Share

Antara Aku, Suami, dan Maduku
Antara Aku, Suami, dan Maduku
Author: Ziza

Nafkah Batin

TING!

TING!

“Sebentar, mas!”

Buru-buru, Esha segera meraih cardigan hitam dan memakainya sembari berlari kecil menuju pintu utama.

Sekilas, Esha melirik ke arah jam gantung besar yang berada di dinding ruang tamu. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Sembari menutup bibirnya yang terus menguap, Esha berusaha lebih cepat untuk membuka pintu.

KLAK! KLAK!

“Lama sekali kamu!” ujar Bram dengan nada bicara tinggi.

“Aku yang seharusnya bertanya. Darimana saja kamu mas jam segini baru pulang?”

Bram tak kunjung menjawabnya. Ia hanya menatap Esha dengan tatapan yang ambigu. Tak lebih dari tiga menit, Bram lantas masuk ke dalam rumah dan segera membersihkan diri.

Lagi dan lagi, Esha harus bersabar dalam menghadapi suaminya. Ia ingin sekali meminta jawaban atas pertanyaannya tadi, tapi Esha mengalah karena sepertinya Bram sedang tertekan oleh pekerjaannya.

Sudah lebih dari tiga hari, Bram selalu pulang malam. Esha juga selalu menanyakan hal yang sama. Darimana dan bagaimana keadaan mas Bram. Tak jarang, Esha selalu menunggu kepulangan Bram sampai tertidur di meja makan karena kelelahan menyiapkan makan malam terbaik untuk suaminya.

Namun setiap kali Esha menyambutnya, Bram seolah enggan untuk menghampiri atau sekedar mencicipi masakan Esha. Mau bagaimana lagi, Bram juga pulang terlalu larut. Sudah pasti ia kehilangan nafsu makannya.

“Mas … apa kamu akan terus menerus tidur di sofa?”

Esha sengaja menanti Bram di atas ranjangnya. Berharap Bram akan kembali segar setelah membersihkan diri dan mereka bisa memadu kasih bersama. Namun kekecewaan kembali Esha rasakan, tatkala ia mengetahui bahwa Bram hanya mengambil sebuah bantal dari sisinya dan bergerak menuju ke sofa.

Merasa diabaikan, Esha lantas sedikit memekik, “Mas!?”

“Apa? Kau mau apa? Tidurlah di situ, masih untung aku tidak memintamu tidur di sini dan aku yang di ranjang!”

“Memang apa yang salah denganku, Mas? apa kamu tidak ingin kita tidur bersama?”

“Tidak. Aku lelah.”

“Sampai kapan kamu tidak akan memberikan nafkah untukku, Mas? apa aku begitu menjijikkan bagimu?”

“Aku lelah, Esha. Apa kau tidak mendengarnya?”

“Sudah dua tahun kamu mengatakan hal yang sama. Tidakkah itu hal yang aneh? Kalau kau tak ingin menyentuhku setidaknya jangan menghindariku, Mas … jangan membuat aku merasa seperti kotoran yang engkau benci.”

“Terserah apa katamu. Mulai besok, kita akan pindah rumah agar aku bisa tidur di ranjang terpisah!”

Esha tak bisa menahan rasa kecewanya. Ia kesulitan menelan salivanya mendengar suaminya yang seolah begitu jijik terhadapnya.

Dan yang lebih membuatnya sakit hati, Esha benar-benar tak habis pikir dengan sikap suaminya. Bagaimana bisa ia tidak pernah disentuh oleh suaminya lagi sejak hari-hari pertama pernikahannya?

Terlebih, kini usia pernikahan mereka sudah menginjak tiga tahun. Esha ingat betul berapa kali Bram dan dirinya saling menikmati romansa malam awal pernikahannya. Tak lebih dari lima kali.

Hingga detik ini, Esha masih tak mengerti apa yang ia lakukan pada suaminya hingga Bram benar-benar tidak tertarik untuk menyentuh tubuhnya sama sekali. Alhasil, Esha berusaha memejamkan matanya secara paksa meskipun bulir-bulir air mata masih terus membasahi kedua pipinya.

“Mas ... aku sudah menyiapkan bekal untukmu, dan yang ini sudah aku ambilkan sarapan untukmu di piring,” ujar Esha dengan begitu lembut dan perhatian.

Tak hanya kepada suaminya, Esha juga menyiapkan sarapan pagi untuk mertuanya, Ibu Lidya dan Pak Prawiryo. Setiap hari, Esha harus menyiapkan sarapan untuk mereka. Beruntung, ada Bi Ningsih yang membantu selama Esha mengalami kerepotan di dapur.

