Hujan sisa semalam masih menyisakan kabut tipis di area parkir basement Centris Tower pagi itu. Proyek HorizonOne memasuki fase pra-eksekusi dan hari ini seluruh jajaran Vice Project Director muda dijadwalkan untuk survei lokasi pembangunan kawasan smart-industry yang akan menjadi mahakarya gabungan GZ Corp dan LZ Corp.
Cantik menuruni tangga basement dengan sepatu hitam berhak tujuh senti meter, mengenakan blazer warna charcoal dan rok span senada. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya setajam agenda meeting yang tak bisa diganggu. Di sisi lain, Ezra menunggu di dekat sebuah mobil SUV hitam—dengan tangan di saku celana abu gelap dan kemeja putih yang lengan panjangnya sudah digulung sampai siku. “Pagi juga, Cleosana Cantika Maverick,” sapa Ezra begitu Cantik mendekat, suaranya santai dan… menyebalkan. Cantik meliriknya datar. “Mana drivernya?” Ezra menunjuk ke arah mobil. “Driver enggak ikut. One car policy. Arahan dari Project Director—biar efisien, katanya. Kita gantian nyetir.” Cantik berhenti di depan pintu mobil. “Serius?” “Sebenernya enggak,” jawab Ezra sambil membuka pintu kursi penumpang depan untuk Cantika. “Tapi aku tahu kamu akan ngamuk kalau disuruh duduk di belakang.” Cantik mendengus. “Jadi kamu berharap aku terkesan karena kamu membuka pintu layaknya Pangeran?” Ezra tersenyum. “Enggak. Aku cuma menghindari kematian dini.” Cantik masuk ke dalam mobil tanpa berkata apa-apa. Ezra ikut masuk lewat sisi pengemudi, menyalakan mesin dan pendingin udara. Beberapa menit pertama diliputi keheningan. Hanya suara wiper membersihkan kaca dan putaran AC yang terdengar. Ezra akhirnya membuka suara. “Kamu tahu… pertama kali kita naik mobil bareng kayak gini tuh saat field trip kelas enam. Kamu duduk paling pinggir, pakai masker terus bilang alergi bau aku.” “Aku enggak alergi,” sahut Cantik cepat. “Aku cuma jijik.” Ezra tertawa, tulus. “Astaga, kamu tetap konsisten ya.” Cantik menoleh sekilas, menahan senyum yang nyaris terbit. “Dan kamu tetap menyebalkan.” “Thanks,” jawab Ezra enteng. “Tapi tenang, aku enggak bawa bau-bau menyakitkan dari masa lalu. Paling cuma sedikit harapan yang udah digilas ego kamu.” Cantik meliriknya tajam. “Jangan mulai.” “Aku enggak mulai, aku cuma meneruskan apa yang belum pernah selesai.” Ezra meliriknya sebentar lalu kembali fokus ke jalan. “Kita udah dewasa, Ezra. Ngomongin hal kayak gitu cuma buang waktu,” kata Cantik dengan nada sinis. “Dan menutupnya mentah-mentah kayak kamu lakukan waktu aku pamit ke Zurich juga bukan solusi,” balas Ezra. Nada suaranya masih tenang, tapi kali ini tak sepenuhnya bercanda. Cantik terdiam. Setelah beberapa detik, ia membuka mulut, “Kalau kamu pulang cuma buat menyelesaikan yang dulu, kamu salah akut dan tempat. Ini proyek miliaran, bukan drama kampus yang unfinished.” Ezra mengangguk pelan. “Noted. Tapi biasanya, proyek paling besar justru berangkat dari hal yang paling personal.” “Dan kamu selalu ahli mengacaukan dua-duanya,” tukas Cantik sebal. Ezra tertawa pelan. “I take that as a compliment.” Mobil melaju mulus di jalan tol. Keduanya diam selama beberapa menit, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tapi suasana sudah berbeda. Lebih terbuka. Lebih… manusiawi. Ketika mereka tiba di area proyek dan turun dari mobil, Ezra sempat menahan pintu untuk Cantik. “Terima kasih,” kata Cantik, pelan. Ezra menoleh cepat. “Tunggu, itu tadi … ucapan terima kasih? Dari kamu?” Cantik menyambar tablet kerjanya lalu menatap Ezra datar. “Jangan terbiasa. Itu bukan