Dua tahun kemudian…
“Kamu benar-benar keterlaluan, Mas!”Wajah Esha merah meradang ketika ia tahu ada seorang wanita yang baru saja keluar dari rumahnya. Bola matanya tajam tak mengerjap sama sekali. Deru napasnya semakin terdengar keras menunjukkan betapa sesak dadanya.Dengan santai, Bram menarik ujung bibirnya. “Apa yang salah denganku? Kau tidak lihat aku sedang bekerja di ruanganku. Kamu pulang dengan kemarahan seperti itu, kamu pikir kamu hebat?”Kini giliran Esha yang berkacak pinggang, seolah menunjukkan bahwa ia memang hebat bukan?“Dengar ya, Mas. aku sudah tak ambil pusing dengan sikapmu yang tak pernah memberikanku nafkah. Sampai pada titik aku mendengar bahwa kamu main gila dengan sekretarismu, aku tak peduli! Tapi sekarang apa, kau bahkan berani membawa perempuan lain masuk ke rumah ini?”Bram lantas berdiri dari kursi panasnya. Ia bertepuk tangan riuh sembari berjalan mendekat ke arah Esha. Senyumnya masih sama, tak nampak terkejut atau bersalah sama sekali.“Oh oh oh, sekarang sudah hebat kamu ya semejak mengambil alih perusahaan papa? Aku hanya bermain dengan mereka, memangnya ini rumahmu harus kamu yang mengaturnya?” ujar Bram berbicara menggelitik di telinga Esha yang tengah terbakar amarah.“Sebelum aku mengurus perusahaan papa pun, aku bisa mengelola bisnisku sendiri. Kamu juga tahu itu! Intinya aku tak ingin kamu mengotori rumah ini dengan perempuan-perempuan murahan seperti itu!!”Terakhir, Esha memekik keras menahan amarahnya sembari membanting pintu. Ia lebih dulu pergi meninggalkan Bram tanpa memberinya kesempatan untuk menanggapi lebih lanjut.Esha mengunci dirinya di kamar. Kamar Esha dan Bram benar-benar terpisah. Hanya ada Esha dan Bram di rumah, tanpa pembantu satupun. Bram dan Esha mengurus dirinya masing-masing dengan cara berbeda.Tentu saja dengan Esha yang bergerak mandiri dan gesit, mampu mengurus dirinya dengan mudah. Sementara Bram hanya mengeluarkan uang dan terima beres. Semua pakaiannya di laundry, makan pun hanya tinggal delivery. Begitu seterusnya.Esha enggan menangis. Air matanya kering sudah. Sejak tahun-tahun sebelumnya, Esha sudah menghabiskan air matanya hanya untuk sesuatu yang sia-sia. Kalau bukan karena permintaan Prawiryo yang begitu menyayangi dirinya, Esha mungkin sudah meminta talak sejak awal kepindahannya.Alasan terbesar mengapa ia tak ingin mengecewakan Prawiryo adalah karena hutang budinya pada papa mertua yang mana adalah sahabat baik almarhum ayah Esha. Selama masa sulit kehidupannya sampai akhirnya papa Esha meninggal, Prawiryo lah yang senantiasa ada dan membantu keluarga mereka untuk bangkit.Sebesar itu rasa percaya dan sayang Prawiryo pada Esha layaknya putrinya sendiri, membuat Esha benar-benar tak bisa membuatnya kecewa. ‘Kamu harus bertahan, Esha. Percayalah, Mas Bram akan berubah suatu saat nanti. Bukankah pernikahan memang membutuhkan kesabaran dan pengorbanan yang besar?’TING!Esha yang tengah berbicara dengan dirinya sendiri, kemudian dikejutkan dengan bunyi notifikasi dari ponselnya.“Nanti malam ada pertemuan keluarga besarku. Bersiaplah, aku tunggu pukul 7 malam.”“Huh! Apa susahnya ia mengatakannya secara langsung di hadapanku? Oh tidak!! Sampai kapan pernikahanku harus seperti ini, apa yang harus aku katakan nanti malam?” rintih Esha sembari menarik rambutnya cukup keras. Esha frustasi.