, berikanlah padaku..!Gemercik cahaya sekilas memenuhi udara. Riuh suara bergema, senyum Odien terkembang perlahan. Namun sekejap kemudian sinar itu menghilang. Dan lagi-lagi pemberian yang telah ia dapat tak berfungsi pada Alexan. Permintaannya selalu ditolak dan ia tak mampu menjadikan Demon milik Zein itu menjadi miliknya."Ck, kurang ajar!" Menggerutu, ia mau tak mau harus bergerak dengan kakinya sendiri saat ini. Edrich, pemuda itu merupakan ancaman besar baginya. Zein sudah cukup membuatnya kewalahan, dan dua hari waktu yang tersi
Padang lapang itu hening. Debu dan asap bekas pertempuran masih beterbangan, terbawa angin bersama hilangnya semua makhluk yang ada. Hanya ada Gerald disana, dengan Edrich yang berdiri lemas di atas kakinya sendiri. Kesadarannya mungkin terambil tadi. Tapi bukan berarti dia tidak menyadari adanya keanehan sesaat sebelum pria yang menyanggah tubuhnya ini sempat bertatap mata dengan pemimpin Elmardillo.‘Apakah mereka saling mengenal?’ Kalimat itu hanya berdenyar di lubuk hatinya sendiri. Nyatanya semua tidak akan masuk akal jika Edrich berusaha memikirkannya. Tubuhnya terlalu letih, bahunya terasa sangat berat dan matanya masih saja memburam. Sehingga ia hanya bisa mengikuti arahan Gerald untuk melangkah pergi.Mereka terus berjalan dalam diam. Entah Gerald yang terbungkam karena sudah cukup menelan segala peristiwa yang dihadapinya tadi, atau Edrich yang belum mau membica
"Semua masalah sudah berhasil teratasi, Zein. Terimakasih telah mau membantu kami." Sosok bertubuh besar dengan ujung kaki mengerucut itu menunduk pada Zein. Tampilannya yang menyeramkan dengan kepala ribuan menempel ditubuhnya, membuat prajurit-prajurit yang berjaga disana bergidik ngeri. "Dan akan kupastikan, pertandingan berikutnya tak akan dipegang oleh makhluk ceroboh lagi." Sand beringsut menunduk lebih dalam ketika mata-mata tajam itu melirik dirinya, ia yang sudah terpojok oleh kekuasaan Zein semakin terpinggirkan setelah menyadari kesalahannya. "M-maafkan aku, aku tidak akan memberikan hadiah semena-mena tanpa anda lagi, tuan Zein." Lebih tepatnya dia tak akan memberikan hadiah berupa kekuatan lagi kepada manusia, karena sungguh. Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan dilakukan mereka, yang bahkan bisa bertindak melebihi iblis. Sayang
Martha sudah mendapatkan kesembuhan. Kini dirinya enggan menyentuh Nierin dan membiarkan Ginna mengurus hantu berbadan kecil itu. Kejadian ini membuat ingatan buruk pada peristiwa di hutan waktu lalu kembali terungkit. Dia menyerah soal ini. "Derl.." Elusan jemari Ginna pada rambut Nierin terhenti saat gadis kecil itu berlari menghampiri anak lelaki di depan pintu. Derl menatap datar tanpa ucapan. Pasalnya hari ini dia cukup dibuat bungkam oleh rekannya sendiri. "Anak pungut, hah?" "Ah, jadi kau siswa baru yang diberikan sekolah cuma-cuma ya?" "Padahal hanya diberi kemurahan hati sedikit, sudah sombong sekali." Puluhan tamparan kata dari anak-anak manusia di tempat bernama sekolah itu harusnya menjadi undangan kematian. Tapi wajah Vinz yang tersenyum saat ini membuatnya keheranan. Apalagi saat tawarannya untuk melenyapkan anak-anak itu dito