karena kamu, tapi karena pintunya berat.” Ezra mengangguk pura-pura serius. “Berarti masih ada harapan kalau aku jadi pintu.” Cantik menghela napas. “Kalau kamu jadi pintu, aku tutup kamu selamanya.” Ezra terkekeh. “Satu-satunya penolakan yang berhasil bikin aku lebih semangat.” Mereka berjalan ke arah tim lapangan yang sudah menunggu. Area proyek HorizonOne membentang di selatan Jakarta, di atas tanah seluas dua belas hektar yang rencananya akan dikembangkan menjadi kawasan industri pintar ramah lingkungan. Tanahnya masih gersang, dipenuhi alat berat, para teknisi dan tenda logistik sementara. Cantik keluar lebih dulu dari tenda setelah mengganti sepatunya dengan sepatu boots cokelat dan helm proyek bertuliskan “Vice PD – GZ Corp” di sisi kanan. Di belakangnya, Ezra mengikuti, juga mengenakan helm dengan logo LZ Corp. “Kenapa layout site office sementara ini kamu taruh di sisi barat?” tanya Cantik langsung tanpa basa-basi. “Itu akan mengganggu jalur truk material dan mempersempit akses ke gudang semen.” Ezra melihat tablet gambarnya sebentar. “Karena sisi timur terkena bayangan pepohonan besar dari lahan tetangga. Pagi-pagi area itu lembab, dan kamu tahu kita enggak mau alat elektronik basah karena embun.” “Kalau hanya karena embun, kita bisa pakai insulation canopy. Sisi barat lebih strategis secara distribusi.” “Tapi kamu lupa faktor manusia,” sahut Ezra tenang. “Tenda tempat kerja bukan cuma untuk dokumen dan komputer. Itu juga tempat makan siang, tempat istirahat, dan sisi barat lebih panas, yang berarti pekerja bakal kelelahan lebih cepat.” Cantik menoleh tajam. “Jadi kamu lebih mementingkan kenyamanan daripada efisiensi distribusi?” “Aku mementingkan kelangsungan kerja. Bukan efisiensi dalam PowerPoint tapi chaos di lapangan.” Mereka saling menatap. Tim teknis mulai melirik-lirik, beberapa pura-pura sibuk memeriksa tablet masing-masing, berusaha menahan tawa atau tegang sendiri. Lalu terdengar suara dari belakang. “Wuih, gila. Kalau kalian berdua kawin, anaknya pasti jadi petir.” Cantik dan Ezra menoleh serempak. Rex, mengenakan kemeja flannel dan sneakers, berdiri santai sambil memakan pisang goreng dari bungkus plastik. Cantik mendesis. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Ezra juga terkejut. “Rex?! Kamu ngikut dari mobil?” Rex mengangkat bahu. “Driver kamu enggak ngunci pintu bagasi belakang. Aku ngumpet sama alat survei.” Dia berkelakar. Cantik menatap Ezra dengan tajam. “Kamu ngajak adik kamu ke site proyek tanpa izin?” Ezra mengangkat dua tangan. “I swear, dia beneran menyusup. Tadi aku liat dia nyetir sendiri ke kampus!” “Tenang, tenang,” potong Rex dengan gaya sok penting. “Aku hanya ingin mengamati proyek paling hot tahun ini. Siapa tahu nanti aku bikin vlog, ‘Dua Vibes Project Director, Satu Lokasi, Ribuan Tegangan.’” “Keluar dari sini sebelum aku kirim kamu ke pondasi baja,” geram Cantik. Rex mengangguk. “Noted, I’ll disappear… after satu foto bareng kalian.” Ezra tertawa. “No. Out.” Rex mundur sambil memberi hormat. “Baiklah, komandan. Tapi serius, kalian berdua cocok banget loh—saling bentak tapi tetap jalan bareng.” Cantik menghela napas dan menunjuk petugas lapangan. “Tolong usir penyusup ini dari zona kerja sebelum saya gugat dia karena mengganggu proses pengambilan keputusan strategis.” Beberapa pekerja tertawa kecil. Rex hanya melambaikan tangan seperti bintang film dan pergi. Adik pertama Ezra itu memang sengaja jauh-jauh datang untuk mengganggu kakaknya setelah tadi dia mendapat pesan kalau dosen