***“Hey, Nak. Kemarilah … sudah lama mama dan papa tak bertemu kalian. Bagaimana kabar kalian?” Prawiryo menyambut putra tunggal dan menantu kesayangannya itu.Bram dan Esha datang dengan begitu romantis. Berbalut nuansa maroon, Esha benar-benar terlihat glamour namun tetap elegan. Berpadu dengan jas Tuxedo mahal milik Bram yang tak kalah ekslusif. Keduanya datang dengan tangan yang bertautan dan senyum lebar yang begitu sumringah.“Baik, Pah.. papa apa kabar?” jawab Esha cepat.“Ya beginilah, papa masih merasa muda meski usia sudah tak lagi muda hahaha…”Semua yang hadir lantas tertawa termasuk, Bram, Esha, mama Lidya, dan beberapa sanak saudara lain.“Oh ya, bagaimana… apa Esha sudah hamil?”Wajah Esha seketika berubah sedikit canggung menerima pertanyaan dari mama Lidya. Semua yang ada di sisinya juga ikut menanti jawaban dari Esha, termasuk Prawiryo.Inilah yang Esha takutkan. Bagaimana mungkin ia bisa hamil kalau suaminya saja tak pernah menyentuh tubuhnya? Meski jantungnya berdegub cukup intens, Esha tetap berusaha menyunggingkan senyum terindahnya.“Oh itu… kami masih harus bersabar lagi, Ma. Tolong mama bisa mengerti kondisi Esha.” Bram lantas menyambar pertanyaan mamanya sembari merangkul bahu kecil Esha seolah melindunginya.“Kamu coba ke dokter deh, Esha!”“Iya, betul. Banyak minum jamu kesuburan! Banyak olahraga jangan malas!”“Jangan-jangan rahim kamu bermasalah itu!”Banyak sekali kata-kata yang terus menerus terngiang di kepala Esha. Entah siapa saja yang mengatakannya, intinya tetap sama. Mereka semua mengira bahwa Esha mandul dan memiliki kelainan pada rahimnya.Esha merasa sakit hati. Ia tersinggung tapi tak bisa berkata jujur. Tak mungkin ia mengatakan di forum keluarga bahwa Bram tidak menyentuhnya sementara Bram sendiri seolah sudah menutup pintu kejujurannya di hadapan keluarganya?“Kalau pusing tidur saja di mobil. Sebentar lagi kita sampai di rumah.”Esha hanya mengangguk. Ia benar-benar malas menanggapi Bram. Tubuhnya lelah dan pikirannya kacau. Esha hanya ingin tidur. Pun sampai tiba dirumah, tanpa basa-basi Esha segera menuju ke kamarnya dan merebahkan diri di sana.Namun kejanggalan lagi lagi terjadi. Esha mendengar suara perempuan dari kamar sebelah. Kamar siapa lagi kalau bukan milik mas Bram. Esha nampak geram dan semakin kesal. Tidak cukupkah gunjingan keluarga besar Bram yang membuatnya terbebani? Masih ada kesempatan Bram untuk melakukan hal gila lainnya?Dengan kesadaran yang penuh, Esha berjalan pelan seolah mengendap menuju ke kamar Bram. Dan dia bisa mendengar dengan jelas bahwa suara itu bukan ilusi apalagi mimpi. Esha sadar dan ia tidak tuli.Ia pikir kemarahannya tadi siang telah membuat Bram berfikir dan merasa bersalah. Namun ternyata Esha salah. Salah bahwa ia telah memberi kepercayaan yang berulang untuk Bram. Esha tak sanggup menahan amarahnya lagi.TOK!TOK!“Buka pintunya, Mas!”Keadaan menjadi hening sesaat setelah Esha memanggil nama suaminya. Tanpa pikir panjang Esha membuka paksa pintu kamar Bram. Ia tak peduli sekalipun Bram marah. Justru itu yang memang ia inginkan, sebab Bram benar-benar sudah keterlaluan.KLAK!Benar saja. Ada seorang perempuan disana. Keduanya memang masih duduk bersebelahan di meja kerja Bram dengan pakaian lengkap dan tumpukan kertas yang menggunung. Entah apa yang mereka kerjakan, Esha tak peduli. Ia tetap tak suka ada perempuan masuk ke dalam rumah ini.“Sedang apa kalian?”“Kau bisa lihat sendiri sayang, apa kami menganggumu? Maaf tapi pekerjaanku banyak sekali dan aku tak akan selesai mengerjakannya sendiri,” jawab Bram lembut tanpa rasa bersalah.Esha ingin marah. Tapi tidak di depan wanita ini. Ia menarik tangan Bram secara paksa dan membawanya keluar.