Sudah beberapa minggu sejak pertemuanku dengan Damar di kafe, dan aku menyadari sesuatu—aku mulai benar-benar menikmati hidupku sendiri. Bukan berarti aku sudah sepenuhnya melupakan Dafa atau luka yang dia tinggalkan. Tapi setidaknya, aku tidak lagi terjebak dalam rasa sakit yang sama. Aku mulai melihat masa lalu sebagai pelajaran, bukan sebagai beban. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… aku merasa lebih ringan. --- Pagi ini, aku bangun dengan semangat baru. Aku mengenakan pakaian olahraga dan pergi jogging di taman dekat kosku. Udara pagi terasa segar, dan langkah-langkahku terasa ringan. Dulu, aku tidak pernah punya kebiasaan ini. Tapi sejak aku mencoba untuk fokus pada diriku sendiri, aku mulai menemukan banyak hal yang kusukai. Olahraga adalah salah satunya. Membuatku merasa lebih sehat, lebih kuat. Seperti cara tubuhku berterima kasih karena akhirnya aku merawatnya dengan baik. --- Saat aku berhenti untuk beristirahat, aku melihat seseorang mendekat.
Pagi ini, aku kembali ke taman untuk jogging bersama Damar. Sejak pertama kali kami bertemu di sini, jogging menjadi rutinitas yang menyenangkan. Bukan hanya karena olahraga membuatku lebih sehat, tapi juga karena percakapan dengan Damar selalu terasa ringan dan penuh energi positif. Hari ini, dia sudah menungguku di dekat bangku taman. "Telat dua menit," katanya sambil tersenyum jahil. Aku tertawa kecil. "Maaf, tadi sempat malas bangun." Dia menggeleng. "Yah, kalau malas bangun, harus ada hukumannya." Aku mengangkat alis. "Hukuman apa?" Dia menunjuk jalur jogging. "Dua putaran ekstra." Aku mendesah pura-pura kesal. "Baiklah, baiklah. Ayo mulai." --- Kami berlari dalam diam selama beberapa menit, menikmati udara pagi yang segar. Aku mulai menyadari sesuatu—aku tidak lagi merasa sesak setiap kali berada di tempat yang mengingatkanku pada masa lalu. Jogging dulu adalah kegiatan yang sering aku lakukan dengan Dafa, tapi sekarang… rasanya berbeda. Rasanya lebih ringan. Leb
Pagi ini, aku kembali jogging di taman seperti biasa. Udara terasa sejuk, dan suara burung berkicau di antara pepohonan menambah ketenangan di hatiku. Damar sudah menunggu di bangku taman, tersenyum saat melihatku datang. "Siap untuk lari hari ini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Siap!" Kami mulai berlari dengan ritme yang santai, menikmati pagi tanpa banyak bicara. Namun, di tengah putaran pertama, langkahku terhenti mendadak. Di ujung jalur jogging, seseorang berdiri. Seseorang yang sangat aku kenal. Dafa. Jantungku berdebar kencang. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. Dia tampak sedikit canggung, tetapi tetap berjalan mendekat. "Hei, Alya," sapanya pelan. Aku menelan ludah. "Hai." Damar berhenti di sampingku, menatap Dafa dengan ekspresi datar. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi keberadaannya membuatku merasa lebih tenang. --- Dafa menatapku dengan ragu. "Aku bisa bicara sebentar denganmu?" tanyanya. Aku menoleh ke Damar, yang langsung memahami situas
Hari ini terasa berbeda. Aku duduk di kafe dekat kampus, mencoba fokus pada tugas kuliah yang menumpuk, tetapi pikiranku terus melayang ke pertemuan dengan Dafa kemarin. Aku mengira perasaan itu akan membebani, tetapi nyatanya, aku merasa lebih ringan. Seolah semua beban yang dulu menekan dadaku perlahan menghilang. Aku mengaduk kopi di depanku, menatap keluar jendela. Hujan rintik-rintik mulai turun, membentuk pola acak di kaca. Sebuah pesan masuk di ponselku. Damar: Lagi di mana? Aku tersenyum kecil dan membalas. Aku: Di kafe dekat kampus. Kenapa? Damar: Tunggu di situ. Aku ke sana. Aku mengernyit. Apa ada sesuatu yang penting? --- Lima belas menit kemudian, Damar muncul di depan kafe. Dia masuk dengan jaket sedikit basah terkena hujan. Aku mengangkat alis saat dia duduk di depanku. "Kenapa buru-buru banget?" tanyaku. Dia menghela napas sebelum menatapku serius. "Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja," katanya. Aku tersenyum. "Aku baik-baik saja, Dam. Seriu