Bram melirik sekilas ke wajah mama dan papanya. Ia lantas mengangguk dan ikut bergabung ke meja makan. Mungkin, kalau tak ada mama dan papanya, Bram tak akan mau untuk ikut sarapan bersama di pagi ini.

“Masakan Esha ini enak lo… kamu kan menantu papa satu-satunya, jangan sampai lelah. Papa nggak mau kamu sampai sakit karena kelelahan…” ujar Prawiryo yang memulai percakapan dalam meja makan.

“Ah, enggak Pah … sudah jadi kewajiban bagi Esha untuk menyiapkan hal-hal semacam ini…” senyum Esha mulai mengembang.

“Hmm, ya ya …. Oiya Bram, bagaimana kantor? Katanya akan ada launching produk baru hari ini?”

“Iya, Pah. Beberapa hari belakang ini memang ada meeting dadakan karena kita harus kejar target. Banyak sekali yang harus dikerjakan… Rasanya, Bram hampir tak punya waktu untuk mengurus perusahaan lainnya.”

Prawiryo lantas mulai berhenti mengunyah. “Iya.. ini juga yang papa pikirkan. Kalau bukan kamu yang mengurusnya, papa juga ragu. Intinya, papa tidak akan percaya jika bukan keluarga papa sendiri yang mengurus perusahaan kita yang di Bandung. Apa lebih baik papa jual saja ya, kita investasikan dengan saham yang lebih dekat dan mudah dijangkau.”

Tiba-tiba saja mama Lidya ikut bersuara. “Jangan dijual, Pah. Hmm, coba saja kalau mereka bisa segera punya anak laki-laki. Pasti semuanya mudah. Esha, kamu segera hamil dong. Minum jamu atau herbal apa gitu biar rahimmu subur!”

Uhukkk!

Esha lantas tersedak. Ia segera mengambil tissue dan menutup bibirnya. Jujur saja, Esha terkejut. Bagaimana bisa pembicaraan kantor mengarah pada kehamilan seseorang?

“Mama bicara apa sih, kita sendiri saja hanya bisa punya anak laki-laki satu. Nggak baik bicara begitu, Ma. Nanti juga Esha akan segera memberikan cucu kok, tenang saja.”

Esha dan Bram tak menanggapi. Esha hanya tersenyum getir sementara Bram terlihat acuh dan tak ambil pusing.

“Tapi harus laki-laki. Lagipula Bram ini hebat bisa mengurus 8 dari 10 aset kita. Dan ingat, Pah … jangan di jual. Susah payah papa mengumpulkan semua aset ini. semua orang juga tahu dengan kekayaan papa! Akan jadi apa anak cucu kita jika saham itu dijual,” sahut mama Lidya dengan gaya bicaranya bak ibu-ibu sosialita yang silau akan harta dan kekayaan.

“Kalau tak boleh dijual, bagaimana jika Esha saja yang mengurusnya? Papa pikir itu ide yang bagus, nanti biar papa urus untuk pergantian kepemilikannya.”

“Eh, tidak usah Pah.. aku --”

Mama Lidya menunjukkan ekspresi yang kesal dengan ucapan suaminya. Seolah, ia menganggap bahwa Esha tak akan mampu untuk mengurus sebuah perusahaan besar miliknya.

“Papa yakin Esha bisa. Kalau mama tidak percaya biar kita kasih kesempatan dulu. Ok?”

Bram sama sekali tidak memberi tanggapannya terkait hal ini. Ia masih asik mengunyah sembari menunjukkan senyum tipisnya. Di hadapan kedua orang tuanya, Bram sama sekali tidak mempermasalahkan soal hubungan rumah tangganya dengan Esha.

Ia juga sama sekali tidak keberatan dengan apa yang Esha minta atau apa yang Esha terima. Bram benar-benar bersikap seolah ia adalah seorang suami yang akan selalu ada untuk mendukung istrinya.

“Oiya mah, pah … hari ini aku dan Esha akan pindah rumah. sore nanti aku akan minta mang Ujang untuk mengangkat barang-barang kita. Meski tak begitu besar, aku yakin rumah baruku akan cukup nyaman untuk istriku. Ya kan sayang?”

Tentu saja Esha terkejut. Ia tak menyangka bahwa suaminya benar-benar serius dengan perkataannya semalam.

‘Hanya untuk berpisah kamar dan ranjang denganku, sampai harus pindah rumah seperti ini? Benar-benar keterlaluan kamu ya Mas! sampai kapan kamu akan menutupi kekuranganmu sebagai suami di hadapan kedua orang tuamu ini!’ pikir Esha.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
emang klo Esha melahirkan anak laki2 lgsung bisa urus perusahaan ??
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status