“Apa-apaan sih kamu, Mas? bukankah sudah aku peringatkan bahwa jangan ada wanita lain yang masuk ke rumah ini?”“Hhh, ini rumah aku jadi aku bebas membawa siapapun kemari, Esha. Lagipula kami tidak melakukan apapun. Hentikan pikiran kotormu itu!”“Kamu yang berhenti, Mas! Siapa yang menjamin bahwa kalian tidak melakukan apa-apa? Menjijikkkan!”PLAK!“Tutup mulutmu, Esha! Aku tidak seperti yang kau pikirkan!”Bram, telah melayangkan tangannya ke wajah cantik Esha. Sebuah tamparan yang tak seharusnya Esha dapatkan hingga akhirnya bola matanya berkaca-kaca.Dengan sekuat tenaga, Esha menahan agar air matanya tidak jatuh. Rasanya sakit, namun lebih sakit lagi hatinya. Bertahun-tahun menikah, baru malam ini Bram berani memukul dirinya hanya karena perempuan lain.“Ma-maaf, Esha… aku tidak bermak –"“Cukup, Mas. Kalau kau masih terus seperti ini, lebih baik kau ceraikan aku. Ceraikan aku sekarang juga, Mas!”Antara Aku, Suami, dan Maduku – 67“Kamu tunggu saja disini, aku akan bawa dia secepatnya ke hadapanmu. Aku janji, Esha.” Entah mengapa bagi Esha, setiap kata – kata yang kemudian keluar dari bibir dokter Haris terasa begitu menenangkan. Esha tak tahu ada ramuan apa di dalamnya, atau ada sihir apa yang sedang digunakan oleh laki – laki tampan yang ada di hadapannya itu.Bukan hanya sekali dua kali saja, sudah banyak kali rasanya Esha merasakan tatapan hangat dan kata – kata yang begitu hangat dari bibir dokter Haris. Benar – benar sosok laki – laki idaman yang memang Esha butuhkan dalam kondisi seperti ini.Tidak, mungkin tidak hanya dalam kondisi seperti ini saja. Melainkan banyak kondisi lain yang Esha butuhkan seperti halnya hidup bersama sampai akhirnya maut memisahkan keduanya.‘Hentikan Esha … jangan sampai kamu berpikiran yang tidak – tidak soal dokter Haris. Ini bukan saatnya kamu untuk memikirkan dia laki – laki terbaik atau semacamnya. Kamu harus selesaikan urusanmu. Berap
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 66“Esha, lebih baik kita bersiap untuk pergi sekarang. Langit sudah semakin terlihat gelap. Khawatir kita akan terlambat untuk menemukan Bram,” ujar dokter Haris dengan tegas. Ia tak menatap wajah Esha sehingga ia tidak tahu bagaimana persisnya ekspresi wajah Esha saat ini.Yang dokter Haris tahu, saat ini ia bahkan kesulitan mengatur detak jantungnya sendiri. Ia buru – buru mengalihkan perhatiannya sembari memasangkan sabuk pengaman miliknya dan mengutak – atik kunci mobil yang berada di sebelah kemudi.Esha tahu. Ia sudah berlebihan. Segera ia mengalihkan wajahnya dari hadapan Dokter Haris.‘Bodoh sekali kamu Eshaaa … bagaimana bisa kamu, argh!!’ gumamnya dalam hati. Esha memaki – maki dirinya sendiri sembari menggigit bibirnya bagian bawah. Jujur saja, Esha merasa malu bukan main. Meski memang benar bahwa niat dan tujuannya adalah untuk mengekspresikan rasa senangnya, namun tetap saja … tetap saja itu bisa dianggap sebagai perasaan yang berlebih. A
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 65“ … Aku akan pinjamkan modal padamu sebagai langkah awal kita berbisnis. Itu pun kalau memang kamu mau. Yang mau saya tekankan disini adalah, kamu jangan sampai merasa jatuh sendiri hanya karena kejahatan orang lain. Mereka semua tidak berhak mendapatkan perhatian dan rasa belas kasihmu sama sekali.” Begitu bijak dan menenangkan. Esha tiddak bisa mengelak bahwa pesona dokter Haris begitu membuatnya silau. Bukan karena harta semata, namun dari segi kedewasaan dan tanggungjawabnya pada apa yang sedang menjadi amanahnya.Tapi Esha tidak pernah berpikir untuk bisa mendapatkan perhatian dokter Haris lebih dari ini. Ia pun tidak pernah berharap lebih. Esha menyadari dirinya siapa, dan dokter Haris itu siapa. Yang ada, Esha justru akan selalu merepotkan dokter Haris jika terus begini. Padahal, mereka tidak ada hubungan apapun dan perkenalan mereka juga masih dalam hitungan bulan saja. “Jadi bagaimana, Esha?” suara dokter Haris membuat Esha merasa terkesia