pembimbingnya tidak jadi datang ke kampus karena satu dan lain hal. Saat keheningan kembali menyelimuti area proyek, Cantik dan Ezra kembali menatap gambar layout. Ezra mendekat, nadanya berubah lebih tenang. “Gimana kalau kita pindahkan site office ke sisi tenggara? Dekat logistik, tapi masih dapat ventilasi cukup.” Cantik diam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Itu usulan paling masuk akal yang keluar dari mulut kamu hari ini.” Ezra menyeringai. “Terima kasih. Tapi masih ada dua puluh hari kerja ke depan. Kita lihat berapa kali aku bisa bikin kamu setuju … dan berapa kali kamu hampir melemparku ke cement mixer.” Cantik tak menjawab namun raut wajahnya tampak melembut bahkan kalau Ezra tidak salah lihat, ada senyum kecil di sudut bibir Cantik yang membuat gadis itu semakin cantik. Dan itu cukup untuk membuatnya percaya bahwa proyek ini—meski dipenuhi adu argumentasi, kehadiran adik tukang nyusup, dan ego masa lalu—bisa jadi awal dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar pembangunan fisik.Rest area KM 57 arah Jakarta tak pernah benar-benar sepi. Meski malam semakin larut, lampu-lampu terang dari gerai makanan cepat saji dan jajaran warung lokal membuat suasana terasa hidup. Bau gorengan, kopi panas, dan mie kuah bersaing di udara, diselingi suara knalpot dan pengumuman dari masjid kecil di sudut area. Ezra memarkir mobilnya di sisi yang agak jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, menoleh ke arah belakang. “Kita berhenti selama lima belas menit. Tapi kalau kamu lapar beneran, aku kasih tambahan waktu untuk makan.”Cantik turun tanpa komentar. Ia membuka pintu dengan ekspresi tetap netral, meski tubuhnya terasa sedikit lelah. Angin malam membawa aroma makanan yang membuat perutnya mengeluarkan suara lirih dan itu cukup memalukan.Mereka berjalan berdampingan menuju bangunan food court tanpa banyak bicara. Suara langkah mereka menyatu dengan keramaian orang lain, tapi atmosfer di antara mereka seperti punya dimensi sendiri.Ketika mereka sampai, Ezra menoleh cepat
Langit Jakarta bagian selatan mulai memucat ketika dua mobil SUV hitam berhenti di gerbang lokasi utama HorizonOne. Di sekelilingnya, area seluas dua belas hektar itu dipagari seng pelindung yang mulai berkarat di bagian ujung, tanah merah terbentang penuh cekungan dan jejak roda berat.Cantik keluar lebih dulu, body goal—nya dibalut kemeja biru langit, celana panjang hitam dan sepatu boots lapangan. Helm putih bertuliskan Vice PD – GZ Corp sudah bertengger rapi di kepala. Tablet di tangannya menyala dengan peta denah digital.Tak lama kemudian, Ezra turun dari mobil di belakang mobil Cantika. Helmnya bertuliskan Vice PD – LZ Corp, seragam lapangannya lusuh di bagian siku, dan dia berjalan santai dengan ekspresi yang terlalu tenang untuk hari penting seperti ini.“Kamu telat dua menit,” ujar Cantika tanpa menoleh.Padahal dia tahu kalau mereka tiba bersama, sapaan selamat pagi Cantik memang berbeda dengan perempuan kebanyakan.Ezra melirik jam tangan. “Lalu lintasnya padat, dan a
