Share

Hanya ingin Kejujuran

Pertemuannya bersama dengan Alysa tiga hari yang lalu, membuat Esha tak bisa berhenti berpikir dengan keras. Setiap kali ia menyelesaikan tugas-tugas kantornya, Esha selalu teringat akan hal itu.

Yang jelas, satu hal yang Esha pikirkan. Bagaimana bisa ia tidak tahu dan tak berpikir bahwa Bram yang justru mengalami masalah kesuburan?

‘Apa mungkin … Mas Bram tak ingin menceraikan aku karena ia khawatir kelainannya ini akan diketahui banyak orang, begitu?’

‘Apa ia tak pernah mendiskusikan ini dengan dokter langganannya? Kenapa pula mas Bram tak pernah menceritakan ini kepadaku? Ahh, banyak sekali yang ingin aku tanyakan padanya termasuk kapan tepatnya mas Bram mengalami hal ini?’

Setelah berpikir dengan sangat keras, Esha masih belum menemukan solusi dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang melayang di kepalanya. Meskipun Esha sudah berusaha untuk memejamkan mata dan menenangkan diri, pertanyaan itu tetap menghantui dirinya.

‘Kalau begini caranya, aku tidak akan pernah bisa fokus dalam bekerja. Aku harus memastikannya sendiri kepada mas Bram!’

Untuk saat ini, hubungan Esha dan Alysa begini saja adanya. Tak terlihat dekat dan tak terlihat jauh. mereka masih menyembunyikan kedekatan mereka di depan suaminya, Bram. Esha sudah membicarakan ini sebelumnya, bahwa ia meminta waktu agar Alysa mau bersabar dan memberinya kesempatan untuk membuat rencana baru.

Sejujurnya, Esha juga tak begitu percaya pada Alysa. Tapi setidaknya, rubah kecil itu masih banyak berguna bagi Esha. Termasuk untuk membantunya membalaskan rasa sakit hati Esha pada keluarga Bram dan khusus untuk Bram sendiri.

Beruntung, besok adalah hari Minggu. Artinya malam ini adalah malam minggu. Esha pikir ini adalah saat yang tepat untuk Esha bicara pada Bram. Sebelum ia membuat rencana bersama Alysa, ada baiknya ia juga bisa memberikan kesempatan bagi Bram untuk berkata jujur dan mengakui kelemahannya.

Hanya itu yang Esha mau, kejujuran dari seorang Bram.

Esha sengaja mengenakan pakaian yang sedikit terbuka. Ia menambahkan aroma rose di sekujur tubuhnya. Berharap Mas Bram akan tertarik dan bergairah dengannya malam ini.

“Mas, bisa aku bicara sebentar?” ujar Esha lembut tanpa ekspresi.

Bram yang tengah asik mengetik sesuatu di atas laptopnya, lantas menghentikan jarinya dan melihat ke arah Esha. Ia nampak sedikit terkejut dengan gaya berpakaian Esha. Tidak seperti biasanya Esha yang acuh sejak pernikahan keduanya bersama Alysa.

“Ada apa?”

“Apa aku boleh meminta waktumu hari ini saja? Ada hal yang ingin aku lakukan,” Esha berjalan semakin mendekat ke arah Bram.

“Memangnya apa yang mau kamu lakukan?”

Esha berjalan dekat dan semakin mendekat. Kali ini Esha akan mencoba menggoda Bram.

“Aku minta pendapatmu, bagaimana jika ada salah satu rekan kerjaku yang mengajakku kencan. Apa kau mengizinkannya?” tanya Esha sembari mengerlingkan matanya. Tanpa Bram sadari, Esha telah berada di atas meja kerjanya. Duduk dengan pose yang cukup berani.

“Siapa dia? Untuk apa dan apa alasannya!”

“Ya kamu seperti tidak tahu zaman sekarang saja, Mas. Tentu saja berkencan hanya untuk bersenang-senang, iya kan? Aku akan menginap dua malam nanti. Boleh ya, Mas…”

Perlahan, Esha mulai mendekatkan tubuhnya. Menatap mata Bram dengan intens tanpa memberi kesempatan bagi lelaki itu untuk berkedip.

Aroma tubuh Esha benar-benar kuat, Bram mulai merasa Esha menarik baginya. Sebab bagaimanapun, Bram masih lelaki normal yang memiliki napsu dan hasrat. Hanya saja kesuburannya perlu untuk dipertanyakan.

Berusaha untuk terus menghindar, Bram menolak dengan tegas. “Tidak! Aku tidak memberimu izin. Jangan bertingkah aneh dibelakangku!”

