Share

Rencana Esha dan Alysa

AKU DAN MADUKU – 6

“Mulutmu itu benar-benar keterlaluan, Esha!!? Kau –”

“Apa?! Apa, mas! tampar aku sekarang kalau kamu mau. Aku nggak ada masalah soal itu, sebab aku memang mengatakan hal yang benar. Iya kan?”

Telapak tangan kiri Bram memang sudah melayang ke udara. Namun sisi malaikatnya telah berhasil membujuk Bram agar berhenti memukul wajah Esha dengan sekuat – kuatnya.

“Kenapa tidak jadi? Pukul saja aku, Mas! aku lelah dengan semua kebohongan kamu. Mau sampai kapan kamu terus saja menutupinya dariku?” pekik Esha dengan suara yang masih terdengar tinggi.

Bram menarik napasnya dalam-dalam. Ia juga menutup kedua pelupuk matanya meski hanya sekilas. “Kamu tidak tahu apa – apa, Esha. Ini bukan seperti yang kau bayangkan. Aku tidak pernah tidur dengan perempuan manapun, dan aku bukan laki – laki yang ada di pikiranmu itu.”

Esha tersenyum miris. “Baiklah, Mas. kalau kamu masih tak ingin bercerita apapun padaku, aku bisa terima itu. Aku tidak akan menuntut banyak darimu. Aku hanya ingin kamu lepaskan aku. ceraikan aku! itu saja.”

Bram tak kunjung menjawab. Pandangannya ia jatuhkan ke bawah. Bram punya banyak pertimbangan terkait permintaan Esha yang satu ini.

Memang, Esha tak pernah sekalipun menuntut hal – hal yang seharusnya menjadi hak dia sebagai seorang istri. Namun jika harus mengabulkan permintaan yang ini pun, rasanya Bram juga tak bisa semudah itu. Tidak mungkin dan tidak akan mungkin.

Jelas saja, sebab Bram benar- benar mencintai Esha dengan segenap rasa sayang dan egonya meskipun sesungguhnya ia tidak bisa melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami. Yang jelas, Bram terlalu egois karena ia tak bisa melepaskan Esha demi kebahagiaannya. Apapun yang terjadi, Bram tidak akan melepaskan wanita yang paling ia cintai itu.

“Tidak akan. Aku tidak akan menceraikan kamu. Jangan buang waktuku dengan membahas hal – hal yang sebenarnya tidak perlu untuk dibahas seperti ini. Sudah ya!”

“Mas! mas!”

Belum sempat Esha membalas dan menjawab pernyataan dari sang suami, ia sudah lebih dulu ditinggalkan begitu saja oleh Bram tanpa diberi kesempatan untuk berbicara.

Alhasil, Esha kembali terpaku dalam ketidakberdayaannya atas tingkah sang suami. Ia menjadi bingung bagaimana ia seharusnya mengingat sangat sulit menuntut perceraian dengan Mas Bram.

Jika Esha harus meminta perceraian, setidaknya harus ada alasan kuat sehingga kepolisian bisa percaya padanya. Setidaknya, ada kekerasan secara fisik yang bisa dilihat secara kasat mata.

‘Kalau hanya aku bicara soal kekerasan batin, akankah mereka mempercayai aku? sementara aku tak punya bukti apapun untuk itu.’ Esha tengah membatin, berpikir keras untuk pisah dari Bram.

Seperti yang sudah – sudah, Esha selalu gagal untuk berpisah dengan mas Bram. entah harus dengan alasan apa atau dengan cara apa, Bram selalu berhasil mengelak, memutar fakta yang ada, dan menjadikan Esha kembali ke dalam jerat pelukannya.

‘Sudah jelas bahwa ada yang salah dengan Mas Bram! aku akan minta bantuan Alysa untuk hal ini. aku percaya bahwa dia akan mendukung ide ku ini!’

Usai kejadian saat itu, Esha sudah membenarkan persepsinya sendiri bahwa apa yang pernah Alysa katakan tentang suaminya memanglah benar. Tidak sekali dua kali saja, Esha bahkan seringkali sengaja menggoda sang suami hanya untuk mendapatkan hasrat dan memancing ketertarikan dari Mas Bram.

Namun pada kenyataannya, Mas Bram tak pernah sekalipun tergoda dan tertarik padanya meski ia sudah kenakan berbagai macam pakaian dan cara yang terkesan liar.