Tuan muda Elmardillo melangkah memasuki sebuah gedung bak istana. Bersama para manusia yang berstatus bangsawan lainnya, ia datang menghadiri pertemuan khusus untuk membicarakan hal penting bersama Perdana Menteri. Selain dari formalitas, Zein tidak memiliki urusan lain bersama mereka yang hanya berniat pamer alih-alih mendiskusikan misi positif untuk para rakyat. Pakaian mereka berbalut kain dan hiasan mahal. Selaras dengan berapa tingginya pilar serta lampu gantung berkali lipat besarnya ketimbang rumah rakyat. "Selamat datang, selamat datang, dan selamat datang para bangsawan pemimpin daerah!" Seruan bergema setelah semua orang bertempat di meja bundar bersama kelompoknya masing-masing. Tepuk tangan bergaung seiring dengan munculnya lelaki berjas rapih yang tersorot lampu di atas panggung. Mereka meriuh redam, mengelukan sebuah nama yang tidak lain ialah pimpinan tertinggi para pemegang daerah. Perdana Menteri. "Aku ucapkan terimaka
"MASUK!" Seorang pria melemparkan tubuh-tubuh kecil itu ke ruangan besar. Dengan kasar lalu memaksa mereka berjalan ke dalam. Mereka dibawa menghadap seorang wanita muda berperawakan galak. Wajahnya yang beraut dingin itu makin keras saat bertemu wajah dengan anak-anak itu. Terlihat begitu menahan emosi semenjak tadi. "Duduk!!" Di depan sosok perempuan itu bersujud dua anak lelaki yang makin terlihat begitu kecil di bawah sana. Hanya di atas lantailah Vinz dan Derl menekuk kaki dan duduk di hadapan perempuan dengan riasan tebal dan wajah menyeramkan. Dia adalah Violin, berjabatan sebagai Kepala Murid. Berita tentang Derl dan Vinz yang melukai anak bangsawan tentunya menjadi sesuatu yang menggemparkan sekolah. Pasalnya sangat jarang ada anak level Under yang berani melawan anak bangsawan. Seharusnya mereka tidak membantah apapun perlakuan mereka. Dan disini ia sekaran
Suasana ruang Kepala sekolah mendadak sunyi. Pria itu berjalan kesana kemari sementara para bawahannya hanya tertunduk tanpa berucap apapun. Mereka tak berani bersuara, atau kemarahan sang bos akan meledak saat itu juga."Sudah beberapa hari ini dua budak kecil itu bertingkah tanpa pengawasan." Dia mulai berucap, kemudian melirik Violin dan empat rekan di sampingnya. "Apa yang selama ini kalian perbuat, hah?"Meski begitu pelan, nyatanya kalimat itu membuat mereka serentak menelan ludah. "Dalam kurun waktu puluhan tahun semenjak sekolah ini berdiri, aku tidak pernah menemui adanya penyelewengan oleh para anak Under. Tapi kemarin, mereka bahkan kalian perbolehkan menginjakkan kaki di gedung perpustakaan khusus para bangsawan!"Brak!!Gebrakan meja membuat bahu mereka tersentak. Violin mengeluarkan butiran keringat dingin, namun tetap tak berani membela diri. Dia ingat ancaman dari seseorang, menyuruhnya unt
"Hmm.." Beberapa menit berlalu, gumaman kecil akhirnya keluar dari mulut Edrich yang mulai tersadar. Matanya sayup-sayup menangkap bayangan Gerald di bangku kamarnya. Tengah memakan sesuatu di atas meja. "Gerald?" Tapi kenapa dia tidak bereaksi? Akhirnya Edrich mengedipkan matanya lagi dan lagi. Lalu perlahan nampak lah dengan jelas siapa sebenarnya yang tengah asyik menyantap jeruk disana. "K-kau?!" Masih segar ingatan dimana pencuri itu memukul kepalanya mentah-mentah. Meskipun ia tidak ingat pasti tentang kejadian tadi, tapi kelakuan buruk orang yang dengan santai memakan hidangan yang bukan miliknya itu membuat Edrich emosi. "Memakan buah orang lain hah? Kurang ajar kau!" Plipp! Satu jentikan jari, dan Edrich seketika berhenti bergerak sebelum sempat berlari ke arahnya. Sayangnya posisi yang tidak tepat membuat Edrich langsung terjerembab dari ranjang.