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 64“Dasar br*ngs*k!!” ujar Esha yang memekik dengan cukup melengking dari bibirnya yang mungil itu.Meski mungkin menurut Esha tidak terlalu lantang, namun tetap saja dokter Haris bisa mendengarnya dengan sangat jelas baagaimana cara Esha meluapkan kekesalannya itu. Esha benar – benar terlihat penuh amarah dan kekesalan yang memuncak.“Are you okay?” dokter Haris pelan – pelan mulai membuka suaranya kala Esha nampak lebih tenang dari sebelumnya.Dan hal ini tidak bisa dilihat hanya dari satu dua menit saja. lebih dari itu, dokter Haris sampai harus menunggu sampai beberapa menit ke depan.Karena jujur saja, dokter Haris terkejut bukan main. Belum pernah dalam sejarahnya ia mendengar seorang perempuan yang begitu marah pada keadaan yang tidak bisa ia perbuat apa – apa. “Ya, I’m okay.” Esha menjawabnya singkat. Tanpa senyum, tanpa ekspresi. Dan tak lama berselang, bulir – bulir air mata mulai menetes membasahi pipi kanan Esha yang nampak bulat sempurna.
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 63“Apa nggak lebih baik kalau kamu segera menghubungi Ibu Lidya sekarang?” “Nggak, dok. Saya nggak bisa bilang sekarang. saya harus temukan mas Bram lebih dulu baru saya akan bilang. lagipula, kalau dipikir – pikir, bagaimana mungkin kita tidak bisa menemukan seorang Bram dalam satu kota yang sama seperti ini. aneh kan?” Esha menolak dengan tegas meski dokter Haris memintanya beberapa kali untuk menghubungi mama mertuanya itu. alasan Esha memang tegas, dan menurutnya memang logis bahwa terasa aneh jika saja Bram ada di satu daerah yang sama, semestinya sudah lebih cepat di temukan. Peristiwa kabur – kaburan ini tidak akan berhasil kalau memang tidak ada yang membantu Bram untuk bersembunyi. Atau justru … sebentar lagi Bram akan berniat untuk pergi lebih jauh dari jangkauan Esha. Esha benar – benar tidak akan bisa membiarkannya. Esha harus bergerak cepat. cepat untuk menemukan Bram dan meminta klarifikasi suaminya itu dengan sejelas – jelasnya.“Iya
ANTARA AKU, SUAMI, DAN MADUKU – 62“Hmmph. Perempuan..” “Dokter mau bilang saya tidak bisa baca google maps, begitu kan?” sergah Esha dengan rasa kesalnya. Bukan kesal, lebih tepatnya Esha tak suka dengan sikap dokter Haris yang nampak jengkel karena ulah Esha. Padahal, Esha benar – benar tidak sengaja melakukan itu. “Eh?” dokter Haris meringis pahit kala secara tak sengaja telinga Esha rupanya menangkap jelas apa yang dokter Haris keluhkan itu.“Um, bukan … bukan begitu maksut saya,” bela dokter Haris persis seperti seorang pencuri yang tidak bisa berkutik.“Lantas?” sambung Esha lagi seolah – olah ia tidak tahu. Padahal, Esha juga sangat tahu kemana arah kekesalan dokter Haris tadi sampai harus melengkuh seperti itu.“Tidak mengapa. Fokus saja, ini kita kembali bertemu persimpangan. Setelahnya kemana?” balas doketr Haris yang masih sangat sibuk melihat ke kanan dan ke kiri memperhatikan sekeliling. Khawatir ada sesuatu di sekitar mobilnya. dan yang jelas, dokter Haris sedang mema