Pagi ini, udara terasa lebih segar dari biasanya. Aku melangkah keluar dari apartemen dengan hati yang jauh lebih ringan. Hari-hari berat yang kulalui selama beberapa bulan terakhir terasa seperti mimpi buruk yang akhirnya berakhir. Aku menatap langit biru yang mulai diterangi cahaya matahari, lalu menarik napas dalam-dalam. Hari ini, aku ingin menjalani semuanya dengan lebih baik. Saat berjalan menuju kampus, aku menerima pesan dari Damar. Damar: Jangan lupa sarapan. Hari ini jadwal kuliahmu padat, kan? Aku tersenyum dan membalas. Aku: Iya, sudah sarapan kok. Kamu juga jangan lupa makan. Damar cepat membalas. Damar: Bagus. Nanti setelah kelas, aku traktir makan, ya? Aku membaca pesannya dan merasa sedikit tersentuh. Damar selalu ada untukku. Aku: Oke, nanti kabarin aja. Dengan semangat yang baru, aku melanjutkan langkah menuju kampus. --- Di kampus, suasana sudah ramai seperti biasa. Aku memasuki ruang kelas dan menemukan tempat duduk di dekat jendela. Tidak lama kem
Hari ini aku bangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja terbit, dan langit masih berwarna oranye keemasan. Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap pantulan diriku di cermin. Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku merasa benar-benar damai seperti ini? Aku tersenyum kecil, mengingat bagaimana aku dulu terjebak dalam kesedihan yang tidak ada habisnya. Sekarang, aku merasa lebih kuat. Hari ini aku akan melakukan sesuatu yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Aku akan mendaftarkan diri untuk program magang di salah satu perusahaan besar yang bekerja sama dengan kampusku. Aku ingin maju, ingin berkembang, dan tidak ingin lagi terpaku pada masa lalu. Di kampus, aku langsung menuju bagian administrasi untuk mengambil formulir pendaftaran magang. Rina sudah menungguku di sana. “Kamu yakin mau daftar?” tanyanya dengan mata berbinar. Aku mengangguk mantap. “Iya. Aku ingin mencoba tantangan baru.” Rina tersenyum lebar. “Aku bangga padamu, Alya. Dulu kamu terlalu takut un
Aku duduk di meja belajarku, menatap layar laptop dengan penuh konsentrasi. Wawancara magang tinggal beberapa hari lagi, dan aku ingin mempersiapkan diriku sebaik mungkin. Aku membuka beberapa artikel tentang tips wawancara kerja, mencatat poin-poin penting yang bisa membantuku nanti. “Jangan lupa kontak mata, berbicara dengan jelas, dan tunjukkan rasa percaya diri,” gumamku sambil menulis di buku catatan. Aku menarik napas panjang. Bisa nggak ya aku melewati tahap ini? --- Pagi itu, aku bertemu Rina di kafe kampus untuk latihan wawancara bersama. “Kita harus siap mental,” kata Rina sambil menyeruput kopinya. “Dengar-dengar, pewawancaranya tegas banget.” Aku mengangguk. “Iya. Makanya aku mau latihan biar nggak gugup nanti.” Rina tersenyum. “Bagus. Ayo kita mulai.” Dia mengambil daftar pertanyaan yang biasa muncul dalam wawancara dan mulai membaca salah satunya. “Oke, pertanyaan pertama: Kenapa kamu tertarik dengan posisi ini?” tanyanya, berusaha meniru suara pewawancara y
Sejak wawancara kemarin, aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana hasilnya. Apakah aku menjawab dengan baik? Apakah mereka terkesan denganku? Aku mencoba menenangkan diri, tapi setiap kali aku membuka ponsel, rasanya ingin mengecek email atau pesan dari perusahaan tempat aku melamar magang. Namun, aku tahu bahwa hasilnya tidak akan keluar dalam sehari atau dua hari. Aku harus bersabar. --- Di kampus, aku bertemu dengan Rina di kantin. “Kamu masih kepikiran hasil wawancara?” tanyanya sambil mengunyah donat. Aku mengangguk pelan. “Banget. Aku nggak bisa berhenti mikirin jawaban-jawaban yang aku kasih.” Rina tertawa kecil. “Aku juga, sih. Rasanya kayak ada yang kurang, tapi aku nggak tahu apa.” Aku mendesah. “Kita cuma bisa nunggu sekarang.” Rina mengangguk. “Iya. Daripada stres, mending kita cari kesibukan lain.” Aku memikirkan saran Rina. Mungkin benar, daripada terus cemas, lebih baik aku menyibukkan diri dengan hal lain. --- Sore harinya, aku memutuskan untuk jalan
Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-
Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan
Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l
Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo
Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…
Alya pikir semuanya sudah berakhir. Tapi kenapa hatinya masih terasa berat?---Alya menatap layar ponselnya, membaca kembali percakapan terakhirnya dengan Reza.Reza: Aku masih mencintaimu.Alya: Aku tidak.Ia menutup mata, membiarkan napasnya keluar perlahan. Harusnya itu cukup untuk mengakhiri semuanya, tapi kenapa ada sesuatu yang masih mengganjal di dadanya?Suara ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Alya bangkit dan membuka pintu.Dafa berdiri di sana, membawa dua gelas kopi dingin. “Kamu butuh ini.”Alya tersenyum tipis. “Kamu selalu tahu, ya?”Dafa mengangkat bahu. “Karena aku memperhatikan.”Mereka duduk di balkon kosan Alya, menikmati udara malam. Hening sesaat, sebelum akhirnya Dafa berbicara.“Apa yang kamu rasakan sekarang?”Alya mengaduk kopinya. “Marah. Kecewa. Tapi… lebih ke diri sendiri.”Dafa menoleh. “Kenapa ke diri sendiri?”Alya tertawa kecil, tapi tanpa keceriaan. “Karena aku terlalu bodoh untuk percaya dia.”Dafa menghela napas. “Percaya seseorang bukan kebodoh
Alya berpikir semuanya sudah selesai, tapi kenangan lama selalu menemukan cara untuk kembali.---Malam itu, Alya duduk di balkon kosannya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Angin malam menyentuh kulitnya, membawa rasa dingin yang samar, tapi hatinya terasa jauh lebih dingin.Suara Reza masih terngiang di kepalanya."Tapi… aku masih mencintaimu."Alya menghela napas panjang. Ia menatap layar ponselnya, jari-jarinya ragu mengetik pesan untuk Dafa.Alya: Kamu masih bangun?Tak butuh waktu lama, balasan itu muncul.Dafa: Selalu ada buat kamu. Kenapa?Alya tersenyum tipis. Meski dunia terasa seperti berbalik melawannya, Dafa selalu ada di sisinya.Alya: Aku ketemu Reza tadi.Pesannya terkirim, dan beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar. Dafa menelepon.“Kenapa nggak cerita dari tadi?” Suara Dafa terdengar khawatir.Alya menggigit bibir. “Nggak ada yang perlu diceritain. Dia cuma bilang kalau dia masih mencintaiku.”Dafa terdiam sejenak. “Dan kamu percaya?”Alya tersenyum miris. “
Alya mengira semuanya sudah selesai. Tapi ternyata, ada luka yang belum benar-benar sembuh.---Hening. Itu yang pertama kali Alya rasakan saat memasuki kelas pagi ini. Rasanya aneh, karena biasanya kelas ini selalu riuh dengan suara obrolan teman-temannya. Tapi hari ini, mereka hanya meliriknya sekilas lalu berbisik-bisik di belakangnya.Alya duduk di kursinya dan membuka buku catatan. Ia mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mulai menggelayut di dadanya. Namun, ketika ia melihat layar ponselnya, matanya membelalak.Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk:"Kasihan banget ya, dikhianati sahabat sendiri? Mungkin kamu harus introspeksi diri, kenapa dia lebih pilih sahabatmu daripada kamu."Jantung Alya berdegup kencang. Tangannya sedikit gemetar saat membaca pesan itu. Siapa yang mengirim ini?"Alya…"Alya menoleh dan melihat Dafa berdiri di sampingnya. Wajahnya serius, seakan ada sesuatu yang penting yang ingin dia katakan.“Kamu udah lihat?” tanya Dafa pelan."Lihat apa?"
Alya berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya sendiri. Sudah lama ia tidak melihat dirinya dengan begitu tenang. Dulu, setiap kali ia bercermin, yang ia lihat hanyalah seorang gadis yang terluka, yang merasa dikhianati oleh orang-orang yang ia percaya. Tapi hari ini, ia melihat sesuatu yang berbeda—seorang Alya yang lebih kuat, yang siap menghadapi hari esok tanpa rasa takut.Namun, ada satu hal yang masih mengganjal dalam pikirannya—Reza dan Karin. Setelah pertemuannya dengan Reza kemarin, Alya tahu bahwa hubungannya dengan Karin juga harus segera diselesaikan. Ia tidak bisa selamanya menghindari kenyataan.Dengan napas panjang, ia mengambil ponsel dan mulai mengetik pesan untuk Karin.Alya: Bisa ketemu sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan.Tak lama kemudian, sebuah balasan muncul.Karin: Oke, di kafe biasa?Alya menggigit bibirnya. Kafe tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama dulu. Sekarang, tempat itu terasa penuh dengan kenangan yang tidak lagi membuatnya nya