Pagi itu suasana di kantor pusat HorizonOne Project Division—yang menempati satu lantai penuh di Centris Tower—jauh dari kata tenang. Beberapa staf dari dua kubu, GZ Corp dan LZ Corp, tampak sibuk di depan komputer. Tapi sesekali, pandangan mereka mencuri ke arah ruang rapat kaca yang masih kosong—tempat dua Vice PD muda akan kembali duduk satu meja.Bisik-bisik kecil beredar di lorong, bukan karena skandal, tapi karena rasa ingin tahu.Pasalnya Cantika dan Ezra tampak akrab tapi penuh dendam.“Katanya semalam ada makan malam keluarga antara Maverick dan Lazuardy.” “Iya, kakakku kerja di bagian hospitality, katanya keluarga Lazuardy booking ruangan private di restoran mahal.”“Pak Ezra dan bu Cantik duduk berdampingan. Tapi kayaknya bukan yang romantis-romantis banget deh .…”“Eh, tapi mereka debat, katanya. Bahkan pas makan malam keluarga pun tetap beda pendapat.”Tak ada yang tahu pasti bagaimana info itu bisa menyebar, tapi di dunia sekelas mereka, gosip kantor tak butuh
Sore hari di rumah kediaman Maverick terasa seperti satu persiapan besar menuju perang dingin diplomatik.Bukan pernikahan, bukan gala, tapi jamuan makan malam yang melibatkan dua keluarga dengan sejarah panjang—dan lebih banyak tensi personal ketimbang tender bisnis.Di ruang tengah, mommy Jill memeriksa dua box kado buah premium yang akan dibawa, memastikan pita dan kartu ucapan tertempel rapi. Ragnala, yang berusia dua puluh tahun dan masih duduk di semester akhir kuliahnya, sedang mencoba dasi kupu-kupu sambil mengeluh.“Aku enggak ngerti kenapa harus ikut acara kayak gini. Ini kan cuma makan malam, bukan lamaran kak Cantik.”Dari ujung sofa, Rae, si anak tengah yang baru saja lulus S2 di Melbourne, mencibir. “Justru karena belum lamaran makanya kamu harus tampil sopan. Siapa tahu habis makan malam, keluarga Lazuardy ngelamar kak Cantik di depan nasi goreng kambing.”Cantik muncul dari tangga atas, mengenakan gaun hitam polos selutut dan blazer formal abu gelap. Rambutnya dig
Hujan sisa semalam masih menyisakan kabut tipis di area parkir basement Centris Tower pagi itu. Proyek HorizonOne memasuki fase pra-eksekusi dan hari ini seluruh jajaran Vice Project Director muda dijadwalkan untuk survei lokasi pembangunan kawasan smart-industry yang akan menjadi mahakarya gabungan GZ Corp dan LZ Corp.Cantik menuruni tangga basement dengan sepatu hitam berhak tujuh senti meter, mengenakan blazer warna charcoal dan rok span senada. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya setajam agenda meeting yang tak bisa diganggu.Di sisi lain, Ezra menunggu di dekat sebuah mobil SUV hitam—dengan tangan di saku celana abu gelap dan kemeja putih yang lengan panjangnya sudah digulung sampai siku.“Pagi juga, Cleosana Cantika Maverick,” sapa Ezra begitu Cantik mendekat, suaranya santai dan… menyebalkan.Cantik meliriknya datar. “Mana drivernya?”Ezra menunjuk ke arah mobil. “Driver enggak ikut. One car policy. Arahan dari Project Director—biar efisien, katanya. Kita gantian nyetir.”
Sore menjelang malam di rumah utama keluarga Maverick, langit Jakarta mulai bergradasi jingga dan di ruang kerja pribadi Kenzo Maverick—CEO GZ Corp—aroma kopi hitam dan kayu tua berbaur dalam atmosfer yang elegan dan tenang. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama saat pintu dibuka sedikit keras.Cantik masuk tanpa salam, langsung menutup pintu di belakangnya.Daddy Kenzo mendongak dari balik laptop. “Putri Daddy yang paling cantik, baru satu hari nanganin Horizon One, wajahnya tampak muram gini?”“Don’t play nice, Daddy,” ujar Cantik tajam, menjatuhkan tablet ke meja kerja Kenzo. “Kenapa aku enggak dikasih tahu kalau dia yang jadi Vice Project Director dari LZ Corp?”Daddy Kenzo menyandarkan punggung ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. Tatapannya tidak terkejut karena memang sudah tahu lebih dulu.Beliau tampak tenang, seperti sudah menanti pertanyaan itu datang.“Because I know you’d react like this.”“Exactly!” Cantik membentak pelan. “Ini bukan sekadar proyek