Itulah yang kemudian menjadikan Esha telah mengecap suaminya sebagai lelaki yang tak gagah dan tak bisa bangun, sama seperti yang Alysa ceritakan padanya.

“Pagi, Mas …” sapa Alysa di tengah meja makan sesaat setelah ia melihat Bram turun dari lantai kamarnya.

“Ya, pagi. Aku harus –”

“Aku sudah siapkan makanan untukmu. Dan itu, ada bekal yang kemudian harus kau bawa…”

Esha tiba – tiba saja menghentikan ucapan Bram dan menyambut sang suami dengan penuh kelembutan. Tidak seperti beberapa hari bahkan beberapa tahun belakangan ini yang rasa – rasanya Esha hampir muak melihat wajah Bram karena ulahnya yang tak pernah bersikap sesuai kemauan sang istri.

Bram bingung. Bola matanya tak mengerjap meski sedetik dari wajah cantik sang istri pertama, Esha. Ia terkejut dengan kehangatan pagi ini.

“E – iya, baiklah.”

Alysa hanya tersenyum tipis dari sebrang meja yang mana mereka saling berhadapan satu sama lain. Alysa tak mengatakan apapun. Namun senyumnya mengartikan sesuatu yang masih terlihat samar – samar.

“Jangan buat dirimu terkejut seperti itu. Selama ini kan aku memang terbiasa melayani kamu meskipun beberapa waktu terakhir ini kita sering bertengkar. Bukan begitu, Mas?” sambung Esha kembali sembari memasukkan satu dua centong nasi ke dalam piring yang berada tepat di hadapan Bram.

“Oke sudah – sudah. Sudah cukup … ini terlalu banyak,” balas Bram dengan senyum sepintas.

“Ups! Maaf ya, Mas!” respon Esha sembari menutup bibir mungilnya yang berwarna merah muda.

“Mas, bagaimana kalau siang ini kita pergi nonton? Alysa bosan di rumah terus. Mas bisakan?”

Alysa ikut berbicara. Ia masuk saat Bram dan Esha sedang adu pandang.

“A – apa? Bagaimana?” jawab Bram kaku.

“Ih, Mas gimana sih! fokus sama mbak Esha aja! Lantas kapan aku diperhatikan? Perasaan Mas dan mbak Esha selalu saja seperti itu. Kalau begini caranya aku tidak bisa tinggal serumah, Mas. aku ingin pisah rumah, dan pisah ranjang! Aku tidak mau satu rumah dengan istri pertamamu!”

Bram yang semula sedang berbunga dan mulai menikmati suasana paginya dengan merasakan sambutan yang hangat, lantas ia kini harus menelan rasa kecewa dan berusaha untuk menahan amarahnya di dalam dada.

Bram beberapa kali menggigit bibir bawahnya dan mencengkram erat garpu dan pisau yang ada di tangannya. Ia kehilangan napsu makannya begitu mendengar keluhan dan segala permintaan Alysa yang dirasa tidak masuk akal sama sekali.

Masalahnya bukan sekali dua kali saja Alysa berbicara. Dia terus saja mengulangi kata dan kalimat yang sama sampai Mas Bram memberinya tanggapan. Jika Bram belum bicara, maka Alysa tidak akan berhentii untuk mengeluh dan meminta ini dan itu.

“Mas, kamu dengarkan aku kan? Aku minta besok kita harus pindah rumah! kalau tidak –”

“Iya! Aku akan turuti permintaanmu dan tutup mulutmu itu. Sudah, aku harus berangkat. Aku kehilangan napsu makanku. Pusing rasanya aku mendengarkan celotehmu yang seperti itu. Bersikaplah dewasa sedikit!”

Alysa menundukkan pandangannya lalu menggedikkan kedua bahunya tanpa menjawab perkataan Bram sepatah katapun. Dan setelah Bram puas memarahi Alysa, ia pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun pada Esha yang juga sedang duduk diam tanpa ekspresi apapun.

Mungkin … Bram ingin mengatakan sesuatu, namun ia tak sampai hati untuk mengucapkannya karena kemarahan dan selera makannya telah rusak dengan suasana paginya yang kacau.

PLAK!

TOS!

Suara perpaduan dua telapak tangan yang bertemu. Suaranya memang sengaja ia buat sekecil mungkin, dan itu sudah cukup untuk merayakan keberhasilan mereka.

Ya, Alysa dan Esha tengah merencanakan sesuatu untuk suaminya, Bram.

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status