Ada kecemburuan di dalam diri Bram. Meski Bram memperlakukan Esha semaunya, tetap saja apapun alasannya ia tak pernah bisa membiarkan Esha dekat dan nyaman bersama lelaki lain. Namun Bram memilih untuk tak pernah menunjukkan dan mengatakan hal itu pada Esha.

“Bukankah kau juga sering melakukan hal yang sama? untuk apa kau membawa wanita-wanita murahan itu kemari kalau bukan untuk bersenang-senang?” imbuh Esha dengan suara yang menggoda.

Bram nampak kelabakan. “Itu … itu beda lagi. Apa kau pernah melihatku bermain dengannya? Tidak! Kami hanya menyelesaikan tugas tepat pada waktunya. Itu saja!”

“Bohong kamu ya, Mas … ahh, aku juga tak masalah jika kau memang bermain dengannya. Itu akan terasa adil karena aku juga ingin merasakan hal yang sama mulai besok.”

Kaki jenjang Esha sudah menari diatas paha Bram. Dalam hati Esha, kalau bukan untuk memancing jawaban dan napsu dari suaminya, mana mau Esha bertingkah seperti seorang pelacur seperti itu. Ini benar-benar bukan kepribadian Esha yang sesungguhnya!

“Esha… apa yang kau lakukan, turunlah sekarang!” pekik Bram.

Esha justru bergelayut manja di leher suaminya dan meminta perlakuan lebih.

“Biarkan aku merasakan cinta semacam itu, Mas … aku juga ingin sepertimu yang bisa bermain dengan banyak perempuan…” rengek Esha yang terus saja membuat Bram kehilangan konsentrasi.

Bagi Bram, Esha masih sangat menggoda meski mungkin usianya tak lagi muda dan tubuhnya tak sekencang dulu.

‘Oh, benar-benar wanita ini! asal kamu tahu Esha, aku tak mungkin menyentuhmu karena aku tak ingin kamu kecewa karena kelemahanku!’

“Mas! Kenapa kamu diam saja! Kalau kau tak menjawab, aku akan ….”

CUP!

Esha memagut bibir Bram dengan begitu agresif. Detik pertama dan kedua mungkin Bram menikmatinya, dan terlena dengan Esha.

Namun itu tak berlangsung lama. Bram segera mendorong tubuh Esha dan menghentikan aktivitas seksualnya.

Esha sedikit kecewa. Namun ia bisa mengerti apa inti penolakan Bram. “Ada apa, Mas? sudah lama kita tidak bercinta bukan?”

Bram menyibakkan rambutnya dan kembali duduk. “Aku lapar dan aku enggan melakukannya. Berhenti untuk menggangguku, Esha!”

Esha menarik sudut bibirnya. “Jadi kau lebih memilih wanita-wanita diluar sana daripada istrimu sendiri? apa aku tidak bisa memuaskanmu?”

Tak lekas menjawab, Bram hanya diam tanpa ekspresi. Ingin sekali ia mengatakan bahwa sejujurnya Bram sama sekali tidak memilih wanita manapun selain Esha. Bahkan sampai detik ini, hanya Esha yang mengisi hatinya. Sampai-sampai Bram tak akan rela melepaskan Esha untuk lelaki lain.

Bram terlalu takut untuk mengatakan yang sebenarnya. Ia terlalu takut membuat Esha kecewa dan pergi dari sisinya. Sehingga ia lebih memilih untuk menyimpan masalah pribadinya rapat-rapat dari Esha.

“Harus berapa kali aku katakan kalau aku tidak bermain dengan perempuan manapun! Jaga bicaramu, dan keluarlah dari ruanganku! Berhenti untuk mencampuri urusanku, Esha!” gertak Bram dengan lantang. Suaranya terdengar nyaring dan membuat Esha kesal.

‘Halah, bilang saja kalau kau memiliki kelainan mas! Kenapa kau masih tak ingin terbuka denganku, hem? Lihatlah, sampai kapan kamu akan bertahan dengan kebohonganmu itu! Aku akan terus mengoreknya sampai ayah dan ibumu tahu bahwa kamulah yang tak bisa menghasilkan anak!’

Esha mengangkat dagunya dan meletakkan tangannya di pinggang. “Baiklah. Kalau begitu jangan halangi aku untuk menjalin hubungan dengan pria lain! Kau bilang kita tak perlu saling mencampuri urusan satu sama lain bukan? Aku akan ikuti permainanmu, Mas. Kamu pikir hanya kamu yang bisa main gila di luar sana? Aku akan buktikan kalau aku tidak mandul!”

Bram naik pitam. Wajahnya meradang dan urat-urat dilehernya nampak menonjol keluar. Sepertinya, Bram akan benar-benar murka dengan perkataan Esha.

“Mulutmu itu benar-benar keterlaluan, Esha!!? Kau –”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status